Sore ini, seperti sore-sore lain yang tenang dan malas, saya mendapat kabar dari grup WhatsApp. Kabar itu sederhana: seorang anak dari MI Autharussalaf, Suko, Gombengsari, Kalipuro, Banyuwangi, menjadi juara baca puisi Porseni MI tingkat Provinsi Jawa Timur yang di laksanakan di Jember. Namanya Dafitha Nizza Anindia Jasmine.
Saya membaca kabar itu sambil diam. Tak ada yang menandai saya. Tak ada yang menyebut saya. Dan sebetulnya tidak ada alasan saya merasa punya hubungan apa-apa dengan kemenangan itu. Saya bukan gurunya. Bukan pelatihnya. Bahkan bukan panitia, bukan pula bagian dari sekolahnya. Tapi entah kenapa, hati saya ikut berbunga.
Mungkin karena saya pernah bertemu dengan anak ini. Waktu itu saya diminta menjadi juri lomba baca puisi tingkat kecamatan. Sudah tiga kali saya jadi juri kegiatan Porseni di Kabupaten Banyuwangi. Tapi biasanya di tingkat kabupaten. Kali ini, saya diminta juga di tingkat kecamatan. Kami hanya berdua menjadi juri, tanpa juri penengah. Tapi tidak masalah, sebab kami berdua punya akar yang sama: kami tumbuh di tanah yang bernama Sastra, di Lentera Sastra Banyuwangi dan di Dewan Kesenian Blambangan.
Saya masih ingat suaranya. Tidak terlalu besar, tapi jernih. Tidak terlalu dibuat-buat, tapi menyentuh. Ia tidak menampilkan puisi. Ia menyampaikan puisi. Dan itu perbedaan yang sangat penting. Puisi, sebagaimana doa, bukan pertunjukan. Puisi adalah ziarah batin.
Kami berdua, saya dan juri satunya, sepakat bahwa anak ini punya potensi yang besar. Artikulasi jelas. Ekspresi pas. Tidak berlebihan. Tidak terjebak gaya lama deklamasi zaman lampau. Ada ketulusan dalam caranya membaca, seperti seseorang yang tidak sedang berusaha memenangkan lomba, melainkan sedang berusaha memahami hidup, saya memberikan beberapa saran kepadanya untuk perbaikan bacaan yang biasanya saya tulis di kolom keterangan nilai, dan biasanya para guru melihat catatan saya tersebut untuk latihan berikutnya.
Beberapa saat setelah lomba, saya tanya ke gurunya, siapa yang mengajari? Ternyata gurunya sendiri. Dan guru itu, kata guru lain, adalah murid dari teman saya yang jadi juri.. Teman saya itu dulu juga juara lomba baca puisi tingkat kabupaten. Saya juga pernah jadi juara tapi sudah cukup lama, sewaktu di MI juga pernah ikut Porsen, tetapi tidak juara. Dan begitulah waktu menciptakan lingkaran: yang dulu dinilai kini menjadi pelatih, yang dulu belajar kini mengajar, yang dulu membaca kini mendengar.
Saya pernah pula diminta membantu anak lain. Dikirimkan video pembacaannya. Dari awal saya tahu ini akan sulit. Bukan karena anaknya kurang bagus, tapi karena anak ini sudah terlalu lama belajar pada orang yang salah. Ia jadi tiruan. Ia jadi cermin retak dari pelatihnya. Bukan menjadi dirinya sendiri, terapi duplikasi dari pelatihnya.
Saya menyarankan ganti puisi. Tapi waktunya mepet. Hanya seminggu sebelum lomba. Dan orang tuanya berat hati. Saya mengerti. Tapi begitulah nasib puisi di tangan mereka yang ingin membacanya saja..
Membaca puisi, bagi saya, sama seperti berpidato, bercerita, atau berceramah. Ini semua adalah bagian dari seni berbicara. Seni menyampaikan makna. Dan kalau seseorang membaca puisi tetapi yang mendengar tidak paham apa-apa, maka sesungguhnya ia telah gagal membaca.bKita sering terjebak dalam gaya. Dalam pantomim. Dalam drama suara. Padahal suara manusia yang paling menyentuh adalah suara yang datang dari dalam, bukan dari latihan teknik panggung.
Saya senang, Dafitha tidak seperti itu. Ia membawa puisinya seperti seorang anak membawa kendi berisi air ke masjid. Hati-hati. Tidak tumpah. Tidak sombong. Tapi cukup untuk membuat orang lain bersuci. Dan ia menang.
Menang di tingkat provinsi. Di Jember. Di hadapan juri yang tidak ia kenal. Di panggung yang jauh dari rumahnya. Seni memang bukan lomba lari. Tidak ada garis akhir yang bisa diukur dengan stopwatch. Tidak ada garis jelas seperti siapa duluan masuk garis finis. Seni adalah wilayah yang cair. Bisa suka atau tidak suka. Bisa menang atau tidak tergantung selera juri.
Tapi bersyukurlah sekarang ada live streaming. Setidaknya, kita semua bisa menonton. Setidaknya, juri akan berpikir dua kali sebelum bermain-main. Setidaknya, semua menjadi lebih terbuka. Dan anak-anak bisa belajar, bahwa seni bukan hanya tentang menang, tapi tentang mempertanggungjawabkan cara mereka menang. Saya berharap di jenjang lebih tinggi dan yang lain nanti pun seni tetap disiarkan langsung. Agar seni tak lagi jadi ruang gelap yang penuh bisik-bisik. Tapi jadi ruang terang, di mana kejujuran tumbuh dan rasa hormat lahir.
Saya menulis ini bukan untuk mengklaim kemenangan Dafitha. Saya bukan bagian dari itu. Tapi saya menulis karena saya tahu: satu anak kecil membaca puisi dengan benar, bisa membuat dunia jadi lebih baik. Bisa membuat kita semua percaya bahwa kata-kata belum sepenuhnya kehilangan daya.
Dan di suatu sore, yang cahaya mataharinya mulai miring ke barat, saya membaca pesan WA, dan tahu: seorang anak dari Gombengsari sebuah kelurahan di lereng pegunungan, baru saja mengangkat puisi ke tempat yang lebih tinggi.
Ia membacanya bukan untuk tepuk tangan. Tapi untuk menyampaikan sesuatu kepada langit. Dan saya, di sini, hanya ingin mengatakan: saya bangga pernah mendengar suaranya. Suara anak yang bukan anak saya, tapi entah kenapa terasa begitu dekat di dada.
Banyuwangi, 08-07-2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar