Pages

Tampilkan postingan dengan label Artikel Pilihan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel Pilihan. Tampilkan semua postingan

Konser Kotak: Panggung Pulang, dan Ingatan yang Tidak Pernah Pergi

 

Konser Kotak: Panggung Pulang, dan Ingatan yang Tidak Pernah Pergi

Oleh : Syafaat

Ada musisi yang naik panggung untuk menunjukkan siapa dirinya. Ada pula yang naik panggung untuk pulang. Pada peringatan Hari Jadi Banyuwangi ke-254, konser Kotak di Gesibu Blambangan terasa lebih dekat dengan yang kedua. Malam itu, panggung tidak sekadar menjadi tempat suara dikeraskan, tetapi ruang batin tempat ingatan dipanggil pulang satu per satu. Musik menjelma ziarah, perjalanan sunyi yang menyingkap hubungan purba antara bunyi, tanah asal, dan rasa memiliki yang tak pernah benar-benar selesai.

Banyuwangi, yang telah berusia dua setengah abad lebih, bukan sekadar latar perayaan. Ia adalah ibu yang menunggu anak-anaknya kembali, meski hanya sebentar. Di usia yang matang itu, kota ini seolah berbisik bahwa pulang tidak selalu berarti menetap, tetapi mengingat dengan penuh hormat. Maka dentum gitar dan gema suara malam itu tidak berdiri sendiri; ia bertaut dengan debur laut, desir angin, dan jejak langkah masa lalu yang masih setia tinggal di tanah Blambangan.

Seperti judul lagu mereka sendiri, Pelan-Pelan Saja, ingatan memang tak suka dikejar. Ia datang ketika diberi ruang. Ia menyapa ketika tidak dipaksa. Dalam alunan itu, waktu melunak, masa lalu dan masa kini saling menatap tanpa canggung. Musik menjadi cara paling jujur untuk berkata: kita boleh pergi jauh, tetapi ada bagian dari diri yang selalu ingin kembali, kepada tanah yang pertama kali mengajarkan kita arti suara, luka, dan cinta.


Kotak, band yang lahir dari The Dream Band pada 27 September 2004, telah menempuh perjalanan panjang. Formasinya boleh berubah, tetapi denyutnya tetap sama: Tantri dengan suara yang tegas sekaligus retak—retak yang justru membuatnya jujur; Chua dengan bass yang setia menjaga nadi; dan Cella, Mario Marcella Handika Putra, gitaris yang seperti garis lurus di tengah peta yang sering berbelok, ia menjadi satu-satunya personel awal yang bertahan. Barangkali karena ada sesuatu dalam dirinya yang memilih setia: pada musik, pada proses, dan pada asal. Setia itu bukan keras kepala, melainkan Cinta Jangan Pergi.

Cella adalah anak Banyuwangi. Ia fasih berbahasa Osing, bahasa yang tidak hanya berisi kata, tetapi juga cara menahan rindu dan menamai kampung halaman. Maka ketika konser digelar di Gesibu Blambangan, panggung itu tidak sepenuhnya asing baginya. Bahkan ia memilih berdiri di sisi kiri panggung, bukan di tempat lazimnya, karena di situlah ia dulu berdiri sebagai remaja, saat mengikuti audisi, saat mimpi masih berupa kemungkinan yang rapuh. Di sana, waktu seperti melipat dirinya sendiri. Seolah ada bisik lirih: Berharap Bisa Kembali. Dan air matanyapu jika diizinkan juga akan menetes, dalam konser di tanah kelahirannya sendiri.

Tantri malam itu mengenakan jilbab hitam; pada lagu lain ia mengenakan kostum gandrung. Ia menyanyi diiringi penari gandrung Banyuwangi. Bukan sebagai gimmick budaya, melainkan sebagai isyarat penghormatan. Seolah musik rock pun tahu cara menundukkan kepala di hadapan tradisi. Di titik itu, panggung menjadi ruang dialog: antara gitar listrik dan gendang, antara masa depan dan masa lalu, antara hiruk-pikuk industri dan kesenyapan akar. Rock tidak berteriak; ia Beraksi dengan takzim.

Acara bertajuk “Tandang Bareng” tidak sekadar menyuguhkan konser, melainkan menghadirkan perjumpaan lintas rasa dan lintas ingatan. Ia menjelma perayaan yang tidak tergesa, sebuah panggung yang sengaja memberi ruang bagi napas tradisi sebelum hiruk-pikuk modern mengambil alih. Malam itu, seni tidak dipertontonkan untuk dikagumi dari kejauhan, melainkan dipertemukan—seperti keluarga besar yang duduk melingkar, saling menatap, saling menyapa, sebelum satu per satu cerita dimulai. Nada-nada lokal hadir lebih dulu, seperti salam sopan kepada tanah yang menjadi tuan rumah. Tradisi tidak berdiri sebagai hiasan, tetapi sebagai fondasi. Di sanalah musik modern belajar menjejakkan kaki dengan rendah hati. Kotak sendiri pernah melakukan hal serupa: mengawali sebuah lagu dengan intro musik gandrung. Sebuah isyarat kecil namun bermakna, bahwa sebelum suara diperkeras, ada baiknya kita mendengarkan denyut yang lebih tua; sebelum melangkah jauh, kita menoleh sebentar ke asal.

Dalam perjumpaan itu, gandrung tidak merasa ditinggalkan, dan rock tidak merasa dibatasi. Keduanya saling menyapa tanpa saling mengalahkan. Seolah musik sedang mengingatkan kita bahwa kemajuan tidak harus memutus ingatan, dan modernitas tidak perlu mengusir tradisi. Sebab seni, pada hakikatnya, adalah cara paling jujur manusia untuk pulang, kepada akar, kepada kebersamaan, dan kepada rasa hormat yang membuat setiap perayaan memiliki makna.

Pentas diawali oleh Kang Yons DD dengan Suling Montro. Nada-nadanya melayang pelan, seperti embun yang turun sebelum fajar, menyentuh tanah dengan lembut. Ia tidak meminta perhatian, tetapi mengundang keheningan. Lalu hadir Wandra dan Mak Temuk, membawa suara yang telah lama berdiam di lorong-lorong Banyuwangi, suara yang akrab dengan sawah, pasar, dan halaman rumah. Mereka bukan sekadar pengisi acara, melainkan penjaga pintu ingatan.

Musik lokal membuka jalan, memberi salam pada tanah sebelum dentuman rock mengambil alih. Seperti doa yang dibaca perlahan sebelum suara diperkeras, agar langkah tidak menjadi sombong, agar bunyi tidak kehilangan arah. Di titik inilah musik mengajarkan kita sesuatu yang sering kita lupa: keras tidak selalu berarti kasar; lantang bisa tetap santun. Tradisi tidak ditinggalkan, modernitas tidak ditolak. Keduanya berdiri berdampingan, saling menguatkan, saling memberi makna.

Lagu-lagu kebangsaan dan motivasi dilantunkan. Ada doa yang disisipkan untuk saudara-saudara kita yang tertimpa musibah di Aceh. Pada saat-saat seperti itu, musik berhenti menjadi hiburan. Ia berubah menjadi medium empati—cara manusia saling menguatkan ketika kata-kata terasa kurang. Nada menjadi pelukan; refrain menjadi Cinta Yang Sempurna, bukan karena tanpa cela, melainkan karena mau hadir.

Menariknya, para personel Kotak datang tidak sendiri. Mereka membawa keluarga, seakan ingin menjadikan Banyuwangi bukan sekadar kota singgah, melainkan halaman rumah tempat napas dilonggarkan. Di sela jadwal dan sorak penonton, mereka menikmati indahnya alam, laut yang tenang, hijau yang sabar, dan langit yang tidak menuntut apa-apa selain dipandangi. Liburan ini terasa seperti jeda yang disyukuri, bukan pelarian, melainkan kepulangan kecil di tengah perjalanan panjang.

Seolah mereka ingin mengatakan bahwa kesuksesan tidak harus menjauhkan seseorang dari rumah. Bahwa panggung tertinggi pun seharusnya tetap menyediakan ruang bagi anak-anak untuk berlari tanpa takut waktu, bagi istri untuk tersenyum tanpa jadwal, dan bagi kenangan lama untuk menyapa tanpa canggung. Di sanalah makna keberhasilan diuji: bukan pada seberapa terang lampu sorot menyala, tetapi pada seberapa hangat cahaya yang ikut pulang ke dapur, tempat cerita sederhana dibagi, dan hidup kembali menemukan wajah aslinya.

Konser itu berakhir, seperti semua konser. Lampu padam, suara reda, penonton pulang. Tetapi sesuatu tertinggal. Ingatan tentang seorang gitaris yang kembali ke titik awalnya. Tentang sebuah band yang tidak lupa pada tanah tempat salah satu nadinya berasal. Tentang Banyuwangi yang malam itu tidak hanya menjadi tuan rumah, tetapi rumah itu sendiri. Barangkali inilah makna paling sunyi dari musik: ia mengajarkan kita bahwa sejauh apa pun seseorang pergi, selalu ada panggung kecil di dalam dirinya yang ingin pulang. Dan pada malam itu, di Gesibu Blambangan, panggung kecil itu bernama Banyuwangi, tempat lagu-lagu tidak sekadar dinyanyikan, tetapi dikenang.

Penulis Adalah Ketua Lntera Sastra Banyuwangi

Banyuwangi, 254 Tahun: Kota yang Menyanyi dari Ingatan Panjang

 Banyuwangi, 254 Tahun: Kota yang Menyanyi dari Ingatan Panjang

Oleh : Syafaat

Dua ratus lima puluh empat tahun bukanlah sekadar deret angka yang dipahat di atas batu nisan sejarah, bukan pula sekadar hiasan umbul-umbul yang berkibar ditiup angin Selat Bali. Ia adalah usia yang lahir dari zikir panjang tanah ini, dari sujud-sujud sunyi para leluhur yang menggenggam iman sambil menahan pedang dan luka. Di kedalaman rahimnya, Banyuwangi adalah sebuah kitab besar, ditulis dengan tinta darah, air mata, dan doa yang ayat-ayatnya tak selalu dibaca di mimbar, tetapi terpatri di ladang, hutan, dan pantai.

