Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2021

Solitude 3

 --Solitude 3-- Oleh : Dardiri Tidak tercium bau setanggi, Dari tubuhmu yang ranum saat kupetik lagi, Berharap, Bahwa kamulah pelabuhan terakhir bagiku, Menyisihkan wangi rindu, Dan kegelisahan yang mengguguri keyakinanku, Begitu eloknya zaman, Membuntuti sendiri ekornya yang tidak pernah patah oleh peradaban, Begitulah khasanah suara, Mengitari sendiri lingkarannya yang selalu berkisah tentang pangkal dan kejadian, Bagaimana jika ternyata dunia bukanlah bulat?, Tetapi berupa garis dan bidak segi empat?, Pastinya kesulitan bagi kita untuk meminiaturnya dalam bundaran globe biru muda, Tentunya kita kebingungan merumuskan gerhana dan menentukan kutub dunia, Bagaimana pula jika ternyata cahaya tidak memantulkan warna?, Pastinya sulit bagi kita menemukan cara untuk membias diri, Dan kita kebingungan menentukan nama bagi yang kasat mata, Segalanya bisa saja bergeser dari keharusan yang kita maknai sendiri, Bisa pula beringsut dari tepi kemudian ke tengah lagi, Atau terlepas dari orbit y...

Solitude 4

 “Solitude 4” Oleh : Dardiri Pernahkah kau tanyakan, Di mana Tuhan?, Ketika Socrates harus meminum racun karena mempertahankan dialektika semesta-nya, Ketika Nicolaus Copernicus menggugat evolusi matahari mengitari bumi, Ketika Sir Isaac Newton kejatuhan apel di kepalanya, Yang kemudian melahirkan gagasan daya gravitasi bagi dunia, Ketika Albert Einstein memikirkan lengkungan ruang dan waktu, Lalu mengemukakan uluran selimut tak terbatas dan betapa sangat berpengaruhnya cahaya bagi semesta, Ketika Sigmund Freud mengemukakan tentang insting dan emosi kepribadian, Lalu melahirkan konsep psikoanalisa, Ketika Bertrand Russell mengemukakan persoalan nilai dan ranah pengetahuan, Yang kemudian memunculkan implikasi logis dan prinsip kesepadanan, Ketika Husein Bin Manshur Al Hallaj mempertahankan Wahdatul Wujudnya di tiang gantungan, Ketika Jalaluddin Rumi Al-Bakri menggubah Matsnawi_Maknawi, Yang kemudian melahirkan tarian ritmis Darwisy, Ketika Mangkunegara keempat menggubah “Serat Wedha...

TAK SEINSTAN ITU

 TAK SEINSTAN ITU oleh: Nurhalimatus Sa’diyah Sejak makhluk hidup akan dilahirkan, membutuhkan sebuah proses yang panjang dari terbentuknya embrio hingga janin yang siap dilahirkan, terutama untuk manusia proses yang dilalui lebih panjang dibanding makhluk hidup yang lain. Tidak semua orang mudah untuk mendapatkan keturunan, banyak yang Allah beri kemudahan untuk mendapatkan anak bahkan ada yang langsung dikaruniai anak kembar tiga sampai lima, tetapi tak sedikit juga Allah memberikan kesulitan dalam memperoleh keturunan, beberapa dari  mereka hingga harus pergi ke luar negeri  demi bisa melakukan proses bayi tabung.  Setelah proses pembentukan janin berhasil, seorang ibu masih harus menjalani proses kehamilan yang panjang. Selama kehamilan seorang ibu harus mengalami fase ngidam yang terkadang tak mudah. Ibu harus mengalami mual muntah selama tiga bulan kadang lebih. Sang ayah pun turut andil direpotkan dengan permintaan ngidam yang seringkali terkesan aneh.  S...

Dermaga 3

 “Dermaga 3” Oleh : Dardiri Berlayar saja, Karena sauh telah jauh, Meninggalkan tiang pancang, Berkendara di seberang ufuk, Menenun persembunyian keseharusan, Labuh bagi dermaga, Pelana baja bagi kuda perang, Ingin sekali ditulisnya sendiri, Tentang betapa sempitnya semesta, Di hadapan rindu yang tersekap jarak, Atau, dilukiskannya sendiri, Tentang begitu cepatnya senja, Ketika, guratan bulan sabit muncul tiba-tiba dan tak didapatinya kau di sana, Kadang juga, Ingin ia bertanya, Tentang siapa yang menyadap hujan dan menjadikannya genangan demi genangan di setiap ruas jalan, Tentang bagaimana lalimnya keadaan, melahirkan kebersamaan yang tak pernah menyatu, Kamu?, Menyimpan sendiri tajam tanya-mu, Di sebuah ceruk, atau lebih tepatnya palung tanpa pusaran, Di sebuah ngarai, atau lebih tepatnya jurang paling curam, Rahasiamu yang paling perawan, Rindu?, Berlayar sendirian, Melewati labuh demi labuh, Mencari dermaga, Yang telah lama ditinggalkannya,- (K G P H : 30 Januari 2021)

PERTAPAAN ABAD TERSISA

 PERTAPAAN ABAD TERSISA Oleh : Faiz Abadi Apabila  lapar hanya meliuk seputar raga Pengajar dan obyek adalah badut badut Mana mungkin risalah Sunan Kalijaga akan terulang Kepatuhan penuh seluruh pada Sang guru Sunan Bonang Adalah kepahitan raga Sehingga lenyap seperti moksa Jiwa menyatu dalam bentengNya Tanpa harus menunggu detik terakhir batas nafas  Karena kepatuhan bukan soal berapa lama Tetapi bagaimana Dia menerima Kadang di antara kita tidak lebih baik dari siswa di biara biara Tidak meninggalkan satu rambutpun di kepala Totalitas tidak terbatas Adalah kawah candradimuka agar hjjab cepat terbuka Sederhana saja lihat iqro pembuka Alif lam mim Kejujuran pada setiap oksigen terhirup dalam tiap detik waktu Di akhiri miftahul jannah Walaupun pertapaan kini berbeda MenujuNya tetaplah sama Tidak perlu lencana untuk menggapai rahmatNya

Wulandari” (Segmen Angin)

 “Wulandari” (Segmen Angin) Oleh : Syafaat Suatu pagi, Ketika mendung sedang tidak terjadi, Di halaman rumahmu, Ada yang diam-diam selalu kau perhatikan, Kuntum mawar, Ya, mawar yang merona parasnya, Karena gembira, Tengah mengadukan biak kelopaknya, Kepada pinangan angin, Ia sedang menghitung kepak mahkotanya sendiri, Sebelum tanggal oleh angin pula, Agaknya, Ada yang sedang menyeruak karena sesak tak lagi sanggup menampungnya, Dari cekungan di atas bola matamu yang serupa lingkar mimpi semalam, Kenapa pagi tidak selalu begini?, Lalu, Sekeping rindu yang selalu bermukim dalam kegelisahanmu, Tiba-tiba terbang, Menjadi kuncup angin, Ahh, Kartu namamu terjatuh dari kancing bajumu yang terlepas, “Wulandari”, Begitulah tulisan di dalamnya, Dan, Angin membiarkannya begitu saja,- (K G P H : 30 Januari 2021)

Sekuntum Kerinduan

 Sekuntum Kerinduan Oleh : Syafaat Sekuntumum angin yang kau petik dari halaman rumahmu Dan kaubawa mengajar pagi ini Ingin kuhirup kembali agar hilang kerinduanku Tidak seperti kangenku pada kopi Bu Lutfi Atau kenangan kita mencari kembang Seikat angin dengan bulir gerimir juga kupetik di halaman Untuk menghilangkan dahaga kecupanmu Kutuang nada nada cinta Pada barisan huruf WA Gerimis asmara semalam masih terasa Membilas embun mesra daun senyum manismu Tak kusadari wulandari dilangit sepi Bergelut dengan awan dan kaubisikkan suara cintamu Pada buliran gerimis malam Yang membawaku pada impian Menikah dengan bayangmu

TERGANTUNG MIMPIMU

 TERGANTUNG MIMPIMU Oleh ; Faiz Abadi Apa kalimat terucap Pada saat satu tarikan nafas saja Sederhana saja kawan Seperti mimpi mimpi setiap hari Apakah inginmu ngelantur asal mendengkur Atau terbuai seperti mengejar wulandari Sedangkan dia terus berlari Atau mengejar ngejar kursi birokrasi juga politik Padahal jelas tidak terusik Usiamu sudah berapa Padahal milikmu kadang diambil begitu saja Tidak mengenal usia Masihkah dari hari ke hari kau tunda Membiarkan jati diri mengembara NamaNya tidak pernah tersentuh olehmu dalam detik detik ingatanmu Bahkan waktu terus  beralih siang malam minggu bulan tahunmu Kau tidak pernah hadir Terus alpa Lucunya terus sibuk mencari nama

