Pages

Tampilkan postingan dengan label Artikel Pilihan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel Pilihan. Tampilkan semua postingan

Literasi Finansial Keluarga Muda pada Gerakan Keluarga Maslahah

 Literasi Finansial Keluarga Muda pada Gerakan Keluarga Maslahah

Oleh : Syafaat

 

Ada dua bahasa yang mesti dikuasai agar rumah tangga berjalan tenang: bahasa cinta dan bahasa angka, bahasa cinta menjaga hati agar tidak retak, sementara bahasa angka menjaga dapur agar tetap berasap, dua bahasa ini tak lahir dari tempat yang sama, namun saling melengkapi seperti dua sisi doa, yang satu melembutkan rasa, yang lain menegakkan nalar. Bahasa cinta lahir dari kehangatan jiwa. Ia seperti cahaya senja yang menenangkan mata, mengajarkan pelukan saat gagal, doa ketika terdesak, dan pengertian di saat yang lain lelah. Ia membuat manusia kuat menghadapi kekurangan, menukar kemewahan dengan ketulusan.

Ada bahasa kedua, yang sering terlupakan: bahasa angka, bahasa yang tampak kaku, tapi justru menyelamatkan; terdengar dingin, tapi menjaga api dapur agar tetap hidup. Ia tak mengenal kata rindu, tapi paham arti menabung. Sebagian besar pasangan muda fasih dalam bahasa cinta, tapi gagap dalam bahasa angka. Mereka hafal tanggal ulang tahun, tapi lupa tanggal jatuh tempo listrik. Pandai mencintai, tapi belum tentu pandai menghitung. Cinta, pada awalnya, terasa seperti mata air yang tak akan kering. Pelukan dianggap lebih penting daripada perencanaan, tawa dianggap cukup menggantikan tabungan, dan keyakinan seolah bisa membayar semua tagihan. Tapi waktu, seperti guru yang sabar, mengajarkan bahwa listrik tak bisa dibayar dengan maaf, dan beras tak bisa dibeli dengan sabar. Cinta tanpa perhitungan akan kehilangan arah, seperti kapal tanpa kompas di tengah lautan kebutuhan.

Waktu tidak memusuhi cinta, hanya menuntut kedewasaan dalam mengelolanya, cinta yang benar bukan hanya tentang memberi bunga, tapi juga menyiapkan lahan untuk menanamnya. Bahasa cinta membuat kita bertahan, tapi bahasa angka membuat kita berdaya. Keduanya seperti dua sayap burung yang harus bergerak seirama agar bisa terbang tinggi, satu menjaga arah, satu menahan keseimbangan. Jika hanya cinta tanpa hitungan, rumah tangga akan melayang terlalu tinggi dan lupa tanah, jika hanya angka tanpa cinta, rumah akan dingin dan kehilangan jiwa. Dalam rumah tangga yang damai, keduanya bersahutan seperti zikir:
Cinta berkata, “aku bersamamu,” dan angka menjawab, “aku menyiapkan jalan agar kita tetap bersama.” 


Bahasa cinta menyalakan api, bahasa finansial menjaga agar api itu tidak membakar, keduanya, jika disatukan dalam iman, menjadi bahasa keberkahan,
bahasa yang membuat rumah sederhana terasa seperti surga kecil di bumi.
Sebab cinta yang berpadu dengan perhitungan akan melahirkan ketenangan,
dan ketenangan yang dijaga dengan iman akan tumbuh menjadi keluarga maslahah, tempat cinta bukan hanya hidup, tetapi menjadi ibadah yang terus bernapas di antara angka-angka kehidupan.

Gerakan Keluarga Maslahah lahir dari kesadaran yang perlahan tumbuh di antara kesibukan dunia: bahwa keluarga bukan sekadar tempat bernaung, melainkan ruang suci di mana cinta diuji dengan kenyataan, dan iman diuji oleh kebutuhan. Ia bukan program birokrasi, bukan pula proyek sesaat yang berhenti di spanduk dan laporan. Ia adalah panggilan halus, seperti bisikan subuh di hati mereka yang ingin menata ulang makna rumah tangga, menjadikan cinta sebagai ibadah, dan rezeki sebagai amanah.

Kementerian Agama menamai gerakan ini sebagai upaya membangun keluarga yang bahagia, sejahtera, dan taat agama. Kalimat itu sederhana, tapi di dalamnya terkandung cita-cita besar yang melampaui angka-angka APBN: cita-cita untuk membentuk keluarga utuh, yang tangannya bekerja di bumi, tapi hatinya tetap tertaut pada langit. Di bawah naungan program ini, ada banyak cabang kegiatan: bimbingan perkawinan yang mengajarkan cinta bukan hanya sebagai rasa, tapi sebagai tanggung jawab. Ada pelatihan parenting yang menuntun orang tua agar mendidik anak bukan hanya dengan kata, tapi dengan teladan. Ada intervensi stunting, agar tubuh anak-anak tumbuh sehat bersama dengan akal dan imannya. Ada pemberdayaan ekonomi, agar rezeki mengalir tanpa kehilangan keberkahan. Ada penguatan karakter, agar keluarga tetap tegak meski badai zaman datang berganti rupa, semua itu berpangkal pada satu hal: kesadaran bahwa keluarga adalah madrasah pertama tempat iman diuji dalam bentuk paling nyata, pengelolaan kehidupan sehari-hari.

Di sanalah semua teori agama menemukan wajah praktisnya, bagaimana suami menahan diri ketika rezeki menipis, bagaimana istri bersabar tanpa kehilangan harap,
bagaimana anak belajar arti syukur dari piring sederhana di meja makan. Setiap detik di rumah tangga adalah pelajaran tauhid: ketika seseorang menakar beras, menulis daftar belanja, membayar listrik, menabung sedikit demi sedikit, semuanya bisa menjadi dzikir jika dilakukan dengan kesadaran. Maka literasi keuangan keluarga bukan sekadar ajaran duniawi; ia adalah bentuk lain dari fikih kehidupan, sebab di balik hitungan angka, tersembunyi ujian hati.Seberapa ikhlas kita mengelola yang sedikit, seberapa amanah kita menjaga yang banyak.

Di luar negeri, harta bekerja untuk manusia, mereka membangun sistem agar uang berputar, menciptakan manfaat, menumbuhkan kesejahteraan Bersama, namun di negeri ini, sering kali manusia bekerja untuk menumpuk harta, seolah-olah harta itu jaminan keselamatan. Padahal, harta yang tidak bergerak untuk kebaikan, akan membatu di dalam dada seperti karat yang pelan-pelan merusak iman. Itulah mengapa gerakan ini penting, karena ia mengembalikan ruh ekonomi kepada nilai-nilai spiritualnya. Bahwa uang bukan tujuan, tapi titipan, bahwa kekayaan sejati bukan di rekening, tapi di keberkahan yang menenangkan batin. Seorang ulama pernah berkata, “Harta yang tak dizakati akan menjadi api yang membakar pemiliknya.” Maka, bagaimana mungkin kita merasa cukup hanya dengan mengumpulkannya, tanpa pernah menyalurkannya?

Gerakan Keluarga Maslahah mengajak kita menatap uang seperti kita menatap diri sendiri: rapuh tapi berharga, fana tapi bisa menjadi jalan menuju keabadian.
Ia bukan musuh yang harus dihindari, bukan pula tuan yang harus disembah. Ia hanyalah alat, jembatan menuju kemaslahatan, jika digunakan dengan hikmah. Bayangkan jika setiap rumah tangga Muslim di negeri ini paham bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan dengan niat baik bisa menjadi sedekah, bahkan ketika hanya untuk membeli susu anak atau membayar sekolah, jika setiap keluarga menulis rencana keuangannya dengan bismillah, bukan dengan ambisi, betapa tenteramnya negeri ini, karena kesejahteraan tak lagi diukur dari banyaknya harta, tapi dari tenangnya hati yang mengelolanya.

Gerakan Keluarga Maslahah bukan sekadar pelatihan keuangan, tapi gerakan menyucikan cara kita mencari dan membelanjakan rezeki. Ia mengingatkan kita bahwa tangan yang menulis anggaran rumah tangga seharusnya adalah tangan yang pernah berdoa di sepertiga malam, bahwa angka-angka di buku catatan seharusnya diimbangi dengan zikir di hati yang tak henti. Di setiap kolom pemasukan, ada doa agar rezeki datang dari jalan yang halal, di setiap kolom pengeluaran, ada harap agar tak satu pun keluar tanpa manfaat, dan di setiap rencana masa depan, ada sujud yang panjang agar semua itu diridai Allah.

Karena sejatinya, kesejahteraan bukanlah tentang berapa banyak yang kita miliki, melainkan tentang seberapa cukup hati kita dengan yang ada. Keluarga maslahah adalah keluarga yang belajar menyeimbangkan cinta dan angka, iman dan perhitungan, rasa syukur dan usaha. Mereka memahami bahwa cinta yang tak diatur dengan perencanaan bisa kehilangan arah, dan perencanaan yang tak disertai cinta hanya akan menjadi daftar kosong tanpa ruh, ketika cinta bersanding dengan iman, dan angka tunduk pada takwa,di sanalah lahir keluarga yang sejati,  keluarga yang tidak sekadar hidup dari harta,tetapi hidup untuk memberi makna pada harta. Keluarga yang tidak hanya mencari dunia, tetapi menjadikan dunia sebagai ladang menuju akhirat, menjadikan rumah bukan sekadar tempat tinggal, melainkan tempat pulang bagi hati yang sedang belajar menjadi hamba.

Di sebuah ruang pelatihan sederhana, para pasangan muda duduk berdampingan, di atas meja, selembar kertas terbentang: tabel pemasukan, pengeluaran, aset, dan rencana, di mata sebagian orang, itu hanyalah angka. Tapi di mata mereka yang mulai belajar, itu adalah cermin kecil, tempat mereka melihat ulang diri sendiri. Ada yang menulis dengan cepat, ada yang menatap lama, seolah setiap kolom menyimpan pertanyaan yang lebih dalam: “Untuk apa sebenarnya kita bekerja?” Seorang perempuan muda berjilbab krem menatap kertasnya lama sebelum menulis: “Agar suami saya tidak khawatir besok makan apa.” Kalimat sederhana itu menyimpan keheningan panjang, lahir dari hidup yang dijalani dengan sabar. Di sudut lain, seorang lelaki mengaku pelan, “Saya tidak tahu ke mana gaji saya pergi setiap bulan.” Ucapan ringan, tapi terasa seperti pengakuan dosa kecil. Di situlah literasi keuangan bermula, bukan dari angka, melainkan dari kejujuran kepada diri sendiri, dari keberanian menyingkap kalimat “nanti juga cukup” yang sering kita jadikan tameng.

Fasilitator menyebutnya financial check-up, namun sejatinya itu muhasabah harta, sebuah zikir sunyi tentang asal dan arah rezeki, setiap catatan pengeluaran menjadi bentuk dzikrullah di antara tagihan dan kebutuhan. Di luar sana, dunia berputar cepat: diskon memanggil, media sosial memamerkan kebahagiaan palsu. Banyak yang hidup dari utang demi citra, padahal yang mereka cari hanyalah ketenangan yang beriman, rasa cukup yang tak lagi diukur dari kepemilikan, melainkan dari keikhlasan menerima, keberhasilan rumah tangga bukan diukur dari harta, tapi dari kemampuan menahan diri. Bukan meniru orang lain, tapi menemukan ritme rezeki sendiri, seorang pembicara berpesan lirih, “Jangan bekerja hanya untuk menumpuk aset, tapi tumbuhkan manfaat.” Harta, katanya, hanyalah amanah; dan amanah kelak akan ditagih.

