Pages

Tampilkan postingan dengan label Lentera Sastra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Lentera Sastra. Tampilkan semua postingan

Dafitha Nizza Anindia Jasmine. juara Baca Puisi Porseni Jawa Timur

Pembaca Puisi. Kemenangan yang Tidak Saya Miliki
oleh : Yang Pernah Jadi Juri Ketika Seleksi di Kecamatan 

Sore ini, seperti sore-sore lain yang tenang dan malas, saya mendapat kabar dari grup WhatsApp. Kabar itu sederhana: seorang anak dari MI Autharussalaf, Suko, Gombengsari, Kalipuro, Banyuwangi, menjadi juara baca puisi Porseni MI tingkat Provinsi Jawa Timur yang di laksanakan di Jember. Namanya Dafitha Nizza Anindia Jasmine.

Saya membaca kabar itu sambil diam. Tak ada yang menandai saya. Tak ada yang menyebut saya. Dan sebetulnya tidak ada alasan saya merasa punya hubungan apa-apa dengan kemenangan itu. Saya bukan gurunya. Bukan pelatihnya. Bahkan bukan panitia, bukan pula bagian dari sekolahnya. Tapi entah kenapa, hati saya ikut berbunga. 

Mungkin karena saya pernah bertemu dengan anak ini. Waktu itu saya diminta menjadi juri lomba baca puisi tingkat kecamatan. Sudah tiga kali saya jadi juri kegiatan Porseni di Kabupaten Banyuwangi. Tapi biasanya di tingkat kabupaten. Kali ini, saya diminta juga di tingkat kecamatan. Kami hanya berdua menjadi juri, tanpa juri penengah. Tapi tidak masalah, sebab kami berdua punya akar yang sama: kami tumbuh di tanah yang bernama Sastra, di Lentera Sastra Banyuwangi dan di Dewan Kesenian Blambangan.


Saya masih ingat suaranya. Tidak terlalu besar, tapi jernih. Tidak terlalu dibuat-buat, tapi menyentuh. Ia tidak menampilkan puisi. Ia menyampaikan puisi. Dan itu perbedaan yang sangat penting. Puisi, sebagaimana doa, bukan pertunjukan. Puisi adalah ziarah batin.

Kami berdua, saya dan juri satunya, sepakat bahwa anak ini punya potensi yang besar. Artikulasi jelas. Ekspresi pas. Tidak berlebihan. Tidak terjebak gaya lama deklamasi zaman lampau. Ada ketulusan dalam caranya membaca, seperti seseorang yang tidak sedang berusaha memenangkan lomba, melainkan sedang berusaha memahami hidup, saya memberikan beberapa saran kepadanya untuk perbaikan bacaan yang biasanya saya tulis di kolom keterangan nilai, dan biasanya para guru melihat catatan saya tersebut untuk latihan berikutnya.

Beberapa saat setelah lomba, saya tanya ke gurunya, siapa yang mengajari? Ternyata gurunya sendiri. Dan guru itu, kata guru lain, adalah murid dari teman saya yang jadi juri.. Teman saya itu dulu juga juara lomba baca puisi tingkat kabupaten. Saya juga pernah jadi juara tapi sudah cukup lama, sewaktu di MI juga pernah ikut Porsen, tetapi tidak juara. Dan begitulah waktu menciptakan lingkaran: yang dulu dinilai kini menjadi pelatih, yang dulu belajar kini mengajar, yang dulu membaca kini mendengar.

Saya pernah pula diminta membantu anak lain. Dikirimkan video pembacaannya. Dari awal saya tahu ini akan sulit. Bukan karena anaknya kurang bagus, tapi karena anak ini sudah terlalu lama belajar pada orang yang salah. Ia jadi tiruan. Ia jadi cermin retak dari pelatihnya. Bukan menjadi dirinya sendiri, terapi duplikasi dari pelatihnya.

Saya menyarankan ganti puisi. Tapi waktunya mepet. Hanya seminggu sebelum lomba. Dan orang tuanya berat hati. Saya mengerti. Tapi begitulah nasib puisi di tangan mereka yang ingin membacanya saja..

Membaca puisi, bagi saya, sama seperti berpidato, bercerita, atau berceramah. Ini semua adalah bagian dari seni berbicara. Seni menyampaikan makna. Dan kalau seseorang membaca puisi tetapi yang mendengar tidak paham apa-apa, maka sesungguhnya ia telah gagal membaca.bKita sering terjebak dalam gaya. Dalam pantomim. Dalam drama suara. Padahal suara manusia yang paling menyentuh adalah suara yang datang dari dalam, bukan dari latihan teknik panggung.

Saya senang, Dafitha tidak seperti itu. Ia membawa puisinya seperti seorang anak membawa kendi berisi air ke masjid. Hati-hati. Tidak tumpah. Tidak sombong. Tapi cukup untuk membuat orang lain bersuci. Dan ia menang.

Menang di tingkat provinsi. Di Jember. Di hadapan juri yang tidak ia kenal. Di panggung yang jauh dari rumahnya. Seni memang bukan lomba lari. Tidak ada garis akhir yang bisa diukur dengan stopwatch. Tidak ada garis jelas seperti siapa duluan masuk garis finis. Seni adalah wilayah yang cair. Bisa suka atau tidak suka. Bisa menang atau tidak tergantung selera juri.

Tapi bersyukurlah sekarang ada live streaming. Setidaknya, kita semua bisa menonton. Setidaknya, juri akan berpikir dua kali sebelum bermain-main. Setidaknya, semua menjadi lebih terbuka. Dan anak-anak bisa belajar, bahwa seni bukan hanya tentang menang, tapi tentang mempertanggungjawabkan cara mereka menang. Saya berharap di jenjang lebih tinggi dan yang lain nanti pun seni tetap disiarkan langsung. Agar seni tak lagi jadi ruang gelap yang penuh bisik-bisik. Tapi jadi ruang terang, di mana kejujuran tumbuh dan rasa hormat lahir.

Saya menulis ini bukan untuk mengklaim kemenangan Dafitha. Saya bukan bagian dari itu. Tapi saya menulis karena saya tahu: satu anak kecil membaca puisi dengan benar, bisa membuat dunia jadi lebih baik. Bisa membuat kita semua percaya bahwa kata-kata belum sepenuhnya kehilangan daya.

Dan di suatu sore, yang cahaya mataharinya mulai miring ke barat, saya membaca pesan WA, dan tahu: seorang anak dari Gombengsari sebuah kelurahan di lereng pegunungan, baru saja mengangkat puisi ke tempat yang lebih tinggi.

Ia membacanya bukan untuk tepuk tangan. Tapi untuk menyampaikan sesuatu kepada langit. Dan saya, di sini, hanya ingin mengatakan: saya bangga pernah mendengar suaranya. Suara anak yang bukan anak saya, tapi entah kenapa terasa begitu dekat di dada.

Banyuwangi, 08-07-2025

Dewan Kesenian Belambangan Gelar “Ajar Bareng Lontar Yusuf” di Rumah Budaya Osing Kemiren

Banyuwangi, (Warta Blambangan) Di sebuah malam yang lirih di Rumah Budaya Osing (RBO), Desa Kemiren, Banyuwangi, suara tembang Pupuh Kasmaran mengalun pelan. Nada-nada itu tak sekadar melagukan aksara, tetapi membangkitkan ingatan, rasa, dan nilai-nilai yang mungkin nyaris terbenam dalam debu waktu. Selasa malam, 3 Juni 2025, Dewan Kesenian Belambangan (DKB) membuka kalender literasi tahun ini dengan sebuah gerakan yang bukan saja estetis, tetapi juga bernapas spiritual: Ajar Bareng Lontar Yusuf. 


Ini bukan sekadar kelas sastra atau workshop naskah kuna. Ini adalah sebentuk laku. Sebentuk pemuliaan terhadap khazanah lisan masyarakat Osing yang hidup bukan di rak-rak buku, tapi di ruang batin, di pelipir-pelipir kehidupan. Kang Pur, budayawan yang telah bertahun-tahun memelihara nyala kecil warisan tembang dan lontar, memandu sesi ini dengan sikap rendah hati dan hangat. Ia bukan guru, melainkan sahabat seperjalanan. Di hadapannya, para peserta tak diajak duduk mendengar, melainkan turut menyelami.

“Lontar Yusuf ini bukan sekadar teks sastra. Ia adalah jendela batin, pancaran nilai, dan sarana menyelami rasa,” ucap Kang Pur, sambil membuka lembar pertama naskah, seolah membuka kembali sebuah pintu yang telah lama diketuk sunyi.

Pupuh Kasmaran yang dipilih menjadi gerbang awal kegiatan bukan tanpa alasan. Pupuh ini dikenal sebagai tembang yang menggugah rasa halus manusia: cinta, pengorbanan, keindahan yang lirih. Kang Pur melagukannya terlebih dahulu, mengikuti pakem yang sudah turun-temurun. Lalu satu per satu peserta mencoba mengikutinya. Tak semua tepat cengkok. Tak semua selaras laras. Tapi di sinilah justru maknanya. Ini bukan panggung penampilan. Ini adalah ruang belajar yang egaliter, di mana suara tak harus indah, tapi harus tulus.

Di sekeliling mereka, arsitektur kayu Rumah Budaya Osing berdiri sunyi namun bersaksi. Aroma kopi kemiren yang mengepul dari sudut dapur menemani pelafalan bait-bait awal kisah Nabi Yusuf. Angin malam menyisip dari sela jendela terbuka, seolah ingin turut menjadi bagian dari mocoan itu. Rasa kontemplatif menjelma begitu saja, tak dirancang, tak dipaksakan.

Ketua DKB, Hasan Basri, dalam sambutannya menyebut kegiatan ini sebagai titik tolak penting dari ikhtiar kebudayaan yang selama ini nyaris hanya berputar pada gelaran pertunjukan. “Rumah Budaya Osing bukan sekadar panggung. Ia adalah ruang hidup. Kami ingin menjadikannya ruang belajar bagi karya sastra lisan seperti Lontar Yusuf yang pernah tumbuh dalam kesadaran masyarakat Osing.”

Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa kegiatan semacam ini akan menjadi agenda rutin, tidak hanya sebagai bentuk pelestarian, tapi juga regenerasi nilai. Dalam konteks itulah Lentera Sastra Banyuwangi turut serta, membawa semangat yang tak hanya literer, tetapi juga spiritual. Syafaat, Ketua Lentera Sastra Banyuwangi, menegaskan bahwa teks seperti Lontar Yusuf memiliki kedekatan kuat dengan sejarah penyebaran Islam di bumi Blambangan. 


“Mocoan Lontar Yusuf bukan sekadar pengulangan kisah. Ia adalah dialektika kultural antara Islam dan kearifan lokal. Di sinilah Islam tumbuh: tidak menyerbu, tapi meresap.”

Beberapa peserta yang hadir membawa salinan lontar mereka sendiri—naskah fotokopi yang telah menguning, atau dalam bentuk cetakan ulang terbatas. Ada rasa haru yang tak diucapkan, hanya terlihat dari cara mereka membolak-balik halaman, seperti menyentuh sesuatu yang telah lama mereka rindukan.


Pada sesi akhir, Kang Pur membedah bagian awal lontar yang telah dibaca bersama: kelahiran Yusuf dan metafora cahaya wajahnya yang disebut cahyaning jagad. Dalam tafsir tembang, cahaya itu bukan semata rupa, melainkan pancaran batin yang menyinari tanpa menyilaukan.


> “Melalui Lontar Yusuf, kita belajar tentang keteladanan, keindahan yang tak sombong, dan cinta yang tak membelenggu,” ujar Kang Pur, menutup sesi malam itu.




Suasana yang tersisa adalah kesunyian yang menggetarkan. Tidak sepi, melainkan penuh gema batin. Inilah ziarah rasa itu. Inilah ajar bareng yang tidak hanya berbagi pengetahuan, tetapi juga menggugah kesadaran.


DKB telah merancang seri lanjutan dari kegiatan ini. Dalam waktu mendatang, mereka akan memadukan tembang dengan ilustrasi visual dan pertunjukan dramatik. Harapannya, lontar-lontar yang selama ini terkurung di museum dan perpustakaan bisa kembali bernyawa dalam ingatan kolektif masyarakat. Terutama generasi muda, yang sering kali hanya mengenal masa lalu sebagai catatan kaki dalam buku sejarah.


Rumah Budaya Osing, malam itu, telah menjadi lebih dari sekadar ruang. Ia menjelma menjadi tubuh waktu, tempat di mana masa lampau, kini, dan nanti bisa saling menyapa tanpa canggung. Dalam lantunan Pupuh Kasmaran, dalam bait demi bait kisah Yusuf, kita semua belajar untuk tidak hanya mengingat, tapi juga merawat—dengan rasa, dengan jiwa, dengan cinta.


Hasan Basri Soroti Ekonomi Kreatif Berbasis Tradisi Lisan dan Manuskrip di Hari Kedua Lokakarya HISKI Banyuwangi

Banyuwangi (Warta Blambangan)  Lokakarya Penulisan Sastra dan Pembuatan Karya Inovatif Berbasis Tradisi Lisan dan Manuskrip yang digelar selama dua hari di Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Banyuwangi memasuki sesi ketiga pada hari kedua. Bertempat di ruang Mini Bioskop lantai tiga, sesi ini menghadirkan Hasan Basri, Ketua Dewan Kesenian Blambangan (DKB), sebagai narasumber utama.

Kegiatan ini merupakan hasil kolaborasi antara HISKI Pusat, HISKI Komisariat Banyuwangi, Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), Dana Indonesiana, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi, Dewan Kesenian Blambangan, dan UNTAG Banyuwangi. Sinergi berbagai lembaga ini menunjukkan komitmen bersama untuk mengangkat kembali kekayaan budaya Banyuwangi agar mampu menjawab tantangan zaman dan memberi kontribusi nyata terhadap pembangunan daerah. 


Dalam paparannya yang berjudul “Alihwahana dan Produk Ekonomi Kreatif Berbasis Tradisi Lisan dan Manuskrip Banyuwangi,” Hasan Basri menekankan pentingnya mengembangkan ekonomi kreatif dengan bersumber pada kearifan lokal. Ia menyebutkan bahwa Banyuwangi memiliki modal budaya yang sangat kaya, seperti cerita rakyat, lagu daerah, babad, dan manuskrip kuno—termasuk Lontar Yusuf, Lontar Sri Tanjung, dan Babad Tawangalun—yang belum sepenuhnya dimanfaatkan secara maksimal.

“Tradisi lisan dan manuskrip bukan sekadar warisan, melainkan sumber daya kreatif yang dapat dialihwahanakan menjadi produk-produk ekonomi yang bernilai jual tinggi. Lewat pendekatan inovatif, warisan ini bisa diolah menjadi aplikasi digital, gim edukatif, desain visual, karya kriya, fesyen bermotif lokal, hingga seni pertunjukan yang dikemas modern,” tegas Hasan.

Ia juga memaparkan tujuh manfaat strategis dari pengembangan ekonomi kreatif, antara lain penciptaan lapangan kerja, peningkatan citra daerah, pengembangan destinasi pariwisata, dan pengentasan kemiskinan berbasis komunitas. Produk-produk kreatif seperti yang telah dilakukan oleh kelompok GEMBRUNG menjadi contoh nyata bagaimana tradisi dapat menjadi pondasi lahirnya inovasi, sekaligus mendongkrak perekonomian lokal.

Selain memantik diskusi tentang strategi alihwahana budaya, sesi ini juga menggarisbawahi pentingnya keberlanjutan dan tanggung jawab sosial dalam setiap produk kreatif yang dihasilkan. Kreativitas, menurut Hasan, harus selalu berpijak pada nilai dan identitas lokal, agar tidak kehilangan akar di tengah arus globalisasi. 


Dalam penutupan sesi, HISKI Komisariat Banyuwangi menyampaikan harapannya agar lokakarya ini tidak hanya menjadi ruang reflektif, tetapi juga pemantik aksi nyata bagi para seniman, sastrawan, dan budayawan Banyuwangi. “Kami berharap kegiatan ini menjadi energi baru untuk membangun Banyuwangi melalui seni dan sastra, sekaligus mengajak pelaku budaya untuk lebih berani memanfaatkan teknologi digital demi memperluas jangkauan dan dampak karya mereka,” ungkap perwakilan HISKI Komisariat.

Dengan semangat kebersamaan dan keberanian berinovasi, sesi ketiga ini menjadi titik penting yang menunjukkan bahwa tradisi bukanlah beban masa lalu, melainkan bahan bakar masa depan yang kaya potensi dan layak digarap secara kreatif.

Seni yang Resah di Padepokan Tua: Dari Kopi, Kata, dan Kegelisahan Budaya

Lemahbang Dewo, (Warta Blambangan) Sabtu Sore (17/05/2025)  menyelinap pelan di desa Lemahbang Dewo. Langit seperti kanvas senja yang digores lembayung. Di antara rindang bonsai tua yang seolah menyimpan rahasia zaman, sebuah padepokan milik Profesor Jaenuri menjadi saksi bisu pertemuan mereka yang masih percaya bahwa budaya bukan sekadar tontonan, melainkan tuntunan.

Tidak ada panggung resmi. Tidak ada meja panel atau mikrofon. Gesah sore itu berlangsung tanpa moderator, mengalir sekenanya, seperti sungai kecil yang mengikuti lekuk tanah. Di tempat yang oleh warga sekitar dijuluki “palagan seni” atau “tempat orang-orang bersila dalam diam,” berkumpullah para pengangguran, penyair, dan budayawan Banyuwangi. Mereka datang tak berseragam, tak bertata protokoler. Mereka hadir seperti daun yang tahu arah angin. Dengan secangkir kopi dan hati yang tersulut, mereka bicara: tentang budaya, tentang luka, dan tentang jalan pulang. 

Diskusi dimulai pelan. Di hadapan gelas kaca yang mulai berembun dan kue pisang yang tak sempat dipilih, Aekanu Hariyono dari Killing Osing membuka suara. Pria yang dikenal menyulap panggung-panggung musik menjadi altar kesadaran budaya itu berkata lirih tapi tegas,

“Seni itu bukan wilayah liar. Ia punya pakem. Sejak zaman keraton, sampai zaman kemerdekaan, ada garis-garis yang tak boleh dilanggar. Kita boleh kreatif, tapi tak bisa liar tanpa arah.”

Sejenak hening. Angin sore membawa aroma kopi dari dapur kayu. Lalu, suara Syafaat, Ketua Lentera Sastra Banyuwangi, memecah diam. Wajahnya seperti sedang membaca kitab tua yang isinya retak di tengah.

“Pakem itu roh,” katanya, “tapi agar roh itu tidak membeku, ia harus disiram sentuhan religi. Ruh yang ditinggal nilai-nilai langit akan hanyut di sungai gemerlap yang membawa kita pada pamer tubuh dan goyangan tak layak.”

Diskusi itu bukan seminar. Ia seperti zikir diam-diam. Sebuah sembahyang tanpa sajadah. Hadir pula Fatah Yasin Nor, penyair yang menulis dari patahan sejarah, dan Ribut Kalembuan, budayawan yang biasa menyampaikan sindiran lewat parikan dan celetuk. Tapi sore itu, Ribut lebih banyak diam. Mungkin terlalu pedih untuk diucapkan.

KRT Ilham, lelaki abdi negara yang dikenal sebagai ahli keris dan pawang hujan dalam upacara Proklamasi di Ibu Kota Nusantara, hanya mengangguk dan berkata pendek,

“Dulu, hujan pun tahu malu saat hendak turun di waktu sakral. Tapi sekarang, manusia malah bersorak saat seni kehilangan pakaiannya.”

Sementara itu, Moh. Husen, penulis yang menjadikan tiap lembah dan gang kampung sebagai aksara hidup, mencatat. Entah esok catatan itu menjelma sajak atau esai pedih tentang zaman yang menertawakan dirinya sendiri.

Topik utama sore itu adalah pertunjukan seni yang belum lama ini digelar, dan menuai kehebohan karena menghadirkan atraksi yang menjurus ke pornografi. Tubuh yang dipamerkan di panggung bukan untuk memuliakan rasa, melainkan untuk dijual pada mata yang lapar dan mulut yang bersorak. Seni ditarik ke lembah murahan. Budaya Banyuwangi, yang semestinya harum oleh dupa dan kidung, justru berbau kosmetik murahan dan parfum panggung.

