Yasmin, Anak Kecil yang Menjadi Cahaya
Ada anak kecil bernama Yasmin Najma Faliha. Orang-orang memanggilnya Neng Yasmin, asal Kecamatan Glenmore, masih kelas empat sekolah dasar, kalau anda melihatnya sekilas, mungkin tidak ada yang istimewa. Ia sama seperti anak-anak lain, dengan senyum ceria, tawa polos, dan semangat khas usia belia.
Namun, siapa sangka, anak sekecil itu mampu tampil tenang di panggung Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) ke-31 Jawa Timur dan meraih juara ketiga kategori tilawah 1 juz putri.
Yang lebih menggetarkan hati bukanlah sekadar posisinya sebagai pemenang, tetapi perjalanan bagaimana ia bisa sampai di sana.
Yasmin membaca ayat-ayat Al-Qur’an tanpa bisa melihat mushaf, matanya memang tidak diberi kemampuan untuk menatap huruf-huruf suci itu, tetapi jemarinya yang kecil mampu meraba tulisan Braille, hatinya mampu menghafal ayat-ayat dengan sempurna, dan suaranya mampu melantunkan dengan indah, seolah tidak ada sekat antara dirinya dengan firman Tuhan, di hadapan Yasmin, kita belajar sesuatu yang sering kita lupakan bahwa keterbatasan bukanlah akhir dari segalanya.
Ketika Yasmin melantunkan tilawahnya, banyak yang terdiam, suaranya tidak sekadar bacaan. Ia seperti doa yang merambat ke dinding-dinding relung hati, seperti lantunan yang memaksa kita berhenti sejenak dari segala kesibukan, lalu mendengarkan dengan tenang, seolah bumi ikut bergetar, seolah langit menunduk, mendengar suara kecil yang penuh ketulusan itu. Saya membayangkan, betapa panjang jalan yang ditempuhnya sebelum sampai ke panggung itu, tidak mungkin seorang anak kecil langsung begitu mahir tanpa belajar, tanpa mengulang, tanpa salah, tanpa jatuh bangun. Yasmin tentu pernah menangis ketika gagal menghafal. Ia pasti pernah jenuh, mungkin pernah ingin berhenti, tapi entah dari mana datangnya, semangat itu tidak pernah padam, ketika ditanya bagaimana perasaannya meraih juara ketiga, wajahnya berseri. Ia berkata bahwa ia sangat senang, sangat gembira, tidak ada rasa lebih, tidak ada sombong. Tidak ada keinginan untuk menonjolkan diri karena berbeda, justru ia menyampaikan harapan sederhana: semoga teman-temannya juga tidak mudah menyerah.
Yang lebih menakjubkan, perjalanan Yasmin tidak berhenti di panggung MTQ. Setelah orang-orang mendengar tilawahnya, undangan mulai berdatangan, ada pengajian di desa, ada acara keagamaan di kota, ada majelis-majelis shalawat yang ingin menghadirkan suara kecil yang menggetarkan hati itu.
Saya mendengar cerita bagaimana Yasmin, ditemani keluarga, menyeberang selat menuju Pulau Bali, di sana, di hadapan jamaah yang khusyuk, ia diminta membacakan tilawah dan shalawat, lantunan suaranya yang bening melintasi udara, menyejukkan telinga orang-orang yang hadir, dan menanamkan rasa haru yang sulit dilukiskan.
Di kesempatan lain, ia juga menyeberang ke Pulau Madura, lagi-lagi, bukan sekadar untuk dipertontonkan, tetapi untuk menjadi bagian dari doa bersama. Yasmin diminta melantunkan shalawat, dan siapa pun yang mendengarnya akan tahu: ada kehangatan yang tulus dalam setiap nadanya, ada cinta yang jernih kepada Nabi, ada semangat yang lahir dari hati yang ikhlas.
Anak kecil ini, yang matanya tidak bisa melihat, justru menjadi cahaya yang dilihat banyak orang.
Kita sering salah paham dalam menilai diri manusia, kita menganggap tubuh yang lengkap, mata yang melihat, telinga yang mendengar, adalah tanda sempurna, sebaliknya, jika seseorang kehilangan satu indera atau satu kemampuan, kita anggap sebagai cacat, sebagai kekurangan. Padahal, tidak jarang, di ruang kosong itulah Tuhan menitipkan cahaya yang tidak bisa kita lihat.
Yasmin tidak bisa melihat dunia dengan indra matanya, tetapi justru karena itulah, ia menghafal dengan hati yang lebih peka, jemarinya membaca huruf-huruf Braille dengan kesabaran. Ia mengandalkan daya ingat yang tidak semua anak seumurannya punya. Kekurangan pada matanya menjelma kelebihan pada hatinya, dan bukankah begitu cara Tuhan bekerja? Menyembunyikan cahaya di tempat yang tidak kita sangka.
Pendidikan kita sering kali hanya sibuk mengejar angka, nilai, dan ranking, kita jarang mendidik hati, kita lupa bahwa anak-anak tidak hanya butuh pengetahuan, tetapi juga ketabahan, kesabaran, dan iman.
Yasmin tidak membaca buku tebal filsafat atau teori, tetapi hatinya sudah mengenal kesabaran. Ia tahu arti berjuang dengan keterbatasan. Ia belajar untuk terus mencoba meski jalannya tidak mudah.
Itulah pendidikan hati yang kita butuhkan, pendidikan yang mengajarkan anak-anak untuk tabah, untuk tekun, untuk percaya pada doa., dan pendidikan itu, kadang tidak datang dari ruang kelas, melainkan dari panggung pengajian, dari majelis shalawat, dari perjalanan ke Bali dan Madura, ketika seorang anak kecil mengajarkan kepada orang dewasa arti keikhlasan.
Sore itu, di panggung MTQ, suara Yasmin bukan hanya bacaan. Ia adalah doa, agar kita semua tidak berhenti percaya, doa agar kita tidak cepat menyerah, doa agar kita mau melihat bahwa setiap jiwa membawa cahaya, meski kadang datang dari arah yang tidak kita sangka.
Dan ketika ia melantunkan shalawat di pengajian, entah di Banyuwangi, Bali, atau Madura, suaranya tetap sama: bening, polos, tulus, sebuah suara yang membuat hati kita mengerti bahwa mencintai Nabi tidak harus dengan syair panjang, cukup dengan suara jernih yang lahir dari hati yang bersih.
Saya kira, Tuhan sering berbicara kepada kita melalui jalan yang sederhana, kadang lewat alam, kadang lewat peristiwa kecil, kadang lewat orang-orang yang kita anggap lemah, kali ini, Tuhan berbicara lewat seorang anak kecil bernama Yasmin, seorang anak kelas empat SD, yang tidak bisa melihat dunia dengan matanya, tetapi bisa membuat dunia melihat cahaya lewat suaranya.
Dari Banyuwangi ia berangkat, ke Jember ia bertanding, ke Bali ia menyeberang, ke Madura ia bershalawat, jejaknya bukan sekadar perjalanan seorang anak, melainkan perjalanan cahaya yang berpindah dari satu hati ke hati lain.
Dan bukankah itu cara Tuhan bekerja, mengirimkan pesan melalui mulut-mulut kecil yang polos, melalui hati yang murni, agar kita, orang-orang dewasa yang sering lupa, kembali ingat: bahwa cahaya itu selalu ada