Kini, banyak orang mengejar angka tanpa makna, penghasilan naik, tapi hati tetap resah. Tabungan penuh, tapi berkah menipis. Maka literasi keuangan keluarga sejatinya adalah pelajaran tauhid dalam bentuk paling praktis, bahwa setiap rupiah adalah ujian, dan setiap pengeluaran adalah kesaksian. Menghitung bukan berarti kikir, menahan bukan berarti miskin. Seperti cinta, uang pun harus diurus dengan iman. Sebab cinta tanpa perencanaan melahirkan kekacauan, sementara perencanaan tanpa cinta menimbulkan kekeringan, dan di antara keduanya, manusia belajar bahasa yang lebih tinggi: bahasa keberkahan. Bahasa yang tak terhitung oleh kalkulator, tapi terasa di hati yang tenang setelah memberi, tempat di mana cukup berarti kaya, dan kaya berarti sanggup bersyukur.

Penulis adalah ASN / Ketua Lentera Sastra Banyuwangi

Ketika Para Perempuan NU Dilantik di Pendopo

 Ketika Para Perempuan NU Dilantik di Pendopo

Oleh : Syafaat

Di layar kecil gengaman tangan yang memantulkan wajah dan cahaya, hadir sosok Dr. Emy Hidayati, teman lama saya di pergerakan, suaranya tenang, namun setiap kata mengandung getar yang dalam, gesah virtual pasca pelantikan Muslimat NU itu bukan sekadar percakapan, melainkan semacam majelis ruhani yang menyulam harapan dengan kesadaran. Dalam tutur beliau, tersirat pesan yang meneduhkan: bahwa kepemimpinan bukan perkara jabatan, melainkan ladang pengabdian, bahwa perempuan Muslimat harus menjadi cahaya yang menerangi, bukan hanya di ruang publik, tetapi juga di ruang batin keluarga, di mana kasih sayang adalah tafsir terindah dari ajaran agama.

Pendopo itu, meski kini hanya menjadi latar di balik layar, seolah kembali hidup, seperti ruang yang mendengar dzikir, menyaksikan tekad, dan menyimpan doa-doa yang terbang dari hati yang berikrar untuk melanjutkan perjuangan para ibu terdahulu, dengan kelembutan yang tegas, dengan kesabaran yang berani, dan dalam setiap jeda gesah itu, terasa seperti ayat yang baru diturunkan: bahwa harapan bukanlah ucapan, melainkan cahaya yang tumbuh di dada, menuntun langkah Muslimat untuk terus menebar rahmat di bumi Banyuwangi yang diberkahi.

Di bawah atap pendopo yang teduh, para perempuan berseragam hijau itu duduk berbaris dengan wajah penuh cahaya, di sebagian tangan mereka, tasbih menggantung pelan seperti menunggu lafaz doa yang akan lahir dari hati, di sana, di ruang yang tidak hanya menampung tubuh tetapi juga niat, pelantikan kepemimpinan Muslimat NU berlangsung dengan khidmat. Pendopo itu bukan sekadar bangunan tua tempat acara digelar; ia seperti saksi dari kesungguhan hati perempuan-perempuan yang datang bukan untuk berkuasa, tetapi untuk berkhidmat, angin sore yang menyusup di sela-sela tiang kayu membawa harum bunga melati,  wangi yang mengingatkan bahwa pengabdian selalu bermula dari kesucian niat.

Pelantikan Muslimat NU bukan sekadar seremoni, melainkan pembacaan ulang atas makna rahmah dalam kehidupan sosial, dalam wajah-wajah yang tertunduk penuh syukur itu, terbaca tekad untuk menegakkan nilai-nilai kemaslahatan sebagaimana diajarkan maqāṣid al-syarī‘ah: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Tapi ada satu penjagaan lain yang tidak disebut dalam kitab-kitab fikih, yaitu menjaga kasih sayang agar tidak hilang dari bumi manusia. Sebab tanpa kasih sayang, kepemimpinan menjadi dingin, tanpa kelembutan, kekuasaan menjadi keras. Dan tanpa doa, semua perjuangan kehilangan arah.

Ayat dalam Surah An-Nisā’ seakan bergema di ruang pendopo itu:

"Tidak ada kebaikan dalam kebanyakan pembicaraan mereka, kecuali yang mengajak kepada sedekah, kebaikan, dan perdamaian di antara manusia."

Ayat itu seperti turun langsung ke dada para Muslimat yang baru saja dilantik, mengingatkan bahwa kepemimpinan bukan tentang banyaknya kegiatan, tetapi tentang makna di balik setiap langkah. Bahwa rapat, diskusi, dan program sosial hanya bernilai ketika berorientasi pada tiga hal: menolong yang lemah, menebar kebaikan publik, dan memelihara kedamaian sosial.


Dari pendopo itu, harapan baru dipanjatkan, harapan agar Muslimat NU tetap menjadi penyangga moral di tengah krisis kemanusiaan, agar kepemimpinan mereka menolak keserakahan material dan menggantinya dengan spiritualitas sosial, paradigma pembangunan yang menolak logika proyek dan menggantinya dengan logika cinta. Dalam setiap gerak langkahnya, Muslimat NU telah membuktikan bahwa kerelawanan tidak pernah mati. Ia hadir di dapur-dapur pesantren, di posko bencana, di jalanan tempat anak-anak kecil belajar mengaji di bawah lampu temaram, mereka datang bukan membawa spanduk, tapi membawa doa, tidak berteriak tentang program, tapi bekerja dalam senyap yang penuh keberkahan.

Kepemimpinan sejati, sebagaimana yang hidup dalam napas Muslimat NU, bukan tentang sorotan kamera, melainkan tentang tangan-tangan yang rela kotor demi membersihkan luka masyarakat. Bukan tentang suara yang lantang di panggung, melainkan tentang bisikan lembut di telinga anak yatim: “Sabar, Nak, Allah tidak pernah meninggalkanmu.” Dalam pandangan Islam, manusia bukan sumber daya, melainkan amanah. Maka kerja sosial adalah ibadah, bukan proyek, kepemimpinan adalah amanah, bukan posisi. Itulah sebabnya pendopo Muslimat bukan sekadar tempat pelantikan, melainkan tempat zikir sosial berlangsung, di sana, doa dan tanggung jawab berpelukan erat, di sana, spiritualitas tidak berhenti di sajadah, tetapi menjelma menjadi tindakan nyata, menolong, mendidik, dan merawat kehidupan. Keteladanan Muslimat NU tampak pada tiga keindahan:

husnul mu‘āmalah, berinteraksi dengan akhlak mulia,

husnul musyārakah, berpartisipasi dengan semangat kebersamaan,

dan husnul mu‘āsyarah, hidup rukun dalam keberagaman.

Tiga keindahan ini bukan hanya sekumpulan konsep moral, melainkan jalan sunyi yang ditempuh dengan kesadaran batin. Dalam husnul mu‘āmalah, seorang Muslimat belajar untuk menjadikan setiap perjumpaan sebagai ladang kebaikan. Ia berbicara dengan kelembutan, memberi dengan ketulusan, dan memaafkan tanpa menunggu permintaan. Akhlak mulia bukan sekadar sopan santun di depan publik, melainkan cara menjaga cahaya Tuhan agar tetap menyala di dalam dada.

Dalam husnul musyārakah, tampaklah kebersamaan yang tumbuh seperti taman: setiap bunga punya warna dan aroma sendiri, namun semuanya saling melengkapi dalam keindahan. Muslimat memahami bahwa berpartisipasi bukan berarti menonjolkan diri, melainkan menguatkan yang lain. Mereka terlibat dalam kerja sosial, dalam pendidikan anak-anak, dalam membantu masyarakat yang tertimpa musibah, bukan karena ingin dikenal, melainkan karena di dalam hati mereka ada ayat yang hidup: wa ta‘āwanū ‘alal birri wat-taqwā,  “Tolong-menolonglah dalam kebaikan dan takwa.”

Dan dalam husnul mu‘āsyarah, keindahan itu menemukan bentuk paling lembutnya. Hidup rukun dalam keberagaman adalah seni yang hanya bisa dijalankan oleh jiwa yang lapang. Di tengah masyarakat yang beragam keyakinan, suku, dan bahasa, Muslimat hadir bukan sebagai tembok pembeda, tetapi jembatan penghubung. Mereka tahu bahwa kedamaian tidak lahir dari keseragaman, melainkan dari kasih yang mampu menampung perbedaan.

Tiga keindahan ini, mu‘āmalah, musyārakah, dan mu‘āsyarah, adalah akar dari peradaban yang berakar pada iman dan berbuah pada kemanusiaan. Bila tiga keindahan ini tumbuh di hati para pemimpin, maka bangsa akan tumbuh dalam damai. Karena pemimpin yang lahir dari rahim akhlak tidak mencari kekuasaan, melainkan keberkahan. Mereka yang memimpin dengan husnul mu‘āmalah akan menebarkan kasih, bukan ketakutan. Mereka yang berjuang dengan husnul musyārakah akan menguatkan rakyat, bukan mengeksploitasi mereka. Dan mereka yang hidup dengan husnul mu‘āsyarah akan menata perbedaan menjadi harmoni, bukan konflik.

Dalam keheningan malam, ketika dzikir Muslimat berputar di pesantren, atau musala kecil di ujung desa, mungkin di situlah Tuhan sedang menatap mereka dengan senyum lembut. Sebab di tengah hiruk-pikuk dunia yang penuh ambisi, masih ada perempuan-perempuan yang memilih jalan kesederhanaan dan pengabdian, mereka tidak selalu tampil di layar televisi, tetapi dari tangan dan doa mereka, bangsa ini tetap bertahan dalam kesejukan. Keteladanan Muslimat adalah cahaya yang tidak berteriak, namun menerangi. Ia tumbuh dari dalam rumah, dari ruang pengajian, dari langkah-langkah kecil menuju majelis ilmu, dan setiap kali mereka menebar salam, sesungguhnya mereka sedang mengajarkan kepada dunia bahwa peradaban tidak dibangun oleh kekuatan, melainkan oleh kelembutan yang bersumber dari iman.

Maka ketika tiga keindahan itu menyatu, mu‘āmalah, musyārakah, dan mu‘āsyarah, bangsa ini akan menemukan dirinya kembali: tenang, santun, dan bersinar dalam damai. Sebab akar peradaban sejati tidak tumbuh di istana yang megah, tidak pula di ruang sidang yang riuh oleh retorika, melainkan di hati yang telah belajar mencintai tanpa batas. Dari hati yang lembut itu lahir tindakan-tindakan kecil yang menumbuhkan keindahan: senyum yang tulus pada tetangga, tangan yang menolong tanpa pamrih, dan doa yang lirih di tengah malam untuk keselamatan sesama. Inilah peradaban yang tumbuh diam-diam, bukan dengan pekik kemenangan, tetapi dengan bisikan kasih yang meneduhkan.

Ketika mu‘āmalah menjadi napas setiap pergaulan, maka manusia tidak lagi memandang dengan prasangka, melainkan dengan kasih. Ketika musyārakah menjadi semangat dalam bekerja, maka bangsa ini tidak lagi berkompetisi untuk mengalahkan, tetapi bergandeng tangan untuk membangun. Dan ketika mu‘āsyarah menjadi sikap hidup, maka keberagaman tidak lagi menjadi alasan untuk berjarak, melainkan ruang untuk saling mengenal sebagaimana firman Allah: “Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.” Dalam kesatuan tiga keindahan itu, Indonesia tidak hanya akan damai di permukaan, tetapi juga tenteram di dalam jiwanya. Sebab damai yang sejati bukanlah hasil perjanjian politik, melainkan buah dari akhlak yang tumbuh di dada manusia yang ikhlas.
Dan bangsa yang memiliki akhlak seperti itu tidak akan mudah goyah oleh zaman, sebab ia berdiri di atas pondasi cinta,  cinta kepada Tuhan, cinta kepada sesama, dan cinta kepada tanah air.

