Konser Kotak: Panggung Pulang, dan Ingatan yang Tidak
Pernah Pergi
Oleh : Syafaat
Ada musisi yang naik panggung untuk menunjukkan siapa
dirinya. Ada pula yang naik panggung untuk pulang. Pada peringatan Hari Jadi Banyuwangi ke-254, konser Kotak
di Gesibu Blambangan terasa lebih dekat dengan yang kedua. Malam itu, panggung
tidak sekadar menjadi tempat suara dikeraskan, tetapi ruang batin tempat
ingatan dipanggil pulang satu per satu. Musik menjelma ziarah, perjalanan sunyi
yang menyingkap hubungan purba antara bunyi, tanah asal, dan rasa memiliki yang
tak pernah benar-benar selesai.
Banyuwangi, yang telah berusia dua setengah abad lebih,
bukan sekadar latar perayaan. Ia adalah ibu yang menunggu anak-anaknya kembali,
meski hanya sebentar. Di usia yang matang itu, kota ini seolah berbisik bahwa
pulang tidak selalu berarti menetap, tetapi mengingat dengan penuh hormat. Maka
dentum gitar dan gema suara malam itu tidak berdiri sendiri; ia bertaut dengan
debur laut, desir angin, dan jejak langkah masa lalu yang masih setia tinggal
di tanah Blambangan.
Seperti judul lagu mereka sendiri, Pelan-Pelan Saja, ingatan memang tak suka dikejar. Ia datang ketika diberi ruang. Ia menyapa ketika tidak dipaksa. Dalam alunan itu, waktu melunak, masa lalu dan masa kini saling menatap tanpa canggung. Musik menjadi cara paling jujur untuk berkata: kita boleh pergi jauh, tetapi ada bagian dari diri yang selalu ingin kembali, kepada tanah yang pertama kali mengajarkan kita arti suara, luka, dan cinta.
Kotak, band yang lahir dari The Dream Band pada 27
September 2004, telah menempuh perjalanan panjang. Formasinya boleh berubah,
tetapi denyutnya tetap sama: Tantri dengan suara yang tegas sekaligus
retak—retak yang justru membuatnya jujur; Chua dengan bass yang setia menjaga
nadi; dan Cella, Mario Marcella Handika Putra, gitaris yang seperti garis lurus
di tengah peta yang sering berbelok, ia menjadi satu-satunya personel awal yang
bertahan. Barangkali karena ada sesuatu dalam dirinya yang memilih setia: pada
musik, pada proses, dan pada asal. Setia itu bukan keras kepala, melainkan Cinta
Jangan Pergi.
Cella adalah anak Banyuwangi. Ia fasih berbahasa Osing, bahasa
yang tidak hanya berisi kata, tetapi juga cara menahan rindu dan menamai
kampung halaman. Maka ketika konser digelar di Gesibu Blambangan, panggung itu
tidak sepenuhnya asing baginya. Bahkan ia memilih berdiri di sisi kiri panggung,
bukan di tempat lazimnya, karena di situlah ia dulu berdiri sebagai remaja,
saat mengikuti audisi, saat mimpi masih berupa kemungkinan yang rapuh. Di sana,
waktu seperti melipat dirinya sendiri. Seolah ada bisik lirih: Berharap Bisa
Kembali. Dan air matanyapu jika diizinkan juga akan menetes, dalam konser
di tanah kelahirannya sendiri.
Tantri malam itu mengenakan jilbab hitam; pada lagu lain
ia mengenakan kostum gandrung. Ia menyanyi diiringi penari gandrung Banyuwangi.
Bukan sebagai gimmick budaya, melainkan sebagai isyarat penghormatan. Seolah
musik rock pun tahu cara menundukkan kepala di hadapan tradisi. Di titik itu,
panggung menjadi ruang dialog: antara gitar listrik dan gendang, antara masa
depan dan masa lalu, antara hiruk-pikuk industri dan kesenyapan akar. Rock
tidak berteriak; ia Beraksi dengan takzim.
Acara bertajuk “Tandang Bareng” tidak sekadar
menyuguhkan konser, melainkan menghadirkan perjumpaan lintas rasa dan lintas
ingatan. Ia menjelma perayaan yang tidak tergesa, sebuah panggung yang sengaja
memberi ruang bagi napas tradisi sebelum hiruk-pikuk modern mengambil alih.