PERTAPAAN ABAD TERSISA

 PERTAPAAN ABAD TERSISA Oleh : Faiz Abadi Apabila  lapar hanya meliuk seputar raga Pengajar dan obyek adalah badut badut Mana mungkin risalah Sunan Kalijaga akan terulang Kepatuhan penuh seluruh pada Sang guru Sunan Bonang Adalah kepahitan raga Sehingga lenyap seperti moksa Jiwa menyatu dalam bentengNya Tanpa harus menunggu detik terakhir batas nafas  Karena kepatuhan bukan soal berapa lama Tetapi bagaimana Dia menerima Kadang di antara kita tidak lebih baik dari siswa di biara biara Tidak meninggalkan satu rambutpun di kepala Totalitas tidak terbatas Adalah kawah candradimuka agar hjjab cepat terbuka Sederhana saja lihat iqro pembuka Alif lam mim Kejujuran pada setiap oksigen terhirup dalam tiap detik waktu Di akhiri miftahul jannah Walaupun pertapaan kini berbeda MenujuNya tetaplah sama Tidak perlu lencana untuk menggapai rahmatNya

TERGANTUNG MIMPIMU

 TERGANTUNG MIMPIMU Oleh : Dardiri Apa kalimat terucap Pada saat satu tarikan nafas saja Sederhana saja kawan Seperti mimpi mimpi setiap hari Apakah inginmu ngelantur asal mendengkur Atau terbuai seperti mengejar wulandari Sedangkan dia terus berlari Atau mengejar ngejar kursi birokrasi juga politik Padahal jelas tidak terusik Usiamu sudah berapa Padahal milikmu kadang diambil begitu saja Tidak mengenal usia Masihkah dari hari ke hari kau tunda Membiarkan jati diri mengembara NamaNya tidak pernah tersentuh olehmu dalam detik detik ingatanmu Bahkan waktu terus  beralih siang malam minggu bulan tahunmu Kau tidak pernah hadir Terus alpa Lucunya terus sibuk mencari nama

Wulandari

 “Wulandari” Oleh : Dardiri Mungkin, Kaupun jarang sekali dihinggapi rasa ingin bertanya, Berapa puluh purnama,  Kau lewati dengan nyala api membiak dari sayatan kecil, Yang mirip renggang anyaman bambu setelah beberapa windu berlalu, Hatimu?,  Masa lalu, Sepertinya benar-benar “keramat”, Hingga kamu melipatnya begitu rapat, Agar seujung sengat lebah-pun tak sempat terlihat, Bahkan oleh bayanganmu sendiri, Adakah yang tengah kau cari,  Dari ayunan fajar yang sebentar lagi menjalar? Dari  lantunan dini hari yang berserakan di ranjang mimpi?, Bibirmu, Terkatup, Bukan karena terpasung dalam kuyup, Tetapi karena kata telah tiada, Sayup, Kudengar, Kau memanggilku “kekasih”, Dan, Aku memanggilmu “Wulandari”,- (K G P H : 28 Januari 2021)

Diorama

 “Diorama” Oleh : Dardiri Masih terdengar, Ketuk sepatumu, Di beranda beratap baja ringan, Yang ketika hujan datang, menyaru bunyinya, Masih kulihat, Kerlingan bola matamu, Berpusingan di bawah kamboja cina, Yang ketika senja tiba, menangkup kegelisahannya, Adakalanya kita benar-benar menyadari, Bahwa kepemilikan telah berlari menjauhi kita, Selepas repertoar singkat dipentaskan dalam perjamuan usia, Kita menghilang dalam lekang, Mungkin kita lupa, Telah berapa ratus senja terlewatkan begitu saja, Ada yang tertanggal, Dan senantiasa membadai dalam ingatanku, Ketika kuselipkan kelopak kamboja cina di sela rambutmu, Ketika selalu kudapati wajahku dalam kerling matamu, Kini, Diorama Rindu, Menjadi batas kebersamaan kita,- (K G P H : 28 Januari 2021)

Wangi Hujan

 “Wangi Hujan 4” Oleh : Dardiri Ada yang menganak sungai di jendela kamarmu pagi itu, Lantaran debu, Yang belum sempat kau pergoki, Ditaklukan oleh garis lembut yang merembes diam-diam dari pecahan genting di atasnya, Karena, Hujan yang malas, Semalaman terus terjaga sebelum kamu membuka mata, Pernahkah kamu menanyakan, Bagimana cara menyatakan cinta, Perawan tuli kepada laki-laki buta, Ketika keduanya berada di tempat berbeda?, Atau, Adakah rumusan sederhana, Membedakan embun dengan hujan, Ketika sepagi itu keduanya saling berpacu meruncingi waktu?, Anak sungai yang mengalir di jendela kamarmu, Seketika menjadi telaga dengan harum cahaya, Dan kamu menaiki jalinan batang bambu di permukaannya, Dan, Ketika matamu terbuka, Kubiarkan saja, Bibirmu yang diranumi senyum, Meneguk wangi hujan, Di sela jemari tanganku,- (K G P H : 28 Januari 2021)

DARI TANGAN KITA

 DARI TANGAN KITA Oleh : Faiz Abadi Siapa lagi kalau bukan kita Bangun di tengah malam  Berdoa  Bermunajad untuk keluarga Bangsa dan negara  Agar Selamanya Rukun dan selalu bertegur sapa Bahu membahu  Membangun pondasi negeri Bukan saling gengsi Apalagi  sok aksi Hanya memikirkan diri sendiri Siapa lagi  Selalu duduk bersama  Menyatukan persepsi Dari setiap generasi muda, dewasa, tua Dari orang orang di bawah, tengah, tengah Agar saling mengerti

DARI TANGAN KITA

 DARI TANGAN KITA Oleh : Faiz Abadi Jika bukan kita lantas siapa Orang orang pintar Tidak pernah ingkar Selalu bertindak benar Peradaban haruslah terus mekar Budaya berbasis spiritual Gaung kejayaan olah raga di segenap arena Gaung pentas seni Melatih percaya diri Juga keberanian mandiri Gaung pendidikan menguatkan mental bukan melemahkan Pendidikan memberikan bukan menderitakan Pendidikan mencerdaskan bukan hanya memberitakan Menghasilkan teknologi tepat guna secara nyata Kalau bukan kita siapa mau bicara Terus menerus suarakan kepedulian Perkembangan jaman ada di tangan kita bersama bisa

Wangi Hujan 3

 “Wangi Hujan 3” Oleh : Dardiri Ini adalah hujan, Katamu, Suatu sore, Ketika jalan pulang yang biasanya ramai, Mendadak sepi, Kutawarkan jas hujan, Kau bilang tidak!, Kutawarkan jaket tebal, Kau bilang jangan!, Kutawarkan tempat berteduh sejenak, Kau bilang biarkan!, Kutelan sendiri penawaran demi penawaran, Karena dengan perkasanya, Hujan melingkarkan jemarimu, Di pergelangan tanganku, Wangi hujan, Menyeruak dari palung paling dalam kesendirian kita, Dan, Jalan pulang, Masih saja disekap sunyi, Karena memang kita tak ingin kembali,- (K G P H : 27 Januari 2021)

Solitude

 “Solitude 5” Oleh : Dardiri Begitu sulitnya, Memberikan batas antara kesombongan dan harga diri, Sebagaimana memisahkan mawar dari tangkai berduri, Kamu berjalan, Tetapi langkahmu disekap hujan, Kamu berdiri, Tetapi waktu menawarkan kepadamu tentang keniscayaan, “Damar Kambang” Yang diam-diam memilin cahaya dari lubang kunci kamarmu, Sejenak mengenangkan angin senja, Ketika hari dibenamkan malam begitu saja, Sudah hitungan ke berapa?, Kita dimabukkan oleh pujian, Kita dilenakan oleh sanjungan, Dan mungkin tidak kita sadari, Jika kita-pun telah hilang ingatan, Bahwa kita sendiri adalah wujud batasan yang dihinggapi ketidaksempurnaan, Samar-samar “Ketawang Sukma Ilang”, Yang dinyanyikan  kesendirian paling lajang, Kembali menghentikan putaran jari tanganmu, Di atas gulungan kertas, Di depan kanvas, Berisi namamu sendiri, Bergambar wajahmu sendiri, Bukankah warna merah ini bukan darah?, Melainkan geloramu sendiri yang menuntunmu dalam pencarian demi pencarian?, Bukankah warna bi...

Kata-Kata

 --Kata-Kata-- Oleh : Dardiri Pernah kudengar, Bahwa kata adalah lambang suara, Melahirkan kesepakatan dan kesepahaman, Lalu menjelma menjadi bahasa, Pernah kudengar, Bahwa deret angka hanya bermula dari kosong dan satu saja, Melahirkan peradaban hitungan dan pengulangan, Lalu menjelma menjadi kepastian, Kawan, Kata-kata adalah rasa, Jangan kau pasung ia demi syahwat dan kuasa untuk menjadi juara, Jangan kau tikam ia demi birahi sesaat untuk decak kagum dan tepuk tangan bersahutan, Jangan kau mematikannya demi jabat tangan handai taulan dan gemuruh kehormatan, Jangan kau membunuhnya demi prestasi yang kita sendiri kebingungan dibawa kemana setelah didapatkan, Kawan, Kata-kata adalah kata-kata, Biarkan ia hidup dan mencari dirinya sendiri, Kodrat telah menjadikannya mandiri, Ia sedikit abadi, Bahkan ketika kita telah tiada lagi,- (K G P H : 25 Januari 2021)

AYO PERBAIKI DIRI

 AYO PERBAIKI DIRI Oleh : Faiz Absdi Masih saja ada warisan itu Budaya para Meneer Kompeni Lupakan sejarah perjuangan kawan Menggunting dalam lipatan Sifat adu domba Lenyapkan  Enyahkan Apabila menyelinap di antara kita Di manapun berada seperti anai anai saja Keroposkan dari dalam Lalu bangunan roboh tanpa terasa Kawan kita adalah pembaharu Yang sudah hebat pertahankan Jangan sampai terbuang Apalagi kau sia siakan Hidupmu seberapa lama Semakin tua seharusnya bertambah kebajikan Lidi lidi kecil bersatu Barulah sekumpulan lidi yang banyak Kalaulah diri dan kelompokmu hebat Tak seberapa Dibandingkan dengan naungan kita Hebat bermartabat dibangun dari setiap kita Tanamkan slogan dalam diri Sucikan dalam tindakan Perluas wawasan Perkuat solidaritas setia kawan Kawan kita adalah prestasi Bukan kolusi yang membuat kelompokmu buta Ayo belum terlambat Ayomi semua yang di bawah kita Naungi dengan lentera kedamaian Janganlah malah ugal ugalan Memikirkan nasib diri dan kelompoknya Lupa m...