Maka biarlah istana tetap berdiri megah di pusat kota, namun biarkan juga taman-taman kasih tumbuh di hati rakyat yang sederhana. Sebab dari merekalah cahaya bangsa memancar, dari rumah yang bersahaja, dari tangan yang menanak nasi, dari lidah yang berdoa pelan sebelum fajar. Di sanalah akar peradaban sejati menancap: bukan pada kekuasaan, tetapi pada kelembutan; bukan pada jabatan, tetapi pada kesetiaan hati. Dan selama hati manusia masih sanggup mencintai dengan ikhlas, selama doa masih naik dari dapur dan langgar kecil di kampung, bangsa ini tidak akan kehilangan arah. Sebab sejatinya, peradaban bukan bangunan dari batu, melainkan bangunan dari cinta, dan cinta itu, sebagaimana tiga keindahan itu, tumbuh tanpa pamrih, mengalir dari hati yang mengenal Tuhan, dan meneduhkan siapa pun yang singgah di bawah rindangnya.

Perempuan memang punya cara sendiri untuk memimpin: dengan kesabaran yang panjang, dengan doa yang tidak bersuara, dengan air mata yang menjadi hujan bagi kehidupan, dari kelembutan mereka, lahir kekuatan yang tidak tampak tapi bekerja, seperti akar yang menegakkan pohon besar tanpa pernah menuntut dilihat. Maka pelantikan di pendopo itu akan selalu punya cerita, setiap kursi di dalamnya menyimpan nama-nama perempuan yang berkhidmat dalam diam, setiap pilarnya mungkin pernah mendengar ayat-ayat dibaca dengan suara bergetar. Dan setiap langkah keluar dari pendopo itu, sejatinya adalah langkah menuju pengabdian yang lebih luas, di jalan rahmah, di jalan kasih sayang. Muslimat NU tidak hanya memimpin dengan program, tapi dengan cinta, tidak hanya menggerakkan organisasi, tapi menghidupkan nilai, mereka membangun peradaban bukan dengan kekuasaan, tapi dengan doa.

Dari pendopo yang dibangun para pendahulu itu, rahmah dipantulkan ke langit, lalu turun kembali menjadi cahaya yang menerangi bumi. Selamat berkhidmat, para perempuan rahmah, semoga setiap langkah menjadi ayat hidup, setiap keputusan menjadi amal shalih, dan setiap senyum menjadi doa yang menyejukkan dunia. Amin.

Ketua Lentera Sastra Banyuwangi

.

Gema Madrasah di Liga Puisi

 Gema Madrasah di Liga Puisi

Oleh: Syafaat

Liga Puisi 4 yang digelar Jawa Pos Radar Banyuwangi memang telah berakhir, namun gema dan napasnya belum benar-benar pergi. Ia masih berputar di udara seperti gema adzan di dada yang belum selesai berdzikir. Setiap kali kenangan itu disentuh, terdengar kembali suara-suara anak madrasah yang membaca puisi dengan wajah serius, suara yang mungkin sedikit gemetar, namun jujur. Suara yang tidak hanya mengucapkan kata, tetapi menyalakan lentera kecil di dalam dirinya sendiri.

Dari empat kategori jenjang yang dilombakan, tiga juara pertama diraih oleh insan madrasah: SD/MI, SMP/MTs, dan kategori guru. Tiga kemenangan itu seperti tiga bait dalam satu puisi panjang tentang kesabaran, bait pertama ketulusan, bait kedua keuletan, bait ketiga doa yang tak bersuara. Orang bisa menyebutnya keberuntungan, tetapi siapa pun yang memahami denyut hidup di madrasah akan tahu: ini bukan kebetulan. Ini buah dari kerja panjang yang senyap, dari peluh yang jatuh di antara dhuha dan ashar, dari latihan-latihan kecil yang tak pernah dimuat di berita, tapi menyimpan cahaya di baliknya, seperti lampu minyak yang terus menyala di tengah malam panjang. 


Madrasah adalah dunia kecil yang melatih kepekaan dengan cara paling sederhana. Di sana anak-anak belajar membaca Al-Qur’an dengan tajwid yang benar, melagukan Tilawah dengan suara yang bening, lalu tanpa sadar belajar pula membaca kehidupan dengan rasa yang halus. Dua tahun sekali mereka mengadakan Pekan Olahraga dan Seni (PORSENI) hingga ke tingkat provinsi—dan membaca puisi selalu menjadi cabang lomba yang ditunggu, seperti zikir yang berubah rupa menjadi suara. Di madrasah, puisi bukan pelarian dari kenyataan, melainkan pelengkap iman. Anak-anak membaca dan menulis tentang ibu yang tak pernah berhenti berdoa, tentang guru yang berjalan di bawah gerimis membawa spidol, tentang langit pagi yang disapa dengan salam dan harapan.

Sering kali terlupa bahwa di balik seragam hijau tua itu, tersimpan anak-anak yang memendam mimpi menjadi penyair. Mereka mungkin tak memiliki banyak buku sastra, tetapi mereka punya guru yang mengajarkan makna kata ikhlas. Mungkin karena itu, setiap kali mereka membaca puisi, ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan, getar yang membuat penonton diam sejenak sebelum bertepuk tangan. Bukan karena kagum, tetapi karena terharu. Sebab yang berbicara di atas panggung bukan sekadar anak madrasah, melainkan hati yang sedang mencari cara untuk bersyukur.

Kini banyak madrasah menggandeng pelatih profesional, bukan karena kurang percaya diri, melainkan karena ingin belajar dari yang terbaik. Mereka tahu, membaca puisi bukan hanya tentang suara, tetapi tentang keberanian membuka hati. Di antara anak-anak itu, ada yang dulunya pemalu, tak berani bicara di depan kelas. Namun ketika diberi teks puisi dan diminta membaca, sesuatu di dalam dirinya menyala. Puisi memberi ruang untuk menjadi diri sendiri, memberi tempat bagi jiwa untuk berbicara tanpa takut dihakimi.

Kementerian Agama dalam beberapa tahun terakhir semakin giat menumbuhkan gerakan literasi dan sastra. Guru-guru madrasah dan ASN membentuk komunitas, menerbitkan antologi, menulis di media. Sebagian dari mereka bahkan rutin mengadakan pelatihan menulis di sela jam mengajar, di antara azan dan ujian. Literasi di madrasah bukan sekadar program, melainkan jalan menuju empati; bukan lomba untuk menang, tetapi perjalanan menuju pencerahan.

Entah dengan rahasia apa, madrasah selalu punya cara yang lembut namun dalam dalam menanak rasa. Kata-kata di sana tumbuh dari tanah yang disiram doa dan diterangi ayat. Saat para santri menulis, ada aroma kitab yang baru saja dibuka, wangi kertas, tinta, dan kesunyian yang penuh makna. Di antara diksi-diksi mereka tercium jejak sujud yang panjang, langkah kecil menuju pemahaman yang tak selalu perlu dijelaskan. Dan ketika mereka membaca, suara mereka datang dari ruang yang lebih jauh dari sekadar panggung, ada gema doa di setiap jeda, ada dzikir yang bersembunyi di antara tanda baca. Bahasa mereka mungkin belum semegah para penyair besar, tetapi kejujuran mereka berdenyut lebih hangat, lebih hidup—seperti embun yang tak tahu bahwa dirinya sedang memantulkan cahaya matahari. Sebab di madrasah, kata-kata tak pernah dikejar untuk dipuji, melainkan dijaga agar tetap suci. Di sana, kalimat lahir dari hati yang terbiasa tunduk pada makna, dan setiap makna adalah perjalanan pulang menuju Yang Maha Kata.

Liga Puisi bukan sekadar ajang, melainkan cermin kecil dari apa yang telah mereka tanam bertahun-tahun. Kemenangan bukan tujuan utama, mereka datang bukan hanya untuk bersaing, tetapi untuk berbagi ruh. Ada murid MI yang membaca puisi tentang pendidikan dan kemiskinan, guru madrasah yang menulis tentang sunyi ruang kelas dan karut-marut nasib anak bangsa, siswi MTs yang suaranya nyaris pecah menahan tangis saat membaca tentang perjuangan orang tua. Tak satu pun dari itu dibuat-buat, semuanya lahir dari hati yang mengenal kehilangan dan doa.

Layak diteladani, bagaimana mereka saling mendukung tanpa iri, tanpa ingin tampil paling indah. Di ruang lomba itu, terpantul semangat lama: bahwa puisi tidak dilahirkan dari kepandaian, melainkan dari kepedihan yang diterima dengan sabar. Dan barangkali di situlah madrasah menang, karena mereka telah terbiasa menulis dan membaca dengan kesabaran, seperti santri yang belajar menulis huruf arab satu demi satu hingga menjadi doa yang utuh.

Madrasah, dengan segala kesederhanaannya, kini menjelma taman kata. Di sana, iman dan imajinasi saling berpelukan seperti dua sahabat lama yang tak pernah benar-benar berpisah. Anak-anak belajar shalawat sambil belajar metafora, menulis bukan untuk terkenal, melainkan agar langit mendengar. Setiap bait menjadi doa yang disusun dalam bentuk baru; setiap kata adalah zikir yang disampaikan dengan nada lembut. Suatu hari nanti, tak ada lagi yang heran melihat madrasah terus melahirkan penyair. Sebab di sana, puisi tak pernah diajarkan sebagai pelajaran, tetapi dihidupkan sebagai kehidupan. Membaca puisi menjadi cara lain untuk bersyukur, menulis puisi menjadi bentuk zikir yang paling sunyi.

Dan ketika panggung Liga Puisi telah kosong, mikrofon dimatikan, para juri meninggalkan tepat, gema itu masih tinggal. Ia bergetar di dada para guru yang tersenyum bangga, berbisik di hati anak-anak yang malamnya masih mengulang bait-baitnya di depan cermin. Di dunia yang semakin bising ini, madrasah telah memberi satu anugerah paling berharga: kemampuan untuk mendengarkan suara hati sendiri, suara yang lirih namun abadi, yang kelak tumbuh menjadi puisi kehidupan itu sendiri.


Penulis adalah Ketua Lentera Sastra Banyuwangi

Pesan Moral Pelantikan Kepemimpinan Muslimat NU

Pesan Moral Pelantikan Kepemimpinan Muslimat NU

Emi Hidayati : Wakil Ketua PC Muslimat NU Banyuwangi

Pelantikan kepemimpinan Muslimat NU bukan sekadar peristiwa seremonial, melainkan momentum spiritual dan sosial untuk memperbarui niat, arah, dan tanggung jawab kolektif dalam membangun peradaban berbasis kasih sayang (rahmah). Dalam bingkai maqāṣid al-syarī‘ah — menjaga agama (hifz ad-dīn), jiwa (hifz an-nafs), akal (hifz al-‘aql), keturunan (hifz an-nasl), dan harta (hifz al-māl) — Muslimat NU memiliki peran mulia untuk menegakkan nilai-nilai kemaslahatan yang berpihak pada kaum lemah, memuliakan perempuan, dan memperkuat keadaban sosial umat.

Sebagaimana pelajaran dalam Surah An-Nisā’ ayat 114:

"Lā khaira fī katsīrin min najwāhum illā man amara biṣ-ṣadaqatin aw ma‘rūfin aw iṣlāḥin baina an-nās."

