Pages

Tampilkan postingan dengan label UMKM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label UMKM. Tampilkan semua postingan

Makelar-Makelar Digital: Orang Kere Diperantarai Orang Kaya

 Makelar-Makelar Digital: Orang Kere Diperantarai Orang Kaya


Minggu pagi, langit cerah, tempat gesah belakang Hotel Slamet  sudah penuh. Saya datang telat. Kursi panjang dari kayu jati sudah dipenuhi orang-orang yang saya sebut "orang pintar". Mereka bukan hanya pintar baca koran, tapi juga pintar mencium peluang.

Sayangnya, di negeri ini, orang pintar di Ibukota juga bisa minteri. Lalu pembicaraan kami mengalir ke soal aplikasi, banyak yang dibahas tanpa konsep, bukan hanya aplikasi ojek online, bukan juga aplikasi jual beli. Kami membahas makelar—bukan makelar tanah, bukan makelar jabatan. Ini makelar digital. Yang mempertemukan si miskin dengan si miskin, tapi fee-nya buat orang kaya.b


“Namanya keren: platform,” kata seorang teman sambil mengunyah peyek kacang.

Tapi intinya satu: mempertemukan dua pihak yang sama-sama kere, dan yang kaya? Duduk di atas server. Menonton statistik. Menikmati komisi. Mengatur algoritma.

Dulu makelar itu tukang celoteh di emperan kantor layanan publik. Sekarang, makelar bisa kuliah di Stanford, merancang antarmuka digital yang user-friendly, dan duduk di Menlo Park. Tapi prinsipnya sama: tidak bikin produk, tidak punya barang, tidak mengeluarkan modal. Hanya mempertemukan. Hanya memfasilitasi. Tapi dapat bagian paling besar.

Saya jadi ingat tukang pijat langganan saya. Sudah 15 tahun jadi tukang urut. Sejak pandemi, dia gabung aplikasi layanan pijat online. “Dapat pelanggan lebih banyak, Pak,” katanya. Tapi ketika saya tanya berapa fee-nya ke aplikasi, dia jawab: 40 persen. Saya kaget. Tapi dia tidak. “Kalau tidak ikut aplikasi, saya tidak dapat pelanggan,” katanya lirih.

Saya lalu berpikir: kenapa yang kerja keras cuma dapat 60 persen, dan yang duduk di atas awan dapat 40 persen?

Ini dunia baru. Dunia tanpa pasar tradisional. Dunia tanpa suara tukang sayur. Dunia yang sunyi karena semua transaksi disaring lewat layar. Dan di balik layar itu, ada satu atau dua nama yang mengatur aliran rupiah. Mereka yang mengaku sekadar “fasilitator”—padahal merekalah penguasa ekonomi paling diam.

Dulu kita kenal makelar tanah. Makelar motor. Makelar proyek. Sekarang, mereka berubah nama. Menjadi startup. Menjadi founder. Menjadi CEO. Tapi pekerjaannya tetap: mencomblangi. Bedanya: sekarang pakai kode. Pakai server. Pakai data. Pakai narasi “membantu UMKM”.

Padahal UMKM yang dibantu itu hanya bertahan karena kerja keras sendiri. Yang bantu? Sering kali hanya memperantarai, lalu menghisap.

Saya tidak anti teknologi. Saya juga pengguna aplikasi. Tapi saya curiga pada narasi. Terlalu banyak narasi indah soal “transformasi digital” yang ternyata cuma alat kamuflase untuk menghisap lebih banyak fee dari mereka yang tak punya pilihan.

“Jadi makelar digital itu profesi paling laris sekarang,” kata teman saya. “Tidak butuh gudang. Tidak butuh toko. Tidak butuh barang. Tapi bisa IPO.”

Saya diam. Sambil menyeruput kopi. Di meja sebelah, seorang bapak tua mengeluh karena anaknya tak lulus SNBP. Katanya anaknya kalah dengan yang bisa beli akun belajar online premium. Saya ingin bilang: dunia ini sedang disusun untuk membuat kita percaya bahwa keadilan adalah utopia. Tapi saya tahan. Nanti kopinya jadi pahit.