Malam itu, seni tidak dipertontonkan untuk dikagumi dari kejauhan, melainkan
dipertemukan—seperti keluarga besar yang duduk melingkar, saling menatap,
saling menyapa, sebelum satu per satu cerita dimulai. Nada-nada lokal hadir
lebih dulu, seperti salam sopan kepada tanah yang menjadi tuan rumah. Tradisi
tidak berdiri sebagai hiasan, tetapi sebagai fondasi. Di sanalah musik modern
belajar menjejakkan kaki dengan rendah hati. Kotak sendiri pernah melakukan hal
serupa: mengawali sebuah lagu dengan intro musik gandrung. Sebuah isyarat kecil
namun bermakna, bahwa sebelum suara diperkeras, ada baiknya kita mendengarkan
denyut yang lebih tua; sebelum melangkah jauh, kita menoleh sebentar ke asal.
Dalam perjumpaan itu, gandrung tidak merasa ditinggalkan,
dan rock tidak merasa dibatasi. Keduanya saling menyapa tanpa saling
mengalahkan. Seolah musik sedang mengingatkan kita bahwa kemajuan tidak harus
memutus ingatan, dan modernitas tidak perlu mengusir tradisi. Sebab seni, pada
hakikatnya, adalah cara paling jujur manusia untuk pulang, kepada akar, kepada
kebersamaan, dan kepada rasa hormat yang membuat setiap perayaan memiliki
makna.
Pentas diawali oleh Kang Yons DD dengan Suling Montro.
Nada-nadanya melayang pelan, seperti embun yang turun sebelum fajar, menyentuh
tanah dengan lembut. Ia tidak meminta perhatian, tetapi mengundang keheningan.
Lalu hadir Wandra dan Mak Temuk, membawa suara yang telah lama berdiam di
lorong-lorong Banyuwangi, suara yang akrab dengan sawah, pasar, dan halaman
rumah. Mereka bukan sekadar pengisi acara, melainkan penjaga pintu ingatan.
Musik lokal membuka jalan, memberi salam pada tanah
sebelum dentuman rock mengambil alih. Seperti doa yang dibaca perlahan sebelum
suara diperkeras, agar langkah tidak menjadi sombong, agar bunyi tidak
kehilangan arah. Di titik inilah musik mengajarkan kita sesuatu yang sering
kita lupa: keras tidak selalu berarti kasar; lantang bisa tetap santun. Tradisi
tidak ditinggalkan, modernitas tidak ditolak. Keduanya berdiri berdampingan,
saling menguatkan, saling memberi makna.
Lagu-lagu kebangsaan dan motivasi dilantunkan. Ada doa
yang disisipkan untuk saudara-saudara kita yang tertimpa musibah di Aceh. Pada
saat-saat seperti itu, musik berhenti menjadi hiburan. Ia berubah menjadi
medium empati—cara manusia saling menguatkan ketika kata-kata terasa kurang.
Nada menjadi pelukan; refrain menjadi Cinta Yang Sempurna, bukan karena
tanpa cela, melainkan karena mau hadir.
Menariknya, para personel Kotak datang tidak sendiri.
Mereka membawa keluarga, seakan ingin menjadikan Banyuwangi bukan sekadar kota
singgah, melainkan halaman rumah tempat napas dilonggarkan. Di sela jadwal dan
sorak penonton, mereka menikmati indahnya alam, laut yang tenang, hijau yang
sabar, dan langit yang tidak menuntut apa-apa selain dipandangi. Liburan ini
terasa seperti jeda yang disyukuri, bukan pelarian, melainkan kepulangan kecil
di tengah perjalanan panjang.
Seolah mereka ingin mengatakan bahwa kesuksesan tidak
harus menjauhkan seseorang dari rumah. Bahwa panggung tertinggi pun seharusnya
tetap menyediakan ruang bagi anak-anak untuk berlari tanpa takut waktu, bagi
istri untuk tersenyum tanpa jadwal, dan bagi kenangan lama untuk menyapa tanpa
canggung. Di sanalah makna keberhasilan diuji: bukan pada seberapa terang lampu
sorot menyala, tetapi pada seberapa hangat cahaya yang ikut pulang ke dapur, tempat
cerita sederhana dibagi, dan hidup kembali menemukan wajah aslinya.
Konser itu berakhir, seperti semua konser. Lampu padam,
suara reda, penonton pulang. Tetapi sesuatu tertinggal. Ingatan tentang seorang
gitaris yang kembali ke titik awalnya. Tentang sebuah band yang tidak lupa pada
tanah tempat salah satu nadinya berasal. Tentang Banyuwangi yang malam itu
tidak hanya menjadi tuan rumah, tetapi rumah itu sendiri. Barangkali inilah
makna paling sunyi dari musik: ia mengajarkan kita bahwa sejauh apa pun
seseorang pergi, selalu ada panggung kecil di dalam dirinya yang ingin pulang.
Dan pada malam itu, di Gesibu Blambangan, panggung kecil itu bernama Banyuwangi,
tempat lagu-lagu tidak sekadar dinyanyikan, tetapi dikenang.
Penulis Adalah Ketua Lntera Sastra Banyuwangi