Kelir

 “Kelir” Oleh : Dardiri Byar, “Blencong Lenga Patra”, Yang telah digantikan tugasnya oleh “Halogen 1000 Watt”, Pelan-pelan berdaulat, Bukan oleh api, Tetapi karena cahaya yang menyilaukan mata, Dhog, Dhog, Dhog, Cempala dan keprak saling beradu, Laras “Cucur Bawuk” bertalu, Tetapi bukan berarti syahwat sedang berburu, Sebagaimana kayon  menjelma kearifan waktu, Murwa, Nyandra, Antawacana, Janturan, Ginem, Pocapan, Suluk, Suwuk, Ada-ada, Pakeliran benar-benar sedang dipertunjukkan, Siapa dalang?, Siapa wayang?, Siapa niyaga dan waranggana?, Siapa Nurcahya, Siapa Nurrasa?, Siapa Wening, siapa Wenang?, Siapa Tunggal?, Siapa Antiga?, Siapa para Dewa?, Siapa kaum raksasa dan Denawa?, Siapa Rama? Siapa Rahwana?, Siapa Bagaspati?, Siapa Lembu Handini?, Siapa Pandawa?, Siapa Kurawa?, Siapa Kala?, Siapa Manumayasa?, Siapa Dhanurwenda?, Siapa Sasi Kirana?, Siapa dunia?, Siapa antariksa?, Siapa narmada?, Siapa samudra?, Adalah diri kita sendiri, Di dalam pakeliran, Kita bisa memerankan s...

TEGARKAN HATI KAMI

 TEGARKAN HATI KAMI Oleh : Faiz Abadi Ya Allah tuhan Semesta Alam Lapangkan dada seluas luasnya Untuk terus berjuang memajukan bangsa Nasib beribu generasi ada ditangan kami Biarlah bercucuran keringat Bahkan bercucuran airmata Bila perlu bercucuran darah Satu tekad sudah bulat Di desa, di kota, di mana saja generasi muda Akan kuberikan segala bisa Agar mereka menjadi generasi tangguh, mandiri, bermartabat Di segenap arena Olah raga, olah jiwa, olah seni, karya teknologi Tidak mudah Walaupun ada yang menganggap  mudah Kelak merasakan sendiri Jika pernah bercucuran keringat menghasilkan para juara Pasti akan menghargai Kecuali mereka yang hanya duduk di meja Ya Allah doaku akan terus menderu sepanjang waktu Walau wabah telah meninggalkan pilu Kelak badai kan berlalu Ku yakin itu Ya Allah berikan energi sehingga tidak habis Walaupun rintangan, tantangan, hambatan, gangguan  Datang menghadang Itu bukanlah halangan Bagi diri terus berjuang Ya Allah alangkah bahagia mereka bek...

Nyeri

 “Nyeri” Oleh : Dardiri Coba tebak!, Galileo atau Socrates, Yang lebih berani? Hamlet atau Descartes  Yang lebih peragu?, Kant atau Locke, Yang lebih beretika?, Newton atau Einstein?, Yang lebih kuat pijakan teorinya?, Al Kindi atau Al A'rabi, Yang lebih mengenal Tuhannya?, Nostradamus atau Ronggowarsito, Yang lebih akurat ramalannya?, Kawan, Tebak-tebakan, Seringkali membawa ketidaksepahaman, Ketidaksepahaman, Seringkali membawa kita dalam perdebatan, Perdebatan, Tidak jarang menimbulkan perseteruan, Perseteruan, Agaknya mendekati pertikaian, Pertikaian, Bukan tidak mungkin menimbulkan ketidakbersatuan, Dan, Ketidakbersatuan,  Adalah nyeri paling tak tertandingi, Bagi yang saling mencintai, (K G P H : 24 Januari 2021)

TANDEM

 TANDEM Oleh : Laeli Sigit Ajakmu Kumau Arungi bahtera biduk mungil Yang bawa kita Kayuh bersama Kau depan Kakiku ikut kayuh Selaras tapakmu Arah mata tertuju Titik fokus cita kita Walau jalan masih berliku Kita melaju dengan riang riuh candamu Belok kanan adalah harap Belok kiri adalah semangat Jalan kesan slalu tertambat Jalan halus lurus semakin dekat Lima warsa berlalu begitu cepat Hembusan lembut angin cinta  Menerpa dedaunan sejukkan hasrat Wangi alam smakin merekat Hampiri pacu niat Menata gebu batin  Butiran bahagia Lima warsa kedua Hatimu smakin lekat Ikuti makna sejuta nikmat Akupun merapat hangat Jaket asa lembutmu selalu mengikat Benang indahnya yg berbakat Support energi kilat Lima warsa ketiga Ketukan pintu mendekat Membawamu ke taman jagat Dimana tandem sudah tertambat Setelah lelah, raih kulminasi hajat Tlah purna tugas hayat Kau tidurlah... Kan slalu kuingat Sesaat.... Penat .... penuh debat Ahh... pikirku belum kiamat Kucoba rangkai ulang lamat lamat Puz...

Pagelaran

 “Pagelaran” Oleh : Dardiri Kira-kira, Sejak pukul sembilan, Terdengar bersahutan, Kethuk, kenong, kempul, slenthem, gender, gambang, bonang,  Slompret, angklung, gong,  Dan kendang tua warisan Mbah Warsi, Bercengkerama dalam peradaban tersendiri, Slendro, Slendro, Di sini memang kita tidak mengenal sampak dan manyura, Delapan laki-laki perkasa, Sepuluh wanita penuh pesona, Beriringan menuntaskan “pesanan”, Ya, Karena hanya pesanan yang bisa memerintahnya dengan seketika, Kang Wagiman, si tukang slompret itu, Sudah sejak hari buta memanggul “gadhung mlathi” di kepalanya, Warsito, Wasis, Gunadi, Karman, Karsiman, Memegang kendali masing-masing, Menukar Potrojayan-Ponoragan, Dengan binal gemulai “gemblak” yang sudah bergeser diperankan Warsinah dan kawan-kawan, Dan langkah tegap Kelana Sewandana dalam alunan, Gung, Gung, Gung, Laki-laki berjenggot pamer otot, Bujang ganong jungkir balik jumpalitan, Kepala singa dikangkangi wanita, Burung merak dicabuti bulu-bulunya, Apa ini...

Lembah aroma -

 -Lembah aroma - Oleh : Syafaat Seorang lelaki tergolek disisi Lelah dan bahagia tergambar dari aura Burung pagi bangkitkan gairah Dalam Aroma secangkir robusta  Dan susu pagi yang siap dinikmati Lelaki itu masih tak beranjak Terlelap dengan impian bidadarinya yang tak kunjung datang Lelaki yang terlihat lelah dan kalah Mencoba bangkit mendaki bukit bukit Nampak tegar dan sedikit gusar Ayolah lelaki Taklukkan kembali puncak gunung ranum seperti dulu lagi Belantara masih terlalu luas untuk dijelajahi Gua  indah disemai rumput liar  telah lama tak kau singgahi Acungkan kembali senjatamu  Untuk menorehkan perjalananmu  Dalam selembar puisi

Garuda Yaksa

 “Garuda Yaksa” Apalah artinya kemerdekaan, Jika kebebasan menanak nasi di rumah sendiri diawasi, Apalah artinya keberagaman, Jika mengenakan peci di negeri sendiri dibatasi, Mana mungkin, Kedamaian yang selalu menjadi sarapan pagi di layar televisi, Benar-benar kita miliki, Jika tentang harga peniti saja masih membuat kita saling caci, Mana mungkin, Persatuan yang selalu kita baca di dalam majalah dan koran, Betul-betul madani dalam kemandirian, Jika tentang warna bendera saja masih kita perdebatkan, Ingat!, Bulu-bulu garuda lurus dan kaku, Paruhnya sedikit menganga, Memakai kalung perisai berantai,  Mempertajam kukunya dengan mata baja, Apa yang dicengkeraminya? Selembar kain usang bertuliskan kata-kata, Yang selalu kesulitan kita temukan padanannya, Selembar kain usang, Melilit ubun-ubunmu, Melingkari lehermu, Menyerempang dadamu, Membungkus tubuhmu, Mengikat kaki dan tanganmu, Dan, Entah kapan, Burung garuda, Mematuki nuranimu?,- (K G P H : 23 Januari 2021)