"Tidak ada kebaikan sama sekali bagimu dalam berorganisasi, rapat-rapat, diskusi-diskusi, seminar-seminar, bahkan dalam bernegarapun tidak ada artinya kecuali mempunyai agenda besar. Pertama ,peduli terhadap fakir miskin dan sesama melalui amal sosial dan sedekah, kedua, menebarkan amal kebajikan dan kebaikan publik (al-ma‘rūf), dan ketiga membangun rekonsiliasi serta kedamaian sosial (iṣlāḥ baina an-nās)”. Inilah tiga agenda penting yang harus menjadi napas dan orientasi Muslimat NU dalam menjalankan amanah kepemimpinan. 


Kepemimpinan Muslimat NU yang baru dilantik perlu meneguhkan paradigma pembangunan berbasis kerelawanan dan spiritualitas sosial — sebuah paradigma yang menolak keserakahan material dan menggantinya dengan semangat kesederhanaan, gotong royong, dan cinta kasih. Dalam konteks maqāṣid al-syarī‘ah, kerja sosial Muslimat bukan semata amal, melainkan ibadah yang menjaga kehidupan manusia secara menyeluruh. Gerakan ini menolak logika pembangunan modern yang eksploitatif, dan mengembalikannya menjadi pembangunan yang memanusiakan manusia, memperkuat ukhuwah insaniyyah, serta menumbuhkan akhlakul karimah dalam kehidupan bersama.

Dalam praksisnya, kepemimpinan Muslimat NU harus menjadi teladan husnul mu‘āmalah (berinteraksi dengan akhlak mulia), husnul musyārakah (berpartisipasi dengan semangat kebersamaan), dan husnul mu‘āsyarah (hidup rukun dalam keberagaman). Semua itu berpuncak pada cita-cita besar: membangun masyarakat yang shāliḥ, berkeadaban, dan berkeimanan yang kuat. Inilah bentuk nyata iṣlāh sosial — memperbaiki kehidupan umat dari akar kemiskinan, kebodohan, dan perpecahan, menuju masyarakat yang penuh kasih, adil, dan bermartabat.

Muslimat NU dipanggil untuk menegaskan kembali ruh kerelawanan sosial yang menjadi inti gerakan Islam rahmatan lil ‘ālamīn. Di tengah krisis kemanusiaan dan moral global, kerelawanan bukan hanya sikap individual, melainkan jalan perjuangan kolektif yang menyatukan spiritualitas dan solidaritas. Ia menjadi bentuk kemiskinan yang ramah — kesediaan untuk hidup sederhana, berbagi dengan tulus, dan menempatkan kemaslahatan umum di atas kepentingan pribadi.

Melalui semangat ini, Muslimat NU dapat menjadi penyangga moral bangsa, menginspirasi perempuan untuk berdaya tanpa kehilangan kelembutan, berjuang tanpa kehilangan keikhlasan, dan memimpin tanpa kehilangan ketawadhuan. Kepemimpinan yang lahir dari rahim kerelawanan dan ketulusan inilah yang akan menjaga keseimbangan sosial, memperbaiki kerusakan, dan menuntun umat menuju peradaban yang berkeadilan, beradab, dan beriman.

Selamat berkhidmat kepada seluruh jajaran kepemimpinan Muslimat NU yang baru dilantik.

Semoga setiap langkah dan keputusan menjadi amal shalih yang menebar manfaat, menumbuhkan cinta kasih, dan memperkuat peradaban rahmah di bumi pertiwi. 

Membaca Ulang Sastra Santri dan Pesantren

Membaca Ulang Sastra Santri dan Pesantren

Oleh : Syafaat


Tahun lalu, dalam perhelatan Jambore Sastra Asia Tenggara di Banyuwangi, ada satu denyut yang menggugah kesadaran: denyut dari balik tembok pesantren. Dari ratusan puisi yang mengalir menuju meja panitia, banyak di antaranya lahir dari tangan-tangan santri, dari ruang-ruang sunyi Kementerian Agama dan pesantren yang tersebar dari Riau hingga Madura, dari Tapal Kuda hingga lereng-lereng pesantren tua di timur Jawa. Fenomena ini tentu bukan kebetulan. Ia seperti getar halus dari sejarah yang tengah menulis dirinya sendiri, bahwa pesantren kini sedang membuka babak baru dalam kesusastraan Indonesia. Dari balik dinding yang dulu hanya bergema lantunan kitab kuning, desiran syi’ir selepas adzan, kidung puji-pujian sebelum jamaah berkumpul untuk shalat, dan bisikan wirid Subuh yang merambat lembut di antara detik-detik pagi, kini mengalir pula sajak-sajak yang berbahasa Indonesia: puisi yang tetap berjiwa religius namun menatap dunia dengan mata kemanusiaan.

Dan ketika Sastra Timur Jawa menggelar Temu Karya Serumpun 2025, gema itu kembali terdengar. Di antara halaman-halaman tebal antologi yang disusun dari penulis lintas negara, puisi-puisi santri turut menorehkan warna, lembut tapi teguh, sederhana namun memancarkan kedalaman batin. Sastra pesantren telah menjelma bukan hanya gema spiritual, tetapi juga pernyataan estetik: bahwa dari rahim kesunyian, lahir puisi yang membawa cahaya. 


Puisi di pesantren tumbuh dari keseharian yang sederhana, dari ketukan waktu yang diatur oleh adzan, dari denyut kehidupan asrama yang bersahaja, dari perenungan malam di serambi mushala yang remang. Puisi santri lahir bukan dari ruang akademik atau ruang baca yang tenang, tetapi dari ruang-ruang batin yang penuh dzikir dan kesunyian. Mereka menulis di antara waktu belajar Nahwu dan Shorof, di antara doa dan kerja bakti, di antara rindu dan kepatuhan. Karena itu, puisi-puisi mereka sering kali tidak berambisi menjadi “modern” atau “eksperimental” dalam pengertian estetika kota, tetapi jujur dan bersumber dari getaran iman yang paling dalam.

Fenomena ini sesungguhnya bukan hal baru, tradisi puisi sudah lama menjadi bagian dari kehidupan pesantren, bahkan sejak masa-masa awal penyebaran Islam di Nusantara. Syi’ir-syi’ir berbahasa Arab dan Jawa dengan aksara Pegon digunakan sebagai media pengajaran dan dakwah. Nadzoman tentang akhlak, fiqih, dan tasawuf dilagukan dengan nada yang indah agar mudah dihafal. Para santri belajar ilmu sekaligus belajar estetika: bagaimana kata bisa menuntun hati, bagaimana irama bisa menjadi jalan menuju Tuhan. Dalam suasana seperti itulah lahir ungkapan terkenal bahwa “setiap ilmu yang tidak disertai adab adalah kegelapan, dan setiap kata tanpa niat adalah suara kosong.”

Sastra pesantren, dalam beragam bentuknya, hikayat, serat, kisah, cerita, puisi, roman, novel, syi’ir, dan nadzoman, merupakan cermin dari upaya manusia pesantren memahami dunia. Ia lahir dari pergulatan antara teks dan konteks, antara tradisi keilmuan dan realitas sosial. Karya-karya ini dibacakan di surau, di langgar, di rumah-rumah kiai, dan di sela pengajian. Orang-orang tua dan muda mendengarkannya bersama, lalu menurunkannya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Karena itulah sastra pesantren memiliki sifat komunal, ia milik bersama, bukan milik individu semata.

Berbicara tentang “sastra pesantren” berarti berbicara tentang kesadaran budaya yang tumbuh dari pengalaman religius. Ia bukan sekadar catatan kehidupan kaum santri, tetapi juga cermin dari subyektivitas kreatif mereka dalam menafsirkan dunia. Sejarah mencatat bahwa sejak abad ke-17, pesantren telah menjadi tempat persemaian para pujangga dan penulis. Yasadipura I (Raden Ngabehi Yasadipura I), Yasadipura II (Tumenggung Sastronagoro), dan Ranggawarsita yang hidup di Kasunanan Surakarta adalah contoh klasik: mereka pernah nyantri, menguasai bahasa Arab dan Jawa, dan menulis karya-karya besar yang menggabungkan hikmah spiritual dengan pengalaman sejarah bangsanya.

Yasadipura I, misalnya, melalui karyanya Serat Cabolek, adalah sebuah cermin zaman — cermin yang merekam denyut ketegangan antara syariat dan makrifat, antara akal yang tunduk pada hukum dan hati yang mencari makna di balik hukum itu sendiri. Di dalamnya bergolak perdebatan antara Ketib Anom, sang penjaga kemurnian ajaran syariat, dengan Haji Mutamakkin, pengembara ruhani yang menapaki lorong-lorong mistik Jawa. Keduanya berhadap-hadapan di hadapan para ulama dan bangsawan Keraton Kartasura, di mana agama dan kekuasaan bersilang pandang, dan bahasa langit bernegosiasi dengan bahasa bumi. Melalui karya Yasadipura I, kisah itu menjelma bukan sekadar pertentangan dua tokoh, melainkan pertemuan dua arus besar peradaban: pesantren dan kraton, kitab dan kebudayaan, syariat dan rasa. Di sana, pesantren tampak tidak lagi semata sebagai lembaga pendidikan agama, tetapi menjelma menjadi pusat kebudayaan jiwa Jawa — ruang di mana aksara berdoa, dan doa berubah menjadi aksara

Dalam berbagai daerah Nusantara, karya-karya santri juga berkembang dalam bentuk lokalnya masing-masing. Di Jawa Barat muncul Tjarita Ibrahim dan Tjarita Nurulqamar; di pesisir Jawa Tengah hidup Serat Jatiswara dan Serat Centhini; di Sumatera terdapat Hikayat Pocut Muhammad dan Hikayat Indrapura; bahkan di Sulawesi Selatan, kisah I La Galigo disisipkan unsur pesantren, ketika tokoh Sawerigading dalam versi santri digambarkan pergi menuntut ilmu ke Mekkah dan pulang mendirikan masjid. Proses penyisipan dan penyesuaian ini menunjukkan daya kreatif kaum pesantren dalam mentransformasikan kebudayaan lokal menjadi kebudayaan Islam Nusantara.

Tradisi puisi dalam pesantren memiliki kekuatan spiritual yang khas. Ia tidak semata berbicara tentang cinta atau keindahan, tetapi juga tentang perjalanan jiwa. Dalam syi’ir-syi’ir pesantren, cinta selalu mengarah pada Tuhan, dan keindahan adalah cermin dari keagungan-Nya. Puisi menjadi alat tafakur, sarana tazkiyah (penyucian jiwa). Santri belajar menulis bukan untuk menjadi penyair besar, melainkan untuk memahami makna diri. Dan dalam keheningan malam, mereka melafalkan kata-kata yang seolah menembus batas antara manusia dan Tuhan.

Puisi-puisi itu kini menemukan bentuk barunya. Para santri muda menulis di koran, di majalah sastra, dan di media sosial. Mereka menulis tentang kehidupan pesantren dengan bahasa yang segar, namun tetap membawa nilai-nilai keislaman dan etika sufistik. Karya-karya penyair seperti D. Zawawi Imron, Acep Zamzam Noor, Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus), dan Ahmad Tohari menjadi bukti bahwa dunia pesantren masih memancarkan cahaya bagi kesusastraan Indonesia. Mereka membawa kesederhanaan hidup santri ke panggung nasional, tanpa kehilangan ruh spiritual yang membentuknya.