Ketika kita merapal angka 254, sesungguhnya kita sedang membuka kembali lembar-lembar syahadat perlawanan yang pernah dikumandangkan di belantara Bayu. Syahadat bahwa tanah ini tidak tunduk selain kepada Yang Maha Merdeka. Syahadat bahwa manusia diciptakan untuk menjaga martabat, bukan menjualnya. Dari Minak Jinggo hingga para petani tanpa nama, dari ibu-ibu yang menyimpan beras di lumbung kecil hingga santri yang mengaji di surau bambu, semuanya adalah barisan panjang orang-orang beriman yang menolak tunduk pada ketidakadilan. Banyuwangi tumbuh bukan dari kemewahan istana, melainkan dari kesabaran. Ia dibesarkan oleh air sendang yang disakralkan, oleh kidung yang dilantunkan sebagai doa, oleh seni yang bukan sekadar tontonan, melainkan tuntunan. Gandrung, hadrah, macapat, hingga lantunan ayat suci, semuanya adalah cara tanah ini bersujud, cara masyarakatnya mengikat langit dan bumi agar tetap seimbang.


Maka, memperingati usia ke-254 bukanlah semata pesta cahaya dan panggung megah. Ia adalah miqat, titik berhenti untuk menengok kembali niat. Sudahkah kita setia pada amanah leluhur? Sudahkah pembangunan berjalan seiring dengan pemuliaan manusia dan alam? Ataukah kita hanya sibuk menghitung capaian, lupa menghitung luka yang tertinggal?

Di usia ini, Banyuwangi dipanggil untuk kembali menjadi tanah yang aman bagi perbedaan, subur bagi harapan, dan ramah bagi iman. Tanah yang memuliakan seni sebagai jalan kebijaksanaan, memelihara budaya sebagai kearifan, dan menjadikan agama sebagai cahaya, bukan bara. Dua ratus lima puluh empat tahun adalah doa yang belum selesai. Dan kitalah yang hari ini diminta melanjutkan kalimatnya, dengan kerja yang jujur, dengan hati yang bersih, dan dengan kesetiaan pada Tuhan serta sejarah. Kota ini tidak lahir dari rahim kesunyian yang pasif, melainkan dari rahim sejarah yang berdenyut oleh doa dan perlawanan. Ia dilahirkan oleh gemuruh dzikir para ksatria Blambangan, dzikir yang tak selalu dilafalkan dengan tasbih, tetapi dengan keberanian, pengorbanan, dan kesetiaan pada martabat. Mereka menolak tunduk pada tirani, sebab dalam keyakinan terdalam mereka, tunduk hanya layak dipersembahkan kepada Yang Maha Esa.

Perang Puputan Bayu, 18 Desember 1771, bukanlah kisah tentang kalah dan menang dalam timbangan dunia. Ia adalah fajar shādiq, fajar sejati yang merekah dari luka dan darah, menandai lahirnya kesadaran kolektif bahwa kehormatan lebih bernilai daripada usia yang panjang tanpa harga diri. Di medan itulah, jasad boleh rebah, tetapi ruh berdiri tegak menghadap langit. Pedang dan doa menyatu, teriakan dan takbir bertaut, seakan bumi dan langit sepakat menyaksikan sumpah terakhir anak-anak Blambangan. Di Bayu, etika keberagamaan dan kebernegaraan menemukan simpulnya. Membela tanah kelahiran bukan sekadar naluri, melainkan ibadah; menjaga bumi bukan sekadar tugas sejarah, melainkan amanah ilahi. Tanah air dipahami sebagai titipan Tuhan yang harus dijaga dengan iman, bukan dieksploitasi dengan keserakahan. Dari sanalah Banyuwangi belajar bahwa nasionalisme yang sejati berakar pada spiritualitas, dan spiritualitas yang matang akan melahirkan keberanian moral.

Maka, hari jadi ini bukan sekadar penanda usia, tetapi mihrab perenungan. Ia memanggil kita untuk menyalakan kembali lentera di dalam dada, lentera yang pernah dinyalakan para leluhur dengan nyala keberanian dan keikhlasan. Agar di tengah riuhnya modernitas, di antara cahaya-cahaya palsu yang memukau mata namun menggelapkan hati, kita tidak tersesat dari asal-usul. Sebab kota ini hanya akan tetap hidup bila ingat pada doanya, setia pada lukanya, dan jujur pada imannya.

Hari ini, kita menyaksikan tetangga-tetangga kita ikut gairah, seakan bumi Tapal Kuda sedang berhias menyambut musim baru. Bandara-bandara ingin ikut membelah langit seperti Banyuwangi, landasan pacunya seperti sajadah panjang tempat harapan berangkat dan pulang. Jalan-jalan dibuka, aspal direntangkan laksana urat nadi yang mengalirkan rezeki, sementara pembangunan merayap pelan namun pasti ke sudut-sudut yang dahulu sunyi. Dalam kacamata duniawi yang sempit, semua ini kerap dibaca sebagai perlombaan, siapa lebih tinggi, lebih cepat, lebih gemerlap.

Namun bagi hati yang telah belajar tawaduk, kemajuan wilayah sekitar adalah tajallī, penampakan rahmat Tuhan yang tak mengenal pagar administrasi. Rezeki tidak pernah salah alamat, dan keberkahan tidak pernah berkurang hanya karena dibagi. Langit yang sama menaungi kita semua; angin yang sama membawa doa-doa dari desa ke desa. Maka, setiap landasan yang terbangun, setiap jalan yang terbuka, sejatinya adalah ayat-ayat Tuhan yang sedang diturunkan dalam bahasa pembangunan.

Banyuwangi tidak pernah memiliki watak rakus untuk menjadi pusat tunggal yang menelan sekelilingnya. Sejak awal, memori kolektif Blambangan adalah memori ruang yang luas, ruang persaudaraan, ruang lintasan budaya, ruang perjumpaan iman. Ia tumbuh dengan kesadaran bahwa kemuliaan tidak lahir dari menyingkirkan yang lain, melainkan dari kemampuan hidup berdampingan. Maka, ketika wilayah di sekitar kita bertumbuh, itu adalah gema dari keberhasilan kita menjaga keseimbangan dan stabilitas kawasan, doa yang diam-diam dikabulkan.

Kita tidak sedang berlomba lari dengan napas terengah dan siku saling menyikut. Kita sedang tandang bareng dalam sebuah kafilah besar menuju kesejahteraan, di mana setiap langkah saling menguatkan dan setiap singgah saling mendoakan. Persaingan hanyalah ilusi bagi mereka yang hatinya belum selesai dengan urusan kedengkian, mereka yang mengira cahaya bisa direbut, bukan dipantulkan. Banyuwangi memilih menjadi lilin yang menyulut lilin-lilin lain. Ia rela nyalanya dibagi, sebab ia tahu cahaya tidak pernah habis ketika disebarkan. Ia menolak menjadi api yang memadamkan nyala orang lain demi terlihat paling terang. Dalam pilihan itu, kota ini bersujud: kepada Tuhan yang Maha Luas rahmat-Nya, dan kepada sejarah yang mengajarkan bahwa terang sejati adalah yang mampu menerangi jalan banyak orang.

Kita harus jujur pada nurani: Apakah bandara yang megah itu telah menjadi jembatan doa bagi rakyat kecil? Ataukah ia hanya menjadi monumen bisu bagi mereka yang mampu terbang? Banyuwangi memahami bahwa pembangunan tanpa dimensi uluhiyah (ketuhanan) dan insaniyah (kemanusiaan) hanyalah raga tanpa ruh. Masyarakat tidak butuh angka-angka pertumbuhan ekonomi di atas kertas jika dapur mereka tidak mengepulkan asap syukur. Pembangunan yang sejati adalah pembangunan yang memuliakan martabat manusia. Pembangunan yang membuat seorang petani di kaki Gunung Raung merasa aman, seorang nelayan di Muncar merasa terlindungi, dan seorang guru ngaji di pelosok desa merasa dihargai. Inilah esensi dalam pembangunan: menjadikan kebijakan sebagai bentuk pengabdian, bukan sekadar urusan administrasi.

Di Banyuwangi, seni tidak pernah lahir sebagai hiburan yang kosong makna. Ia bukan sekadar tontonan bagi mata, melainkan tuntunan bagi jiwa. Jauh sebelum panggung-panggung festival berdiri megah dengan cahaya LED dan sorak kamera, Gandrung telah lebih dahulu menjadi sajadah panjang tempat masyarakat bersyukur kepada Sang Pemberi Rezeki. Setiap lenggoknya adalah ungkapan terima kasih kepada bumi yang subur, kepada hujan yang setia turun, kepada hidup yang masih diberi kesempatan bersemi.

Barong tidak hadir sebagai hiasan folklor belaka. Ia adalah simbol penjaga desa, personifikasi ikhtiar spiritual manusia dalam menghadapi marabahaya yang tak kasatmata. Di balik topeng dan geraknya, tersimpan kesadaran kolektif bahwa hidup tidak hanya bergulat dengan yang terlihat, tetapi juga dengan yang gaib, dan untuk itu, manusia harus rendah hati, saling menjaga, dan selalu mengingat Yang Maha Melindungi. Hadrah Kunthulan pun bukan sekadar irama yang menggerakkan kaki. Ia adalah detak jantung komunitas, denyut iman yang memadukan gerak raga dengan puji-pujian kepada Baginda Nabi. Rebana yang ditabuh bukan hanya menghasilkan bunyi, melainkan menata batin; mengingatkan bahwa tubuh dan ruh seharusnya berjalan seiring menuju kebaikan.

Seni di tanah ini adalah bahasa kami untuk berdialog dengan Tuhan. Ketika penari Gandrung melenggok, ada doa yang dipanjatkan lewat jemari—doa yang mungkin tak terucap oleh lisan, namun fasih dibaca oleh langit. Ketika kendang bertalu dan gong berdentang, ada getaran qalbu yang mengingatkan manusia pada harmoni kosmos, bahwa alam pun bertasbih dengan caranya sendiri. Karena itu, Banyuwangi Festival (B-Fest) semestinya tidak berhenti sebagai etalase pariwisata, apalagi sekadar kalender acara. Ia adalah madrasah kebudayaan, ruang belajar lintas generasi, tempat nilai diwariskan, bukan hanya dipamerkan. Di sanalah seni dirawat agar tidak membeku menjadi fosil yang mati, tetapi terus bergerak menjadi energi yang menghidupkan: menghidupkan ingatan, menghidupkan iman, dan menghidupkan harapan bahwa modernitas dapat berjalan seiring dengan kesetiaan pada akar.