Seba Rasa

 “Seba Rasa” Oleh : Dardiri Telaga Biru, Sing gumantung ing nduwure langit kae, Sing nate tak ceritaake, Coba sawangen nganggo netra merem!, Rikala mangsa, Nibaake thethukulan ing awang-awang, Thethukulan sing kapraba lungiting asmara, Ngrembaka katresnan kang kapijer, Nyartani jumedhuling “wulan tumanggal” lan “lintang panjer sore”, Kinepung mentiyunge mego lan mendung, Lamat-lamat dumeling ing talingan, Tembang “Seba Rasa” sing biyen dadi kekidungane netra, Nganti wus ora keno tak jarwa, Kepiye kridha lan akehe wilangan, Anggonku nganggit ukara ngripta basa, Nata Larik geguritane langgam, Parandene, Isih durung bisa nyulihake rasa, Tis kang ngideri jagade kapang, Sepi kang sinamudhana pengentha-entha, Mbok menawa iki dadi wujuding pangrantu, Kaya peteng mrih kapapag ing obor sewu, Samudra ngupadi ing gegisik, Ngembun-ngembun enjang hanjejawah sonten, Nyarengi lunging gadhung malengkung, Lariking ukara iki dadya duthaning ati kang lagya kakunjara ing ngasepi, Kapagut nglangut, Kai...

Mantra

 “Mantra” Oleh : Dardiri Manuskrip tua, Di atas meja kayu berngengat itu dibukanya kembali, Dicarinya tulisan leluhurnya seratus tahun lalu yang mungkin sudah lusuh oleh tikaman usia, Tetapi tak segera ditemukannya, Sementara lilin hanya tinggal kaki dan sumbu saja, “Hong” Tiba-tiba mantra itu berbunyi sendiri, Dan menuntunnya kepada jalinan peristiwa berabad lamanya, Perhelatan leluhur, Benar-benar menjadi pitutur yang tak mengenal kendur, Bilamana padam telah menggerayangi sesaat lagi, “Hong” Mantra itu berbunyi lagi, Sukma menjadi raga lalu mengibaskan selendangnya, Dan terbang entah kemana, Mengitari perputaran galaksi, Mengelilingi lintasan cahaya yang lepas kendali, “Hong” Bukankah ini mimpi?, Kesadaran menguap begitu saja, Seperti kerontang jalan disapu hujan, Di dalam manuskrip tua, Kesadarannya mengembara, Mencari sunyi abadi, Barangkali, Tuhan, Bersemayam di sana?, (K G P H : 22 Januari 2021)

Kunang-Kunang

 “Kunang-Kunang” Oleh : Dardiri Belum lagi kering, Gundukan tanah dengan dua batang kayu penanda di atasnya, “kembang puring” yang ditancapkan di kanan-kirinya juga masih menguning, Kunang-kunang, Membawanya ke jalan setapak, Lalu berbelok dan lurus ke jalan besar, Melewati pematang panjang, Melalui tanah lapang, Melewati semak belukar, Melewati sungai dan jembatan, Berpapasan dengan tetangga dan saudara, Yang berjalan dengan wajah sedih dan sedikit tak percaya, Wajah dan suara yang sangat dikenalnya,  Yang hampir setiap hari bercengkerama, Tentang ide gila dan berita tiba-tiba, Dipanggilinya seperti seolah tak terjadi apa-apa, Diam saja, Apakah tak lagi ada yang mengenalinya? Kunang-kunang, Terus membawanya ke sebuah gang, Lalu terhenti di depan sebuah rumah sedikit megah, Ramai, tetapi bukan oleh canda gurau seperti biasa, Lampu-lampu yang biasanya sebagian saja, Malam itu dinyalakan semua,  Terang sekali, Karena baru sebulan lalu ia yang memperbaikinya sendiri, Karpet ...

Bisaku hanya membaca

 Bisaku hanya membaca Oleh : Sulistyowati bisaku hanya membaca Walau kadang tak tahu makna Sudah berapa banyak yang telah kubaca Namun tak juga ide itu ada Kata demi kata telah kueja dengan sempurna Namun kenapa juga masih gagal makna Ohhhh...  Sungguh repotnya punya aliran non sastra Karena aku hanya bisa menjajar angka demi angka Apalagi angka yang tertera dikertas warna merah muda...  Kukira bukan hanya saya yang suka Namun seluruh insan di dunia

MENUNGGU

 MENUNGGU Oleh ; Faiz Abadi Setiap terbit Fajar Bulanpun tinggal setengah memancar Cobalah bertanya Pada bintang di langit terang Setelah terbangun dari tidur Apakah esok selalu begini Terulang tanpa aksara langit pada jiwa merana Tuhan pada hamparan bumi Aku terus mengejar Berlari meraih mimpi Dalam hati bimbang Kadang harus saling terjang Membuat siapapun bisa terjengkang Lebih terlalu Lidah harus kelu dalam palsu Banjir bandang Tanah longsor Murka gempa di mana mana Karena ulah siapa Pada mati semalam Pada setiap bencana Adalah pertanda Sangkakala  Tuhan begitu sayangnya engkau Jika engkau mau cukup dalam satu tiupan saja Masih saja Engkau beri waktu Untuk berubah Sedangkan kami masih tetap menunggu  Harus diam pada laporan semu

TUHAN BUKAN PINTU MU

 TUHAN BUKAN PINTU MU Oleh ; Faiz Abadi Bukakan pintu taubat untukku Hingga taubatan nasuha Tuhan aku sudah merapal istighfar Dalam setiap pintu kehilangan malu Namun masih saja kuulang pada setiap kesempatan Pada jalan pintu Mata Telinga Hidung Mulut Segala suka di bawah perut Segenap duka di atas kepala Segenap duka nestapa dalam rasa Tuhan sudah kubaca beribu kalimat ampunan  Tak juga Kau peluk aku dalam MaafMu Aku belumlah seperti mereka tabah Dalam derita karena lelah Akupun tidak selalu sabar Tenggelam pada lautan istigfar Janganlah Engkau biarkan aku terlantar Anganku limbung dalam langit langit fatamorgana Mencoba memanggilmu aku kadang tak bisa Pada deru nafas tanpa irama Aku terus melambai dengan sepenggal cita cita Berenang kesana kemari  Arus deras membawaku tanpa kendali

Hujan rintik-rintik

 “Hujan rintik-rintik,  Oleh : Dardiri Menyuguhkan sepi_sunyi terbungkus rangkak malam, Miris seperti penantian hari kepada keterjagaan pagi, Dibalut rasa dingin yang benar-benar menggetarkan pergantian waktu, Bergeser dari persangkaan yang tak kasat mata, Terlihat seperti tajamnya keadaan terasah pusaran kehidupan, Berputar seperti sifat ketidak abadian makhluk, Dilukis oleh tanda dan praduga kehidupan, Sungguh karya agung dari Sang Pencipta”

Solitude 1

 “Solitude 1” Oleh : Dardiri Kinatah_Sinarasah, Jika kau tempa sekali lagi hilang bentuknya, Tentu, Paron bukanlah abon, Yang menjadi penyedap rasa di pagi buta,  Seperti sisiran mentega di atas meja, Sepagi ini, Tuhan, Membukakan “Pintu Kamar”-Nya yang paling dalam, Dan, Kita, Keranjingan di tikungan zaman,- (K G P H : 19 Januari 2021)

BARU KU SADAR

 BARU KU SADAR Oleh : Faiz Abadi Berpuluh tahun merenda asa bersama Barulah aku sadar Engkaulah yang terbaik Ku kecup tanganmu tatkala tidur Kupandang raut wajahmu Ya tuhan barulah aku mengerti Dialah yang terindah Terkadang aku menyesal  Mengapa aku baru sadar Dalam kepayahan rasa setia Pada tawaran gemerlap bahtera di seberang sana Pada setiap prahara diujung biduk rumah tangga Kini buah hati semakin memukau hati Memupus kecewa Pada tingginya harapan Tuhan telah kau berikan biji biji emas permata Untuk mereka berdua Ku persiapkan sebagai unjung tombak negeri Melengkapi kegagahan dan kecantikan Setelah sekian puluh tahun Sungguh sungguh aku menyesal Karena sempat telantarkan Pada ruang ruang kebosanan Pada naluri binal kerdip nakal Pada harum melati, mawar jingga menawarkan aroma Pada madu liar dibalik racun asmara Pernah hilang percaya Mereka memang keturunan terbaik Untuk nyalakan api cita cita Tentang dendang kejayaan bangsa Tentang nyanyi suci peraduan bermahkota surga

Fragmen Hujan 3”

 “Fragmen Hujan 3” Oleh : Dardiri Baru saja, Arloji yang melingkar di pergelangan kirimu menunjukkan kearifan senja, Gerimis memacu langkahnya menjadi hujan, Betapa kemarau telah kehilangan peraduan panjangnya, Sungguh, Sedikitpun, Aku tak ingin kehilangan lentik jari-mu, Di ujung pendar bola mata-ku,- (K G P H : 18 Januari 2021)