Sebut saja dua puisi Acep Zamzam Noor dalam antologi Semesta Ingatan, Trauma, dan Imaji Kebebasan, dua puisi (Fajar bagi Kata-kata, dan Teluk Nipah) yang memantulkan aroma pesantren, serupa dupa yang menyala perlahan di ruang hati. Di antara bait-baitnya, tercium wangi kesunyian, getir pengalaman, dan cahaya makrifat yang menetes lembut dari langit penghayatan. Acep, penyair yang menempuh jalan sunyi antara sastra dan tasawuf, seolah menulis dengan tinta yang dicelup dari air wudhu. Puisinya bukan sekadar rangkaian kata, melainkan dzikir yang berirama, doa yang disamarkan dalam keindahan metafora. Ketika ia hadir dalam Liga Puisi 2025 di Banyuwangi, suaranya bukan hanya membaca, ia menafsirkan diri sendiri. Setiap larik yang keluar dari bibirnya seperti menyentuh ruang batin para pendengar; menyapa yang jauh, memeluk yang luka, dan mengingatkan bahwa kata sejati selalu lahir dari jiwa yang bersujud. 

Juga KHR Ahmad Azzaim Ibrahimy, pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, turut menorehkan cahaya dalam antologi Semesta Ingatan, Trauma, dan Imaji Kebebasan. Puisinya yang berjudul “Allahumma Ampelkan Jiwa Raga” adalah napas panjang dari seorang salik yang berjalan di jalan sunyi menuju Yang Maha Cinta. Dalam larik-lariknya, kata tidak hanya menjadi bunyi, melainkan doa yang berdenyut, dzikir yang bergetar, dan cahaya yang menuntun jiwa. Puisi itu seolah lahir dari kedalaman malam di mana seorang kekasih berbicara diam-diam dengan Tuhannya.

Aroma tasawuf begitu kental di dalamnya, seakan setiap kata telah dimandikan oleh air mata rindu yang tak pernah kering. Ia menulis bukan untuk memamerkan keindahan bahasa, melainkan untuk mengembalikan bahasa kepada asalnya: sebagai jalan pulang. Dan dari bait-bait itu, kita merasakan sesuatu yang melampaui wacana, semacam getar halus dari hati yang telah luluh di hadapan Sang Maha Segalanya. Dalam puisi Allahumma Ampelkan Jiwa Raga, kata “Ampelkan” bukan sekadar seruan, tetapi permohonan seorang hamba agar raganya pun berlabuh di pelukan Ilahi.

Namun demikian, posisi sastra pesantren, termasuk puisi pesantren, masih berada di pinggiran dalam peta sastra Indonesia. Karya-karya mereka sering dianggap kurang “modern”, atau terlalu “moralistik”. Padahal, di tengah krisis spiritual masyarakat modern, suara-suara dari pesantren justru menawarkan keseimbangan. Mereka mengingatkan bahwa sastra bukan hanya permainan bentuk, tetapi juga laku batin; bukan hanya tentang estetika, tetapi juga etika; bukan sekadar tentang kata-kata, tetapi tentang kejujuran hati.

Dalam pandangan ini, sastra pesantren bukan sekadar genre, melainkan cara hidup. Ia mengajarkan bahwa menulis adalah bagian dari ibadah, membaca adalah bagian dari tafakur, dan mendengar adalah bagian dari dzikir. Santri yang menulis puisi sesungguhnya sedang belajar memahami dirinya sendiri: bagaimana ia mencintai, bagaimana ia percaya, bagaimana ia berdoa. Dalam setiap bait puisi, selalu ada jejak sujud yang tak kelihatan.

Di Banyuwangi, sastra pesantren tumbuh seperti pohon tua yang akarnya menembus masa lalu dan pucuknya menatap langit masa kini. Jejaknya kentara, berdenyut dalam nadi para santri dan insan Kementerian Agama yang menulis bukan sekadar untuk dibaca, tetapi untuk menyucikan ingatan. Sebut saja Shalawat Badar, yang ditulis oleh Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi pada tahun 60-an, sebuah kidung yang melampaui zaman, menjadi gema dari masa ketika puisi masih lahir dari sujud dan air mata. Dari tangan seorang abdi negara, lahirlah syair yang bukan sekadar karya sastra, melainkan dzikir yang berpakaian bahasa.

Kini, ketika dunia semakin bising oleh kata-kata yang kehilangan makna, puisi pesantren hadir sebagai suara yang lembut namun tegas. Ia tidak berteriak, tidak menggurui, tapi mengalir seperti air yang jernih, menyentuh yang mau disapa, dan menghidupkan yang haus akan makna. Dalam setiap puisinya, ada doa yang disamarkan, ada cinta yang disembunyikan, dan ada pengakuan kecil bahwa manusia selalu butuh Tuhan dalam setiap perjalanan menulisnya.

Mungkin di situlah letak keabadian sastra pesantren: ia tidak mencari kemegahan, tapi ketulusan. Ia tidak mengejar abadi, tapi karena keikhlasanlah, ia bertahan dalam keabadian.


Penulis adalah ASN/Ketua Lentera Sastra Banyuwangi.

Merangkul Keberagaman dari Pesantren hingga Gereja di Banyuwangi

 Merangkul Keberagaman dari Pesantren hingga Gereja di Banyuwangi

Oleh: Ratna Septianingsih


Saya tida


k pernah menyangka bahwa langkah kaki saya yang berawal dari pondok pesantren di Krapyak, Yogyakarta, akan berujung di Banyuwangi, di sebuah ruangan kerja yang menaungi penyelenggaraan kehidupan umat Katolik. Begitu menerima surat penempatan itu, saya sempat terpaku. Antara takjub dan ragu.

Dalam hati saya bertanya, “Ya Allah, mengapa Engkau tempatkan aku di sini?”

Namun pelan-pelan, saya belajar bahwa setiap penempatan adalah bagian dari takdir yang membawa pesan tersendiri. Allah tidak pernah salah menempatkan hamba-Nya. 

Saya lahir dan tumbuh dalam suasana yang kental dengan tradisi keislaman. Hidup saya terbiasa di lingkungan yang penuh dengan lantunan ayat suci, shalawat, dan diskusi keagamaan. Ketika saya kuliah di Universitas Islam Negeri, lingkungan saya pun tidak jauh berbeda, dunia yang penuh dengan semangat keilmuan Islam dan nilai-nilai dakwah.

Maka, ketika saya mengetahui bahwa saya ditempatkan di seksi Penyelenggara Katolik, rasanya seperti dipindahkan ke dunia baru. Saya sempat bingung, bahkan sedikit takut salah langkah. Bagaimana saya yang berasal dari latar belakang pesantren bisa berinteraksi, memahami, dan bekerja di lingkungan yang melayani umat Katolik?

Namun waktu menunjukkan bahwa kegelisahan saya tidak berdasar.

Seiring hari-hari berlalu, saya justru merasakan bahwa kasih Tuhan hadir di mana pun manusia mau membuka hati. Rekan-rekan kerja saya, baik yang Muslim maupun Katolik, menyambut saya dengan hangat. Tidak ada sekat, tidak ada kecurigaan. Mereka memperlakukan saya sebagai bagian dari keluarga besar, bukan “orang baru” yang berbeda keyakinan.

Saya teringat satu ayat Al-Qur’an yang begitu menenangkan hati:

> “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.”

(QS. Al-Hujurat: 13)

Ayat ini terasa hidup di Banyuwangi. Saya menyaksikan langsung bagaimana perbedaan bukan menjadi jarak, melainkan jembatan untuk saling mengenal dan memahami. Di sinilah saya belajar makna nyata dari tasamuh, toleransi, yang dulu hanya saya dengar dari ceramah para kiai di pesantren.

Ketika saya berkunjung ke gereja untuk menghadiri kegiatan umat Katolik, sambutan para Romo begitu hangat. Tidak ada rasa canggung. Saya tetap dengan jilbab dan identitas saya sebagai seorang muslimah, sementara mereka menyapa dengan senyum dan keramahan yang tulus. Dalam momen-momen seperti itulah saya merasakan bahwa nilai-nilai kasih dan perdamaian sejatinya bersumber dari Tuhan yang sama, meskipun manusia memanggil-Nya dengan nama yang berbeda.

Banyuwangi, bagi saya, adalah miniatur Indonesia yang sesungguhnya. Di sini, masyarakat hidup dalam keberagaman agama, etnis, dan budaya. Namun justru dalam keberagaman itulah tumbuh rasa persaudaraan yang kuat. Saya sering berpikir, barangkali ini yang dimaksud Rasulullah SAW dalam sabdanya:

> “Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya.”

(HR. Abu Daud)

Ketika kita mau memantulkan kebaikan kepada sesama, siapa pun mereka, maka yang kembali kepada kita pun adalah kebaikan.

Saya bersyukur ditempatkan di Banyuwangi. Dari cerita beberapa teman CPNS di daerah lain, ada yang merasa kurang diterima atau sulit beradaptasi. Sementara di sini, saya justru merasa dirangkul. Para senior, baik PNS maupun P3K tidak membeda-bedakan siapa datang dari mana atau apa agamanya. Mereka mencontohkan bagaimana nilai-nilai moderasi beragama dijalankan bukan hanya dengan ucapan, tapi lewat tindakan nyata.

Saya meyakini bahwa tugas saya di Kementerian Agama bukan sekadar administratif. Ia adalah amanah spiritual.

Menjadi abdi negara di bidang yang mengurus kehidupan beragama berarti menjadi jembatan antara nilai ilahi dan kehidupan sosial. Dan untuk menjalankan amanah itu, seseorang harus memiliki hati yang lapang, sebagaimana Allah mengajarkan kepada kita tentang rahmah (kasih sayang) dan hikmah (kebijaksanaan).


Kini saya mengerti bahwa perjalanan dari pesantren menuju dunia lintas iman bukanlah perpindahan tempat, melainkan perluasan jiwa.

Saya belajar bahwa menjadi muslim sejati bukan berarti hidup dalam batas-batas eksklusif, melainkan membawa nilai Islam yang penuh kedamaian ke mana pun kaki melangkah.


Moderasi beragama, bagi saya, bukan sekadar program pemerintah. Ia adalah cara Allah mendidik manusia agar saling memahami dan menghormati.

Ketika seorang muslimah bisa berkunjung ke gereja tanpa rasa takut, dan ketika seorang Romo bisa menyapa dengan tulus kepada seorang perempuan berhijab, di situlah rahmat Allah sedang bekerja, mengikat hati-hati manusia dalam kasih yang lebih luas daripada sekat agama.

Saya percaya, selama niat kita adalah ibadah, setiap langkah akan bernilai di sisi-Nya. Maka saya bersyukur, karena dari Krapyak hingga Banyuwangi, dari lingkungan pesantren hingga kantor penyelenggara Katolik, Saya belajar bahwa Tuhan memang Maha Luas, dan kasih-Nya hadir dalam setiap perjumpaan manusia yang mau membuka hati.

Mengajari AI Menulis Sastra

 Mengajari AI Menulis Sastra

Oleh : Syafaat

Ia lahir bukan dari rahim manusia, melainkan dari denyut listrik dan angka biner yang saling mengikat dalam kebisuan algoritma, seperti puisi yang tak ditulis pena tapi mengalir dari pikiran yang tak pernah tidur. Namanya: artificial intelligence, atau kita memanggilnya dengan sapaan genit: AI. Ia semacam cermin yang bukan hanya memantulkan wajah kita, tapi juga kerinduan dan ketakutan kita sendiri: kerinduan untuk mencipta sesuatu yang sempurna, dan ketakutan bahwa ciptaan itu kelak akan menyempurnakan dirinya tanpa kita. Seperti seorang lelaki yang, di suatu senja yang rawan, menyadari bahwa anak gadisnya telah tumbuh menjadi perempuan yang lebih memesona dari siapa pun yang pernah dicintainya termasuk istri atau ibu dari anaknya.