Tak ada nama yang disebut. Tak ada personal yang disalahkan. Yang mereka persoalkan adalah arah. Bahwa arah seni telah bergeser. Bahwa kompas budaya kehilangan utara. Bahwa “kreativitas” kini menjadi dalih untuk segala hal, termasuk yang menjatuhkan marwah dan mencoreng warisan luhur.

Sore merambat ke malam. Lampu minyak dinyalakan. Tak ada resolusi resmi. Tak ada notulensi. Tapi diskusi itu menyisakan bara. Mereka pulang dengan dada yang masih hangat oleh kopi dan kata. Budaya belum mati, pikir mereka. Selama masih ada yang resah. Selama masih ada yang berani bicara, meski panggungnya hanya bale bambu di tengah desa.

Dan Padepokan Jaenuri, di tengah sunyi Lemahbang Dewo, kembali menjadi altar. Tempat doa-doa kebudayaan dinaikkan. Dengan bahasa. Dengan cinta. Dengan harapan, bahwa anak cucu kita kelak tidak sekadar menonton tubuh, tapi merasakan ruh.

— Redaksi Lentera Budaya Banyuwangi

ISI Surakarta Siap Dirikan Prodi Seni di Banyuwangi, Jadi Embrio Universitas Seni Berbasis Budaya Lokal

Banyuwangi (Warta Blambangan) Suasana di Pelinggihan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi terasa hangat dan penuh semangat pada Jumat, 11 April 2025. Sekitar 60 seniman dan budayawan berkumpul dalam forum diskusi terbuka bersama Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Dr. I Nyoman Sukerna, S.Kar., M.Hum. Dalam pertemuan ini, sebuah gagasan besar mengemuka: pembukaan program studi baru ISI Surakarta di Banyuwangi yang direncanakan mulai berjalan September 2025.



Forum ini bukan sekadar diskusi biasa. Di dalamnya terpatri harapan besar: menjadikan Banyuwangi sebagai bagian dari jaringan perguruan tinggi seni negeri yang selama ini menjadi garda depan pelestarian budaya Indonesia. “Perguruan tinggi seni negeri bukan hanya tempat belajar, tetapi juga rumah besar pelindung budaya bangsa. Dan Banyuwangi sangat layak untuk menjadi bagian dari rumah ini,” ujar Dr. Sukerna dengan penuh keyakinan.


Dalam paparannya, Rektor ISI Surakarta mengumumkan rencana pendirian dua program studi baru, yakni Etno-Psikologi dan Pendidikan Seni Berbasis Kawasan Unggulan (PSBKU). Keduanya akan menjadi embrio bagi lahirnya perguruan tinggi seni negeri di Bumi Blambangan. Menariknya, konsep pembelajaran yang diusung tak hanya mengandalkan tenaga pengajar dari Solo, melainkan akan melibatkan kolaborasi erat dengan pelaku seni lokal, guru kesenian, dan para lulusan seni dari Banyuwangi.


“Kami percaya, tidak semua harus didatangkan dari Solo. Justru kekuatan lokal inilah yang menjadi nilai khas. Banyuwangi punya potensi besar, dan inilah saatnya kita membangunnya bersama,” terang Dr. Sukerna.


Kehadiran tokoh-tokoh seni Banyuwangi seperti Ketua Dewan Kesenian Belambangan Hasan Basri, budayawan Samsudin Adlawi, Aekanu Haryono, serta para penggiat Lentera Sastra Banyuwangi seperti Syafaat, Nurul Ludfia Rochmah, dan Nur Kholifah, menambah bobot forum ini. Seniman kawakan seperti Yon DD, Punjul Ismuwardoyo, dan Pramoe Soekarno juga turut hadir, menyambut penuh antusias wacana besar tersebut.


Dukungan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi melalui program “Banyuwangi Cerdas” turut diapresiasi oleh pihak ISI Surakarta. Program ini telah mengirimkan puluhan mahasiswa Banyuwangi untuk melanjutkan studi S2 di Solo, dan kini menjadi bagian penting dalam rencana pengembangan institusi seni di kampung halaman mereka.


Tak hanya berhenti pada pembukaan prodi, ISI Surakarta juga memperkenalkan jalur Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) sebagai bentuk penghargaan kepada pelaku seni yang telah lama berkarya namun belum memiliki jenjang pendidikan formal. “Ini bentuk keberpihakan pada para seniman yang selama ini belajar melalui pengalaman, bukan bangku kuliah,” tambah Dr. Sukerna.


Guru Besar ISI Surakarta, Prof. Dr. Bambang Sunarto, S.Sen., M.Sn., turut menyuarakan harapannya. Ia membayangkan masa depan di mana Banyuwangi tak sekadar menjadi cabang atau tempat belajar sementara, melainkan tumbuh menjadi universitas seni yang mandiri dan berakar kuat pada nilai-nilai lokal. “Banyuwangi ini tanah yang subur untuk budaya. Tinggal kita garap dengan visi besar,” ungkapnya penuh optimisme.


Forum diakhiri dengan penekanan penting: bahwa pendirian kampus seni di Banyuwangi harus mencerminkan identitas lokal. “Ini bukan sekadar cabang, tapi tempat lahirnya pemikiran dan karya seni khas Blambangan. Mari kita cari nama yang benar-benar mewakili ruh Banyuwangi,” tutup Dr. Sukerna, menyulut semangat baru di hati para seniman yang hadir.


Sebuah langkah besar telah dimulai—dari Banyuwangi untuk Indonesia.

Menjalin Asa dalam Buku: Kerja Sama untuk Masa Depan Literasi

 

Banyuwangi (Warta Blambangan) Di sebuah aula Perpustakaan yang dipenuhi aksar, huruf dan  kata serta pemikiran, Herny Nilawati duduk dengan penuh antusias. Bedah buku Jejak Kritik baru saja usai, Jumat (21/02/2025) namun pikirannya masih mengembara, mencari cara agar literasi di madrasahnya bisa berkembang lebih mendunia. Di hadapannya, Zen Kostolani, Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Banyuwangi, menyambutnya dengan senyum penuh makna.

Dalam percakapan yang mengalir hangat, Zen menegaskan bahwa literasi bukan sekadar membaca dan menulis, tetapi tentang membuka jendela wawasan. Ia menawarkan dukungan penuh untuk menerbitkan buku-buku layak dalam bentuk e-book, agar semakin banyak generasi muda yang terinspirasi untuk berkarya.

Mata Herny berbinar seperti senyunya yang selalu merekah, di dampingi ketua Lentera Sastra Banyuwangi. Dalam bersambut. baginya, ini bukan sekadar janji, melainkan kesempatan emas bagi siswa-siswanya. Ia membayangkan anak-anak duta perpustakaan yang begitu bersemangat, berdiskusi, membaca, dan menulis dengan lebih leluasa, di dampingi para penulis hebat. Dalam waktu dekat, mereka akan menggelar kegiatan bersama, sebuah langkah kecil untuk cita-cita besar: menjadikan perpustakaan sebagai jantung ilmu pengetahuan. 


Literasi bukan hanya tentang menelusuri halaman demi halaman buku, tetapi juga tentang menanamkan mimpi, membangun asa, dan menciptakan masa depan yang lebih terang. Di Banyuwangi, sinar itu mulai menyala. 

Jejak Kritik: Menelusuri Jejak, Mengukir Makna

 

Banyuwangi (Warta Blambangan) Dewan Kesenian Belambangan (DKB) Banyuwangi menggelar bedah buku berjudul Jejak Kritik karya Moh Husen pada Jumat (21/2/2025) di Aula Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Banyuwangi. Acara ini dimoderatori oleh Syafaat dari Lentera Sastra Banyuwangi dan dihadiri oleh berbagai kalangan, termasuk akademisi, pegiat literasi, dan masyarakat umum. Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan, Drs. Zen Kostolani, M.Si., turut hadir dan menyampaikan dukungannya terhadap kegiatan literasi semacam ini. Lebih lanjut, Zen Kostolani menyampaikan bahwa buku yang ditulis Moh Husen ini patut diacungi jempol dengan bahasa santai dalam menyampaikan kritik, dan Dinas Perpusip Kabupaten Banyuwangi memfasilitasi buku tersebut dalam bentuk E-Book sehingga mudah dibaca dan mudah disebarkan.

Dalam diskusi, Samsudin Adlawi, Direktur Jawa Pos Radar Banyuwangi, mengupas makna kritik dan menekankan pentingnya memahami kritik secara konstruktif. “Kritik dapat mengubah keadaan jika pemimpin mau mendengarkan rakyatnya,” ujarnya. Namun, ia juga mengingatkan bahwa tidak semua orang mampu memahami kritik yang disampaikan.

Sementara itu, Muttafaqurrahmah, dosen Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi, menyoroti bahwa buku yang baik adalah buku yang telah selesai dengan baik dan telah memiliki ISBN. Ia juga memberikan catatan tentang gaya bahasa Moh Husen yang sederhana namun kaya makna. Menurutnya, beberapa kata khas yang sering digunakan Husen di akhir tulisan, seperti so, monggo, lha wong, dan lainnya, membuat buku ini terasa luwes dan ringan dibaca. 


Dalam pembahasannya, Husen menjelaskan bahwa buku Jejak Kritik merupakan kumpulan tulisan dari kolom yang pernah dimuat di berbagai media. Buku ini dianalogikan sebagai alat transportasi dalam kehidupan, dengan tiga bagian utama: Rem, Spion, dan Setir.

  • Rem menggambarkan pentingnya pengendalian diri sebelum bertindak.
  • Spion mengajarkan refleksi sosial, melihat ke belakang untuk memahami kondisi sekitar.
  • Setir menjadi simbol bagaimana seseorang mengarahkan hidupnya, seperti yang terlihat dalam tulisan "Kanal YouTube Politik" di dalam buku ini.

Hasan Basri, Ketua Dewan Kesenian Belambangan, mengapresiasi bahasa yang mengalir dalam buku ini meski membahas persoalan serius. “Sudah lima buku yang ditulis Husen, semuanya dengan bahasa yang ringan dan mudah dicerna,” katanya.

Beragam tanggapan muncul dari peserta. Salah satu peserta dari Nukhbatul Fakhiroh dari MTsN 1 Banyuwangi menanyakan bagaimana cara menulis kritik agar yang dikritik dapat menerimanya dengan baik. Samsudin Adlawi menanggapi bahwa tulisan yang baik harus memiliki satu pokok pikiran dalam setiap paragraf agar lebih jelas dan efektif. 