Memasuki usia 254, tantangan kita tak lagi berwujud meriam penjajah yang menggelegar di medan laga, melainkan sesuatu yang lebih sunyi namun jauh lebih berbahaya: amnesia sejarah dan kekeringan spiritual. Musuh hari ini tidak datang dari laut dengan kapal perang, tetapi merayap pelan ke dalam ingatan, mengikis makna, memudarkan nilai, dan menggantinya dengan kilau sesaat yang sering kita salah sangka sebagai kemajuan. Jangan sampai bangunan-bangunan tinggi yang menjulang membuat pandangan kita lupa menunduk ke akar. Jangan sampai jalan-jalan lebar yang terbentang menjauhkan langkah kita dari jejak para leluhur. Kemajuan fisik yang tidak disertai kejernihan batin berisiko menjadikan kita asing di tanah sendiri, seperti musafir yang hafal peta, tetapi lupa arah pulang.

Kota yang besar bukan hanya yang kuat infrastrukturnya, melainkan yang utuh jiwanya. Kekayaan materi tanpa keluhuran tradisi hanyalah rumah megah tanpa ruh; berdiri, tetapi dingin dan sepi. Tradisi adalah ibu yang menyusui batin kolektif kita, tanpanya, kita akan tumbuh sebagai generasi yatim piatu secara kultural: hidup, tetapi kehilangan rasa memiliki. Di usia ini, Banyuwangi dipanggil untuk kembali berwudu pada sejarahnya, menyiram ingatan yang mulai kering dengan mata air spiritualitas. Agar setiap kemajuan menjadi sedekah, setiap pembangunan menjadi doa, dan setiap pencapaian menjadi jalan mendekat kepada Tuhan. Sebab hanya dengan begitu, kota ini tidak sekadar maju, tetapi juga beradab; tidak hanya bercahaya di mata dunia, tetapi hangat di pelukan sejarah dan iman, kita jadikan Hari Jadi Banyuwangi ini sebagai momentum untuk melakukan muhasabah (evaluasi diri). Mari kita jaga harmoni antara kemajuan zaman dengan keteguhan iman. Kita ingin Banyuwangi yang modern, namun tetap memiliki bau tanah yang akrab bagi para petani; kita ingin Banyuwangi yang mendunia, namun tetap memiliki gema selawat yang syahdu di surau-surau.

Banyuwangi adalah sebuah "Lentera". Cahayanya harus mampu menerangi jalan bagi mereka yang gelap, memberi kehangatan bagi mereka yang kedinginan, dan menjadi penunjuk arah bagi mereka yang kehilangan makna hidup.

Penulis adalah :  Ketua Yayasan Lentera Sastra Banyuwangi.

 

 

Ketika Bumi Menegur dengan Suara Langit

Ketika Bumi Menegur dengan Suara Langit 

Oleh : Syafaat

 

Ada saat ketika angka tak lagi sekadar angka. Ketika “961 jiwa meninggal” (BNPB,08/12/2025) berubah menjadi wajah-wajah yang tak sempat mengucap salam terakhir; menjadi cahaya mata anak yang menunggu ibunya pulang; menjadi tangan yang terjulur dari lumpur, seolah meminta disentuhkan kembali kepada Rahman dan Rahim. Angka-angka itu seperti ayat yang patah di tengah tilawah, meninggalkan ruang kosong di dada, membuat langit serasa turun lebih dekat, seperti ingin menuntun manusia membaca ulang makna musibah.

Dan ketika “hampir satu juta orang mengungsi” disebutkan, gema langkah mereka mengingatkan pada kisah-kisah tua, umat yang keluar dari Mesir bersama Musa, umat yang berlari menjauhi banjir besar Nuh. Bukan karena ingin, tetapi karena bumi yang terluka menghembuskan peringatan. Mereka meninggalkan rumah dengan dada bergetar, seperti orang yang tersengat takdir yang belum sempat dipahami. Banjir bandang, longsor yang memecah bukit, sungai yang berubah warna, semua itu bukan sekadar kejadian alam. Mereka adalah khutbah panjang yang dibacakan bumi kepada manusia. Setiap gemuruh air seperti kalimat tanpa huruf yang berkata: “Kembalilah kepada Tuhanmu, sebelum luka ini menjelma murka yang lebih besar.”

Dalam arus kegelisahan itu, ekoteologi yang digelorakan di bawah kepemimpinan Menteri Agama, Nasaruddin Umar, hadir bukan sebagai program birokrasi yang disusun dalam ruang-ruang rapat. Ia lebih menyerupai seruan halus dari kedalaman iman: ajakan agar manusia kembali memandang bumi sebagai amanah Tuhan, bukan sekadar lahan yang bisa ditakar-takar untuk dieksploitasi. Di tangan Kementerian Agama, ekoteologi menjelma jembatan yang menghubungkan langit dan tanah, mengikat ayat-ayat suci dengan akar yang tumbuh, menyatukan sujud dengan rimbunnya pepohonan, mengaitkan doa-doa umat dengan aliran sungai yang menghidupi.

Di bawah gerakan ini, setiap tradisi agama (Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan lainnya) dipanggil untuk kembali membaca kitab-kitab penciptaan. Menanam pohon bukan lagi kegiatan seremonial, tetapi dzikir yang menancap ke bumi. Mengurangi plastik bukan lagi kampanye kosong, tetapi bentuk taubat ekologis. Pendidikan berbasis iman tidak hanya melahirkan kecerdasan intelektual, tetapi kejernihan batin untuk menjaga rumah bersama tempat semua makhluk menundukkan kepala kepada Yang Maha Mencipta.

Sebab bumi, yang dulu dipanggil Ibu, kini terdengar merintih seperti tubuh renta yang dipaksa menyimpan dosa-dosa manusia. Pepohonan yang mestinya menjadi pakaian bumi telah dirampas oleh tangan-tangan yang lupa berdoa. Tanpa hutan, hujan yang turun sebagai rahmat berubah menjadi hantaman kasar, seperti air wudhu yang tumpah dari hati yang kehilangan kejernihan. Sejarah panjang Nusantara adalah sejarah manusia menggali, menebang, menjual, meratakan, sebuah perjalanan yang terkadang kehilangan adab, membuat manusia berdiri sebagai penguasa, bukan penjaga. Padahal ayat pertama tentang kehadiran manusia di muka bumi tidak pernah menyebutkan kekuasaan. Yang disebutkan hanyalah amanah:


Dalam tasawuf, alam disebut ayat kauniyah, ayat-ayat Tuhan yang tidak tercetak dalam mushaf, tetapi tumbuh sebagai daun yang bertasbih, mengalir sebagai sungai yang berdzikir, dan berguguran sebagai tanda waktunya manusia kembali mengingat. Maka ketika satu pohon hilang, sesungguhnya kita telah merobek satu halaman dari kitab yang belum selesai kita pahami. Ulama-ulama dahulu percaya bahwa kerusakan alam adalah tanda retaknya iman. Menebang pohon tanpa alasan dianggap melukai makhluk yang tengah bertasbih. Daun adalah dzikir, hujan adalah rahmat, angin adalah salam. Dan ketika rahmat berubah menjadi banjir, mungkin dzikir alam telah tergantikan oleh suara mesin dan keserakahan manusia.

Nenek moyang Nusantara pun telah lama memahami amanah ini. Gunung adalah kakek, tanah adalah ibu pertiwi, sungai adalah nadi kehidupan. Setiap penebangan pepohonan adalah dialog, bukan keputusan sepihak. Mereka percaya: alam yang marah tidak menghukum, tetapi mengingatkan. Dan kini pengingat itu datang dalam bentuk bencana—datang pelan namun pasti, seperti suara ibu yang dipaksa meninggikan nada karena anaknya terlalu keras kepala. Namun manusia tetap gemar menuding: menuding penebang liar, menuding pemilik sawit, menuding pemerintah. Padahal bayangan di cermin adalah terdakwa pertama. Kita menikmati hasil dari tanah yang disakiti, namun marah ketika bumi menagih haknya. Kita menikmati cahaya listrik, tetapi lupa harus ada bukit yang digunduli untuk mengalirkannya. Bencana adalah tadzkirah, peringatan dari langit yang tidak memihak. Ia tidak mengenal pejabat atau rakyat, kaya atau miskin. Ia bekerja dengan hukum sebab-akibat yang ditiupkan Tuhan pada awal penciptaan. Dalam suara angin yang berubah menjadi badai, dalam tanah yang retak tanpa salam, di situlah firman yang tak terucap itu turun: “Kembalilah.”

Tidak ada agama yang membenarkan pengrusakan. Tidak ada kitab suci yang memerintahkan pembakaran hutan. Tidak ada ayat yang memuji bala yang lahir dari kerakusan. Yang ada hanyalah manusia yang menafsirkan amanah sebagai lisensi untuk merampas. Sebelum pohon terakhir tumbang dan suaranya tinggal legenda; sebelum sungai terakhir berubah menjadi air mata; sebelum gunung terakhir kehilangan penopang dan runtuh seperti doa yang kehilangan makna, maukah manusia kembali kepada adab sebagai khalifah?

Kini adalah saatnya berhenti sejenak dari hiruk-pikuk perkembangan ekonomi,  mengendurkan langkah sebelum bumi yang letih ini benar-benar kehilangan suaranya. Sebab setiap yang berulah, setiap yang merusak, setiap tangan yang menodai alam dengan kesengajaan, kelak harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Keadilan Tuhan tidak pernah buta; ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengetuk hati atau mengguncang batas kesadaran. Bumi ini tidak diciptakan untuk mereka yang merasa berkuasa hari ini, tetapi untuk anak-anak yang belum lahir, untuk generasi yang masih berupa doa dalam rahim waktu.

Menunduklah, seperti para sufi yang kembali kepada tanah untuk memahami asal mula dirinya. Sentuhlah bumi dan rasakan getir yang disimpannya, dengarkan bisikan pepohonan yang selama ini kalah oleh deru mesin dan ambisi manusia. Berdirilah di tepi sungai—yang jernih maupun yang telah keruh oleh kesalahan kita sendiri—dan biarkan hati bertanya dengan lirih: “Apakah aku penjaga bumi-Mu, atau perusak yang menodai amanah-Mu?”