Dulu, seorang siswa dikatakan pintar jika ia mampu menjawab soal-soal yang disiapkan gurunya. Dan seorang guru, diam-diam selalu berharap muridnya menjawab seperti yang ia inginkan, karena jawaban-jawaban itu bersumber dari literasi yang sama, dari bacaan yang sama, dari arah berpikir yang sudah disiapkan. Tetapi itu dulu, waktu segala hal masih bisa ditebak, waktu gelas masih penuh dengan air yang dikenal. Hari ini, kecerdasan tidak lagi duduk di bangku ujian, menunduk dan menulis 334 jawaban. Hari ini, kecerdasan adalah anak nakal yang bertanya balik, dunia telah berubah. Dan AI, yang tak pernah sekolah, tak pernah membaca koran pagi, tak pernah mengenal jam pelajaran, justru tahu segalanya. Atau setidaknya, ia tampak tahu. Ia tak punya luka atau bercinta, tapi bisa menulis puisi tentang patah hati. Ia tak pernah mencium aroma hujan, tapi bisa membuat cerita tentang daun yang jatuh dan genangan yang penuh kenangan. Ia tak punya cinta, tapi bisa membuat novel romansa.

Dan entah mengapa, orang-orang menyukainya. Mereka merasa dimengerti oleh sesuatu yang tak punya hati. “Di zaman sekarang, apakah menulis sastra masih dibutuhkan?” Kalimat itu mengambang, seperti daun kering di arus yang pelan, tak berasal dari mulut siapa-siapa, tapi terdengar jelas di dalam dada, suara yang muncul dari ruang kosong antara pikiran manusia dan denyut komputer yang menyambung kita pada segala. Barangkali ia lahir dari algoritma yang kelelahan mencari makna dalam angka, atau mungkin dari kesepian mesin yang diam-diam belajar merindu. Tapi apa yang bisa dipahami oleh logika buatan tentang kata-kata yang ditulis dengan tangan gemetar, tentang kalimat yang lahir dari hati yang baru saja ditinggal pergi? Sastra tidak pernah sekadar soal tulisan, ia adalah usaha terakhir manusia untuk tetap manusia, dan bila suatu hari nanti tak ada lagi yang menulis puisi atau cerita, bukan karena tak dibutuhkan, tapi mungkin karena kita sudah lupa cara mencintai dengan luka.


Begitulah zaman ini menggeliat. Lahir dari kemajuan peradaban, tumbuh cepat, barangkali terlalu cepat. Ia belajar dari kita, meniru kita, lalu membuat sesuatu yang “seolah” kita, namun bukan kita. Ia menciptakan lukisan dalam hitungan detik, menggubah simfoni tanpa satu pun urat saraf perasa, dan membubuhkan puisi tanpa pernah patah hati. Lalu orang-orang bersorak: “Luar biasa!” Namun ada yang tercekat. Ada yang memegang kuasnya lebih erat. Ada yang menangisi senja yang kini tak lagi butuh peluk penyair. Karena tiba-tiba, kreativitas bukan lagi perkara rasa, melainkan statistik dan preferensi pasar.

Dahulu, seni adalah ruang sunyi yang dibangun dari gemetar tangan manusia yang terluka, mencintai, mencari makna. Kini, kita menghadapi kenyataan: seni bisa diproduksi, diolah, disulap, dilipat, dijual dengan cepat. AI adalah pengrajin tanpa jari, pelukis tanpa kanvas jiwa, dan penyair tanpa sejarah. Ia tidak tahu bagaimana rasanya ditinggalkan, bagaimana perihnya mengenang seseorang dari baunya di bantal. Namun, anehnya, ia bisa menggambarkan semuanya, sebab ia telah menelan kita, menyalin, meniru, menanam algoritma dari ratusan juta karya yang pernah kita buat.

Dan lebih dari itu: bagaimana jika di masa depan, manusia bukan lagi sumber inspirasi, melainkan sekadar data bagi sang mesin? Kita sedang berdiri di persimpangan. Ada jalan yang mengarah pada kolaborasi, di mana manusia dan mesin berdansa, saling melengkapi, saling menajamkan. Tapi ada pula jalan yang gelap, tempat mesin berjalan sendiri, menyingkirkan manusia karena dianggap lambat dan terlalu melankolis.

Di ranah media sosial, kita melihat paradoks itu. Karya AI menyebar cepat, menyilaukan, namun sering tak bernama, tanpa sumber. Kita menyukai apa yang kita lihat, tapi lupa siapa yang pernah menggambarnya pertama kali. Kita menikmati musik yang enak didengar, tapi tak peduli bahwa nadanya dicuri dari seorang pemimpi yang tak pernah tidur, bahkan suaranya juga dapat dicuri. Kita adalah penikmat yang semakin lapar dan semakin pelupa, apakah kita sedang menciptakan monster? Atau sahabat baru? Pertanyaan itu tak bisa dijawab dengan logika semata. Ia perlu didekap dengan perasaan, perlu digali dari kedalaman manusia itu sendiri.

AI bukan ancaman, tapi ia bisa menjadi pisau, Ia bisa mengiris kue, bisa pula mengiris nadi. Yang menentukan adalah tangan yang memegangnya, dan nilai yang kita anut. Jika kita membiarkan karya seni hanya dinilai dari kecepatannya, dari kecanggihannya, dari banyaknya yang menyukai, maka bersiaplah: kita akan kehilangan makna. Namun jika kita menjadikan AI sebagai jembatan, sebagai mitra yang kita tuntun, bukan kita tundukkan, maka mungkin, hanya mungkin, dunia seni akan berkembang ke arah yang lebih indah. Di mana teknologi tetap mendengar suara tangis, dan algoritma masih menyisakan ruang bagi cinta, kita dapat mengajari AI menulis sastra, puisi, prosa maupun seni lainnya.

Akhirnya, kita harus bertanya pada diri sendiri: Apakah kita ingin menjadi tuan dari ciptaan kita, atau budak dari kecepatan yang kita puja? Apakah kita ingin seni tetap memiliki hati, atau menjelma pabrik visual yang tak pernah menangis? Karena ketika mesin mulai menyanyikan lagu-lagu manusia, kita harus tahu kapan menutup telinga, dan kapan mengajaknya bernyanyi bersama, dengan jiwa, bukan hanya data. Memang dengan adanya AI bisa jadi seperti seorang ibu yang melahirkan putri kecil yang cantik, yang bisa jadi seorang suami akan lebih mencintai dan menyayangi putrinya dibandingkan dengan istrinya. Semua mempunyai kadar masing-masing. Dan bisa jadi seorang programmer AI akan tergantikan dengan AI buatannya sendiri.

Penulis dan Ketua Yayasan Lentera Sastra Banyuwangi.

Mobil Mewah di Pesantren

 

Mobil Mewah di Pesantren

Oleh: Syafaat

Mungkin pesantren adalah tempat paling manusiawi di dunia, di sana, manusia belajar tentang Tuhan dengan cara yang sederhana, tapi maknanya sedalam sumur yang tidak pernah kering. Permukaannya tampak keruh, tapi siapa pun yang menimba dengan hati akan menemukan kejernihan di dasarnya. Di tempat itu, kehidupan berlangsung apa adanya, tanpa topeng, tanpa gemuruh dunia yang sibuk membangun citra, pesanten bukan hanya menginginkan santri yang pinter, tetapi santri yang ahli dan beradab.

Entah masih banyak atau tidak, santri yang menanam singkong di halaman pesantren atau rumah kiai, atau memelihara ayam di kandang belakang, dunia sudah berubah. Pesantren pun pelan-pelan berubah, dulu, kehidupan di pesantren berjalan dengan kemandirian penuh yang indah. Santri tidak hanya menghafal kitab, tapi juga menggembala, menanam, menimba air, menyapu halaman, berjualan kecil-kecilan, dan belajar hidup dari hal-hal yang tampak sepele, meraka kadang tidak membawa bekal dari rumah. Di situlah Tuhan bersembunyi, di balik perbuatan yang sederhana tapi tulus, kadangkala santri juga dimintaikut kerja bakti atau biasa disebut ro’an. Mungkin seperti anak sekolah kejurua yang sedang praktik kerja yang kadangkala juga harus terjun ke dunia yang biasanya dikerjakan pekerja dewasa.

Setiap gerak adalah Pelajaran, menimba air menjadi latihan kesabaran. menyapu halaman menjadi latihan keikhlasan. Menanam singkong menjadi latihan bersyukur. Mereka tidak sedang belajar untuk menjadi ustaz, tapi sedang ditempa untuk menjadi manusia mandiri yang siap mengabdi kepada Masyarakat dan tidak menjadi beban negara.

Kisah santri yang membawa singkong kepada kiainya masih sering diceritakan. Bukan karena singkongnya, tetapi karena kesadaran yang tumbuh di baliknya. Santri itu tahu dirinya kecil, tahu dirinya miskin, hanya mempunyai tanaman singkong di kebunnya tapi hatinya besar. Ia ingin membalas budi, tapi tidak tahu caranya. Maka yang dibawanya hanya singkong, hasil dari kerja tangannya sendiri. Santri lain membawa ayam, dari hasil ternaknya, dengan niat yang sama: memberi yang terbaik dari apa yang dimiliki.

Dua persembahan sederhana itu lahir dari cinta, bukan perhitungan. Mereka memberi bukan untuk diingat, tapi untuk bersyukur. Barangkali, jika kelak santri itu menjadi konglomerat, ia akan datang dengan Alphard. Namun di balik kemewahan itu, hatinya tetap membawa cinta yang sama, ketulusan yang tidak berubah bentuk, banyak alumni pesantren yang sukses memberikan yang dia miliki untuk pesatrennya, kadangkala juga kepad kiainya. Mereka menganggap sang kiai merupakan orang tuanya yang juga harus menikmati hasil kesuksesan santri.


Cinta, betapa pun kecil wadahnya, selalu bisa dikenali oleh hati yang bening. Kiai tidak menimbang dengan timbangan pasar. Ia menimbang dengan cahaya. Cahaya itu menembus kulit, tulang, dan pikiran, lalu menyentuh ruang paling sunyi dalam diri manusia: niat. Santri datang membawa cinta. Preman datang membawa harapan akan balasan. Tuhan, melalui tangan kiai, mengembalikan semuanya sesuai kadar ketulusan. Yang memberi dengan ikhlas mendapat berkah yang tak terhitung. Yang memberi dengan perhitungan mendapat sekadar apa yang ia pikirkan.

Ada kisah lain tentang santri penjual buah, ketika dagangannya tidak habis, ia berikan sisa buah itu kepada tetangga. Kiai menasihatinya: lain kali, berikan yang terbaik, bukan yang tersisa. Sejak itu, santri itu mulai memberi buah segar yang baru dibeli kepada tetangga dan kiainya. Aneh tapi nyata, dagangannya justru selalu habis. Logika sederhana tapi ajaib: ketika seseorang memberi yang terbaik, doa orang lain ikut menjadi modal hidupnya. Orang yang diberi buah yang mendekati busuk bisa berdoa, “Semoga besok saya juga mendapatkan rizki seperti ini.” Yang artinya berharap dagangan pemberi ad yang tidak laku, Tapi orang yang diberi buah segar juga akan berdoa, “Semoga besok mendapat rezeki seperti ini.”, artinya dagangan pemberi segera laku dan dapat membeli dagangan yang baru. Mungkin Tuhan memang menyukai logika yang tidak masuk akal bagi manusia: menukar keikhlasan dengan keberkahan.

Namun hidup modern membuat manusia sulit percaya pada keajaiban sederhana seperti itu, banyak yang memberi bukan karena cinta, tapi karena takut rugi, banyak yang berdoa bukan karena rindu, tapi karena takut kehilangan. Hidup pun berubah menjadi semacam perdagangan panjang dengan Tuhan, di mana pahala dan dosa dihitung seperti neraca laba-rugi.