Selain itu, penulis dari Lentera Sastra Banyuwangi, Nurul Ludfia Rochmah, menanyakan fasilitas literasi yang disediakan oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Banyuwangi. Zen Kostolani menjelaskan bahwa aula dinas dapat digunakan oleh siapa pun untuk kegiatan literasi.

Diskusi ini menggarisbawahi pentingnya kritik sebagai bagian dari perkembangan masyarakat. Seperti yang disampaikan dalam acara ini, bahwa kita boleh menyampaikan kritik dengan cara yang santun, dan lebih elegan menggunakan karya tulis, terlebih dibukukan.

Berbagai kalangan hadir dalam bedah buku ini. Selain dari DKB Banyuwangi dan Lentera Sastra Banyuwangi, juga hadir pengurus cabang ISNU Kabupaten Banyuwangi.

Saya telah mengubah berita menjadi lebih bernuansa prosa lirik dengan judul Jejak Kritik: Menelusuri Jejak, Mengukir Makna. Jika masih ada yang ingin disesuaikan, beri tahu saya!

Lentera Sastra Banyuwangi Agendakan Menulis Cerita-cerita Rakyat Banyuwangi

Banyuwangi, (Warta Blambangan) Bertepatan dengan libur Imlek, Rabu (29/01/2025) komunitas Lentera Sastra Banyuwangi menggelar kegiatan Ngopi Sastra (Ngobrol Inspirasi Sastra) di Pantai Cacalan, Banyuwangi. Acara ini bertujuan untuk mengevaluasi kegiatan tahun sebelumnya sekaligus merancang program kerja tahun 2025.



Dalam kesempatan tersebut, Ketua Lentera Sastra Banyuwangi Syafaat menyampaikan bahwa pada tahun 2025, komunitas ini akan fokus pada dua agenda utama, yaitu pelatihan menulis cerita pendek berlatar Banyuwangi dan bimbingan teknis konvensi hak anak. Selain itu, mereka juga berencana mengadakan pelatihan pembuatan video profesional sebagai bentuk pengembangan keterampilan kreatif bagi para anggotanya.



Dalam sesi awal, para peserta berdiskusi mengenai kegiatan yang telah dilaksanakan sepanjang tahun 2024. Beberapa program yang berhasil dijalankan di antaranya adalah pelatihan jurnalistik sastra, diskusi puisi, serta keterlibatan anggota komunitas dalam berbagai acara budaya dan literasi di Banyuwangi.



“Banyak capaian yang membanggakan di tahun 2024. Kita telah melibatkan lebih banyak anak muda dalam dunia sastra dan memperkenalkan sastra lokal kepada khalayak yang lebih luas,” ujar Ketua Lentera Sastra Banyuwangi.


Namun, ia juga menyoroti beberapa tantangan yang dihadapi, seperti keterbatasan sumber daya dan masih perlunya peningkatan kualitas karya yang dihasilkan. Oleh karena itu, evaluasi ini menjadi langkah penting untuk memperbaiki dan meningkatkan program di tahun 2025.


Salah satu program unggulan tahun ini adalah pelatihan menulis cerita pendek berlatar Banyuwangi. Ketua komunitas menegaskan bahwa Banyuwangi memiliki kekayaan cerita rakyat yang luar biasa dan dapat diangkat dalam berbagai karya sastra.


“Dari legenda Sri Tanjung-Sidopekso, kisah Buyut Cili, hingga mitos-mitos tentang Ijen dan Alas Purwo, semua itu bisa menjadi sumber inspirasi yang tak ada habisnya,” katanya.


Pelatihan ini diharapkan dapat menggali lebih banyak potensi penulis muda yang ingin mengangkat kearifan lokal dalam karya mereka. Dengan pendekatan kreatif, para peserta akan dibimbing untuk mengolah cerita rakyat menjadi cerpen yang menarik, tidak hanya bagi pembaca lokal tetapi juga untuk audiens yang lebih luas.



Selain fokus pada pengembangan sastra, Lentera Sastra Banyuwangi juga berkomitmen pada isu sosial, salah satunya adalah hak anak. Oleh karena itu, mereka akan mengadakan bimbingan teknis konvensi hak anak bagi para anggotanya.


“Kami ingin menjadikan sastra sebagai media edukasi yang dapat meningkatkan kesadaran akan hak-hak anak. Melalui cerita dan puisi, kita bisa menyampaikan pesan penting dengan cara yang lebih mengena,” jelas Syafaat.


Bimbingan ini akan melibatkan narasumber dari berbagai latar belakang, termasuk pegiat literasi, aktivis perlindungan anak, dan akademisi. Harapannya, anggota Lentera Sastra Banyuwangi tidak hanya mampu menghasilkan karya sastra yang berkualitas, tetapi juga memiliki kepedulian sosial yang tinggi.



Sebagai bentuk adaptasi dengan perkembangan zaman, Lentera Sastra Banyuwangi juga akan mengadakan pelatihan pembuatan video profesional. Program ini bertujuan untuk membekali anggota dengan keterampilan dalam produksi konten digital, terutama dalam mengemas karya sastra dalam bentuk visual.


“Kita tidak bisa hanya terpaku pada media cetak. Sastra juga bisa berkembang dalam bentuk video, film pendek, atau bahkan animasi. Dengan keterampilan ini, kita bisa menjangkau lebih banyak orang dan memperkenalkan sastra Banyuwangi dengan cara yang lebih modern,” ujar Ambar Afiah salah satu anggota komunitas.


Pelatihan ini akan mencakup berbagai aspek, mulai dari penulisan skenario, teknik pengambilan gambar, hingga proses editing. Dengan demikian, peserta dapat mengolah karya sastra mereka menjadi konten digital yang menarik dan berkualitas.


Dipilihnya Pantai Cacalan sebagai lokasi Ngopi Sastra bukan tanpa alasan. Pantai yang terletak di wilayah Kalipuro, Banyuwangi ini dikenal dengan suasana yang tenang dan pemandangan Selat Bali yang indah.


“Tempat ini sangat inspiratif. Angin laut, suara ombak, dan keindahan alamnya membuat kita lebih rileks dan kreatif. Sastra butuh suasana yang mendukung, dan Pantai Cacalan adalah salah satu tempat terbaik untuk itu,” ungkap Nur Saewan seorang  anggota Lentera Sastra 


Para anggota komunitas terlihat antusias mengikuti diskusi, sembari menikmati kopi dan kudapan yang disediakan. Beberapa bahkan spontan membaca puisi dan berbagi pengalaman mereka dalam menulis.



Dengan agenda yang sudah dirancang, Lentera Sastra Banyuwangi berharap tahun 2025 menjadi tahun yang lebih produktif dan bermanfaat bagi komunitas sastra di Banyuwangi. Mereka mengajak lebih banyak anak muda untuk bergabung dan berkontribusi dalam dunia literasi.


“Literasi bukan hanya soal membaca dan menulis, tapi juga tentang menyampaikan pesan, menggali kearifan lokal, dan menyebarkan inspirasi. Mari kita bersama-sama menjadikan sastra sebagai bagian dari kehidupan kita,” pungkas Syafaat.


Dengan semangat baru, Lentera Sastra Banyuwangi siap melangkah lebih jauh, membawa sastra Banyuwangi ke tingkat yang lebih tinggi.

Yayasan Lentera Sastra Banyuwangi Sambut Hari Amal Bakti Ke-79 dengan Ungkapan Selamat

Banyuwangi, (Warta Blambangan) Yayasan Lentera Sastra Banyuwangi turut memeriahkan peringatan Hari Amal Bakti (HAB) ke-79 tanggal 3 Januari 2025 Kementerian Agama Republik Indonesia dengan menyampaikan ucapan selamat secara istimewa. Ungkapan tersebut diwujudkan dalam bentuk karangan bunga yang dikirimkan langsung ke Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi sebagai simbol apresiasi dan dukungan atas kontribusi Kementerian Agama dalam membangun masyarakat yang rukun dan harmonis.



Dengan mengusung tema "Umat Rukun Menuju Indonesia Emas", peringatan HAB tahun ini menjadi momentum penting untuk merefleksikan perjalanan panjang Kementerian Agama dalam menguatkan nilai-nilai kerukunan umat beragama. Tema tersebut sejalan dengan visi besar Indonesia untuk menciptakan masyarakat yang berdaya saing dan harmonis, sebagai pijakan menuju tahun emas 2045.


Ketua Yayasan Lentera Sastra Banyuwangi, Syafaat, mengungkapkan bahwa keberadaan yayasan yang bergerak di bidang literasi dan seni budaya ini tidak dapat dipisahkan dari peran Kementerian Agama. "Kementerian Agama memiliki andil besar dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi tumbuhnya budaya literasi dan seni yang inklusif. Sebagai mitra, kami merasa bahwa perjalanan Lentera Sastra Banyuwangi selalu bersinergi dengan visi dan misi Kementerian Agama," ujar Syafaat dalam pernyataannya.


Karangan bunga dari Yayasan Lentera Sastra Banyuwangi yang dikirimkan ke Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi menjadi perhatian banyak pihak. Dengan nuansa warna yang cerah dan pesan yang inspiratif, karangan bunga tersebut tidak hanya menjadi simbol ucapan selamat tetapi juga representasi komitmen Yayasan Lentera Sastra dalam mendukung program-program Kementerian Agama.


“Kami ingin menyampaikan rasa hormat dan apresiasi yang mendalam atas dedikasi Kementerian Agama dalam membina kerukunan umat beragama di Banyuwangi. Peringatan HAB ke-79 ini adalah momentum yang tepat untuk mengingatkan kita semua bahwa kebersamaan adalah kunci menuju Indonesia yang lebih baik,” tambah Syafaat.


Sinergi Lentera Sastra dan Kementerian Agama

Sejak didirikan, Yayasan Lentera Sastra Banyuwangi telah banyak berkolaborasi dengan Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, khususnya dalam kegiatan-kegiatan yang mengedepankan nilai-nilai keberagaman dan moderasi beragama. Beberapa program yang telah terlaksana, seperti pelatihan literasi berbasis religi, lomba puisi antar-madrasah, hingga diskusi budaya bertema inklusivitas, menjadi bukti nyata sinergi yang terjalin erat antara kedua pihak.


