Pages

Tampilkan postingan dengan label Artikel Pilihan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel Pilihan. Tampilkan semua postingan

Yasmin, Anak Kecil yang Menjadi Cahaya

 Yasmin, Anak Kecil yang Menjadi Cahaya

Ada anak kecil bernama Yasmin Najma Faliha. Orang-orang memanggilnya Neng Yasmin, asal Kecamatan Glenmore, masih kelas empat sekolah dasar, kalau anda melihatnya sekilas, mungkin tidak ada yang istimewa. Ia sama seperti anak-anak lain, dengan senyum ceria, tawa polos, dan semangat khas usia belia.

Namun, siapa sangka, anak sekecil itu mampu tampil tenang di panggung Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) ke-31 Jawa Timur dan meraih juara ketiga kategori tilawah 1 juz putri.

Yang lebih menggetarkan hati bukanlah sekadar posisinya sebagai pemenang, tetapi perjalanan bagaimana ia bisa sampai di sana.

Yasmin membaca ayat-ayat Al-Qur’an tanpa bisa melihat mushaf, matanya memang tidak diberi kemampuan untuk menatap huruf-huruf suci itu, tetapi jemarinya yang kecil mampu meraba tulisan Braille, hatinya mampu menghafal ayat-ayat dengan sempurna, dan suaranya mampu melantunkan dengan indah, seolah tidak ada sekat antara dirinya dengan firman Tuhan, di hadapan Yasmin, kita belajar sesuatu yang sering kita lupakan bahwa keterbatasan bukanlah akhir dari segalanya.


Ketika Yasmin melantunkan tilawahnya, banyak yang terdiam, suaranya tidak sekadar bacaan. Ia seperti doa yang merambat ke dinding-dinding relung hati, seperti lantunan yang memaksa kita berhenti sejenak dari segala kesibukan, lalu mendengarkan dengan tenang, seolah bumi ikut bergetar, seolah langit menunduk, mendengar suara kecil yang penuh ketulusan itu. Saya membayangkan, betapa panjang jalan yang ditempuhnya sebelum sampai ke panggung itu, tidak mungkin seorang anak kecil langsung begitu mahir tanpa belajar, tanpa mengulang, tanpa salah, tanpa jatuh bangun. Yasmin tentu pernah menangis ketika gagal menghafal. Ia pasti pernah jenuh, mungkin pernah ingin berhenti, tapi entah dari mana datangnya, semangat itu tidak pernah padam, ketika ditanya bagaimana perasaannya meraih juara ketiga, wajahnya berseri. Ia berkata bahwa ia sangat senang, sangat gembira, tidak ada rasa lebih, tidak ada sombong. Tidak ada keinginan untuk menonjolkan diri karena berbeda, justru ia menyampaikan harapan sederhana: semoga teman-temannya juga tidak mudah menyerah.

Yang lebih menakjubkan, perjalanan Yasmin tidak berhenti di panggung MTQ. Setelah orang-orang mendengar tilawahnya, undangan mulai berdatangan, ada pengajian di desa, ada acara keagamaan di kota, ada majelis-majelis shalawat yang ingin menghadirkan suara kecil yang menggetarkan hati itu.

Saya mendengar cerita bagaimana Yasmin, ditemani keluarga, menyeberang selat menuju Pulau Bali, di sana, di hadapan jamaah yang khusyuk, ia diminta membacakan tilawah dan shalawat, lantunan suaranya yang bening melintasi udara, menyejukkan telinga orang-orang yang hadir, dan menanamkan rasa haru yang sulit dilukiskan.

Di kesempatan lain, ia juga menyeberang ke Pulau Madura, lagi-lagi, bukan sekadar untuk dipertontonkan, tetapi untuk menjadi bagian dari doa bersama. Yasmin diminta melantunkan shalawat, dan siapa pun yang mendengarnya akan tahu: ada kehangatan yang tulus dalam setiap nadanya, ada cinta yang jernih kepada Nabi, ada semangat yang lahir dari hati yang ikhlas.

Anak kecil ini, yang matanya tidak bisa melihat, justru menjadi cahaya yang dilihat banyak orang.

Kita sering salah paham dalam menilai diri manusia, kita menganggap tubuh yang lengkap, mata yang melihat, telinga yang mendengar, adalah tanda sempurna, sebaliknya, jika seseorang kehilangan satu indera atau satu kemampuan, kita anggap sebagai cacat, sebagai kekurangan. Padahal, tidak jarang, di ruang kosong itulah Tuhan menitipkan cahaya yang tidak bisa kita lihat.

Yasmin tidak bisa melihat dunia dengan indra matanya, tetapi justru karena itulah, ia menghafal dengan hati yang lebih peka, jemarinya membaca huruf-huruf Braille dengan kesabaran. Ia mengandalkan daya ingat yang tidak semua anak seumurannya punya. Kekurangan pada matanya menjelma kelebihan pada hatinya, dan bukankah begitu cara Tuhan bekerja? Menyembunyikan cahaya di tempat yang tidak kita sangka.

Pendidikan kita sering kali hanya sibuk mengejar angka, nilai, dan ranking, kita jarang mendidik hati, kita lupa bahwa anak-anak tidak hanya butuh pengetahuan, tetapi juga ketabahan, kesabaran, dan iman.