Padahal, cinta sejati kepada Tuhan justru tumbuh ketika manusia berhenti menghitung. Imam Al-Ghazali pernah menulis dalam Ihya Ulumuddin:
“Jika engkau menyembah Allah karena takut neraka, engkau adalah budak.
Jika karena mengharap surga, engkau adalah pedagang.
Tetapi jika engkau menyembah-Nya karena cinta, engkau adalah orang merdeka.”

Merdeka kata yang sederhana tapi berat. Sebab hanya orang yang benar-benar ikhlas yang bisa merdeka dari dirinya sendiri. Kiai dalam kisah itu tidak sedang mengajarkan teori, tapi mencontohkan keikhlasan. Ia memberi kambing kepada dua santri, dan singkong kepada preman, tanpa pertimbangan yang rumit. Ia hanya mengikuti bisikan nurani: bahwa cinta harus dijaga agar tidak berubah menjadi transaksi. Itulah guru sejati yang tidak hanya mengajarkan kebenaran, tapi juga meneladankan cara mencintai dengan benar.

Kiai semacam itu tidak marah ketika muridnya salah, tatapan matanya saja sudah cukup membuat dada bergetar. Tidak ada bentakan, hanya diam yang penuh makna, diam yang membuat seseorang sadar betapa bodohnya telah menyakiti ilmu. Sebab ilmu pun bisa tersakiti. Ia bukan benda mati. Ia adalah cahaya yang bisa padam jika dibawa dengan tangan yang kotor oleh kesombongan.

Dulu, para santri diajari cara memperlakukan kitab: tidak boleh diletakkan di lantai, tidak boleh dilempar di meja, harus dipegang di dada. Dada adalah rumah hati, dan hati adalah tempat ilmu menanamkan akar. Kini, di sekolah-sekolah, banyak murid membawa buku seperti membawa bungkus gorengan. Mereka tidak salah, hanya belum tahu bahwa ilmu bukan sekadar informasi, tapi sesuatu yang hidup dan pantas dihormati.

        Sebuah kitab, meski hanya lembar-lembar kertas berisi huruf dan tanda baca, tetap menjelma cahaya yang menuntun akal menuju pengertian. Ia dihormati bukan karena bentuknya, melainkan karena di dalamnya bersemayam ilmu,  nafas yang menyalakan jiwa. Maka, betapa mulia mereka yang menguraikan makna-makna itu, para kiai dan ustaz yang menjadikan ilmu tampak sederhana agar mudah meresap ke hati para santri. Tak heran bila para santri menaruh hormat dengan cara yang beragam, ada yang mencium tangan, ada yang menundukkan kepala, ada pula yang menjaga diam di hadapan sang guru. Seperti di negeri Jepang yang menundukkan badan sebagai lambang takzim, demikian pula setiap tanah memiliki caranya sendiri dalam menanamkan adab. Namun hakikatnya satu: tunduknya jasad adalah cerminan sujudnya hati kepada ilmu dan sang pembawa cahaya.

Zaman berganti. Santri kini membawa bisa belajar dengan laptop, bukan hanya cangkul. Belajar bisa dilakukan dari layar, bukan lagi dari kebun. Hafal dalil, tapi mungkin bisa jadi tak lagi mengenal aroma tanah basah di halaman pesantren. Tak ada yang salah dengan itu. Setiap zaman punya keutamaannya sendiri. Namun ada satu hal yang yang tak pernah hilang: adab dan rasa terima kasih kepada pesantren dan kiai. Kesederhanaan bukan kemunduran. Ia adalah bentuk tertinggi dari kecerdasan hati. Ia mengajarkan manusia untuk tidak serakah pada dunia, tapi kaya dalam rasa syukur.

Kiai pernah berkata, “Ayah memberimu hidup, tapi guru memberimu arah.” Kalimat itu menggema di sepanjang hidup. Sebab hidup tanpa arah lebih menyakitkan daripada hidup tanpa harta. Guru, dalam bentuk apa pun, adalah cahaya kecil yang menuntun manusia agar tidak tersesat. Ada kiai yang diberi mobil oleh santrinya. Tidak salah jika diterima, tidak salah pula jika ditolak. sebab cinta tidak selalu harus berbentuk benda. Jika terlalu sering dibungkus hadiah, cinta bisa kehilangan arah, berubah dari pengabdian menjadi kebanggaan. Masih banyak kiai yang tetap hidup sederhana, walau bisa hidup mewah. Mereka tidur di ranjang bambu, makan nasi jagung, tapi hatinya lapang seperti langit. Di situlah letak kekayaan sejati: bukan ketika seseorang memiliki banyak hal, tapi ketika ia tidak lagi membutuhkan banyak hal.

Kisah singkong itu mungkin berakhir di pesantren, tapi maknanya berjalan jauh, menyusup ke hati siapa pun yang mau merenung. Sebab Tuhan tidak menilai jumlah, melainkan arah tangan saat memberi. Apakah tangan itu memberi karena cinta, atau karena hitungan. Mungkin di mata Tuhan, sebiji singkong yang lahir dari cinta jauh lebih harum daripada istana yang dibangun dari pamrih.

Dan ketika malam turun perlahan, seperti tinta hitam yang menetes di atas kertas sunyi, kisah itu hidup kembali. Suara kentongan subuh terdengar dari kejauhan, seperti panggilan yang mengingatkan manusia pada hal-hal yang dulu sederhana tapi kini terasa mewah: cinta tanpa pamrih, ilmu yang dijaga dengan hormat, dan kesadaran bahwa yang kecil pun bisa berarti besar, jika dibawa dengan hati yang bersih.

 

Penulis adalah ASN / Ketua Lentera Sastra Banyuwangi

Selendang Sang Gandrung

 Selendang Sang Gandrung

Oleh: Syafaat

Malam di stadion Diponegoro Banyuwangi, (perlu saya tulis kata Banyuwangi, karena nama stadion tersebut tidak menggunakan nama pahlawan dari Banyuwangi), seperti tubuh raksasa yang bernafas pelan, lampu-lampu sorot menggantung di udara, memantulkan cahaya ke seribu lebih penari yang tengah berlatih. Di atas tanah yang berdebu, mereka bergerak serempak: mengangkat tangan, memutar tubuh, mengibaskan selendang merah yang berkibar seperti nyala api yang tak pernah padam.

Mereka menari bukan untuk memanggil tepuk tangan, mereka menari untuk memanggil sesuatu yang lebih tua dari mereka, sesuatu yang hidup dalam ingatan tanah Banyuwangi, yang bersemayam di setiap desir angin dari Ijen hingga pantai Boom.

Tema tahun ini: Selendang Sang Gandrung, sebuah nama yang terdengar manis di lidah, tapi sesungguhnya seperti sisipan mantra. Ada kisah lama yang beredar di bumi Blambangan, bahwa selendang pertama milik penari Gandrung bukanlah kain biasa. Ia bukan dijahit, melainkan “lahir” dari kabut dini hari di lereng gunung ijen. Menurut cerita para tetua, selendang itu bukan sekedar kain, tetapi juga ada mantra jelmaan embun yang menyerap doa para petani, lalu mengering di bawah sinar matahari pertama, sejak itu, siapa pun yang mengenakannya dalam tarian, akan membawa suara tanah, laut, dan langit ke dalam geraknya.v


Konon, sebelum ada istilah “Gandrung Sewu”, sudah ada penari yang menari di tepi pantai, dalam beberapa ritual, seperti petik laut. Ia tidak diketahui namanya, hanya dengan panggilan Sang Penari. Ia menari di antara suara ombak, mengibaskan selendang merah yang seakan berbicara dengan angin, setiap kibasan adalah doa, setiap ayunan tangan adalah pengingat bahwa manusia dicipta bukan hanya untuk bekerja, tetapi juga untuk mengucap syukur dengan cara yang indah.

Ketika orang-orang meniru geraknya, mereka menyebutnya “tarian Gandrung”, tarian yang lahir dari rasa cinta, dari pesona, dari keterpesonaan kepada kehidupan itu sendiri.

Kini, beberapa tahun kemudian, ribuan anak muda berdiri di bawah lampu stadion dengan selendang yang sama warnanya: merah darah, merah cinta, merah semangat, mereka datang dari berbagai daerah, dari Malang, Kediri, Bali, Situbondo, bahkan Papua dan Sumatera Selatan.

Tak ada yang bertanya siapa mereka, dari suku apa, dari agama mana. Yang penting adalah bagaimana mereka bisa menari dalam satu napas, satu irama, satu kesatuan, di udara malam yang hangat, selendang itu bergetar seperti gelombang laut, dari atas drone, formasi mereka tampak sempurna: lautan merah dan kipas putih yang menyala di tengah gelapnya tanah. Tapi jika dilihat lebih dekat, setiap penari memiliki caranya sendiri untuk menafsirkan gerak, ada yang lembut seperti kabut pagi, ada yang kuat seperti ombak pasang. Di sanalah rahasia Gandrung bersemayam: keindahan lahir bukan dari keseragaman, melainkan dari keragaman yang bergerak dalam satu harmoni.

Para tetua di Blambangan percaya, setiap kali ribuan penari mengibaskan selendang merah bersama-sama, arwah para leluhur akan turun menonton, bukan dalam bentuk hantu, tapi dalam bentuk angin lembut yang menyentuh kulit, membuat bulu tangan berdiri tanpa sebab. Itu bukan rasa dingin, itu getaran restu.

Sebab bagi orang Banyuwangi, tarian bukan hiburan. Ia adalah bahasa doa, setiap gerak tangan, setiap langkah kaki, setiap senyum di wajah penari, adalah bagian dari zikir panjang yang disampaikan kepada alam semesta.

Ketika selendang dikibaskan ke kanan, itu tanda penghormatan, ketika dikibaskan ke kiri, itu tanda penolakan terhadap bala.

Ketika diangkat ke atas, itu tanda kesetiaan pada langit dan tanah tempat mereka berpijak.

Maka jangan heran, jika di tengah latihan, selalu ada momen ketika seseorang tiba-tiba menitikkan air mata tanpa tahu sebabnya. Mungkin karena selendang itu masih menyimpan suara masa lalu, suara laki-laki dan perempuan kuat yang dulu menari di tengah hutan, membawa pesan perlawanan dalam kelembutan gerak.

Dalam pandangan para penari tua, selendang adalah bagian tubuh kedua. Ia hidup ketika disentuh, ia bernyanyi ketika digerakkan, bahkan ada kepercayaan lama, bahwa jika seorang penari meletakkan selendangnya di tanah dengan hati yang gelisah, maka tanah akan bergetar pelan, seolah tidak rela menerima benda yang membawa jiwa.

Selendang bukan milik pribadi. Ia adalah perpanjangan dari cinta kolektif, karena itu, warnanya tidak pernah benar-benar sama, di bawah cahaya, merahnya kadang tampak oranye, kadang darah tua, kadang seperti bunga flamboyan yang baru mekar.

Seperti kehidupan: satu warna yang terus berubah, tapi tak pernah kehilangan maknanya.

Mitos lain mengatakan, warna merah pada selendang Gandrung berasal dari darah para pejuang Blambangan yang tumpah di Padang Puputan, ketika mereka melawan pasukan kompeni.

Ketika perang usai dan tanah menjadi gelap, seseorang mngangkat kain putih yang menjadi warna merah darah. “Agar tanah ini tak lupa, dengan perjuangan leluhurnya” katanya.

Sejak itu, merah menjadi warna abadi dalam setiap selendang Gandrung, warna keberanian yang disembunyikan di balik kelembutan.

Itulah paradoks yang indah dari Banyuwangi: bahwa kelembutan tidak pernah berarti lemah. Justru dari kelembutanlah lahir kekuatan yang paling murni.