BARU KU SADAR

 BARU KU SADAR Oleh : Dardiri Berpuluh tahun merenda asa bersama Barulah aku sadar Engkaulah yang terbaik Ku kecup tanganmu tatkala tidur Kupandang raut wajahmu Ya tuhan barulah aku mengerti Dialah yang terindah Terkadang aku menyesal  Mengapa aku baru sadar Dalam kepayahan rasa setia Pada tawaran gemerlap bahtera di seberang sana Pada setiap prahara diujung biduk rumah tangga Kini buah hati semakin memukau hati Memupus kecewa Pada tingginya harapan Tuhan telah kau berikan biji biji emas permata Untuk mereka berdua Ku persiapkan sebagai unjung tombak negeri Melengkapi kegagahan dan kecantikan Setelah sekian puluh tahun Sungguh sungguh aku menyesal Karena sempat telantarkan Pada ruang ruang kebosanan Pada naluri binal kerdip nakal Pada harum melati, mawar jingga menawarkan aroma Pada madu liar dibalik racun asmara Pernah hilang percaya Mereka memang keturunan terbaik Untuk nyalakan api cita cita Tentang dendang kejayaan bangsa Tentang nyanyi suci peraduan bermahkota surga

Mula-Mula

 "Mula-Mula" Oleh : Dardiri Pertama kalinya, Ketika dunia masih mula-mula, Siapa, Yang bergelantungan di rongga-rongga kedap udara?, Siapa, Yang berdiam diri dalam noktah tak berpenghuni?, Siapa, Yang menaruh nur di permukaan nir?, Siapa, Yang mencipta siapa?, Yang lalu membawakan cermin merak, Dan mengikat syajarat hakikat? Tidak zaman,  Tidak makan, Trilyunan milenium kalpa_cahaya jaraknya, Nyanyian samawi, Kidung jagad triloka, Berdentang dengan sendirinya, Ketika Asura dan para dewa berebut "tirta amertha", Kaisar Giok, Masih aman di pengasingan, Dunia bawah sadar yang belum sadarkan diri, Di dalam legenda, Lepaslah, Dari bidak analisa, Dari lingkar antara, Luput, Dari persinggungan titik dan garis, Dari teka-teki sangkal dan kejadian, Matahari, Mungkin tidak hanya satu, Semesta, Barangkali ribuan jumlahnya, Dan kini, Dunia memberanikan diri memakai bikini, Aku, Tak menyebut-Mu lagi,- (K G P H : 18 Januari 2021)

Surat Cinta untuk Kawan Seiring

Surat Cinta untuk Kawan Seiring Oleh : Mila Dewi Partikasari     Semangat dan berjuanglah kawan. Anggap dirimu memiliki kharakter sama seperti kartun Donald Duck,yang selalu optimis dan selalu penuh harapan dalam menghadapi setiap permasalahan maupun tantangan. Jadilah pribadi yang ulet dan tekun di usia mudamu, jangan bermalas-malasan, hindari insecure, dan jauhi perilaku bodoh yang akan membuatmu jatuh kedalam sebuah lubang kegelapan yang tidak akan memungkinkan kamu untuk menolong keadaan dirimu sendiri. Aku percaya padamu kawan, aku yakin terhadap kemampuan dan potensimu, maka bangkitlah dari zona nyamanmu, bahagiakan orang-orang disekitarmu dengan kesuksesan dan keberhasilan.     Untuk kamu! Bangunlah dari tempat tidurmu. Rajin rebahan itu tidak baik bagi kesehatan dan hanya akan menghambat progress kesuksesanmu. Kamu pasti tahu kan bahwa hidup itu adalah perjuangan?. Jika kamu berhenti atau pun malas berjuang, maka itu tandanya kamu telah memusn...

Amuk!

 --Amuk!-- Amuk!, Amuk!, Begitulah, Sempat terdengar,  Sebelum serentetan meriam, Menjadi ruam, Di masa silam, Jalanan berbatu, Yang dihimpiti rimbun batang-batang besar, Rumpun belukar berbisa dan sesak oleh duri, Tuga puluh ribu ujung tombak, Dua puluh ribu hunus keris, Sepuluh ribu mata panah, Lima ribu senapan rampasan yang tak diketahui negeri mana pembuatnya, Menjadi mata paling tajam, Menunggu nyawa, Tak sebanding delapan ton emas,  Dan derap serdadu dengan topi baja dan bubuk mesiu dalam laras dari baja pula, Bapa Endha,  Telah sejak dini hari menukar puja dengan brata, Mas Sirna, Benar-benar tidak diketahui rimbanya, Mas Ayu Wiwit, Melepaskan jarit, Lalu menjerit, Lengking, Berdentang di bukit-bukit, Jagapati, Kamu berlari, Dari gundukan tanah paling tinggi, Menuruni lembah dan ngarai, Yang terperangah dikencingi darah, Gemuruh yang kau taruh, Jauh sebelum Little Boy dan Fat Man menepuk dada Hiroshima dan Nagasaki, Satu abad lebih, Sebelum Bismarck ditenggel...

TAK PERLU LENCANA

 TAK PERLU LENCANA Oleh : Faiz Abadi Tak perlu lencana Untuk kembali pada satu nama dalam satu jiwa Satu rindu satu asa  Pada akhir tarikan satu nafas Lenyap tak berbekas Moksa Para resi di kawah candradimuka Perjalanan nurani di Gua Hira Pada altar, biara, segenap rasa manunggal Satu makna tanpa aksara Perjalanan tangisan suci bayi Lalu kembali dibungkus kafan sederhana tanpa noda Berkendara dengan roda manusia Dalam dendang nyanyi suci abadi Irama tahlil kunci rahasia  Adakah kita sampai di sana Ketika burung gagak berkoak Tebarkan satu isyarat Takkan ada yang selamat Juru panggil mengembalikan jasad Pada rumah bernama tiang lahat Masih ada saja menelikung teman sejawat Tidak takut kualat Tidak perlu lencana agar sempurna di akhir ayat

Abrakadabra-

 --Abrakadabra-- Oleh : Dardiri Serenada, Baru saja selesai dipertontonkan, Di belakang mata, Di bawah telinga, Hom pim pa, Yang jadi, Yang menanti, Abrakadabra, Mengembara di negeri mimpi, Bahtera Nuh, Terbang mengendarai taksi, Seribu satu mimpi, Mimpi satu seribu, Menabraki jendela kaca, Menggedor atap-atap bocor, Merayapi pagar kawat berduri, Di negeri sulap, Senjata tak berarti apa-apa, Rompi anti peluru selayaknya dilepas saja, Hulu ledak dengan kapasitas RDS-220 sekalipun, Sia-sia, Karena, Bunyi, Sulit dimengerti, Kata, Memilih jalannya sendiri, Bergulingan dalam lipatan piyama,  Suatu malam, Serenada, Bahtera Nuh, Rompi anti peluru, Hulu ledak 50 Megaton TNT, Pagar kawat berduri, Berdiam diri, Di bawah almari, Siapa, Yang sedang bermimpi?,- (K G P H : 14 Januari 2021)

Ode Biru Tua

 --Ode Biru Tua-- Oleh : Dardiri "Miskin kepemilikan" Adalah kata paling sah bagiku, Menterjemahkan pejaman matamu, Matamu terpejam, Berkelana ke jurang-jurang, Sebagaimana pernah kusumpingkan, Dermaga, Bagi labuh yang berhamburan, Mungkin kau tak pernah tahu,  Sekeping sisa senja jatuh di pangkuanmu, Ketika, Diam-diam,  Ode Biru Tua, Dilanggamkan semenjana malam, Matamu terpejam, Jemari tanganku, Memintal badai, Di lengkung paling bawah,  Lingkar bola mata yang sering kulihat diriku sendiri di dalamnya, Dan,  Kelak,  Waktu pulalah, Yang memeras dahagaku Dalam pelukanmu,- (K G P H : 14 Januari 2021)

Baja

 --Baja-- Oleh ; Dardiri Sebongkah baja, Kira-kira seukuran kepal manusia, Begitu saja meleleh di besalen, Ditempa menjadi sebilah pedang, Digunakan dalam peperangan, Beradu bergema bersama tambur yang saling gusur, Kilat perciknya, menyengati gardu listrik, Menyalakan lampu-lampu tengah kota, Menyalakan api yang telah lama mati, Memerahkan tanah yang selama ini hitam, Baja yang telah menjadi pedang, Tak pernah punya mata, Tak pernah punya hati, Sebagaimana ujung peluru yang tak pernah kembali, Lagi-lagi, Baja, Yang telah menjadi pedang, Menyayat bulu-bulu halus, Menyayat kulit, Menyayat daging, Menyayat darah, Menyayat tulang, Menyayat hati, Menyayat hidup, Menyayat diri-mu, Dan diri-ku, Lalu, Menyayat diri-nya sendiri,- (K G P H : 17 Januari 2021)

Selusin Sabun Mandi

 "Selusin Sabun Mandi" Oleh : Dardiri Pada suatu pagi bulan Juni, Terdengar bisik-bisik, Dari semak-semak, Di bawah tong sampah, Dari dua, tiga, empat,  Ahh..bukan, Mungkin lebih dari selusin sabun mandi, Sementara kaki gerimis, Mengetuki puncak-puncak menara gereja, Kubah masjid,  Dan hotel-hotel, Mendung pekat, Mengerami jantung kota dan desa-desa, Yang sebentar lagi menetas, Menjadi genangan air, Angin yang mendekam di hutan dan pepohonan Terbang pelan-pelan, Bercumbu dan bergoyang Dengan nyanyian hujan, Seperti lenggang pinggang perawan, Kemudian mengetuki pintu rumah-rumah, Dan menyingkap selimut di ranjang berwarna merah jambu, Angin.. Hinggap di mana-mana, Merayapi tulang-tulang, Mencincang hari yang masih sunyi, Air.. Merembes ke mana-mana, Lalu terhenti di pori-pori, Menusuk pantat pagi bulan Juni, Kejujuran yang terpendam, Hitam manis parasnya, Aku dengar cerita, Kamu dengar cerita, Kita mendengar cerita, Dia mendengar cerita, Mereka mendengar cerita, Spektra bi...