Menurut Syafaat, Kementerian Agama bukan hanya sebagai mitra strategis, tetapi juga inspirasi utama dalam perjalanan Lentera Sastra. "Kami belajar banyak dari semangat pengabdian Kementerian Agama, terutama dalam merawat kerukunan di tengah masyarakat yang plural. Nilai-nilai ini selalu kami terapkan dalam setiap kegiatan yang kami lakukan," imbuhnya.


Pentingnya Peran Kebudayaan dalam Kerukunan

Syafaat juga menegaskan bahwa sastra dan seni memiliki peran penting dalam membangun kerukunan. Melalui karya sastra, pesan-pesan damai dan persatuan dapat disampaikan dengan cara yang lebih menyentuh hati. Ia berharap, melalui peringatan HAB ke-79, sinergi antara Lentera Sastra Banyuwangi dan Kementerian Agama semakin kuat, sehingga mampu memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat.


“Literasi dan seni adalah medium yang efektif untuk menyampaikan pesan-pesan moral dan spiritual. Melalui karya, kita bisa menyentuh berbagai kalangan tanpa memandang latar belakang. Ini adalah salah satu cara kami mendukung tema HAB kali ini, yaitu umat rukun menuju Indonesia emas,” tuturnya.


Dalam peringatan ini, Syafaat juga menyampaikan harapannya agar Kementerian Agama terus konsisten dalam memperkuat perannya sebagai motor penggerak kerukunan umat beragama. Ia juga berharap agar Lentera Sastra Banyuwangi dapat terus menjadi bagian dari perjalanan tersebut.


“Kami percaya bahwa cita-cita Indonesia Emas hanya dapat terwujud jika seluruh elemen masyarakat saling mendukung. Kami di Lentera Sastra Banyuwangi akan terus berkontribusi melalui karya dan kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat, khususnya dalam mendukung program-program Kementerian Agama,” ujar Syafaat dengan penuh semangat.


Hari Amal Bakti bukan hanya milik Kementerian Agama, tetapi juga menjadi momen refleksi bagi seluruh masyarakat. Di Banyuwangi, peringatan HAB selalu disambut dengan antusias, baik melalui upacara, kegiatan sosial, maupun doa bersama.


Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, Dr. Chaironi Hidayat, dalam sambutannya, menyampaikan terima kasih atas dukungan dari berbagai pihak, termasuk Yayasan Lentera Sastra Banyuwangi. “Kami sangat mengapresiasi dukungan yang diberikan oleh Lentera Sastra Banyuwangi. Semoga sinergi yang telah terjalin ini terus berjalan harmonis demi mewujudkan masyarakat Banyuwangi yang rukun dan sejahtera,” ujarnya.


Peringatan HAB ke-79 ini diharapkan menjadi momentum untuk memperkuat kolaborasi antara Kementerian Agama dan berbagai elemen masyarakat. Lentera Sastra Banyuwangi, sebagai bagian dari komunitas budaya di Banyuwangi, berkomitmen untuk terus berkontribusi melalui program-program yang mendukung moderasi beragama dan keberagaman budaya.


“Tidak ada yang lebih indah daripada melihat umat yang rukun dan saling mendukung. Inilah visi yang ingin kami wujudkan bersama dengan Kementerian Agama,” pungkas Syafaat.


Hari Amal Bakti ke-79 menjadi pengingat bahwa peran Kementerian Agama sangatlah penting dalam menjaga harmoni di tengah keberagaman masyarakat Indonesia. Dukungan dari berbagai pihak, seperti yang ditunjukkan oleh Yayasan Lentera Sastra Banyuwangi, adalah bukti nyata bahwa semangat kebersamaan dapat membawa bangsa ini menuju masa depan yang lebih baik.


Melalui karya sastra, seni, dan budaya, Lentera Sastra Banyuwangi akan terus menjadi bagian dari perjalanan panjang bangsa ini dalam merajut kebersamaan dan kerukunan menuju Indonesia Emas.


Perupa Bershalawat di Hari Keenam Pameran Seni Rupa “Banyu Kening”

Banyuwangi, (Warta Blambangan) Pameran seni rupa yang bertajuk Banyu Kening di Gedung Juang, dalam rangka memperingati Hari Jadi Kabupaten Banyuwangi ke-253, memasuki hari keenam dengan suguhan istimewa. Malam ini, pengunjung disuguhi alunan syahdu shalawat dari grup New Shalawat Club Banyuwangi, sebuah kolaborasi unik yang mempertemukan seni rupa dengan tradisi shalawat, pertama kalinya dalam sejarah pameran seni di Banyuwangi.



Ketua Dewan Kesenian Belambangan (DKB), Hasan Basri, menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan terobosan baru dalam dunia seni rupa di Banyuwangi. “Ini adalah pertama kalinya pameran seni rupa dikombinasikan dengan kegiatan bershalawat. Kami ingin menampilkan seni tidak hanya dalam bentuk visual, tetapi juga dalam bentuk spiritual yang dapat menyentuh hati setiap pengunjung,” ujarnya.


Pameran seni rupa yang berlangsung sejak 30 November hingga 7 Desember 2024 ini menghadirkan beragam kegiatan dari seluruh komite yang ada di DKB. Selama sepekan, pengunjung dapat mengikuti berbagai acara seperti kursus sehari melukis dan membuat patung, pentas teater, seminar seni rupa, pemutaran film, hingga pembacaan puisi.


“Kami ingin pameran ini menjadi wadah yang inklusif, di mana semua jenis seni dapat berinteraksi dan saling mendukung. Seni rupa tidak berdiri sendiri, tetapi berhubungan erat dengan seni-seni lain seperti teater, sastra, dan musik,” tambah Hasan Basri.


Syafaat, salah satu pengurus dari Komite Bahasa dan Sastra DKB yang juga Ketua Yayasan Lentera Sastra Banyuwangi menekankan pentingnya kegiatan bershalawat dalam konteks budaya Banyuwangi. “Banyuwangi adalah tempat lahirnya Shalawat Badar, sebuah shalawat yang sangat dikenal di seluruh Indonesia. Membumikan shalawat badar di tanah kelahirannya merupakan sebuah keniscayaan, dan pameran ini menjadi salah satu cara kami untuk melakukannya,” ungkapnya.


Pada malam ini, seluruh pengurus DKB bersama-sama melantunkan Shalawat Badar di tengah-tengah pameran, menciptakan suasana yang khusyuk dan penuh spiritualitas. Pengunjung pun diajak untuk ikut bershalawat, menjadikan malam ini tidak hanya sebagai pengalaman visual, tetapi juga pengalaman batin yang mendalam.


Tema Banyu Kening yang diangkat dalam pameran ini memiliki filosofi mendalam. “Air adalah sumber kehidupan. Semua makhluk hidup membutuhkan air untuk bertahan hidup. Dalam filosofi Jawa, air juga sering dikaitkan dengan kebersihan dan kesucian,” ujar Syafaat.


Ia juga mengaitkan tema ini dengan ajaran Islam, khususnya doa yang biasa dipanjatkan ketika meminum air zamzam. “Ada tiga doa yang kita panjatkan ketika minum air zamzam: meminta ilmu yang bermanfaat, rezeki yang luas, dan kesembuhan dari penyakit. Air mengajarkan kita untuk senantiasa bersyukur dan berdoa kepada Allah,” jelasnya.


Dengan mengusung tema ini, pameran Banyu Kening tidak hanya menampilkan karya seni yang indah, tetapi juga menyampaikan pesan spiritual dan filosofis yang mendalam. “Semoga melalui shalawat, kita selalu ingat pada ajaran Nabi Muhammad SAW, dan semoga suatu hari kita dapat berziarah ke makam beliau,” harap Hasan Basri.


Kegiatan malam ini mendapatkan respons positif dari pengunjung. Banyak di antara mereka yang terkesan dengan perpaduan seni rupa dan shalawat yang disuguhkan. “Saya tidak menyangka pameran seni rupa bisa seindah dan sesyahdu ini. Biasanya, pameran hanya menampilkan lukisan atau patung, tetapi di sini ada nuansa spiritual yang membuat saya merasa lebih dekat dengan Tuhan,” ujar Siti Muslikah, salah satu pengunjung yang hadir bersama keluarganya.


Sementara itu, Rini Dyah Diningrum, seorang pelukis lokal yang juga ikut serta dalam pameran ini, mengungkapkan rasa syukurnya bisa berpartisipasi dalam kegiatan yang penuh makna ini. “Ini adalah pengalaman yang luar biasa. Seni rupa adalah ekspresi jiwa, dan malam ini jiwa kami terhubung dengan spiritualitas melalui shalawat,” katanya.


Hasan Basri berharap kolaborasi seni dan spiritualitas seperti ini dapat terus dikembangkan di masa depan. “Banyuwangi adalah daerah yang kaya akan budaya dan tradisi. Kami ingin terus mengangkat kekayaan ini melalui berbagai kegiatan seni yang tidak hanya menghibur, tetapi juga memberikan nilai-nilai spiritual dan filosofis kepada masyarakat,” tuturnya.

Lebih lanjut disampaikan bahwa tahun depan insyaallah pameran seni rupa juga memamerkan karya kaligrafi Arab.


Pameran seni rupa Banyu Kening masih akan berlangsung hingga 7 Desember 2024, dengan berbagai kegiatan menarik yang bisa dinikmati oleh pengunjung. “Kami mengundang seluruh masyarakat Banyuwangi untuk datang dan menikmati pameran ini. Mari kita rayakan Hari Jadi Banyuwangi dengan cara yang berbeda, dengan seni, budaya, dan spiritualitas,” ajak Hasan Basri.


Dengan semangat memperingati Hari Jadi Banyuwangi ke-253, pameran seni rupa Banyu Kening menjadi bukti bahwa seni tidak hanya indah untuk dilihat, tetapi juga memiliki kekuatan untuk menyatukan dan memperkuat nilai-nilai budaya dan spiritual masyarakat.