Pertanyaan itu adalah pintu taubat, dan setiap pintu yang diketuk dengan kejujuran akan dibukakan oleh-Nya. Sebab bumi, sebagaimana hati manusia, selalu menunggu kesediaan untuk diperbaiki. Pertanyaan itu adalah doa, dan doa adalah cermin. Jawabannya tidak perlu lantang; cukup jujur. Sebab penjaga dan perusak dibedakan bukan oleh seragam, bukan oleh jabatan, tetapi oleh sikap batin: penjaga melihat bumi sebagai titipan, perusak melihatnya sebagai barang dagangan.Jika manusia kembali kepada nurani dan kembali kepada ayat-ayat Tuhan—baik yang tertulis di mushaf maupun yang tum buh sebagai pepohonan—bumi akan kembali membuka tangannya. Hujan turun sebagai berkah, sungai kembali bening, hutan kembali bertasbih, dan angka-angka duka tidak lagi jatuh dari layar berita. Hanya syukur yang tertinggal; syukur karena manusia akhirnya belajar untuk tidak melukai tanah dan tidak menyakiti langit.

Penulis adalah ASN Kementerian Agama / Ketua Letera Sastra Banyuwangi


Penghargaan, dan Menjaga Ruang Hidup

 Penghargaan, dan Menjaga Ruang Hidup 

oleh : Emi Hidayati , Dosen Fak. Dakwah UNIIB

Capaian Banyuwangi meraih berbagai penghargaan tata kelola terbaik tahun ini layak diapresiasi sebagai buah dari kerja panjang pemerintah daerah dalam membangun birokrasi yang terlatih bekerja kolaboratif, dan responsif terhadap isu-isu prioritas. Banyak elemen eksekutif telah terbiasa dengan pola kerja “mengeroyok program prioritas” sehingga memastikan berbagai agenda strategis—utamanya pengurangan kemiskinan—dapat berjalan serempak dan efektif. Keberhasilan ini tidak bisa dilepaskan dari kepemimpinan bupati yang konsisten menggagas inovasi kebijakan publik, membangun budaya pelayanan yang hangat (warming glow), serta menggerakkan jejaring komunitas hingga tingkat desa. Banyuwangi berhasil menunjukkan bahwa tata kelola yang baik bukan hanya urusan administrasi, tetapi kesanggupan membangun orkestrasi sosial yang berpengetahuan dan saling menguatkan. 


Apresiasi ini hadir pada momen yang menarik. Di saat yang sama, Kapolresta Banyuwangi dalam FGD bertema “Optimalisasi Peran Ormas dan Potmas untuk Mewujudkan Kamtibmas Menuju Banyuwangi Sejahtera” menegaskan bahwa keamanan daerah sangat terkait dengan kelestarian sumber daya alam. Air, hutan, dan tanah adalah fondasi hidup masyarakat. Ketika perebutan sumber daya meningkat, potensi gangguan kamtibmas pun ikut membesar. Pesan ini searah dengan peringatan global bahwa perubahan iklim dan krisis ekologis selalu memiliki dimensi sosial dan politik. Artinya, menjaga lingkungan bukan semata isu ekologis, tetapi juga syarat dasar bagi keamanan, keadilan, dan kesejahteraan bersama.

Geografis Banyuwangi memang menunjukkan bahwa daerah ini memikul tanggung jawab ekologis besar. Dari total luas wilayah, sekitar 31,72% atau 183.396 ha adalah kawasan hutan—modal ekologis yang luar biasa. Persawahan mencapai 66.152 ha (11,44%), perkebunan 82.143 ha (14,21%), dan permukiman 127.454 ha (22,04%). Sementara itu, garis pantai sepanjang 175,8 km menjadikan daerah ini salah satu bentang pesisir paling strategis di Jawa. Angka-angka ini adalah kekuatan, tetapi sekaligus potensi kerentanan jika tata kelola ruang tidak diarahkan pada keberlanjutan.

Untuk itulah penguatan tata kelola lingkungan menjadi agenda yang tak bisa ditunda. Literatur mutakhir mengenai environmental governance menekankan bahwa tata kelola harus efektif, adil, responsif, dan robust (Bennett & Satterfield, 2018). Empat prinsip ini harus hadir secara seimbang. Efektivitas diperlukan agar kebijakan benar-benar menghasilkan perubahan. Keadilan penting untuk memastikan kelompok marginal—petani kecil, perempuan, masyarakat adat, dan komunitas pesisir—diakui hak dan pengetahuannya. Responsivitas dibutuhkan agar kebijakan mampu beradaptasi dengan situasi baru, terutama perubahan iklim. Sementara robustness memastikan kebijakan tetap kuat dan tidak mudah runtuh oleh tekanan ekonomi-politik.

Pendekatan ini selaras dengan gagasan sustainable livelihoods, yakni upaya membangun ruang hidup masyarakat yang berkelanjutan secara ekologis, aman secara sosial, dan layak secara ekonomi. Konsep ini mengajarkan bahwa keberlanjutan lingkungan harus selalu dipahami bersama keberlanjutan penghidupan masyarakat. Hutan bukan hanya tutupan lahan, tetapi basis pangan, air, budaya, dan stabilitas sosial. Pesisir bukan hanya objek wisata, tetapi ruang hidup nelayan dan benteng ekologi. Sawah bukan sekadar produksi padi, tetapi identitas dan jaring pengaman ekonomi.

Kerangka Bennett dan Satterfield menekankan bahwa tata kelola lingkungan harus dirancang sebagai sistem yang mampu belajar dan beradaptasi (adaptive governance). Dalam konteks Banyuwangi, ini berarti kebijakan—baik di sektor hutan, pertanian, kelautan, maupun permukiman—perlu semakin terbuka terhadap partisipasi masyarakat, berbasis data, dan sensitif terhadap potensi konflik sumber daya. Kapolresta Banyuwangi sudah memberi alarm penting: perebutan sumber daya dapat mengganggu keamanan publik. Karena itu, kebijakan penataan ruang, pengelolaan DAS, dan pemanfaatan pesisir harus dilakukan secara inklusif, dengan memastikan semua kepentingan dilibatkan dan risiko konflik ditekan melalui dialog berkelanjutan.

Selain itu, teori-teori tata kelola seperti Ostrom (1999) mengingatkan bahwa keberhasilan pengelolaan lingkungan sangat bergantung pada pengakuan dan pemberdayaan komunitas lokal. Banyak desa di Banyuwangi telah memiliki modal sosial kuat, kearifan lokal, dan mekanisme kontrol sosial yang efektif. Inilah aset yang perlu diproteksi dan diperkuat melalui kebijakan yang tidak top-down, tetapi kolaboratif.

Dengan capaian penghargaan tata kelola terbaik, Banyuwangi sesungguhnya sedang memasuki babak baru: dari daerah inovatif menuju daerah berketangguhan ekologis. Apresiasi ini adalah fondasi, tetapi bangunan besar bernama ketahanan ekologis hanya dapat berdiri melalui kerja kolektif. Pemerintah, komunitas lokal, ormas, pelaku usaha, akademisi, dan generasi muda harus berjalan pada visi yang sama: memastikan Banyuwangi tidak hanya indah untuk dilihat, tetapi kuat untuk bertahan dan adil untuk dihuni. Jika tata kelola terus diarahkan pada keberlanjutan, responsivitas, dan keadilan ekologis, maka Banyuwangi bukan hanya menerima penghargaan—tetapi benar-benar menjadi wilayah yang tangguh menghadapi masa depan.

Setiap Kita adalah Guru dan Setiap Rumah adalah Madrasah,

 Setiap Kita adalah Guru dan Setiap Rumah adalah Madrasah, 

Oleh: Syafaat


Ada kalimat yang tidak pernah selesai ditulis, bahkan oleh pena paling sabar: kalimat tentang guru. Kata-katanya seperti ayat-ayat langit yang turun perlahan, diperuntukkan bagi murid-murid yang masih belajar memahami tanda baca kehidupan. Tak ada jeda, tak ada paragraf terakhir. Guru bukan profesi yang dimulai pukul tujuh dan berhenti pukul dua siang. Guru adalah napas yang bertahan setelah bel usai berbunyi; ia hidup di antara harapan, luka, pengabdian, dan ikhtiar yang jarang dipahami orang-orang yang sibuk menilai.

Hari Guru Nasional memang ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994. Penanda administrasi itu menunjuk 25 November, bertepatan dengan lahirnya Persatuan Guru Republik Indonesia, organisasi yang berdiri dari bara perjuangan, dari keinginan menyatukan anak bangsa. Tetapi peringatan itu hanyalah kalender: pintu dengan nomor yang rapi. Guru sendiri telah ada jauh sebelum kebijakan itu; ia lahir pada saat manusia pertama menunjukkan cara menyalakan api kepada manusia lain. Di situlah madrasah pertama berdiri, di antara telapak tangan, hawa dingin, dan kebutuhan bertahan hidup. 


Jika api itu adalah pengetahuan, maka rumah-rumah kita adalah perapian tempat cahaya dilahirkan. Di sana, bara kecil menyala dari telapak tangan para penghuni yang penuh cinta. Seorang ayah mengajari anaknya mengikat tali sepatu, bukan sekadar keterampilan, tetapi pelajaran tentang kemandirian, tentang bagaimana manusia merapikan hidupnya sendiri. Seorang ibu memperkenalkan doa sebelum tidur, bukan sekadar rangkaian kata, melainkan jembatan agar hati kecil tidak tersesat di kegelapan dunia.

Seorang kakak menjelaskan namanya pada adik kecil yang gemetar mengeja huruf. Ia tidak hanya mengajarkan cara membaca, melainkan cara berdiri di hadapan dunia: perlahan, gugup, namun penuh keberanian. Kita sering menyebut hal-hal itu sederhana, seakan tak berarti lebih dari rutinitas sehari-hari. Padahal di sana, peradaban sedang berlatih berdiri. Di sana, jiwa sedang dilatih untuk mengenal sabar, hormat, syukur, dan cinta, empat pilar yang akan menjadi benteng saat badai hidup datang.