Kotak Kaca-

 --Kotak Kaca-- Oleh : Dardiri Adalah waktu, Merangkum kita, Dalam kotak kaca, Dan tak seorangpun tahu, Kapan pantulan abadi, Lepas dari peredarannya? Utuh, Tetapi banyak noda, Debu-debu yang dahaga, Berlompatan dari musim ke musim, Menyandiwarakan senyum, tangis, gelak tawa, Dalam kotak kaca, Ya, Di dalam kotak kaca, Teori tabula rasa? Agaknya, Terlalu sempit Bagi corak hidup, Yang tentu membutuhkan lebih banyak kotak-kotak kaca, Untuk singgah, Dan saling bertemu muka, Kita telah membatu Dalam pantulannya, Kadang juga membeku saja, Tanpa tanda tanya, Dan, Terlalu dangkal Untuk memecah kode rahasia semesta, Yang dipenuhi teka-teki, Abadi, Kita, Adalah kembara nestapa, Yang tak pernah tahu Persembunyian pangkal kejadian, Semua berjalan sendiri, Kita hanya plagiat Masa silam, Yang dipenuhi ingatan, Kita menyimpang, Tetapi tertabrak, Kita berbelok arah, Tetapi jalan berubah, Sungguh, Pengembaraan dena Dalam kotak kaca, Waktu, Telah merangkum kita, Dalam rumus semu, Antara ya dan tidak...

IKUTLAH AKU

 IKUTLAH AKU Oleh : Faiz Abadi Engkau mencari apa Ayolah terbang bersamaku Anak, si dia, logam mulia, Lamborgini biarkan di sini Ayo lepaskan segala belenggu rasa Hanya 60 tahunan setelah itu engkau akan kembali Tapi semua sudah terlambat Apabila engkau terpikat rayuan sekarat Seolah rindu tetapi hanyalah roti sekerat Sedetikmu tanpa bersamaku Ribuan tahun engkau nestapa di sana Apakah akan kau tukar rindu abadi Dengan yanyi sunyi  Seperti mimpi mimpi melayang layang Tapi tidak pernah kembali Ayo berlarilah bersamaku semaikan biji biji kepastian Tinggalkan arwah penasaran Tinggalkan kuntilanak, gendruwo, dan nini pelet Hingga kini tak bisa pulang dalam rindu sesat Ayo tancapkan panah khusyukmu  Ikat bersama pelana tasbihmu Kemudian melesat secepat kilat Tinggalkan peluk cinta raga  Tinggalkan tungku membara terus kecewa Sepanjang masa selamanya

Bila Bola Menjadi Mata Angin

 "Bila Bola Menjadi Mata Angin" Oleh : Dardiri Pernahkah terbayang olehmu, Bila bola menjadi arah mata angin?, Tendangan pertama, Pastinya, Setelah peluit penanda babak dibunyikan, Berlari,  Seperti hyena mengejar anak kelinci, Berebut,  Selayaknya gula dalam kelilingan semut, Dalam hitungan menit,  Gol tercipta, Kadangkala bukan karena sepakan kaki, Tetapi oleh kesalahan kita sendiri, Bola, Berisi udara, Terbuat dari kulit dan plastik, Tidak persegi bentuknya, Digantung di etalase toko, Dimasukkan dalam loker hijau, Penjuru, Adalah gelar, Bagi "ujung pandang" penghulu mata, Sepuluh jumlahnya, Angin, Adalah bunyi halus, Dalam kibaran detak nadi, Dan menjadi isyarat, Bahwa, Hidup masih tersematkan, Tak terhitung jumlahnya, Di dalam arena, Bola, Benar-benar menjadi mata, Melewati setiap mata, Memilis sudut pelipis, Lalu, Terjadilah Gempita, Yang menjadi bukti, Perhelatan diakhiri, Bila bola menjadi arah mata angin, Siapa menendang siapa?, Siapa menaruh gempita? Di hat...

USIA CINTAMU BERAPA

 USIA CINTAMU BERAPA  Oleh : Faiz Abadi Usia cintamu berapa Ragamu dewasa tapi rindumu seperti kanak kanak Engkau selalu mengharapkan balasan Dalam setiap munajat doa Inderamu ada lima Semua memalingkan muka saat disebut namaNya Pulangkan mutmainahmu Jangan menunggu dipaksa saat semuanya dipaksa pulang Jikalau jiwamu tak sampai sendirian Perbanyaklah lantunan sholawat Tanpa batasan waktu Yakinlah akan uluran tangannya Menarikmu pada jalan jiwa sebenarnya Menuju kesempurnaan Mi'roj Dimana engkau belum pernah mendapatkannya Pada cintamu yang berkeping keping

IKUTLAH AKU

 IKUTLAH AKU Oleh :Faiz Abadi Engkau mencari apa Ayolah terbang bersamaku Anak, si dia, logam mulia, Lamborgini biarkan di sini Ayo lepaskan segala belenggu rasa Hanya 60 tahunan setelah itu engkau akan kembali Tapi semua sudah terlambat Apabila engkau terpikat rayuan sekarat Seolah rindu tetapi hanyalah roti sekerat Sedetikmu tanpa bersamaku Ribuan tahun engkau nestapa di sana Apakah akan kau tukar rindu abadi Dengan yanyi sunyi  Seperti mimpi mimpi melayang layang Tapi tidak pernah kembali Ayo berlarilah bersamaku semaikan biji biji kepastian Tinggalkan arwah penasaran Tinggalkan kuntilanak, gendruwo, dan nini pelet Hingga kini tak bisa pulang dalam rindu sesat Ayo tancapkan panah khusyukmu  Ikat bersama pelana tasbihmu Kemudian melesat secepat kilat Tinggalkan peluk cinta raga  Tinggalkan tungku membara terus kecewa Sepanjang masa selamanya

AKHIR PERJUMPAAN

 AKHIR PERJUMPAAN Oleh : Faiz Abadi Sebenarnya aku ingin pergi Duniaku bukan di sini Jiwaku di bawah lembah Kadang di bawah laut Memuja sang maha raja Aku bukanlah burung Tetapi aku ingin bersamanya Aku bukanlah bulan tetapi aku ingin mendekapnya Aku bukanlah matahari Tetapi aku memancar sepertinya sinarnya Aku bukanlah Harimau dan singa Tetapi aku mengaum bersamanya Jasadku bersamamu Bersama dunia Tetapi jiwaku ingin melayang memujaNya Dalam penantian panjang Dalam kerinduan panjang  Dalam perjuangan panjang yang lajang Wahai Sang puja segala puja Wahai penguasa segala kuasa Ku dengar cerita tentang neraka Jelas tak sanggup aku kesana Ku baca cerita tentang surga Tetapi aku malu mengatakannya Kawan biarkan aku pergi Daripada aku terus menyakiti dan disakiti Karena apa yang kau lihat Tidak seperti yang kuperbuat Karena kita memang berbeda rasa

Lembaran Takdir

 *Lembaran Takdir*  By Uswah Sang 'azza wajalla Tuliskan segala kuasa-Nya Dalam genggaman lembut Jemari mungil sang bayi Dirangkulnya erat menutup telinga Bila saat nanti Telah lahir ke dunia Jadilah itu lembaran lembaran takdir Suratan agung tak tertepiskan Bahagia duka tergores sudah Penggalan penggalan peristiwa  Menjadi keniscayaan Akan kembali kemana? Kebaikan kah Kejahatan kah Kemuliaan ataukah kehinaan Apa yang terjadi terjadilah  Dengan kun fayakun Sang Pencpta

Pusara Cinta

 Pusara Cinta By. Viefa Genderang itu berbunyi nyaring Membunuh ruam kasih tersembunyi Bilur kesaksian  Ini bukan akhir kisah Mengeja kata literasi cinta Serpih kembang Kamboja bertabur di sore jingga Di atas pusara cinta Kata-kata itu lunglai mati seketika Genderang memekik memecah alur kisah Diam Seraut wajah terbalur luka  Kau anggap ini pura-pura Menciumi wangi sesaat  Sunting mekar kembang perawan Kau tertawa dahaga biassore@viefa BWI, 15/1/21