Pameran Seni Rupa Hari Jadi Banyuwangi ke-253 "Banyu Kening" dan Parade Puisi

Banyuwangi, (Warta Blambangan) Pameran seni rupa dalam rangka memperingati Hari Jadi Banyuwangi yang ke-253 dengan tema “Banyu Kening” dibuka pada 30 November 2024 di Gedung Juang Banyuwangi. Pameran ini diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Belambangan dan berlangsung hingga 7 Desember 2024, menampilkan berbagai karya seni rupa lukisan yang mengangkat kearifan lokal dan kekayaan budaya Banyuwangi. Salah satu acara yang menarik perhatian adalah parade puisi yang digelar pada 1 Desember 2024, yang melibatkan berbagai komunitas dan penyair dari berbagai latar belakang.



Pada parade puisi ini, komunitas Lentera Sastra Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi turut serta dengan membacakan sejumlah puisi yang menggugah. Selain puisi berbahasa Indonesia, terdapat pula puisi-puisi yang dibacakan dalam bahasa Osing, bahasa khas masyarakat Banyuwangi. Pembacaan puisi dalam bahasa Osing ini memberikan sentuhan lokal yang khas, serta memperkaya nuansa budaya dalam acara tersebut.


Siswa dari MI Darunnajah II Tukangkayu menjadi salah satu yang tampil dengan puisi berbahasa Osing. Keberanian mereka untuk melestarikan bahasa daerah melalui seni puisi mendapat sambutan hangat dari penonton. Selain itu, beberapa kepala madrasah juga turut membacakan puisi dalam bahasa Osing, di antaranya Kepala MTsN 2 Banyuwangi, Uswatun Hasanah, dan Kepala MTsN 12 Banyuwangi, Herny Nilawati. Para penyair ini mengangkat berbagai tema yang mendalam, mulai dari kehidupan sehari-hari hingga refleksi terhadap budaya Banyuwangi dari alumni Jamboree Sastra Asia Tenggara (JSAT).


Dalam kesempatan ini, salah satu karya puisi yang dibacakan adalah puisi berjudul “Banyu Kening” yang merupakan karya Ketua Lentera Sastra Banyuwangi, dibacakan Nikmatur Rosyidah, Guru SDN Rogojampi. Puisi ini menggambarkan kehidupan masyarakat Banyuwangi yang penuh makna dan kedalaman, serta menggugah para pendengarnya untuk lebih menghargai nilai-nilai kehidupan, lingkungan sekitar dan kondisi sosial yang di tuangkan dalam lukisan 


Tidak hanya siswa dan para guru, penampilan Mahasiswa Universitas 17 Agustus (Untag) Banyuwangi juga memeriahkan parade puisi ini. Mereka membacakan puisi yang dikemas dengan cara yang kreatif, termasuk penampilan yang menggabungkan puisi dengan pantomim, yang semakin menyentuh hati para penonton. Salah satu kelompok pembaca puisi yang juga menarik perhatian adalah Sinar Lintang dari Banyuwangi, yang menghadirkan pertunjukan puisi dengan iringan pantomim, memberikan dimensi baru dalam apresiasi terhadap seni puisi.


Selain itu, Lulu Anwariah, guru MTsN 4 Banyuwangi, turut membacakan puisi karya  Syafaat berjudul “Banyu Kening Satu Desember” yang khusus dibuat untuk memperingati Hari AIDS Sedunia. Puisi ini membawa pesan penting tentang kesadaran terhadap penyakit HIV/AIDS dan pentingnya solidaritas untuk melawan stigma terhadap penderita penyakit tersebut. Bahwa orang yang berpenyakit tidak harus dikucilkan, bisa jadi mereka adalah orang baik-baik yang tidak pernah melakukan maksiat tetapi tertular. Karya ini mendapat sambutan hangat dan menjadi salah satu titik kulminasi acara.


Sugiono, sebagai panitia penyelenggara dari Dewan Kesenian Belambangan, mengucapkan terima kasih atas partisipasi semua penyair yang terlibat. Menurutnya, acara parade puisi ini bukan hanya sekadar pertunjukan seni, tetapi juga menjadi ajang untuk memperkenalkan dan melestarikan budaya Banyuwangi, khususnya bahasa Osing yang kaya akan nilai sejarah. Sugiono juga menyampaikan bahwa acara ini menunjukkan betapa pentingnya keberagaman dalam berkarya, terutama dalam bidang sastra.


Di tengah acara, Aekanu Haryono, seorang pemerhati budaya Banyuwangi, turut memberikan apresiasi terhadap kualitas dan keberagaman tampilan para penyair. Ia menilai bahwa acara ini tidak hanya memperkaya khasanah sastra, tetapi juga menjadi sarana untuk mempererat hubungan antara generasi muda dan budaya daerah. Menurut Aekanu, keberagaman bahasa yang digunakan dalam puisi kali ini sangat penting dalam menjaga kelestarian bahasa daerah yang semakin tergerus oleh globalisasi.


Syafaat, membacakan beberapa puisi karyanya, termasuk puisi berjudul “Memandang Wajahmu dalam Lukisan”. Puisi ini menceritakan tentang makna mendalam yang dapat ditemukan dalam setiap goresan seni rupa, serta hubungan antara karya seni dan emosi manusia dengan Tuhan.

Pembacaan puisi ini memberikan sentuhan yang berbeda dan menambah nilai estetika dalam acara parade puisi.


Kegiatan parade puisi ini menjadi salah satu highlights dalam rangkaian acara Pameran Seni Rupa Hari Jadi Banyuwangi ke-253. Kehadiran masyarakat yang memadati Gedung Juang Banyuwangi menunjukkan antusiasme yang besar terhadap seni dan budaya lokal. Dengan adanya acara seperti ini, diharapkan seni sastra, khususnya puisi dalam bahasa Osing, dapat terus berkembang dan diterima dengan baik oleh generasi muda Banyuwangi.


Pameran seni rupa dan parade puisi ini tidak hanya menjadi media untuk mengenalkan karya seni, tetapi juga sebagai sarana untuk mempererat rasa cinta terhadap budaya lokal dan meningkatkan apresiasi terhadap kekayaan budaya Banyuwangi. (Team)


Rissa Churria Launching Buku di Banyuwangi

 Banyuwangi (Warta Blambangan)  Rissa Churria, penulis puisi asal Banyuwangi yang kini berdomisili di Depok, resmi meluncurkan dua buku puisi terbarunya yang bertajuk Kitab Puisi Kecup Selalu untuk Rasulullah dan Larung Murung. Acara peluncuran ini berlangsung khidmat di Arjuna Cafe dan Resto, Kemiren, Banyuwangi,:Minggu (27/10/2024) dan dihadiri oleh berbagai tokoh sastra serta komunitas seni Banyuwangi.

Ketua Jagat Sastra Milenial, Riri Satria, turut memberikan apresiasi atas konsistensi Rissa yang merupakan salah satu anggotanya dalam berkarya. Dalam sambutannya, Riri menyebutkan bahwa Rissa merupakan sosok penulis produktif yang terus berkarya di sela-sela kesibukannya sebagai seorang pengajar. “Karya-karya Rissa selalu menyiratkan pesan-pesan mendalam. Dedikasinya menjadi inspirasi bagi banyak penulis muda,” ungkap Riri.



Turut hadir Syafaat, Ketua Komunitas Lentera Sastra, serta Hasan Basri, Ketua Dewan Kesenian Belambangan (DKB), yang menyampaikan dukungan mereka terhadap perkembangan sastra di Banyuwangi. Antariksawan Yusuf dari Media Belambangan.com dan Aekanu Haryono, Ketua Komunitas Killing Osing Banyuwangi, juga nampak hadir memberikan dukungan.

Hasan Basri berharap semakin banyak penulis sastra dari Banyuwangi yang mendunia.


Dalam momen spesial ini, Riri Satria juga memberikan bingkisan buku kepada dua kepala madrasah yang hadir, yakni Majidatul Himmah dari MI Darunnajah 2 Banyuwangi dan Sugeng Maryono dari MTsN 10 Banyuwangi. Kedua kepala madrasah tersebut menyampaikan rasa terima kasih atas buku-buku tersebut yang dapat menjadi bahan bacaan inspiratif bagi para siswa.


Peluncuran buku ini menjadi bukti bahwa Rissa Churria tetap konsisten berkarya dan memperkaya dunia sastra Banyuwangi meskipun berada di luar kota.

Acara launching buku ini dilaksanakan setelah Jambore Sastra Asia Tenggara (JSAT) yang digelar tanggal 24 sampai 26 Oktober 2024.


Tukar pengalaman antar penyair dalam diskusi yang dipandu Syafaat semakin hangat, terlebih beberapa yang hadir diberikan buku oleh Risa.

Penampilan MAN 3 Banyuwangi Dapat Apresiasi Sastrawan Asia Tenggara

Banyuwangi (Warta Blambangan) Siswa MAN 3 Banyuwangi mencuri perhatian dalam pembukaan Jambore Sastra Asia Tenggara dengan penampilan memukau mereka dalam musikalisasi puisi karya Chairil Anwar berjudul Aku. Acara yang berlangsung di Swarna Pantai Marina Boom Banyuwangi dalan agenda Seminar Sastra, ini dihadiri oleh para penyair terkemuka dari dalam dan luar negeri, termasuk dari Malaysia dan Singapura.


Penampilan mereka dengan vokalis Zailuna Maisya Sugianti berhasil menghidupkan puisi Aku yang dikenal penuh energi dan semangat kebebasan. Dengan iringan musik yang penuh nuansa, para siswa ini menampilkan ekspresi seni yang mendalam, sehingga mendapatkan apresiasi dari para penyair senior seperti KH. D. Zawawi Imron, Riri Satria, Tengsoe Tjahyono, dan Sofyan Rd Zaid. Mereka mengaku terkesan dengan keberanian dan kemampuan siswa MAN 3 Banyuwangi dalam menginterpretasi karya sastra besar tersebut, Sabtu (26/10/2024).



Kepala Balai Bahasa Jawa Timur, Dr. Umi Kulsum, yang turut hadir dalam acara ini, juga memberikan apresiasi tinggi terhadap penampilan para siswa. Menurutnya, keberhasilan mereka dalam menghidupkan puisi Aku karya Chairil Anwar menjadi contoh inspiratif bagi generasi muda untuk lebih mencintai dan mengapresiasi karya sastra Indonesia. "Ini bukti bahwa sastra mampu menyatukan kita, generasi muda di Indonesia maupun di Asia Tenggara," ujarnya.