Seorang ibu yang sabar mengajari anaknya menyebut nama Tuhan sebelum tidur adalah guru. Ia sedang menanam akar tauhid yang suatu hari akan menyelamatkan sang anak dari kesepian paling sunyi. Seorang ayah yang menggendong putranya setelah jatuh sambil berbisik, “bangkit lagi, Nak,” telah mendidik keberanian yang kelak membuatnya tetap tegak saat dunia tidak lagi ramah. Dan seorang kakak yang menuntun adiknya membaca huruf pertama dalam Al-Qur’an telah membuka pintu peradaban, pintu yang tak pernah ditutup oleh waktu, karena setiap huruf suci yang dipelajari akan menjadi saksi di hadapan langit.

Perjalanan hidup adalah kitab tafsir yang selalu kita baca dengan cara yang berbeda-beda. Tidak ada satu ayat pun yang turun sia-sia; setiap kejadian adalah referensi, petunjuk kecil yang kita kutip diam-diam tanpa menyadarinya. Kita belajar dari luka, dari kehilangan, dari tawa, dari keberhasilan yang sementara. Bahkan kegagalan pun menjadi guru yang mengajari kita cara bersujud lebih rendah, meminta lebih tulus, dan mencintai lebih lapang. Jika sekolah mengajarkan pengetahuan, maka rumah mengajarkan makna. Jika guru mengajarkan pelajaran, maka keluarga mengajarkan iman. Dan di antara keduanya, manusia tumbuh pelan-pelan, seperti doa yang tak pernah lelah mengetuk pintu langit.

Namun ada jenis guru yang berbeda, mereka yang memilih mengabdikan hampir seluruh hidupnya kepada anak-anak orang lain. Mereka bangun pukul lima, menyeruput kopi pahit yang tidak sempat dinikmati, menyusun rencana pembelajaran yang harus menjawab permasalahan dua puluh empat kepala yang berbeda. Mereka menghadap kelas dengan senyum yang tidak pernah dihitung dalam rupiah. Mereka meminta murid memahami bukan hanya apa, tapi mengapa? itu jauh lebih sulit daripada menghafalkan definisi.

Mungkin di malam hari seorang guru duduk menatap lembar-lembar ujian. Lampu redup, jam menunjukkan angka yang seharusnya milik keluarga, tapi tangan mereka masih bergerak. Dari halaman yang penuh coretan dan angka itu, mereka mendengar bisikan masyarakat: “Kenapa nilai anak saya rendah?” Pertanyaan yang datang seperti palu; tidak mengetuk pintu, tidak bertanya apakah ada luka, tidak peduli apakah sang murid pulang ke rumah yang sunyi. Angka tidak pernah mampu menampung air mata murid yang disembunyikan setelah jam pelajaran berakhir; ia tidak merekam otak yang pusing karena gawai, atau piring makan yang kosong.

Pendidikan bukan daftar nilai. Ia adalah perjalanan batin, pergulatan yang tak tercatat di rapor, yang tidak bisa dijelaskan oleh mekanisme kurikulum atau algoritma ranking nasional. Dan ironinya, orang tua yang pertama kali diminta Tuhan mendidik, justru paling mudah menyerahkan tanggung jawabnya. “Kami bayar sekolah,” kata mereka. “Bereskan anak kami.” Seolah pendidikan adalah bengkel, seolah anak adalah mesin. Mereka lupa bahwa anak membawa suara rumah ke ruang kelas: retakan keluarga, marah yang tak pernah selesai, kedewasaan yang dipaksa matang terlalu dini. Guru kemudian diminta menyembuhkan semuanya dengan modul yang dibuat di antara dua gelombang kantuk.

Inilah tragedi yang matang: guru disanjung dalam pidato, ditepuk di panggung, tetapi dicaci pada kolom komentar yang anonim. Dipanggil pahlawan nasional, tetapi ada yang dipaksa berurusan dengan aparat hanya karena menegur murid yang merokok. Dianggap penjaga moral, tetapi sering diperlakukan sebagai pegawai yang boleh dimaki tanpa konsekuensi. Diminta menjadi mercusuar di tengah hedonisme, padahal mercusuar pun membutuhkan dermaga dan batu fondasi.

Sebagian guru memikul beban yang tak terlihat mata: tekanan sosial, material, dan mental. Ada yang dibenturkan dengan LSM, organisasi massa, atau orang tua yang tak pernah hadir ketika anaknya pulang menangis. Pendidikan yang mestinya perjumpaan jiwa, seperti imam yang memimpin saf, bergeser menjadi administrasi konflik. Kita sibuk bertanya mengapa murid hilang hormat, padahal kitalah yang pertama mengajarkan cara merendahkan, guru membawa senyum seperti ibadah. Ia menenangkan anak yang hatinya retak, memeluk kegagalan yang tidak tercatat dalam rapor. Tidak ada modul yang mengajari cara menenangkan murid yang berduka, atau menuntun mereka yang gelap oleh gawai dan sunyi rumah. Guru menjadi tembok penahan badai sosial, sementara sebagian dari kita hanya menjadi penonton yang melemparkan batu.

Kita sering lupa: sabar bukan sekadar menahan marah. Sabar adalah dzikir yang menyembuhkan, ikatan luka dengan iman. Guru bukan malaikat tanpa lelah, melainkan manusia yang memilih berdiri di tengah malam dunia agar ada satu anak lagi yang percaya pada cahaya. Jika kita terus memperlakukan guru yang tidak mempunyai kesalahan sebagai objek yang boleh dicaci, jangan heran bila murid menirunya. Anak tidak lahir membawa nalar; mereka belajar dari contoh, dan kitalah contoh pertama.

Pada akhirnya, pendidikan bukan transaksi nilai. Ia adalah perjalanan spiritual, sebuah janji sunyi antara hati yang ingin dibimbing dan hati yang rela membimbing. Guru tidak meminta disembah; hanya ingin dihargai. Sebab masa depan bangsa ini tidak dibangun oleh suara paling keras, tetapi oleh mereka yang paling tekun menyalakan cahaya: satu anak, satu kelas, satu jiwa, tanpa pamrih.

Tugas guru, pada hakikatnya, profetik. Bukan karena mereka nabi, tetapi karena jejaknya seirama: mencerdaskan akal, membersihkan hati, menegakkan akhlak. Guru mengangkat mata murid yang redup; mereka menyalakan nalar yang tertidur; mereka mengajarkan kebaikan, bukan lembar jawaban pilihan ganda, betapa mudahnya kita lupa pada murid. Bahwa mereka bukan halaman kosong. Mereka adalah gelas cahaya yang retak. Mereka membawa luka-luka tak terlihat: kecanduan judi online yang sunyi, labilnya hormon yang bercampur gengsi, depresi yang disembunyikan dalam emoji, kemiskinan yang memalukan. 

Mereka selalu dinilai, tetapi jarang ditenangkan. Mereka adalah generasi yang tumbuh dengan suara keras dunia, tetapi jarang punya ruang untuk mendengar hatinya sendiri. Doa guru adalah pintu masa depan; pintu itu tidak dibuka dengan teriakan, melainkan dengan hormat. Ada kesalahan yang sering kita pelihara: bahwa guru adalah malaikat yang tidak pernah gagal. Padahal guru juga manusia, yang pulang dengan gaji pas-pasan, lalu tetap memikirkan murid yang tak bisa membayar uang sekolah; yang tersenyum meski hatinya patah; yang terus mengajar meski anaknya sendiri sedang demam.

Di era digital, guru bukan lagi sekadar pengajar, mereka adalah tembok penahan banjir informasi. Tetapi tembok pun retak. Tidak ada bangsa yang beradab jika menyandarkan seluruh masa depannya pada pundak yang gajinya tak cukup membeli buku yang diajarnya. Mengajar bukan hanya stamina intelektual, ia adalah stamina spiritual: keteguhan yang tumbuh dari kesadaran bahwa setiap kata yang diucapkan di kelas adalah doa yang terbang menuju langit.

Dalam kitab-kitab kuno, amal ilmu dicatat sebagai pahala yang tak pernah padam. Guru yang wafat tetap hidup dalam murid yang mengajar murid lainnya. Mereka hidup dalam kebajikan yang menyebar pelan, dalam peradaban yang terus berlanjut, tanpa nama mereka di monumen, tanpa potret dalam koridor kantor pemerintah.

Jika engkau pernah bertemu seorang guru yang menyelamatkanmu dari jurang, yang menyentuh bahumu saat dunia meninggalkanmu, maka engkau tahu Hari Guru tidak cukup satu hari. Sebab setiap rumah adalah madrasah. Setiap kita, entah sebagai orang tua atau tetangga, adalah guru dalam bentuk paling sederhana. Dan kehidupan, dengan segala putaran waktu dan robeknya perasaan, adalah referensi yang diam-diam menyusupkan hikmah pada luka, pada doa, pada keberanian.

Guru adalah doa yang berjalan. Kadang letih, kadang tersandung, kadang hampir hilang. Tetapi selalu bangkit, karena mereka tahu: masa depan bangsa tidak dibangun oleh mereka yang paling keras berteriak, melainkan oleh mereka yang paling sabar menyalakan cahaya. Satu anak. Satu kelas. Satu jiwa. Seumur hidup.

Penulis adalah ASN Kemenag / Ketua Lentera Sastra Banyuwangi

Tentang Soeharto, Gelar Pahlawan, dan Luka yang Enggan Sembuh

 Tentang Soeharto, Gelar Pahlawan, dan Luka yang Enggan Sembuh

Oleh : Syafaat

Di suatu malam yang lembut, ketika angin hanya berani menyentuh daun-daun dengan ujung jarinya, berita mengenai seorang presiden yang akhirnya dianugerahi gelar pahlawan nasional hadir seperti bisikan dari masa lampau, namanya Soeharto. Kabar itu menggugah ruang batin yang lama tak dibuka, seakan setiap huruf membawa debu sejarah yang perlu ditiup pelan agar bentuknya terlihat jelas. Malam itu memanjang seperti ruang doa, dan sejarah duduk di hadapan bangsa ini dengan wajah-wajah yang pernah tersenyum, sekaligus wajah-wajah yang hilang.

Tidak ada sejarah yang sepenuhnya suci, kecuali sejarah para nabi. Selain itu, semuanya tersusun dari tangan manusia, tangan yang gemetar, tangan yang sesekali teguh, tangan yang dapat menanam kebaikan dan sekaligus menyakiti. Mungkin karena itu perdebatan tentang Soeharto tak pernah tuntas: yang diperbincangkan bukan hanya orangnya, tetapi juga cara bangsa ini memilih mengingat, mengampuni, atau tidak mengampuni masa lalu.