Apakah saya sinis? Mungkin. Tapi coba pikirkan. Siapa yang paling banyak dapat uang dari aplikasi transportasi online? Bukan sopirnya. Siapa yang paling banyak dapat uang dari aplikasi penginapan? Bukan pemilik rumah. Siapa yang paling kaya dari aplikasi makanan? Bukan penjual pecel di warung pagi ini. Tapi orang-orang yang pintar mengatur algoritma dan fee.

Itulah makelar zaman sekarang. Bukan berpeci dan bertas pinggang. Tapi berkacamata dan berpakaian hitam-hitam. Bukan berdiri di pinggir jalan, tapi duduk di ruang konferensi dengan Wi-Fi tercepat.

Dan yang paling ajaib: mereka bisa membuat kita merasa berutang budi.

Minggu pagi itu, saya diam dengan kepala penuh. Bukan karena nggak kebagian sambal pecelnya. Tapi karena obrolan tentang kecerdasan yang justru memiskinkan.

Kita tidak bisa menolak aplikasi. Tapi kita bisa belajar mengendus jebakan.

Karena kadang, yang paling pintar adalah mereka yang membuat dirinya tampak tidak ikut bermain—padahal semua garis di peta mereka yang tentukan. (Syafaat)

Dari Bak ke Nun: Prinsip Ekonomi dari Titik ke Titik


(Catatan Diskusi Malam di Rumah Kebangsaan Basecamp Karangrejo, Banyuwangi)

Oleh: (Syafaat )

Saya tidak tahu siapa yang memulainya malam itu. Tapi begitu kopi diseruput, dan krupuk udang digigit, tiba-tiba semua menjadi sangat serius. Padahal tadinya kita hanya duduk di teras Rumah Kebangsaan Karangrejo, yang lebih mirip gardu ronda modern ketimbang markas gagasan besar., tapi malam itu, entah bagaimana, diskusi melesat jauh sampai ke huruf kedua hijaiyah: Bak. Dan melompat ke Nun, huruf ke-25.

“Kenapa Bak titiknya di bawah, Nun di atas?”

Pertanyaan itu tidak penting bagi sebagian orang. Tapi bagi kami malam itu yang sedang kehausan arah dan jenuh dengan jargon ekonomi makro yang penuh kurva dan asumsi, pertanyaan itu seperti jalan masuk ke gua ilmu. Kecil, tapi gelap dan dalam. Saya tidak akan menceramahi Anda soal bentuk huruf Arab. Saya juga bukan ahli kaligrafi. Tapi malam itu, seseorang yang baru kami kenal menyebut satu kalimat yang membuat saya duduk lebih tegak.

“Bak itu fondasi. Nun itu puncak.”

Kami semua diam. Itu kalimat sederhana. Tapi seperti semua kalimat sederhana, ia tidak ingin dimengerti lewat kepala, tapi lewat hati dan pengalaman.

Bak adalah huruf dengan titik di bawah. Ia menopang hurufnya. Ia menegaskan keberadaannya dari dasar. Seperti ekonomi rumah tangga, yang harus berpijak dari yang paling dasar: kebutuhan pokok, kestabilan dapur, ketahanan pangan.

Sedangkan Nun, huruf dengan titik di atas, adalah simbol puncak: cita-cita, surplus, kemakmuran. Tapi coba Anda hilangkan titiknya: dia akan menjadi huruf Ha. Goyang. Rapuh. Hampa.

Saya teringat satu ayat yang paling sering diperdebatkan: "Wa maa khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun.", tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah.

Kalau ditarik dalam konteks ekonomi, ayat itu bukan cuma soal sujud dan rukuk, tapi soal orientasi. Kita bekerja, kita berdagang, kita membangun pasar bukan semata untuk mencari uang, tapi untuk liya’budun, menyempurnakan pengabdian. Ekonomi harus punya titik. Kalau tidak, ia hanya seperti huruf tanpa tanda baca.

Dan titik itu? Harus dipilih: di bawah seperti Bak atau di atas seperti Nun?

Malam itu, kami sepakat bahwa ekonomi yang tidak berpijak seperti Bak, akan mudah ditumbangkan. Banyak orang berusaha langsung menjadi Nun: ingin sukses, kaya, populer. Tapi ia tidak punya titik di bawahnya, tidak punya etika, tidak punya basis nilai.

Apalagi zaman sekarang: anak muda lebih banyak ingin jadi influencer ekonomi, bukan pelaku ekonomi. Lebih suka membuat konten tentang kesuksesan daripada membuka toko kelontong kecil dan menata inventaris.

Kami tertawa, tapi getir. Karena ini memang kenyataan.

Kita telah terlalu lama mengajarkan anak muda untuk menjadi Nun tanpa mengajarkan dulu makna dari Bak. Mereka ingin menjadi merk dagang, bukan produsen. Ingin dipuji sebagai wirausahawan muda, padahal utang modalnya masih dari ayahnya.

Seseorang di pojok menambahkan, “Bak itu seperti prinsip ekonomi Islam: ada zakat, ada infaq, ada qana’ah. Titik di bawah itu adalah rasa cukup, bukan rakus.”

Dan saya tidak bisa tidak mengangguk. Mungkin itulah mengapa negara-negara yang ekonominya stabil adalah yang punya titik kuat di bawah: koperasi yang sehat, UMKM yang hidup, petani yang tidak tergantung musim, nelayan yang tidak tergantung tengkulak.

Ekonomi yang baik bukan yang hebat di atas, tapi yang kokoh di bawah. Diskusi malam itu ditemani dengan satu cangkir kopi pahit, Gula dibatasi, katanya, demi kesehatan. Tapi malam itu justru sangat manis. Bukan karena gulanya. Tapi karena kami merasa mendapat pelajaran yang tidak ada di bangku kuliah. Tentang prinsip dari Bak ke Nun. Tentang titik yang menegaskan makna. Tentang ekonomi yang harus berpijak sebelum melesat. Dan tentang pentingnya berdiskusi bukan di seminar mewah, tapi di Rumah Kebangsaan yang sering memunculkan ide-ide besar.

Saya pulang, melewati pasar. Seorang ibu menata tempe dan tahu di lapak kecilnya. Tak ada spanduk, tak ada promosi. Tapi semua orang membelinya.

Saya melihat titik itu di bawah lapaknya. Titik kecil, tapi penuh makna. Dan saya tersenyum.

Bak.

Nun.

Ekonomi.

Malam itu tidak direncanakan sebagai malam serius. Bahkan, kalau boleh jujur, kami datang ke Rumah Kebangsaan Karangrejo hanya karena lapar dan bosan. Ada yang baru pulang dari Kelurahan Gombengsari, ada yang seharian di pasar, ada juga yang datang karena tidak punya tempat lain untuk menaruh gelisahnya. Rumah itu seperti basecamp yang tak pernah mengusir siapa pun. Tempat orang-orang biasa memikirkan hal-hal besar. Atau membicarakan hal-hal sepele dengan cara yang besar.b


Di teras rumah yang menghadap ke jalan kecil berkelok itu, kopi dan teh jadi pembuka malam. Kami duduk berdandar sambil nonton TV, ada yang menyandar ke tembok, ada yang menyilangkan kaki c karena takut gigitan nyamuk.

Awalnya, obrolan seputar kegiatan sehari-hari. Lalu meloncat ke pengolahan sampah ke makan bergizi gratis, ke nasib petani, ke kekacauan pasar. Sampai akhirnya, dari balik kepulan asap rokok kretek, tamu yang baru pertama kali datang ke RKBK melempar pertanyaan yang membuat semua kepala menoleh: “Kenapa Bak titiknya di bawah, Nun titiknya di atas?”

Itu pertanyaan konyol di malam yang terlalu serius, atau pertanyaan serius di malam yang terlalu konyol. Tapi tidak ada yang menertawakan. Justru hening yang turun. Seperti ada yang mengintip dari balik langit Karangrejo dan menunggu jawaban kami.

Saya, yang awalnya ingin pulang cepat karena besok harus kerja pagi-pagi, akhirnya ikut tenggelam. Kalimat itu seperti membuka pintu kecil yang mengarah ke lorong panjang pemahaman. Dari Bak ke Nun. Dari huruf kedua ke huruf ke-25 dalam abjad hijaiyah. Dari titik bawah ke titik atas. Dari fondasi ke puncak.

Malam itu, kami bicara panjang soal titik. Tentang bagaimana satu titik bisa mengubah huruf, mengubah makna, bahkan mengubah arah hidup. Bak tanpa titik menjadi huruf kosong. Nun tanpa titik menjadi goyah, seperti huruf Ha, yang bunyinya lemah, napasnya terengah. Tapi titik itu bukan hanya tanda. Ia adalah posisi. Ia adalah tempat berpijak.

Bak dengan titik di bawah seperti orang yang tahu dari mana dia datang. Ia mengerti akar. Ia mengerti bahwa segala sesuatu dimulai dari bawah. Dari tanah, dari keringat, dari usaha yang tak kelihatan. Sementara Nun, dengan titik di atas, adalah orang yang sudah berada di puncak. Sudah stabil. Sudah mapan. Tapi kalau titiknya meleset, ia bisa runtuh. Menjadi hampa.

Kami lalu mengaitkannya dengan ekonomi. Bukan ekonomi makro ala World Bank, bukan pula mikro seperti UMKM. Tapi ekonomi yang kami jalani sehari-hari. Ekonomi yang harus mengerti titik bawah, agar tidak salah menaruh titik atas. Ekonomi yang tidak hanya bicara laba, tapi juga rasa cukup. Ekonomi yang lahir dari nasi yang ditanak, bukan dari grafik yang dipresentasikan.

Saya pernah melihat seorang ibu di pasar Blambangan, yang setiap hari membawa lima bungkus nasi rames untuk dijual. Ia tahu kalau hari hujan, hanya dua yang laku. Tapi ia tetap bawa lima, karena siapa tahu rezeki bertambah. “Kalau gak laku, ya buat makan keluarga,” katanya sambil tersenyum. Itu titik di bawah. Ia tidak rakus. Ia tidak mengharap besar. Tapi ia bergerak. Ia berjalan dalam garis hidupnya yang sederhana tapi mantap. Seperti huruf Bak: rendah, tapi bermakna.

Sebaliknya, saya juga pernah melihat pedagang besar di Banyuwangi, yang menimbun barang demi menaikkan harga. Ia ingin jadi Nun. Titiknya di atas. Tapi ketika pemerintah melakukan operasi pasar, harganya jatuh. Ia marah, ia curiga, ia merasa dikhianati. Padahal yang mengkhianati bukan orang lain, tapi titiknya sendiri yang ia letakkan terlalu tinggi, melebihi hurufnya.

Dari situ kami mulai bicara tentang prinsip. Prinsip ekonomi dari Bak ke Nun. Bagaimana membangun ekonomi yang tidak lupa titik asalnya. Bagaimana memperjuangkan kesejahteraan tanpa meninggalkan keadilan. Bagaimana mencintai keuntungan tanpa menindas orang lain.

Seseorang lalu menyebut istilah ekonomi Islam. Tentang zakat, infaq, sedekah. Tentang larangan riba. Tentang kejujuran dalam timbangan. Saya tersenyum, karena ini bukan seminar. Tapi mendadak malam itu lebih kaya dari ruang kelas mana pun. Karena kami tidak sedang menghafal teori. Kami sedang menelaah hidup, lewat huruf-huruf yang setiap hari kami baca, tapi jarang kami renungi.

Bak ke Nun adalah perjalanan panjang. Dari huruf kedua ke huruf ke-25. Itu bukan sekadar urutan. Tapi juga proses. Seperti anak petani yang belajar, lalu kuliah, lalu kembali mengabdi. Seperti tukang becak yang menyekolahkan anaknya sampai jadi sarjana. Seperti pemilik warung kopi yang pelanggannya semakin banyak karena ia tak pernah menaikkan harga meski harga gula melambung. Semua itu adalah proses dari Bak ke Nun. Dari titik bawah ke titik atas. Tapi tidak semua berhasil. Karena kadang titik itu hilang. Atau bergeser. Atau diganti dengan tanda tanya.

Seseorang malam itu menyitir Al-Qur’an, tentang huruf-huruf muqaththa’ah. Yang maknanya tidak dijelaskan secara eksplisit. Ada yang dimulai dengan "Nun", ada yang dengan "Alif Lam Mim", ada juga yang dengan "Kaf Ha Ya 'Ain Shad". Huruf-huruf misterius. Tapi bukan tanpa makna. Mereka adalah kode. Tanda bahwa ilmu Tuhan melampaui logika manusia. Tapi justru di sanalah letak kesempurnaan. Bahwa tidak semua harus dipahami. Tapi semua harus dihormati.

Kami lalu menyepakati satu hal yang tidak kami tulis, tapi kami simpan dalam hati masing-masing: ekonomi yang baik adalah ekonomi yang tahu titiknya. Yang tidak malu jadi Bak, dan tidak sombong jadi Nun. Yang tahu bahwa bawah bukan kehinaan, dan atas bukan kemuliaan. Semua tergantung titik.

Saya sendiri pernah merasa menjadi huruf tanpa titik. Ketika bisnis saya bangkrut. Ketika kepercayaan orang menguap. Ketika saya harus mulai dari nol, dan nol itu tidak berbentuk bulat, tapi seperti kawah gelap yang sulit dipanjat. Tapi justru di situ saya belajar tentang titik. Bahwa kita tidak bisa memilih di mana kita ditaruh. Tapi kita bisa memilih bagaimana kita berpijak.

Di sebuah desa di lereng Gunung Raung, saya pernah bertemu petani kakao yang setiap panen hanya menjual ke satu pengepul. Harganya rendah. Tapi ia tidak pernah mengeluh. “Yang penting bisa sekolahin anak,” katanya. Saya tanya, “Kenapa tidak cari pengepul lain?” Dia menjawab dengan kalimat yang membuat saya terdiam: “Kalau saya terlalu ingin naik, saya bisa jatuh. Saya tahu posisi saya.”

Bukan berarti ia tidak punya cita-cita. Tapi ia mengerti titiknya. Dan itu membuatnya selamat.

Ekonomi hari ini terlalu banyak Nun. Terlalu banyak orang ingin di atas. Ingin viral, ingin sukses cepat, ingin jadi CEO sebelum tahu cara mengepel lantai kantor. Tapi semua itu rapuh. Karena titiknya ditaruh sembarangan. Atau dibuat-buat.

Di Rumah Kebangsaan Karangrejo, malam itu, kami menemukan prinsip yang tidak diajarkan di sekolah bisnis mana pun: bahwa satu titik bisa menjadi poros seluruh bangunan. Bahwa huruf-huruf hidup kita perlu diberi titik di tempat yang tepat. Agar tidak goyah. Agar tidak kosong.

Ketika malam semakin larut dan nyamuk semakin rakus, kami tidak bubar. Justru obrolan semakin dalam. Ada yang menyebut nama Muhammad, nama yang diawali huruf Mim, huruf yang juga bertitik. Tapi titiknya di tengah. Menjaga keseimbangan. Antara atas dan bawah. Antara dunia dan akhirat. Antara hak dan kewajiban.

Saya tertegun. Lalu berpikir: mungkin itulah kuncinya. Bahwa titik bukan hanya soal posisi. Tapi soal keseimbangan. Titik di bawah adalah kerendahan hati. Titik di atas adalah harapan. Titik di tengah adalah kendali. Kita butuh ketiganya. Tapi tidak sekaligus. Harus bertahap. Harus dengan proses.