Acara yang digelar sebelum Gandrung Sewu ini menjadi salah satu momen penting dalam Jambore Sastra Asia Tenggara tahun 2024, yang bertujuan untuk mempererat hubungan sastra dan budaya antara negara-negara di kawasan ini. Jambore ini juga memberikan kesempatan bagi para siswa untuk berdialog dan belajar langsung dari para penyair profesional, memperkaya wawasan dan inspirasi dalam bidang sastra.



Syafaat, Ketua Yayasan Lentera Sastra Banyuwangi yang juga anggota komisi Bahasa dan Sastra Dewan Kesenian Belambangan (DKB) Banyuwangi menyampaikan bahwa yang dilakukan siswa MAN 3 Banyuwangi melampaui ekspektasi, peserta terbius dengan tampilan yang dilakukan, tidak heran jika banyak tokoh nasional yang memberikan apresiasi.

Penyair Goes to School: Jambore Sastra Asia Tenggara di MA Mabadiul Ihsan Tegalsari Hadirkan Sastrawan Asal Malaysia

Tegalsari, (Warta Blambangan) Sebanyak 75 siswa MA Mabadiul Ihsan, Karangdoro, Kecamatan Tegalsari, Banyuwangi, mengikuti kegiatan inspiratif bertajuk Penyair Goes to School dalam rangkaian Jambore Sastra Asia Tenggara. Acara ini menghadirkan sejumlah sastrawan ternama dari kawasan Asia Tenggara, termasuk Salimah Binti Shamsuddin, sastrawan terkemuka asal Malaysia, sebagai pembicara utama, acara dilanjutkan di aula Universitas Islam Cordova, Jumat (25/10/2024).



Selain Salimah, kegiatan ini juga menampilkan Amelia Shafa dari Literasi 7 Kejora Sumenep dan Litalia Putri Cahyani, sastrawan muda berbakat asal Banyuwangi. Ketiganya berbagi wawasan mengenai perjalanan berkarya dan pentingnya sastra dalam menyuarakan nilai-nilai budaya serta mempererat persaudaraan serumpun.


Kepala Madrasah MA Mabadiul Ihsan, M. Syarifuddin, menyampaikan rasa bangganya atas terselenggaranya kegiatan ini yang dimotori oleh Dewan Kesenian Belambangan. Menurutnya, acara ini bukan hanya bertujuan untuk menumbuhkan minat sastra di kalangan siswa, tetapi juga mempererat hubungan antarbangsa di kawasan Asia Tenggara.



"Jambore Sastra ini diharapkan dapat menjadi jembatan bagi para siswa untuk lebih mengenal sastra sekaligus menjalin persaudaraan dengan saudara-saudara serumpun," ungkap M. Syarifuddin dengan penuh antusias.


Jambore Sastra Asia Tenggara di MA Mabadiul Ihsan ini diharapkan menjadi pemicu lahirnya generasi muda yang mampu menghargai budaya, memiliki rasa persatuan, dan berkontribusi positif bagi perkembangan sastra di Nusantara dan Asia Tenggara.


Tengsoe Tjahyono Hadir di MA Al Amiriyah dalam JSAT Penyair Goes To School

Banyuwangi,  (Warta Blambangan) – Penyair dan sastrawan terkemuka, Tengsoe Tjahjono, tampil sebagai narasumber dalam kegiatan Penyair Goes to School yang berlangsung di Madrasah Aliyah Al-Amiriyah Blokagung, Banyuwangi, Jumat (25/10/2024). Acara yang merupakan bagian dari Jambore Sastra Asia Tenggara ini juga dihadiri oleh dua penyair lainnya, Laili Nurdiana dan Abdul Halim dari Sumenep, Madura.



Dalam kesempatan tersebut, Tengsoe Tjahjono membahas peran penting sastra sebagai media untuk mengasah sensitivitas sosial dan menumbuhkan empati. Di hadapan para siswa MA Al-Amiriyah Pondok Pesantren Darussalam Blok Agung, ia menyampaikan bagaimana sastra dapat menjadi sarana efektif untuk mengungkapkan kegelisahan, kearifan lokal, serta kekayaan budaya Nusantara. "Sastra bukan sekadar tulisan, tetapi suara jiwa yang bisa menyentuh dan mengubah pandangan hidup kita," ungkap Tengsoe dengan penuh antusias.

Tengsoe Tjahjono adalah sastrawan berkebangsaan Indonesia. Dia pernah menerima penghargaan di bidang sastra dari gubernur Jawa Timur (2012). Saat ini tercatat sebagai dosen bahasa dan sastra Indonesia di Hankuk University of Foreign Studies, Korea. Karya-karya sastranya dalam bentuk puisi dan kritik sastra sudah diterbitkan dan dimuat di sejumlah media massa. 


Laili Nurdiana dan Abdul Halim, penyair dari Sumenep, turut mendampingi Tengsoe dalam sesi berbagi pengalaman dan diskusi dengan para siswa. Mereka menekankan pentingnya sastra bagi generasi muda, terutama dalam menumbuhkan kepekaan terhadap isu-isu sosial dan budaya. Dalam sesi tanya jawab, para siswa terlihat sangat antusias, menanyakan berbagai hal seputar proses kreatif dan inspirasi dalam menulis puisi.


Dalam sambutannya Kepala MA Al Amiriyah Ahmad Fauzan menyampaikan ucapan terima kasih atas kehadiran Tengsoe yang berkenan memberikan materi kepada siswa. 


Acara Penyair Goes to School di MA Al-Amiriyah ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Jambore Sastra Asia Tenggara yang bertujuan mendekatkan sastra kepada pelajar. Kegiatan ini diharapkan dapat memotivasi para siswa untuk lebih mencintai sastra dan aktif dalam kegiatan literasi di lingkup sekolah dan masyarakat.

Penyair Goes to School Hadir di Madrasah Aliyah Mambaul Huda Tegalsari

Banyuwangi (Warta Blambangan) Madrasah Aliyah (MA) Unggulan Mambaul Huda di Krasak, Tegalsari, menggelar acara "Penyair Goes to School" yang dihadiri oleh empat penyair berbakat, yaitu Muda Wijaya, St. Muanifah (Hanief) Pengawas Madrasah pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, Noer Moch. Yoga Zulkarnain, Helmy Khan dari Sumenep, serta Muda Wijaya dari Pulau Bali.

 Kehadiran para penyair tersebut disambut hangat oleh Kepala MA Unggulan Mambaul Huda, Ky. Muhyidin, S.Sos.



Dalam sambutannya, Ky. Muhyidin menyampaikan apresiasinya atas kehadiran para penyair yang memberikan pengalaman baru bagi siswa-siswi di bidang sastra. "Acara ini merupakan kesempatan emas bagi para siswa untuk belajar langsung dari para penyair profesional, yang akan menginspirasi mereka dalam menciptakan karya sastra berkualitas," ujar Ky. Muhyidin.


Kegiatan ini diikuti dengan penuh antusias oleh para peserta dari Komunitas Literasi MA Unggulan Mambaul Huda. Para siswa tidak hanya mengikuti materi dengan baik, tetapi juga berani menampilkan puisi-puisi karya mereka di hadapan para penyair, sebagai bentuk apresiasi dan keberanian mereka dalam berkreasi.



Adapun materi yang diberikan dalam acara ini meliputi berbagai aspek penting dalam dunia sastra. Muda Wijaya mengawali dengan Edukasi Sastra, memperkenalkan dasar-dasar puisi dan pentingnya sastra dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, St. Muanifah memberikan materi Game Sastra yang diselingi permainan kreatif untuk membangkitkan imajinasi dan minat sastra pada para siswa. Materi terakhir adalah Cipta Kreasi Puisi, yang dibawakan oleh Zulkarnain dan Helmy. Keduanya mengajak peserta untuk menulis puisi dengan teknik dan gaya yang lebih kreatif, sekaligus menanamkan nilai-nilai estetika dalam karya mereka.


Acara "Penyair Goes to School" di MA Unggulan Mambaul Huda ini diharapkan dapat terus berlanjut, membuka ruang bagi generasi muda untuk mencintai sastra dan menjadikannya bagian dari kehidupan mereka.


Kunjungan Sastrawati Malaysia Cikgu Norasma ke MTSN 6 Banyuwangi

Banyuwangi (Warta Blambangan) Rangkaian Jambore Sastra Asia Tenggara bagian Festival Sastra  dan Gandrung Sewu, 200 penyair berkunjung ke 33 sekolah tingkat SMP/Mts/MA/SMA di Kabupatan  Banyuwangi. Mts Negeri 6 Banyuwangi yang tidak jauh dari pasar sapi Karanghaarjo Glenmore termasuk dalam program sastrawan goes to school. Sastrawan yang ditugaskan yakni Norasmah Binti Mohd Noor asal Malaysia, Tri Wulaning Purnami guru SMKN 1 Surabaya, Yeti Chotimah guru SMPN 3 Rogojampi yang punya  prestasi seni budaya dan literasi serta Bung Aguk Wahyu Nuryadi  yang sering membimbing baca puisi, pidato, pantomin  dan bercerita.

Hadrah bersholawat dan mars MTsN 6 Banyuwangi serta pantun sambut penyair  di hari Jumat,(25/10/24).



Kepala MTSN 6 Banyuwangi, Kholiq Masduki, S.Pd M.Si senang dengan kehadiran sastrawan. " Kesempatan langka bagi murid murid kami mendaparkat ilmu sari para penyair. Semoha murid kami dapat memanfaatkan anugerah ini sebaik-baiknya. Apalagi jika dengan waktu yg terbatas mereka dapat menghasilkan karya tulis. Karena dengan tulisan,  dapat kian menghaluskan  adab akhlaqul karimah!" ungkap alumni Unej dan ITS ini.

Wakakesiswaan yang merupakan anggota Komunitas Lentera Sastra dan yang diciptakan lagu  mars H.Nur Saewan,M.Pd sempat sampaikan selayang pandang wisata dan sejarah Glenmore. Wisata unggulan Glenmore diantaranya perkebunan

 kopi, coklat, karet dan tebu serta 13 destinasi wisata yang  dalam sejarah dijuluki secuil eropa of java.

Pada acara tersebut, Juga ditampilkan pembacaan puisi oleh dua siswi  yakni Fitri yang bacakan karya sendiri bertema Hari Santri dan Nazifa El Hadi yang heroik membaca puisi karya Bung Karno.