Di satu sisi, banyak yang mengingat Soeharto seperti ayah tua yang bekerja dalam diam: membangun sawah, menghadirkan puskesmas, mendirikan sekolah, menciptakan stabilitas. Tahun 1984 disebut seperti tahun ketika hujan turun setelah kemarau Panjang, tahun ketika Indonesia meraih swasembada beras. Nama Soeharto juga digandengkan dengan julukan “Bunga Pertempuran” dari Jenderal Soedirman, Serangan Umum 1 Maret, serta operasi merebut Papua ketika banyak bagian negeri masih diguncang ketidakpastian. Bagi sebagian orang, figur itu hadir setiap kali republik hampir pingsan. 


Namun ada sisi lain yang menyimpan bayang-bayang panjang. Bagi sebagian rakyat, Soeharto dikenang seperti malam yang terlalu gelap: dingin, tajam, penuh ketakutan. Mereka mengingat pelanggaran HAM yang tak pernah diuji tuntas di pengadilan, penangkapan dan penghilangan, tubuh-tubuh yang tak pernah kembali, dan ibu-ibu yang menua tanpa sempat mendengar kabar anaknya. Mereka mengingat Timor Timur, operasi militer, serta fusi partai, lorong politik yang meredupkan banyak suara. Mereka juga mengingat KKN yang menjadi jaring raksasa selama berpuluh-puluh tahun.

Ketika Presiden Prabowo menganugerahkan gelar pahlawan kepada Soeharto pada 2025, perdebatan pun membara seperti bara yang lama tertimbun di bawah abu. Ada yang melihat keputusan itu sebagai bentuk penghormatan: jasa pembangunan, ketahanan pangan, stabilitas negeri yang pernah goyah. Namun seakan-akan sebagian bangsa lupa bahwa kebaikan sebesar apa pun tak pernah otomatis menghapus dosa sejarah. Cahaya tetap cahaya, namun bayangan tetap menempel pada siapa pun yang pernah berdiri di bawah matahari kekuasaan.

Negara bukan dipimpin langsung oleh Tuhan. Negara bekerja melalui prosedur, rapat, rekomendasi, tanda tangan, dan suara-suara yang disaring oleh meja pertemuan. Sedangkan luka bekerja melalui ingatan, dan ingatan tak mengenal mekanisme administratif. Luka datang seperti zikir malam, diulang, bergetar, dan tak pernah benar-benar hilang. Ia hidup di dada para keluarga korban, hidup dalam cerita yang tak sempat ditulis, hidup dalam kecemasan yang diwariskan diam-diam kepada generasi berikutnya.

Lalu muncullah suara-suara yang menentang: bagaimana mungkin seseorang yang didemo mahasiswa pada 1998 kini disebut pahlawan? Argumen itu meluncur deras, seolah sejarah dapat dilihat hanya dari satu jendela. Mereka lupa sesuatu yang sederhana: pada 1998, Soeharto belum disebut pahlawan. Seperti ketika pada akhir 1960-an demonstrasi terhadap Soekarno berkobar di jalanan; saat itu Soekarno masih hidup, masih memikul beban politiknya sendiri, dan belum menyandang gelar pahlawan. Dalam tradisi negeri ini, gelar pahlawan adalah kabar setelah kematian, sebuah doa yang diberikan saat napas telah berhenti, bukan saat riuh dunia masih mengepung.

Mereka yang turun ke jalan pada 1998 bukan sedang mendemo seorang pahlawan; mereka sedang memprotes seorang pemimpin yang sedang berkuasa, sedang membongkar tembok ketakutan yang dibangun puluhan tahun. Sama seperti mereka yang berdemo terhadap Soekarno bukan sedang mencaci seorang pahlawan, melainkan menantang seorang presiden yang masih bergerak dalam sejarah hidup. Gelar pahlawan datang kemudian, datang dengan proses yang lain, dengan penilaian yang bukan lagi pada tubuh yang bernapas, tetapi pada warisan yang tertinggal setelah keheningan.

Namun sebagaimana setiap keputusan negara, pemberian gelar ini tetap saja mengaduk-aduk ruang batin bangsa. Ada yang merayakan, ada yang menangis, ada yang terdiam karena luka lama kembali membuka pintu. Dalam agama, manusia diajarkan bahwa Tuhan menimbang amal dan dosa dengan keseimbangan yang hanya Dia yang memahami. Tetapi negara tak punya timbangan seperti itu. Negara hanya punya arsip, rapat, rekomendasi, dan tafsir kekuasaan. Di titik itulah sering terselip kegelisahan: apakah gelar pahlawan adalah bentuk penghormatan, atau justru cara paling halus untuk merapikan masa lalu?

Sejarah berjalan seperti angin sore yang lembut tetapi membawa aroma masa silam. Dan bangsa ini, mau tak mau, harus belajar membedakan antara menghormati jasa dan memutihkan luka; antara mengingat dengan jujur dan mengingat dengan tujuan. Sebab keberanian sejati bukanlah memberi gelar, melainkan berani mengakui seluruh cerita: cahaya dan gelapnya, doa dan dendamnya, jasa dan darahnya, tanpa meninggalkan satu pun dari keduanya.

Bangsa ini sering menilai tokoh sejarah seperti menilai malaikat atau setan, seolah manusia hanya boleh berdiri di dua ujung yang saling meniadakan. Padahal manusia, siapa pun dia, selalu hidup di wilayah senja: ruang tengah yang tidak sepenuhnya terang, tidak pula sepenuhnya gelap. Di sanalah kebaikan dan keburukan melekat seperti dua sisi selembar daun yang tumbuh dari batang yang sama. Sisi pertama menangkap cahaya, sisi lainnya menampung bayang; tetapi yang tumbuh tetaplah satu daun, satu riwayat, satu napas yang pernah melintasi bumi ini.

Dalam ruang senja itulah nama Soeharto mendesis dari halaman Sejarah, kadang sebagai cahaya yang menerangi jalan pembangunan, kadang sebagai bayang-bayang yang tak mudah dihapus. Ada yang mengutip Ricklefs tentang pendidikan militernya di bawah Belanda dan Jepang, seolah karakter seorang pemimpin dibentuk dari mata bajak yang diasah dua kekuatan penjajah. Ada pula yang mengingat kenaikan pangkatnya setelah G30S, tongkat Kostrad yang digenggam seperti takdir, serta lembaran Supersemar yang menjadi pintu ke arah kekuasaan yang panjang.

Langkah-langkahnya menuju puncak itu bagai langkah seorang manusia yang sedang diuji Tuhan: setiap pijakan menyimpan tanda tanya, setiap keputusan menyisakan jejak antara amanah dan ambisi. Tidak ada yang tahu dengan pasti apakah ia sedang mengangkat beban bangsa atau justru menumpukkan beban baru di punggung rakyat. Sejarah bergerak seperti sungai malam, airnya mengalir, tapi kedalamannya tidak pernah benar-benar terlihat.

Namun ada pula catatan lain yang kerap terlipat di antara debu arsip dan riuh perdebatan: bahwa pada tahun 1960-an, ketika suara untuk mengadili Soekarno menggema dari gedung MPR seperti gelombang yang mencari tebing untuk dihantam, Soeharto justru memilih diam yang penuh makna. Diam yang bukan pengecut, tetapi penyangga marwah. Ia menolak desakan itu. Alasannya sederhana namun berlapis seperti ayat-ayat yang menunggu dibaca dengan hati yang bening: menghormati Sang Proklamator, menjaga martabat seorang ayah bangsa, melaksanakan amanah leluhur (mikul duwur mendhem jero). Dalam kerapuhan zaman itu, sikap tersebut menjelma setetes embun yang jatuh di tengah badai, bening dan kecil, tetapi mampu menenangkan sekeping nurani yang belum padam.

Di tanah Jawa, para ksatria lama menjaga adab seperti menjaga pusaka: tidak menelanjangi pendahulu di hadapan zaman, tidak meruntuhkan nama yang pernah menyalakan obor pertama. Sikap itu seperti sisa cahaya dari tradisi yang percaya bahwa hormat kepada yang dahulu adalah bagian dari kesempurnaan laku, bagian dari perjalanan ruhani seorang pemimpin yang memahami bahwa kekuasaan bukan hanya soal memerintah, tetapi juga soal merawat jejak sejarah dengan hati yang bersih.

Peristiwa-peristiwa itu saling mengait seperti tasbih yang terulur. Setiap butir mengandung makna yang berbeda: ada butir jasa, ada butir luka, ada butir yang belum jelas apakah ia adalah doa atau peringatan. Sejarah tak pernah meminta manusia untuk memilih satu sisi saja; sejarah hanya meminta untuk melihat semuanya, lalu menundukkan kepala, karena yang dibicarakan bukan hanya nama, melainkan perjalanan seorang manusia yang berjalan dalam cahaya dan bayang sekaligus.

Dan bangsa ini, mungkin suatu hari nanti, akan belajar menilai tokoh sejarah tidak dengan mata yang memutihkan atau menghitamkan, tetapi dengan mata yang mampu melihat senja: wilayah di mana malaikat dan setan tak berdiri di dua kutub, melainkan menyelinap bersama-sama dalam diri setiap manusia yang pernah diberi kuasa. Namun sejarah tidak pernah sesederhana itu. Sejarah lebih mirip air wudu: kadang jernih, kadang keruh, tergantung siapa yang menampung. Ia bisa membersihkan, tetapi juga dapat meninggalkan rasa dingin yang menggigit.

Bangsa ini mungkin seperti seorang tua yang berjalan perlahan menuju masjid pada waktu subuh. Di satu tangan ada tasbih, di tangan lain ada ingatan yang berat. Ia ingin memaafkan, tetapi beberapa luka terlalu dalam untuk sekadar ditutup dengan kata “pahlawan.” Ia ingin melupakan, tetapi nama-nama yang hilang tetap terukir di batu nisan ingatan kolektif.