TAK PERLU LENCANA

 TAK PERLU LENCANA Oleh : Faiz Abadi Tak perlu lencana Untuk kembali pada satu nama dalam satu jiwa Satu rindu satu asa  Pada akhir tarikan satu nafas Lenyap tak berbekas Moksa Para resi di kawah candradimuka Perjalanan nurani di Gua Hira Pada altar, biara, segenap rasa manunggal Satu makna tanpa aksara Perjalanan tangisan suci bayi Lalu kembali dibungkus kafan sederhana tanpa noda Berkendara dengan roda manusia Dalam dendang nyanyi suci abadi Irama tahlil kunci rahasia  Adakah kita sampai di sana Ketika burung gagak berkoak Tebarkan satu isyarat Takkan ada yang selamat Juru panggil mengembalikan jasad Pada rumah bernama tiang lahat Masih ada saja menelikung teman sejawat Tidak takut kualat Tidak perlu lencana agar sempurna di akhir ayat

RINDU DI RUANG WAKTU

 RINDU DI RUANG WAKTU Oleh : Hanik Setyowati Pagi, siang dan malammu Penuh tanggungjawab,kau jalani Dengan gigih perjuangan hidupmu Demi kebahagiaan keluargamu. /// Terkadang kau terjatuh Namun... Tak pernah ada keluh kesah Lelahmu selalu kau rasakan sendiri /// Tulangmu terlalu kuat Menyangga semua cobaan hidup Tak lain... Semua demi anak dan istrimu ///  Kuhargai semua usahamu Pengorbanan, kerja kerasmu Perjuanganmu,semuanya Keringatmu selalu jadi inspirasiku /_//  Kau tak banyak bicara Diammu tak tunjukkan ekspresi Tapi cukup tepukanmu dipundak Dan jabat erat tanganmu,isyaratkan bahagiamu /// Terimakasih untuk segalanya Cinta,kerja keras,perlindunganmu Tawa dan  yang kau berikan Pada istri dan anak-anakmu ///  Kini saatnya  Kala tak bisa memandang Dan menyentuhnya Wangi jasadnya  Menguarkan aroma kesepian Tambah hari kian tajam Menerkam, merenggut keyakinan Mata terpenuhi gerimis Menganak sungai di pipi Memanggilnya di ruang kosong  Inilah saat...

LITERASI AYAT AYAT NEGERI

 LITERASI AYAT AYAT NEGERI Oleh : Faiz Abadi Kala kubuka halaman  pertama  Prabu Brawijaya menyerahkan tahta Guratan takdir Kejayaan Majapahit Telah berakhir Tanpa ada darah Apalagi banjir darah Harusnya semua sadar Halaman pengantar adalah ayat perdamaian Syeh Ja'far Shodiq memegang titah tanpa pertumpahan darah Perjalanan kehendak Tanpa nestapa Cikal bakal kejayaan Nusantara Para kompeni datang membakar  Tinta sejarah menjadi merah Altar, biara, mimbar, segala tempat pemujaan telah ternoda Keris Empu Gandring menjelma menjadi mesiu adu domba Membumihanguskan kesucian Bhineka Tunggal Ika Setelah Sang dwi warna berkibar Lembar berikutnya kembali dalam satu ikrar Namun keris Empu Gandring hidup kembali Menjelma dalam raga atheis Gotong royong, toleransi, religi, spiritual mulai terbakar Banjir airmata bercampur darah kembali tergenang Kini akankah terulang Caci maki, saling tusuk, kelicikan, saling umpat, penghianatan, bom bali, adu domba, ghibah, fitnah Bukanlah jati...

LITERASI AYAT AYAT NEGERI

 LITERASI AYAT AYAT NEGERI Oleh : Faiz Abadi Kala kubuka halaman  pertama  Brawijaya menyerahkan tahta Guratan takdir Kejayaan Majapahit Telah berakhir Tanpa ada darah Apalagi banjir darah Harusnya semua sadar Halaman pengantar adalah ayat perdamaian Ja'far Shodiq memegang titah tanpa pertumpahan darah Perjalanan kehendak Tanpa nestapa Cikal bakal kejayaan Nusantara Para kompeni datang membakar  Tinta sejarah menjadi merah Altar, biara, mimbar, segala tempat pemujaan telah ternoda Keris Empu Gandring menjelma menjadi mesiu adu domba Membumihanguskan kesucian Bhineka Tunggal Ika Setelah Sang dwi warna berkibar Lembar berikutnya kembali dalam satu ikrar Namun keris Empu Gandring hidup kembali Menjelma dalam raga atheis Gotong royong, toleransi, religi, spiritual mulai terbakar Banjir airmata bercampur darah kembali tergenang Kini akankah terulang Caci maki, saling tusuk, kelicikan, saling umpat, penghianatan, bom bali, adu domba, ghibah, fitnah Bukanlah jati diri Masih...

KITA PERAWAT YANG TIDAK TERGESA-GESA

 KITA PERAWAT YANG TIDAK TERGESA-GESA Oleh : Nurul Ludfia Rochmah Kita tidak akan tergesa-gesa untuk merawat bunga-bunga biarkan tumbuh putik dalam kebun puitik Akar menjalar kita tunggu dengan sabar Ia akan menyembuhkan memar Kita tidak gusar Untuk menuntaskan luka Biarkan ngalir ngilunya Kita berani menawar lalu menebus borok yang menganga Mengurap belatung di muka Menyajikan dalam secawan perih Ranting rapuh mengaduh boreh daun menggumpal menyumpal sembuh yang berharap tidak menjauh demikianlah kita merawat duka lalu luka lalu berlalu  Kita memang hati-hati Perlahan-lahan menyisakan keraguan Namun senyum itu menghapus Langkah yang hampir patah Kita memang tidak akan sia-sia Merawat ketidaktergesaan

Kembang Gula

 "Kembang Gula" Oleh : Dardiri Amit, Amit, Sambiloto memang pahit, Brotowali terasa pahit, Tapak Liman juga pahit, Jintan hitam lebih pahit, Babakan pule pun masih pahit, Abrakadabra, Abrakadabra, Jadilah kembang gula, Dikirim untuk siapa?, Si anu yang sedang anu? Pim pim pom, Pim pim pom, Kupu-kupu menjadi kepompong, Nasi kebuli jadi oncom, Kita, Berkaca di bawah jendela, Tak menjadi apa-apa, (K G P H : 13 Januari 2021)

SATU NAMA BEDA AURA

 SATU NAMA BEDA AURA Oleh : Faiz Abadi Hanya satu nama Hinggap di hati kita Tetapi kasihMu tidak sama Karena getaran cinta juga berbeda Literasikan kalam Al kahfi Kekuatan akal nyata Tunduk tak berdaya Di bawah telapak spiritual ghaib Tersembunyi Membaca dhohir Hingga kearifan tersembunyi KasihMu dari Bapak Adam hingga Rasul penutup jaman Berlanjut sampai sangkakala ajal penutup roda kehidupan Dari karbitan, semu, rindu sungguhan Dari rindu bertemu, enggan bertemu, terpaksa bertemu, memaksa bertemu ditiang gantungan KasihNya pada ujung namaNya pada jiwaMu Tentunya sama sekali bukan untuk kufur padanya Juga berbibir manis tapi legam hatinya Mengatakan ya di mulut Tapi tidak di hatinya Sedangkan diam saja padahal melihat suatu kesalahan Adalah selemah lemah iman Kita strata ke berapa Rupa mana tertanam pada jiwa Bukankah kaum beriman tahu segenap kesenangan adalah penjara Mengambil sebatas energi untuk ibadah Lanjutkan tembang tembang puja puji hingga tembus di langitNya Juga segenap...

Co-Vi -Desease 19

 "Co-Vi -Desease 19" Oleh : Dardiri Wuhan, Bukanlah Kediri atau Sumedang, Tempat, Tahu kuning sama-sama dinobatkan, Angin, Lewat angin, Kabarmu berputar-putar, Seperti gasing kayu dicumbu permukaan datar, Segera saja, Lautan bah,  Berdesingan tiba-tiba seperti kerumunan lebah, Kita, Tentu ada di sana, Sesekali saling mengeja, Apa yang sedang diurapi dan digenapi? Kehendak-mu begitu halus, Seperti serabut sutra belum sempat bersenggama dengan  pintal pertama, Apakah sia-sia?, Melewatkan kepungan tiga ribu empat ratus delapan puluh delapan kilometer,  Dan tikungan dua ribu seratus enam puluh tujuh mil, Kamu sampai di sini, Sedang kami, Belum lagi mandi merias diri, Hukuman, Adalah bagi yang menimbulkan derita, Teguran, Adalah bagi yang sesekali bertatap muka, Tuhan,  Adalah Seniman Agung, Dalam ke-Maha-annya, Dan, Kita, Sendiri, Menyambut janji dan teka-teki tak pasti,  Jikalau, "Takut" yang diciptakan dalam "kesempurnaan" kami, Selaras dengan Kehendak-Mu, P...