Bak ke Nun bukan lompatan. Tapi perjalanan. Dan ekonomi, agar tidak pincang, harus mengikuti perjalanan itu. Harus dimulai dari produksi, bukan konsumsi. Dari kerja keras, bukan utang. Dari desa, bukan dari pusat kota. Dari pasar tradisional, bukan dari mal. Dari warung kopi seperti tempat kita ngopi depan inggrisan, bukan dari kafe yang menjual estetika tanpa rasa.

Malam itu, saya tahu kami tidak menyelesaikan masalah negara. Kami juga tidak akan diminta jadi menteri. Tapi kami telah menemukan satu benang halus yang menghubungkan hidup kami semua: titik. Satu titik yang kecil, tapi mampu menopang huruf. Satu titik yang bisa mengubah huruf kosong menjadi penuh makna.

Ketika akhirnya saya pulang menjelang dini hari, jalanan Karangrejo sudah sepi. Tapi pikiran saya masih penuh. Saya tidak bisa tidur. Bukan karena kopi. Tapi karena kalimat itu terus terngiang: Bak ke Nun.

Saya membayangkan negeri ini, yang terlalu sibuk menaruh titik di atas. Tapi lupa bahwa titik itu bisa jatuh. Dan jika titik itu hilang, kita tidak lagi bisa membaca huruf-huruf kehidupan dengan benar.

Saya percaya, ekonomi kita bisa tumbuh. Tapi hanya jika kita tahu dari mana memulainya. Bukan dari atas. Tapi dari bawah. Dari Bak.

Dan semoga, jika nanti kita sampai ke Nun, titik kita tetap berada di tempat yang semestinya. Agar huruf kita tetap utuh. Agar hidup kita tetap bermakna.

Dan ekonomi kita, tetap manusiawi.

01 Mei 2025

Kurasi UMKM Berbasis Produk untuk Mustahik Binaan BAZNAS Banyuwangi Sukses Dilaksanakan di Kemenag Banyuwangi

BANYUWANGI - Pada tanggal 6-7 Agustus 2024, Aula Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi berlangsung kegiatan kurasi untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang berorientasi pada produk bagi mustahik binaan BAZNAS Kabupaten Banyuwangi. Berlokasi di Jalan Adi Sucipto No.112, Sobo, Kec. Banyuwangi, kegiatan ini dimulai sejak pagi hari pukul 07.30 WIB.

Acara diawali dengan sambutan hangat oleh Bapak DR H. Lukman Hakim, Ketua BAZNAS Banyuwangi, yang memberikan inspirasi kepada para peserta. Selanjutnya, Drs. H. Jali, Kasubag Kementerian Agama, secara resmi membuka acara dengan menekankan pentingnya pengembangan UMKM di daerah ini.

Kegiatan ini juga dimeriahkan oleh sesi motivasi dan sharing tentang strategi mengangkat UMKM ke level yang lebih tinggi oleh Bapak M. Pandu, serta materi mendalam terkait proses kurasi yang disampaikan oleh Ibu Ratna Puspitasari, SIP.


Program kurasi ini bertujuan untuk mendorong perbaikan di berbagai aspek legalitasusaha, termasuk Nomor Induk Berusaha (NIB), Pendaftaran Izin Edar (PIRT),sertifikasi halal, serta pengemasan produk. Dalam kegiatan ini, beberapa UMKMtelah berhasil memperoleh legalitas NIB dan PIRT, yang diserahkan secarasimbolis oleh DR. H. Herman, Wakil Ketua BAZNAS Banyuwangi, Ibu Santi Dewi dariPendistribusian BAZNAS, dan Ibu Ratna Puspitasari, SIP sebagai Kurator dariBadan Kurasi Indonesia.

Dengan adanya kegiatan ini, diharapkan UMKM di Banyuwangi dapat meningkat kualitas dan daya saingnya, sekaligus memberikan dampak positif bagi perekonomian lokal. (AW/Media Blambangan)

Ratna Puspitasari bersama para peserta kurasi di Banyuwangi


 
Copyright © 2013. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Template Modify by Blogger Tutorial
Proudly powered by Blogger