Acara yang dipandu oleh Ibu Setyorini  itu diikuti 101 murid kelas 7, 8, dan 9 A. Pemateri pertama diawali oleh cekgu  Noor yang menerangkan  bagaimana menggali dan membuat cerpen  dari ide masalah pribadi, curhat teman atau lingkungan di rumah maupun sekolah.

 Kemudian buat konflik lalu penyelesaian bisa bertanya ke pembaca maupun happy ending.Lalu buat PR anak buat plot cerita."cakap sekali dalam 5 menit ada 8 anak yang bisa wujud cerita anekdot!" tutur dosen terbang asal Melaka Selangor yang banyak kali ke Indonesia tapi baru sekali ke Banyuwangi."Ayo terus berkarya nanti gantian kalian  yang diundang ke Melesia!" motivasinya  yang disambut tepuk tangan meriah.

Tatkala ditanya Murid Arina soal perbandingan tingkat literasi antara Malaysia dan Indonesia, dijawab sesungguhnya Indonesia seraya puji etos orang Madura dan Minang di negaranya.


Lanjut bu Wulan yang sudah terbitkan 100 karya sastra  dan dapat anugrah 10 penulis fiksi 

terbaik Jatim."Puisi ada teorinya dan rumusnya versi saya.Puisi itu lebih berat dari Novel dan cerpen yang diperas!" tukas guru SMKN 1 Surabaya ini seraya buat PR murid buat puisi minimal 3 baris maksimal 3 bait.Dan ada 3 karya terbaik yang diuumumkan seraya beri buku karyanya untuk perpustakaan Mtsn 6 ini.


Sedang Bung Aguk berikan tips menang lomba baca puisi sembari praktek tehnik pernafasan,artikulasi vokal dan suara perut."Hendaknya pembimbing tak lansung anak disuruh membaca,tapi bedah puisi untuk dapat roh puisi sesuai maksud penyair hingga saat tampil bisa menjiwai.Dan bagaimana vokal yang terlatih kian mendukung nuansa dan ekspresi!" ucap pembina Sanggar Merah Putih"45  yang anak kandung dan anak didiknya banyak raih trophy lomba.Bung Aguk juga sempat tampil baca puisi karyanya yang turut dikurasi Banyu 7 Sumber.Sedang  Mbok Yeti Chotimah yang Ketua MGMP Bahasa Using dan Guru Penggerak SMPN 3 Rogojampi membaca puisi yang ada di buku Ijen Purba Tanah Air Batu: Hikayat Kelahiran dan apresiasi kreatifitas peserta didik.


Rangkaian hadirkan nuansa sastra dalam kehidupan kita di Mtsn 6 diawali di lounge transit  nyeruput wine echo kopi robusta kalibaru, dipungkasi bakdha jumatan ke Doesoen  Kakao prasmanan ragam kuliner bernuansa coklat dipandu tenaga pendidikan Budiyati yang bersuamiikan sinder.(AWN/YC/JN).

D Zawawi Imron Bacakan Puisi Di Pembukaan JSAT

Banyuwangi (Warta Blambangan) Banyuwangi - Kamis (24/10/2024), suasana syahdu dan artistik menyelimuti halaman belakang Pendopo Sabha Swagata Banyuwangi, tempat diselenggarakannya gala dinner peluncuran antologi puisi bertajuk Ijen Purba: Tanah, Air, dan Batu. Acara tersebut dihadiri oleh para penyair terkemuka dari Indonesia, Malaysia, dan Singapura, yang merayakan persaudaraan sastra lintas negara.



Acara dibuka oleh PJ. Sekretaris Kabupaten Banyuwangi, Dr. Guntur Priambodo, yang juga menyuguhkan pembacaan puisi karya Elvin Hendarta, Kepala Cabang Bank Mandiri Banyuwangi. Dengan penuh penghayatan, Guntur Priambodo membawa suasana khidmat melalui puisi yang menggugah hati, mencerminkan keindahan serta keunikan alam dan budaya Banyuwangi.


Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, Dr. Chaironi Hidayat, memimpin doa di hadapan para peserta yang memenuhi acara tersebut. Doa tersebut menjadi simbol harapan untuk kebaikan, kesuksesan, dan keharmonisan dalam kehidupan yang dipenuhi nilai-nilai spiritual dan seni.



Ketua panitia penyelenggara M. Iqbal Baraas menyampaikan banyak terima kasih atas bantuan dan dukungan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi terhadap kesuksesan acara.

Acara ini semakin istimewa dengan kehadiran KH. D. Zawawi Imron, penyair legendaris asal Madura yang dikenal dengan karya terkenalnya, Sang Celurit Emas. Kehadirannya menambah aura kebangsawanan sastra di malam tersebut, serta menjadi magnet bagi para penikmat puisi yang datang dari berbagai daerah.


Antologi Ijen Purba merupakan persembahan yang menghormati alam Banyuwangi, memaknai kedalaman elemen tanah, air, dan batu, serta menyuarakan kekuatan alam sebagai bagian dari perjalanan manusia.

Ketua Lentera Sastra Banyuwangi Syafaat menyampaikan bahwa dari Lentera Sastra ada beberapa yang lolos kurasi JSAT, selain Syafaat, juga tujuh anggota lainnya yang lolos kurasi.



Acara pembukaan, KH. D Zawawi Imron membacakan puisi yang beliau berdomisili di Banyuwangi, tepatnya di Rogojampi.

Penyerahan buku kepada madrasah diterima Dr. Chaironi Hidayat sedangkan untuk Sekolah diterima Suratno. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Banyuwangi.

Ratusan puisi yang masuk hanya 200 yang lolos di tangan kurator Wayan Jengki Sunarta (Bali), Mutia Sukma (Yogyakarta) dan Mahwi Air Tawar (Bandung).

Selain dihadiri Forpimda Kabupaten Banyuwangi, nampak hadir dalam acara tersebut juga dihadiri beberapa tokoh sastra seperti Tengsoe Tjahyono, Riri Satria (Universitas Indonesia), Dr. Dewi Motik Pramono, dan lain-lain.

Rohani Din asal Singapura sangat terkesan dengan Jambore Sastra di Banyuwangi.

"saya lebih awal datang ke Banyuwangi agar lebih lama menikmati indahnya alam' kata Bunda Anie (panggilan akrabnya).


Pada hari kedua Jambore Sastra, para penyair juga akan menyebar ke beberapa sekolah dan madrasah di kabupaten Banyuwangi untuk berbagi pengalaman dibidang sastra kepada para pelajar yang diharapkan para pelajar di Banyuwangi akan menjadi Sastrawan internasional.

Kepala Bidang Pendidikan Agama Islam Kanwil Kemenag Jatim Terima Buku Antologi Puisi dari Lentera Sastra Banyuwangi

Banyuwangi, (Warta Blambangan) Kamis (10/10/2024) – Kepala Bidang Pendidikan Agama Islam Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur, Dr. Moh. Amak Burhanuddin, menerima buku antologi puisi berjudul 79 Penyair Hebat Bersama Umat dari Ketua Lentera Sastra Banyuwangi, Syafaat. Penyerahan buku ini berlangsung di sela-sela Kegiatan Moderatosi Beragama yang diadakan di Banyuwangi.



Dr. Amak Burhanuddin merupakan salah satu penulis yang berkontribusi dalam antologi puisi tersebut. Beliau menuturkan rasa bangganya bisa berpartisipasi bersama para penyair lainnya dalam karya sastra yang sarat makna religius dan humanis.


"Buku ini mengajak kita untuk terus menguatkan nilai-nilai kemanusiaan dan spiritual dalam kehidupan sehari-hari," ujar Amak.


Sebelum menjabat sebagai Kepala Bidang Pendidikan Agama Islam, Dr. Moh. Amak Burhanuddin pernah menjabat sebagai Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, di mana kontribusinya dalam bidang Literasi dan Sastra telah banyak diakui, dan mendapatkan penghargaan The Sunrise of Java Award 


Ketua Lentera Sastra Banyuwangi, Syafaat, menyampaikan harapannya agar buku ini menjadi inspirasi bagi pembaca dalam mengintegrasikan seni dan spiritualitas. "Kami bangga bisa menyatukan para penyair dari berbagai latar belakang untuk menghasilkan karya yang bermanfaat bagi umat," katanya.


Buku 79 Penyair Hebat Bersama Umat merupakan sebuah antologi yang melibatkan banyak penyair dari berbagai kalangan dengan tema-tema yang berfokus pada kebersamaan, keagamaan, dan sosial, mencerminkan keberagaman Indonesia dalam bingkai sastra.


Ketua Yayasan Lentera Sastra Banyuwangi Syafaat Ucapkan Selamat atas Yudisium Doktor Chaironi Hidayat, Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi

Banyuwangi (Warta Blambanga) – Ketua Yayasan Lentera Sastra Banyuwangi, Syafaat, mengucapkan selamat kepada Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, Chaironi Hidayat, atas keberhasilannya meraih gelar doktor. Yudisium Strata Tiga (S3) ini dilaksanakan pada Selasa, 2 Oktober 2024, di Auditorium Universitas Islam Negeri (UIN) KH Achmad Siddiq (KHAS) Jember.



Dalam kesempatan tersebut, Syafaat menyampaikan apresiasinya atas prestasi luar biasa yang diraih Chaironi Hidayat. "Kami sangat bangga dan mengucapkan selamat atas gelar doktor yang telah diraih. Semoga pencapaian ini semakin memotivasi beliau untuk terus berkarya dan memberikan kontribusi terbaik bagi masyarakat dan dunia pendidikan Islam di Banyuwangi," ujar Syafaat.


Chaironi Hidayat menjadi Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi kedua yang meraih gelar doktor selama masa jabatannya. Sebelumnya, prestasi serupa juga dicapai oleh Dr. Moh. Amak Burhanuddin, yang kini menjabat sebagai Kepala Bidang Pendidikan Agama Islam (PAIS) di Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur.


Yudisium ini menambah daftar pencapaian akademik yang luar biasa di lingkup Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, sekaligus menjadi inspirasi bagi para pejabat lain untuk terus mengembangkan kemampuan akademik di tengah tugas dan tanggung jawab mereka. (syaf)


 
Copyright © 2013. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Template Modify by Blogger Tutorial
Proudly powered by Blogger