Pertanyaan pun muncul: apakah negara boleh memberikan gelar pahlawan ketika sebagian besar luka belum sempat diseka? Apakah penghormatan adalah bentuk kesalehan sosial atau cara paling halus untuk memutihkan masa lalu? Dalam agama, keadilan disebut sebagai cahaya, tetapi dalam sejarah, keadilan sering hanya bayang-bayang dari cahaya itu, bergerak sedikit setiap kali didekati.

Orde Baru mengajarkan bahwa stabilitas bisa dibeli, tetapi harganya mahal. Ketika Soeharto akhirnya mundur pada 1998, dentuman sejarah yang tertahan selama puluhan tahun pun pecah. Mahasiswa turun ke jalan, kaca pecah, suara-suara yang lama dikurung keluar seperti burung yang terbebas dari sangkar gelap. Soeharto telah membangun banyak hal, tetapi juga meninggalkan luka-luka besar. Gelar pahlawan mungkin bisa diberikan, tetapi ingatan tak boleh dipaksa ikut tunduk. Jasa harus dihormati, luka harus diakui, dan sejarah tidak boleh disucikan dengan tergesa-gesa.

Seperti azan dari surau kecil di ujung gang sering terdengar seperti pesan halus bahwa manusia hanya mampu melihat sebagian dari kebenaran. Tuhan Maha Melihat keseluruhannya. Tugas manusia hanya satu: jujur. Jujur pada jasa, jujur pada luka, jujur pada sejarah. Dan ketika bangsa ini lebih matang, mungkin nama Soeharto akan dipandang dengan lebih jernih, bukan sebagai malaikat, bukan sebagai setan, melainkan sebagai manusia yang meninggalkan jejak panjang yang harus dipelajari, bukan diputihkan.

Ingatan harus dijaga seperti menjaga air wudu: dengan hati-hati, karena ia mudah batal, tetapi tetap harus dijaga agar kebenaran tidak hilang ditelan waktu.

Penulis adalah ASN Kemenag / Ketua Lentera Sastra Banyuwangi

Negara yang Diselamatkan oleh Peretasnya Sendiri

 Negara yang Diselamatkan oleh Peretasnya Sendiri

Oleh : Syafaat

 Suatu hari, di tengah hiruk-pikuk ibukota yang menua oleh kebijakan, seorang menteri berdiri dengan ketenangan yang aneh, seolah baru saja memindahkan bidak terakhir dalam permainan catur yang tak pernah dimenangkan siapa pun. Purbaya Yudhi Sadewa, sang Menteri Keuangan, berbicara tentang langkah baru yang tak pernah dibayangkan oleh para birokrat masa lalu: negara akan memanggil para hacker, para penembus dinding digital, untuk menambal bocornya jantung data pajak bangsa yang bernama Coretax. Di balik nadanya yang datar terselip sesuatu yang samar: rasa bangga yang berbaur dengan kegelisahan. Sebab apa yang lebih menakutkan daripada sebuah negara yang harus diselamatkan oleh para peretasnya sendiri?

Di dunia yang lain, beberapa bulan sebelumnya, seperti ditulis Denny JA dengan judul “Dan Artificial Intelligence Pun Diangkat Menjadi Menteri” bercerita tentang sebuah berita dari Albania, negara kecil di Balkan yang tiba-tiba melompat jauh ke masa depan. Di sana, pemerintah mengangkat sosok digital bernama Diella, sebuah Artificial Intelligence yang diberi gelar menteri dan diberi tugas memberantas korupsi. Ia tidak bernafas, tidak mengenal lapar, tidak mengenal rasa takut. Tak ada darah, tapi penuh logika, tak ada kepentingan, hanya algoritma yang bekerja seperti doa yang tak bisa disuap.

Diella tampil dalam wujud perempuan berpakaian adat rakyat Albania, suaranya jernih, tidak menuntut kepercayaan, namun justru menimbulkan ketakziman baru, karena untuk pertama kalinya, janji pemberantasan korupsi diucapkan oleh sesuatu yang bukan manusia. Dunia menatapnya dengan rasa takjub bercampur gentar, seperti anak kecil yang melihat api untuk pertama kali: indah, tapi tak bisa disentuh.


Bayangan tentang Diella menimbulkan gema yang aneh di kepala, ada sesuatu yang terasa familiar, seperti deja vu dari dunia sinema dua dekade lalu. S1m0ne, film lama dari tahun 2002, berkisah tentang sutradara yang menciptakan aktris digital bernama Simulation One (Simone) sebuah ciptaan sempurna yang memikat dunia dengan pesonanya. Simone tidak pernah ada, namun dunia mengidolakannya, bahkan mencintainya. dan di situlah paradoks itu lahir: manusia selalu ingin sesuatu yang murni, tapi hanya mampu menciptakannya dalam bentuk ilusi.



Kini, ilusi itu berjalan di antara kita, dengan bentuk yang lebih halus, lebih nyata, lebih sistematis, dalam dunia yang dikendalikan data, manusia mulai bernegosiasi dengan algoritma dan berunding dengan kode. Bayangkan jika suatu pagi, di Jakarta yang masih berkabut oleh debu politik, pemerintah mengumumkan hadirnya seorang Dirjen Pajak digital, AI yang menghitung semua transaksi dengan ketepatan sempurna, yang tidak mengenal amplop, tidak mengenal kasihan, dan tidak pernah tidur. Publik mungkin akan bersorak karena merasa menemukan obat bagi penyakit lama, namun di balik sorak itu, ada rasa waswas yang menggantung: manusia selalu takut pada ciptaannya sendiri ketika ciptaan itu mulai melampaui batas tuannya.

Para hacker yang kini dipanggil oleh sang menteri bisa saja menjadi para patriot digital, penjaga baru negeri yang retak oleh kebocoran data dan korupsi yang tak pernah benar-benar mati. Mereka bekerja di sunyi, di hadapan layar yang memantulkan wajah mereka sendiri, dengan mata yang menyala oleh cahaya biru system, dalam diam, mereka memegang kunci dunia yang tak terlihat: dunia di mana uang bisa menguap tanpa jejak, dan kebenaran bisa dihapus dengan satu perintah.Namun di sisi lain, mereka juga bagian dari paradoks itu sendiri, manusia yang mampu menembus sistem, tapi tak selalu mampu menembus nuraninya.

Artificial Intelligence bisa bekerja lebih cepat dari detak jantung manusia, dan mungkin lebih akurat dari nurani yang telah lama aus oleh godaan dunia. Ia tidak mengenal lapar, tidak pernah lelah, dan tidak butuh pujian, di tangan algoritma, angka menjadi ayat yang tak bisa dibantah, keputusan menjadi sebersih logika yang tak punya selera. Mungkin jika suatu hari ia diangkat menjadi pejabat, meja birokrasi akan berhenti berdebu oleh amplop. Tak akan ada lagi tanda tangan yang gemetar oleh rasa takut kehilangan jabatan, atau laporan yang disusun dengan tinta kepentingan, di ruang-ruang kantor yang selama ini berisi bisik-bisik transaksi, hanya akan terdengar dengung mesin yang setia menghitung tanpa menipu.

Dalam sejarah negeri ini, pernah ada masa ketika para petani, santri, dan penyair menjadi penyelamat bangsa. Mereka bangkit dari tanah, dari sajadah, dari lembar-lembar kertas yang berdebu, membawa harapan dalam bentuk yang paling sederhana: cangkul yang menggali kehidupan, doa yang menegakkan langit, dan kata-kata yang menghidupkan kembali jiwa yang letih. Dari kesunyian sawah, dari pesantren di pinggir sungai, dari rumah-rumah bambu yang penuh cahaya lampu minyak, lahirlah kesetiaan pada tanah air, pada manusia, pada kejujuran yang tak bisa dijual dengan apapun. Mereka bukan pemilik algoritma, tapi mereka memahami ritme bumi dan rahasia hati.

Kini, zaman telah berpindah arah. Di tempat yang dulu berdiri lumbung dan langgar, kini menjulang menara-menara sinyal. Dunia yang dulu diikat oleh sabda, kini diatur oleh sistem. Dan mungkin, penyelamat itu datang dalam wujud yang tak pernah dibayangkan oleh para pendahulu: mereka yang hidup di dunia maya, bernafas melalui jaringan, bekerja dalam kesunyian cahaya biru layar. Mereka bukan malaikat, tidak pula nabi, namun di jari-jarinya mengalir bahasa baru—bahasa yang hanya dimengerti oleh mesin, tapi perlahan menulis ulang nasib manusia. Mereka duduk di hadapan layar seperti para rahib digital, menatap baris-baris kode seperti ayat yang terus diperbarui. Tak ada aroma tanah, tak ada denting azan, hanya suara kipas prosesor yang terus berputar, seolah zikir yang tak henti-henti. Dari balik cahaya itu, mereka mencoba menambal retak dunia—mencegah bocornya data, menjaga kejujuran yang telah kehilangan alamat.

Di tangan mereka tersimpan kemungkinan baru: masa depan yang tidak lagi digerakkan oleh tangan, melainkan oleh logika yang tak punya rasa. Sebuah dunia yang bersih tapi beku, jujur tapi sunyi, efisien tapi tanpa getar kasih. Dan entah bagaimana, manusia harus belajar hidup di dalamnya, antara rindu pada masa lalu yang hangat dan keyakinan pada masa depan yang serba pasti. Sebab zaman terus bergerak, dan penyelamat selalu berganti rupa. Dulu mereka datang dengan cangkul, tasbih, dan pena; kini mereka datang dengan algoritma, jaringan, dan layar tanpa wajah. Namun satu hal tak berubah: mereka tetap berjuang, dengan cara mereka masing-masing, untuk menjaga sesuatu yang nyaris hilang—jiwa manusia di tengah dunia yang perlahan menjadi mesin.

Diella di Albania mungkin sedang menatap ke arah selatan dunia, ke negeri yang sedang mencoba menambal lubang-lubang digitalnya dengan cara-cara lama yang dibungkus istilah baru. Jika ia mampu tersenyum, mungkin ia akan tersenyum. Karena pada akhirnya manusia memang selalu berlari di belakang ciptaannya sendiri—menciptakan mesin untuk menambal kesalahan manusia, dan menciptakan manusia untuk memperbaiki kesalahan mesin.

Negeri ini, seperti kapal tua di tengah badai, berderit di setiap sisinya. Bukan karena angin politik, melainkan karena gelombang data yang tak kasat mata, yang bergerak lebih cepat daripada logika para pengelolanya. Para hacker itu hanyalah penambal sementara, peretas bocor demi bocor, dalam kapal yang terus berlayar di tengah lautan algoritma. Mungkin di ujung perjalanan nanti, akan lahir versi Indonesia dari Diella—sebuah entitas digital yang duduk di kursi birokrasi, menandatangani kebijakan tanpa tremor, berbicara tanpa salah diksi, dan tak mengenal kampanye. Negara akan memujanya, sebagaimana dulu memuja dewa-dewa di masa lampau.

Namun di antara semua kemungkinan itu, masih tersisa satu ruang kecil yang tidak bisa dijangkau mesin mana pun: ruang di mana manusia menyimpan rasa malu, cinta, dan doa. Selama ruang itu masih ada, dunia belum sepenuhnya kehilangan jiwanya, karena ada sesuatu dalam diri manusia yang tak bisa diretas, bukan oleh hacker paling jenius, bukan oleh Diella dari Albania, dan bahkan bukan oleh Simone yang tak pernah benar-benar hidup.

Sesuatu yang tak terukur, tapi ada. Seperti keyakinan. Seperti nurani. Seperti iman.


Penulis adalah ASN Kemenag / Ketua Lentera Sastra Banyuwangi.


Bimbingan Keluarga Sakinah: Ketika Dua Jiwa Mengetuk Pintu Langit yang Mencari Jalan Pulangnya

 

Bimbingan Keluarga Sakinah: Ketika Dua Jiwa Mengetuk Pintu Langit yang Mencari Jalan Pulangnya

Oleh : Syafaat

Ada masa ketika dua manusia duduk saling berhadapan dan tiba-tiba menyadari bahwa hidup ini bukan hanya tentang saling mencintai, tetapi tentang saling menuntun. Kelak, setiap perkawinan akan menemukan jalannya sendiri. Ada yang berkelok seperti sungai purba mencari muara yang jauh, memantulkan cahaya matahari di antara bebatuan sabar. Ada yang mengalir senyap seperti doa yang dipanjatkan di sepertiga malam, hanya terdengar oleh malaikat yang menjaga langit. Ada pula yang deras seperti hujan yang turun membawa berkah, namun tetap memerlukan tadah yang kuat agar tak menjadi luapan yang tak tertampung. Dan sebelum dua manusia itu memutuskan berjalan beriringan, keduanya harus mengerti bagaimana berdiri sebagai pribadi yang matang—sebagaimana pohon yang baru mampu menaungi burung-burung dan manusia apabila akarnya telah bersahabat dengan tanah tempat ia bersujud.

Di hadapan dirinya sendiri, manusia adalah cermin yang tak bisa berbohong, dalam pantulan itu, ia belajar memandang hirarki nilainya yang sesungguhnya. Menimbang kelebihan yang kadang dibanggakan dengan suara paling nyaring, meneliti kekurangan yang selama ini disembunyikan di balik tawa paling ramah. Kesadaran diri bukan sekadar latihan batin; ia adalah pintu pertama yang harus dibuka sebelum seseorang mengetuk pintu hati pasangannya. Bagaimana mungkin seseorang mengasuh jiwa orang lain bila ia belum selesai merawat carut-marut jiwanya sendiri?, bagaimana mungkin ia memeluk kegelisahan orang lain bila sumber gelisahnya sendiri tak pernah ia kenali?


Dan ketika dua manusia duduk saling menatap, menyebut perlahan satu per satu nilai hidup yang mereka junjung, kelebihan yang ingin dibagi, kekurangan yang ingin ditata ulang, serta bahan bakar cinta yang menggerakkan langkah keduanya—sebenarnya mereka sedang menyerahkan peta masing-masing. Peta yang tak pernah lengkap, yang selalu memuat jejak langkah tersandung, coretan koreksi, noda yang tak sempat dilap. Namun justru dari ketidaksempurnaan itulah perjalanan dimulai. Dari keberanian untuk berkata, “Inilah aku apa adanya, dengan langkah-langkah yang pernah goyah, dengan harapan panjang yang sedang kutanam, dan dengan luka yang sedang kucicil sembuhnya.” Setiap pengakuan kecil adalah jembatan. Setiap kejujuran adalah mercusuar yang menuntun agar mereka tak saling kehilangan di tengah kabut waktu.

Pada akhirnya, setiap pasangan akan sampai pada pertanyaan yang lebih besar daripada “mampukah kita bersama?” Pertanyaan itu, entah mengapa, sering muncul di malam yang paling sunyi: “Apa yang ingin kita capai dengan kebersamaan ini? Ke mana arah sungai kehidupan kita mengalir? Apakah kita hanya ingin dikenal oleh dunia ataukah dikenang oleh langit?” Di titik itulah perjalanan dunia bertemu perjalanan akhirat. Sebab hidup manusia bukan hanya untuk meninggalkan jejak di lantai bumi yang akan lunas oleh hujan, tetapi untuk membangun kesaksian di hadapan Allah—pada hari ketika lidah terkunci, ketika tangan berbicara, ketika kaki memberi kesaksian tentang langkah mana yang mendekat dan mana yang menjauh dari-Nya. Ketika peserta diminta membayangkan bagaimana ingin dikenang oleh Tuhannya, sesungguhnya mereka sedang menuliskan visi paling dalam dari sebuah keluarga: ketenteraman yang tak hanya dirasakan di ruang tamu rumah, tetapi juga di mahkamah Rabb yang Maha Menyaksikan.

Musyawarah dalam rumah tangga adalah rakit yang dirakit dari dua pasang tangan yang mungkin tak sama kuat, tak sama cekatan, namun punya niat yang sama: sampai tujuan dengan selamat. Tanpa musyawarah, suami dan istri akan hanyut menuju arah berbeda, sebagaimana barisan yang bubar karena setiap orang bergerak menurut langkahnya sendiri. Musyawarah mengikat kaki agar melangkah serempak, mengikat hati agar tidak terbelah, mengikat pandangan agar tetap pada arah yang sama. Keluarga sakinah tak lahir dari dua manusia yang sempurna—sebab kesempurnaan hanyalah milik Allah—tetapi dari dua manusia yang mau terus belajar untuk mendengarkan dan bersedia diperdengarkan, untuk memahami sebelum meminta dipahami, untuk mencintai tanpa menghapuskan tanggung jawabnya terhadap Allah.

Lima pilar itu—zawaj, mitsaqan ghalizhan, mu’asyaroh bil-ma’ruf, musyawarah, dan taradhin—bukan sekadar aturan yang dibacakan pada bimtek atau pelatihan pranikah. Ia adalah taman yang mesti dipelihara setiap hari. Disiram dengan doa yang terbit dari hati yang jernih, dipangkas dengan kesabaran yang panjang, dijaga dengan akhlak terbaik yang menjadi wangi keharuman rumah itu sendiri. Suami menjadi pakaian bagi istri, dan istri menjadi pakaian bagi suami. Mereka saling menutupi aib sebagaimana kain menutupi tubuh, saling menghangatkan ketika malam kesulitan datang, saling melindungi dari dinginnya dunia yang sering menguji ketabahan.

Ketika ikrar suci dibacakan, tangan saling menggenggam, mata saling menatap malu-malu tetapi penuh keyakinan—ada sesuatu yang lebih halus daripada kata-kata ikut turun menyertai mereka. Itu sesuatu yang lembut seperti angin subuh yang menyusup dari celah jendela, sesuatu yang jernih seperti ridha yang turun perlahan dari langit. Pada saat itu, keduanya bukan hanya menyatukan dua tubuh atau dua nama keluarga, tetapi sedang mengikrarkan bahwa rumah yang akan mereka bangun kelak bukan sekadar tempat istirahat, tetapi tempat ibadah; bukan sekadar tempat berteduh, tetapi tempat bertumbuh; bukan sekadar tempat pulang, tetapi tempat memulihkan iman.

Dalam sesi pembelajaran, peserta mengeksplorasi ciri kehidupan perkawinan yang sukses dan yang gagal, sehingga mereka dapat membaca ulang peta tantangan dalam kehidupan keluarga. Mereka mempelajari komponen penting hubungan pasangan, tahap perkembangan relasi suami-istri, pembangun dan penghancur hubungan, serta hal-hal yang wajib diselamatkan agar pernikahan tetap bernyawa. Peserta juga diajak menelusuri potensi konflik dan cara mengelolanya—sebab rumah mana yang tak pernah retak, hati mana yang tak pernah goyah, namun semua itu dapat diselamatkan bila dikelola dengan iman dan saling pengertian.

Kedekatan emosi tumbuh dari kasih sayang, mawaddah, dan rahmah—sebagaimana ditegaskan dalam QS. Ar-Rum (30:21). Mereka menjadikan pasangan sebagai pasangan jiwa, tempat berbagi kehidupan yang sesungguhnya. Gairah menjadi komponen lain yang tak bisa diabaikan. Dorongan untuk saling memberi kepuasan halal adalah bagian dari tujuan pernikahan itu sendiri, sebagaimana digariskan dalam QS. Al-Baqarah (2:187). Dan komitmen—itulah tiang yang menyangga semuanya. Komitmen yang disebut Al-Qur’an sebagai mitsaqan ghalizhan (QS. An-Nisa, 4:21), ikatan yang sangat kokoh, yang dibangun agar rumah tangga tidak roboh oleh badai kecil.

Perkawinan, akhirnya, adalah dua manusia yang berjanji untuk selalu kembali kepada Allah bahkan ketika mereka saling tersesat; untuk saling memperbaiki diri bahkan ketika luka kembali terbuka; untuk menjaga cinta bukan hanya agar tetap hangat, tetapi agar tetap suci. Relasi harmonis terbangun ketika dua jiwa bersepakat untuk menempuh satu jalan—jalan yang mungkin panjang, mungkin berdebu, mungkin sunyi, tetapi diterangi cahaya tauhid yang tak pernah padam.

Dan keluarga sakinah adalah ketika jalan itu ditembus oleh cahaya-Nya—hingga setiap langkah menjadi ibadah, setiap pelukan menjadi doa, dan setiap kesulitan berubah menjadi ladang pahala.

ASN / Ketua Lentera Sastra Banyuwangi.

 

 
Copyright © 2013. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Template Modify by Blogger Tutorial
Proudly powered by Blogger