Namamu ada di sana,

 "09 Januari 2021" Lima senti ke timur, Dari kota Semarang, Sampailah di Jalan Tunjungan Surabaya, Lebih cepat dari penerbangan super canggih sekalipun, Di atas permukaan laut, Di bawah jalan-jalan lengang "Daendels 1808", Di dalam peta, Kita tak pernah bicara, Bawalah buku- buku-mu, Di dalam tas, Boleh juga di dalam sarung kotak-kotak yang berongga kedap udara, Mutu manikam, Mutu manikam, Sungai Mahakam, Lapar oleh makanan, Tentu bukan racikan bumbu atau ulekan sambal udang, Langitpun lapar, Bukan oleh makanan, Tetapi berita yang tiba-tiba, Bukan, Gelegar itu bukan gunung meletus, Segera setelahnya,  Senyap sesaat, Merajai titik koordinat dan garis lintang, Lebih dari empat lusin, Dengan padanan kata "ruh", Kehilangan tempat bermukim sementara, Gugurlah, "Kembang Goyang Udara", Seperti getar "Ongklok" Terlepas dari "Gending Lukinto", Jikalau, Andai saja, Seumpama, Tentu bukan saatnya "mengisi" teka teki silang, Suat...

BERGURU PADAMU

 BERGURU PADAMU Oleh : Faiz Abadi Berguru padamu aku tak mungkin pongah Di balik amanah masih saja payah Ketika kuhampiri bapak si tukang becak Iri sungguh iri Tawamu tulus walau tanpa fulus Keceriaan keikhlasan apa adanya Meski tidak ada apa apa Senyummu indah dikulum Walau buta soal hukum Sinar mentari membuat rambutmu keriting Namun jiwamu tidak pernah kering Kau tidak pernah jumawa Lihatlah mereka Terlena dengan kuasa sedikit saja Abang tukang becak kemarilah Bolehkah aku memintamu Tuliskan satu sajak Agar mimpiku selalu indah Tuliskan kata kata Mengapa dirimu bebas dari buruk sangka

BERGURU PADAMU

 BERGURU PADAMU Oleh : Faiz Abadi Berguru padamu aku tak mungkin pongah Di balik amanah masih saja payah Ketika kuhampiri bapak si tukang becak Iri sungguh iri Tawamu tulus walau tanpa fulus Keceriaan keikhlasan apa adanya Meski tidak ada apa apa Senyummu indah dikulum Walau buta soal hukum Sinar mentari membuat rambutmu keriting Namun jiwamu tidak pernah kering Kau tidak pernah jumawa Lihatlah mereka Terlena dengan kuasa sedikit saja Abang tukang becak kemarilah Bolehkah aku memintamu Tuliskan satu sajak Agar mimpiku selalu indah Tuliskan kata kata Mengapa dirimu bebas dari buruk sangka

RISALAH DARI TIMUR TENGAH

 RISALAH DARI TIMUR TENGAH Oleh : Faiz Abadi Tanganmu gemetar Wahai penerus khalifah Abu Bakar Air matamu jatuh membasahi pipi Amanah sang khalifah Sungguh berat rasanya Jangankan seribu Satu korban saja akan mengirimmu ke neraka Nun jauh di atas batas memandang Sepertinya Baginda Rasul telah menulisnya Walau kalimah syahadah telah sampai ke Andalusia Negeri negeri tetaplah arif bijaksana Republik atau kerajaan sama saja Juga di tempatmu berada Kelaliman adalah angkara Kesholehan adalah  adalah solusinya Lantas aku, engkau, kita siapa? Ambil air wudlu Basuhlah air muka Di atas langit ada tujuh langit Satu jiwa saja jadi korban Kecongkakan atas kelaliman Akan menggiringmu ke api membara Risalah dari Timur tengah sungguh indah Baginda Sulaiman kembali dengan tongkat di tangannya Berhari hari hingga lapuk kayunya Semua barulah sadar telah tiada Aku, kamu, kita siapa? Cobalah bawa literasimu ke alam bawah sana Tidakkah kau resah Jiwa kita melayang Tanpa tahu mau berbuat apa... Kad...

TETAP SABAR DALAM RINDU MEMBARA

 TETAP SABAR DALAM RINDU MEMBARA Oleh : Faiz Abadi Tuhan lekas sekarang  Bukakan pintu hatiku Bawalah juga Diriku ke langit tujuh Dengan tersipu malu Ku ulang ulang permintaan itu Rindu membara Di setiap detik harapan Terkadang timbul tenggelam Rayuan fatamorgana hatiku kadang kelam Disini diriku lahir Semenjak bayi hingga dewasa karena takdir Di negeri subur dan makmur Semua agama bersama dalam syukur Namun rasa tidak puas kadang muncul  Hinggap begitu saja Ingin segera ku harumkan jiwa Bersama para Syuhada Di tanah Palestina Di ladang pembantaian Bosnia Pada jerit nestapa di Rohingya Tanpa kusadari  Kerajaan demak Telah lebur menjadi negeri Nusantara Semua hidup bersama Lihatlah apa yang terjadi disana Saat Donald Trump membabi buta Gedung putihpun ternoda Kiblat perdamaian seharusnya di negeri kita Ayo tunjukkan pada dunia NamaMu Bumi pertiwi melambung tinggi Tumbuh besar Dalam satu ikrar Dalam rindu membara haruslah tetap sabar

SERUNI

 --SERUNI-- Oleh : Dardiri Seruni, Bila Kelopakmu terjaga Ada yang memata-mataimu Enggan, Karena jengah akan ketiadaanmu Dan bising ringan gesekan sayap kumbang, Masih menjadikan "Sempurna" bagimu Bila kamu terjaga, Mungkin pagi telah tiada, Tetapi Waktu, Yang memata-mataimu, Menjadi jari-jari angin, Dan gundukan malam Usia, Mungkin karena usia, Perpisahan dapat dengan mudah kita terjemahkan, Tapi, Bagaimana dengan waktu yang tiba-tiba menjelma sepasang sayap? Bahkan, Tatkala kelopakmu menutup mata,- (K G P H : 12 Januari 2021)

KADANG INGIN SEGERA

 KADANG INGIN SEGERA Oleh : Faiz Abadi Aku malu menyebut namaMu Diriku penuh noda Tersipu rasanya menyebut nama cinta Di panggung penuh sandiwara Aku tetap bertapa Saat timbul tenggelam dalam derita dan bahagia Terkadang aku ingin segera kesana MemandangMu jelas aku tak bisa Sejauh mata memandang KuasaMu saja luas membentang Percik percik jiwa ini kadang meradang Tuhan pernah ku tanyakan  Pada rindu menderu Diriku ini siapa? Lahir tanpa sengaja Menghiasi peradaban lantas sirna Ketika mabuk kepayang dunia Semuanya pernah kucoba Pil setan, anggur anggur dalam botol botol minuman  Di sudut sudut malam Pada hingar bingar musik Sebenarnya hatiku pilu meronta Lucunya ketika aku marah Aku semakin lupa Ku acungkan pedang kesombongan pada siapa saja Ku anggap tahtaku adalah raja Juga ketika telah jatuh dikudeta usia Aku enggan melepasnya Tuhan...jujur kukatakan Ketika di ujung derita ambilah semua mlikmu segera

PUISI UNTUK KAWAN

 PUISI UNTUK KAWAN  Oleh : Hanik Setyowati Pagi ini... Mentari belum tampakkan dirinya Raga menggigil berselimut rasa Melambungkan asa di batas khayal   Pagi ini... Kulihat, kubaca coretanmu Ada makna tersembunyi Tentang lelakon kehidupan   Pagi ini... Coretanmu kubuka lagi Kubaca, kurasakan Ada benang kusut di anganmu   Pagi ini... Bersama sucinya embun pagi Meliuk, melambai dedaunan Mentari mulai membuka matanya   Pagi ini... Coba rasakan kawan Jangan terbawa egomu Tengok ke dalam hatimu kawan   B.wangi, 12 Jan 2021

PUISI UNTUK KAWAN

 PUISI UNTUK KAWAN  Oleh : Faiz Abadi Pagi ini... Mentari belum tampakkan dirinya Raga menggigil berselimut rasa Melambungkan asa di batas khayal   Pagi ini... Kulihat, kubaca coretanmu Ada makna tersembunyi Tentang lelakon kehidupan   Pagi ini... Coretanmu kubuka lagi Kubaca, kurasakan Ada benang kusut di anganmu   Pagi ini... Bersama sucinya embun pagi Meliuk, melambai dedaunan Mentari mulai membuka matanya   Pagi ini... Coba rasakan kawan Jangan terbawa egomu Tengok ke dalam hatimu kawan   B.wangi, 12 Jan 2021

Sajak Telanjang

 "Sajak Telanjang" Oleh : Dardiri Hujan masih berbaju gerimis Seperti gamis Malu-malu berlenggang dijemput sepoi angin gurun Pendar spektra yang kurang sempurna Menengadah doa Sekejap saja Kemudian hujan menanggalkan bajunya, Telanjanglah ia Berlari dalam dekap malam Dan malam, melucuti waktu Sampai tak kuasa menolak untuk kembali Lalu,  Bulan berkaca pada bias Bekas tapak kaki pelangi Yang kian sembunyi, Tahukah kau? Persinggahan singkat di losmen cakrawala ini? Seperti lingkar fajar  Tak sempat menitip pesan kepada penghulu pagi Seperti embun yang belum sempat terjaga  Ketika malam makin dilucuti sunyi, Benarkah? Kini hatiku telah benar-benar telanjang Mendekap cintamu Di antara sajak-sajakku,- 05 Oktober 2011 K G P H