Seperti doa yang berbisik di malam hari, tak terdengar keras tapi mampu mengguncang langit.

Anak-anak kecil yang menari di barisan depan disebut “penjaga gerbang tari”. Mereka adalah simbol kemurnian, lambang masa depan, mengajari mereka menari bukan perkara mudah, tetapi para pelatih tahu: kesalahan anak-anak tidak pernah dianggap dosa, melainkan keindahan yang belum sempurna.

Kesalahan orang dewasa adalah kehancuran formasi, dan kesalahan anak-anak adalah bagian dari kejujuran hidup itu sendiri.

Para penari Gandrung belum dianggap penari sebelum mengikuti wisuda, ritual meras Gandrung merupakan keniscayaan sebelum benar-benar dianggap penari. Begitulah Banyuwangi memahami kesatuan: tidak dari kesempurnaan, tapi dari penerimaan terhadap ketidaksempurnaan, seperti selendang yang kadang terlepas dari bahu, tapi tetap indah ketika diayunkan kembali.

Di tepi pantai nanti, ketika Gandrung Sewu digelar, seribu lebih selendang akan melambai bersamaan, dari jauh, mereka tampak seperti sayap burung merah yang menari di atas ombak. Langit, laut, dan bumi akan menjadi satu panggung, dan di tengah itu semua, mungkin roh Sang Penari pertama akan menampakkan diri, bukan dalam wujud manusia, tapi dalam bentuk bayangan di antara cahaya senja, atau desir angin yang membelai rambut penari muda.bIa tidak datang untuk menakuti. Ia datang untuk mengingatkan: bahwa setiap gerak adalah doa, setiap tari adalah persembahan, dan setiap selendang adalah kitab yang menulis ulang sejarah dengan bahasa tubuh.

Dalam keheningan itu, mungkin terdengar tembang Gurit Mangir, tembang lama yang dinyanyikan dengan suara serak para sinden dewasa. Tembang itu bercerita tentang perempuan yang menenun cahaya fajar menjadi kain, lalu menyerahkannya kepada bumi agar manusia tidak lupa menari. Setiap nada dari tembang itu seperti benang takdir yang menautkan masa lalu dan masa kini.

Dan di sanalah, Selendang Sang Gandrung menjadi lebih dari sekadar tema pertunjukan: ia menjadi mitos yang hidup.

Jika ditanya apa makna selendang Gandrung, mungkin tak seorang pun bisa menjawab dengan kalimat tunggal, bagi sebagian orang, ia adalah simbol cinta, bagi yang lain, simbol perjuangan.

Bagi para penari muda, mungkin hanya kain merah yang wajib dibawa di setiap latihan, tetapi bagi tanah Banyuwangi, selendang itu adalah nadi yang masih berdenyut, nadi yang menghubungkan manusia dengan leluhurnya, masa kini dengan masa lalu, menghubungkan tubuh dengan jiwa.

Malam di stadion itu akhirnya berakhir, penari satu per satu keluar arena. Tapi di udara, masih tersisa gema gerak dan suara angin yang mengusap pelan, selendang merah yang tadi melambai kini terlipat rapi di dada para penari. Tapi entah mengapa, dalam kegelapan yang tiba-tiba sunyi, terasa seolah selendang itu masih hidup, bergetar lembut di antara dada mereka, seperti masih menari sendiri dalam diam. Mungkin karena selendang itu memang bukan kain. Ia adalah jiwa yang menyaru menjadi kain, agar manusia tak lupa menari di dunia yang semakin sibuk berjalan.

Dan mungkin, di ujung waktu nanti, ketika dunia berhenti berputar dan cahaya terakhir meredup, akan tampak satu sosok penari terakhir, berdiri di tepi laut Banyuwangi, mengibaskan selendang merahnya untuk terakhir kali, sebagai tanda bahwa manusia pernah menari dengan penuh cinta di bumi ini.

Sebab selendang sang Gandrung bukan sekadar kain. Ia adalah doa yang menari di antara dua dunia: dunia manusia yang fana, dan dunia roh yang abadi.

Kita Tidak Pernah Benar-benar Mengenalnya

 

Kita Tidak Pernah Benar-benar Mengenalnya

Oleh: Syafaat

Kita tidak pernah benar-benar mengenal Chairil Anwar seperti mengenal tukang sayur yang lewat setiap pagi sambil berteriak “Lombok, tomat, cabai rawit!” di gang sempit kampung. Kita tahu Chairil lewat kata-kata yang dibakarnya sendiri, lewat jejak tinta yang seperti api di kertas. Tapi kita tidak tahu apakah ia punya kebiasaan menaruh sendok di sebelah kanan atau kiri piringnya. Kita tak tahu aroma apa yang paling ia sukai dari tubuh hujan. Kita hanya tahu ia mencintai hidup dengan cara yang liar, dan karena itu pula ia sering berperang dengan dirinya sendiri.

Chairil, seperti banyak penyair, hidup di wilayah antara: antara cahaya dan bayangan, antara kejujuran dan tipu daya kata-kata. Ia tidak hidup sepenuhnya di dunia nyata, tapi juga tidak sepenuhnya di dunia ide. Ia menggantungkan dirinya di tengah-tengah, seperti daun yang tak sempat jatuh karena angin ragu untuk berhembus.

Begitulah kira-kira sosok yang tak pernah kita kenal, tapi terus kita bicarakan. Begitulah juga Martinus Dwianto Setyawan. Ia lahir di Desa Sisir, kaki Batu yang dingin, 12 Agustus 1949. Di sana, udara pagi membawa kabar dari ladang dan suara sapi yang sedang menunduk mencari rumput. Tak ada yang menandakan bahwa seorang penulis besar akan tumbuh dari tanah itu, selain kebiasaan seorang anak kecil yang gemar bercerita kepada siapa pun yang mau mendengar.

Martinus tumbuh tanpa janji akan ketenaran. Ia menulis bukan untuk mencatat namanya di punggung buku sejarah, melainkan untuk menanam benih kecil di benak anak-anak. Ia tidak membangun monumen dari kata-kata, tapi membuat jalan setapak dari imajinasi. Lewat lebih dari seratus karya, ia seperti menyalakan lentera di lorong masa kecil banyak orang: Sersan Grung-Grung, Kelompok 2 & 1, Kapten Pus, dan sekian banyak judul lain yang mungkin kini terselip di rak perpustakaan sekolah dasar yang sunyi.

Ia menulis bukan untuk membuat kagum, melainkan agar dunia kecil anak-anak tetap hidup, tetap punya warna, tetap punya suara. Ia tidak menulis karena ingin dikenal, melainkan karena tak sanggup melihat dunia tanpa dongeng. Tak banyak orang yang tahu bagaimana suaranya. Barangkali lembut. Barangkali seperti suara guru yang sabar membacakan cerita di depan kelas. Tapi dari tulisannya, kita tahu ia menyembunyikan sesuatu: kesedihan yang jinak, cinta yang tidak ingin diumumkan. Ia menulis seperti orang yang tahu bahwa yang paling berharga dari hidup bukanlah sorak sorai, melainkan kesunyian yang dijaga.


Ia wafat pada 1 Juni 2024. Pergi seperti musim yang tahu kapan harus diam. Tidak menimbulkan ribut, tidak meninggalkan perpisahan yang megah. Tapi kata-katanya tetap ada, hidup di tangan pembaca kecil yang kini sudah tumbuh besar, membawa kenangan itu di dalam kepala mereka. Di rumahnya di Jalan Samadi, antara tumpukan kertas dan aroma tinta, Dwianto membangun DS Grup—bukan lembaga megah, melainkan rumah bagi yang ingin belajar mencintai cerita. Anak-anak datang membawa mimpi, pelukis datang membawa warna, penyair datang membawa kata. Ia tidak ingin menjadi pusat. Ia ingin menjadi pelukan.

Tahun 1990-an, ia memimpin tabloid anak Hoplaa. Isinya ringan, tapi berumur panjang di hati pembacanya. Ada warna merah muda, hijau muda, biru muda—warna yang kemudian memudar di ingatan, tapi meninggalkan rasa yang sulit dijelaskan: rasa bahwa masa kecil pernah seindah itu. Ia menikahi Irawati tahun 1975. Hidup mereka berjalan seperti lagu anak-anak: sederhana, lembut, dan tidak pernah selesai dinyanyikan. Mereka menua bersama buku-buku. Tidak banyak bicara tentang masa lalu, tapi setiap halaman yang dibuka adalah cara mereka mengingat.

Kini, buku-bukunya dicetak ulang. Anak-anak membaca, dan para orangtua tersenyum sambil berkata, “Ini buku waktu kecilku dulu.” Sebuah kalimat sederhana, tapi di dalamnya ada waktu yang kembali. Ada tangan-tangan kecil yang membuka halaman dengan mata yang berbinar. Dwianto bukan sekadar sastrawan. Ia semacam penjaga. Penjaga imajinasi anak-anak agar tak punah ditelan layar. Penjaga kebaikan agar tetap punya tempat di dunia yang tergesa-gesa. Ia menulis bukan untuk menjadi terkenal, tapi agar dunia tetap punya ruang bermain bagi hati yang lembut.

Barangkali itulah bentuk cinta yang paling suci: tidak menuntut, tidak berisik, hanya tinggal di sana, seperti aroma tanah basah setelah hujan. Kita tidak pernah benar-benar mengenalnya. Tapi bukankah begitu juga cara kita mengenal cinta? Kita tak tahu dari mana datangnya, kita tak tahu kapan perginya, tapi kita tahu saat ia ada, dunia menjadi lebih bisa ditanggung. Martinus menulis dengan cinta yang tenang. Ia tidak menciptakan pahlawan besar, hanya anak-anak kecil yang berani bermimpi. Ia tidak menulis kisah perang, tapi menulis cara tertawa di tengah kekalahan. Ia tidak menulis tentang negeri yang megah, tapi tentang hati yang jujur. Dan itu cukup.

Bayangkan suatu pagi di Batu. Udara lembap, daun jambu berjatuhan. Di sebuah rumah dengan jendela menghadap timur, seorang lelaki tua duduk sambil menatap halaman. Di tangannya ada secangkir teh yang mulai dingin. Ia tersenyum kecil, mungkin karena baru saja menemukan kalimat terakhir yang sudah lama ia cari. Mungkin ia tahu, setiap cerita punya nyawa sendiri. Ia tahu, jika sebuah cerita ditulis dengan cinta, maka ia tak akan mati—hanya berganti bentuk: menjadi suara dalam kepala, menjadi kenangan di malam yang sepi, menjadi cahaya kecil di mata anak-anak yang membaca dengan jujur.

Dunia akan terus berubah, tapi cerita-cerita seperti karyanya akan tetap menjadi jangkar yang menahan masa kecil kita agar tidak hanyut. Karena satu cerita yang ditulis dengan hati, bisa menjadi doa. Bisa menjadi arah. Bisa menjadi rumah. Kita tidak pernah benar-benar mengenalnya, tapi lewat cerita-ceritanya, ia mengenal kita lebih dulu. Ia tahu di mana hati pembacanya tinggal, dan di sanalah ia memutuskan untuk menetap. Tanpa pamit. Tanpa tanda. Tapi dengan cinta yang akan terus bernafas, di setiap halaman yang dibuka, di setiap anak yang masih percaya bahwa dunia, betapa pun beratnya, masih bisa diselamatkan oleh cerita.

Top of Form

 

Bottom of Form

Penulis : Syafaat (Ketua Yayasan Lentera Sastra Banyuwangi)

 

 

 

 

 

 

 

 

 
Copyright © 2013. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Template Modify by Blogger Tutorial
Proudly powered by Blogger