Yasmin tidak membaca buku tebal filsafat atau teori, tetapi hatinya sudah mengenal kesabaran. Ia tahu arti berjuang dengan keterbatasan. Ia belajar untuk terus mencoba meski jalannya tidak mudah.

Itulah pendidikan hati yang kita butuhkan, pendidikan yang mengajarkan anak-anak untuk tabah, untuk tekun, untuk percaya pada doa., dan pendidikan itu, kadang tidak datang dari ruang kelas, melainkan dari panggung pengajian, dari majelis shalawat, dari perjalanan ke Bali dan Madura, ketika seorang anak kecil mengajarkan kepada orang dewasa arti keikhlasan.

Sore itu, di panggung MTQ, suara Yasmin bukan hanya bacaan. Ia adalah doa, agar kita semua tidak berhenti percaya, doa agar kita tidak cepat menyerah, doa agar kita mau melihat bahwa setiap jiwa membawa cahaya, meski kadang datang dari arah yang tidak kita sangka.

Dan ketika ia melantunkan shalawat di pengajian, entah di Banyuwangi, Bali, atau Madura, suaranya tetap sama: bening, polos, tulus, sebuah suara yang membuat hati kita mengerti bahwa mencintai Nabi tidak harus dengan syair panjang, cukup dengan suara jernih yang lahir dari hati yang bersih.

Saya kira, Tuhan sering berbicara kepada kita melalui jalan yang sederhana, kadang lewat alam, kadang lewat peristiwa kecil, kadang lewat orang-orang yang kita anggap lemah, kali ini, Tuhan berbicara lewat seorang anak kecil bernama Yasmin, seorang anak kelas empat SD, yang tidak bisa melihat dunia dengan matanya, tetapi bisa membuat dunia melihat cahaya lewat suaranya.

Dari Banyuwangi ia berangkat, ke Jember ia bertanding, ke Bali ia menyeberang, ke Madura ia bershalawat, jejaknya bukan sekadar perjalanan seorang anak, melainkan perjalanan cahaya yang berpindah dari satu hati ke hati lain.

Dan bukankah itu cara Tuhan bekerja, mengirimkan pesan melalui mulut-mulut kecil yang polos, melalui hati yang murni, agar kita, orang-orang dewasa yang sering lupa, kembali ingat: bahwa cahaya itu selalu ada

Kasih Ibu Ipuk Fiestiandani Kepada Generasi Qurani MTQ XXXI

Mendekat. Begitulah rasanya ketika melihat langkah Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani, hadir di tengah anak-anak Qur’ani pada Basecamp Kafilah Kabupaten Banyuwangi pada MTQ ke-31 di Jember, kehadirannya bukan hanya dianggap sebagai seorang pejabat tertinggi di Kabupaten Banyuwangi, namun lebih dari itu. Beliau datang dengan kasih dan cinta ibu terhadap anaknya.


Seorangnya pemimpin bisa saja memilih jarak. Bisa saja cukup menitip salam lewat pejabat, atau sekadar mengirim ucapan lewat layar telepon. Tapi kali ini, yang terjadi justru sebaliknya: ia mendekat, dan beliau hadir tanpa sekat, berbaur dengan anak-anak yang barusaja menyelesaikan babak yang menentukan pada ajang dua tahunan tersebut.

Kehadirannya bukan sekadar tanda tangan protokoler, melainkan sesuatu yang lebih sunyi dan dalam: perhatian. Di balik segala kesibukan seorang bupati, ia duduk bersama anak-anak kafilah Banyuwangi, seperti seorang ibu yang merunduk di tepi ranjang anaknya yang sedang demam. Ada ketenangan yang turun, ada rasa teduh yang membuat wajah-wajah remaja itu bersinar kembali kalimat yang ia ucapkan ketika melepas kafilah di aula Rempeg Jogopati masih diingat dan sederhana: “Jangan terbebani untuk menjadi juara.” Tetapi sederhana sering kali justru paling abadi, dalam kitab suci, kita belajar bahwa manusia hanya diminta untuk berikhtiar dengan sungguh-sungguh, menang atau kalah hanyalah amplop yang kita terima di ujung jalan. Isinya rahasia. Dan rahasia itu hanya Allah yang tahu.

Saya melihat, saat kalimat itu terlontar, sebagian beban di dada anak-anak Qur’ani yang berangkat ke Jember itu luruh perlahan. Mereka berangkat bukan lagi membawa ambisi, melainkan membawa doa, dan bukankah itu yang paling penting dari sebuah musabaqah? Bahwa Al-Qur’an bukan hanya dilombakan, melainkan dihidupkan. Dan ada anak-anak yang menangis karena belum beruntung. Ada yang air matanya jatuh karena meraih kemenangan. Dua-duanya sama-sama indah. Karena di hadapan Tuhan, air mata yang lahir dari kesungguhan tidak pernah sia-sia. Dan di sanalah, saya melihat kehadiran seorang pemimpin yang tidak datang dengan jarak kekuasaan, melainkan dengan jarak keibuan.

Beliau berkata, tidak ada yang pantas kecewa. Hasil apa pun, selama melalui proses yang jujur dan sungguh-sungguh, adalah hasil terbaik. Bukankah kita semua belajar hal yang sama dari kehidupan sehari-hari?. Kita bekerja keras, kita berdoa, lalu kita menyerahkan hasilnya pada takdir. Bila juara datang, itu anugerah. Bila kalah, itu pun anugerah, yakni anugerah berupa kesempatan untuk lebih dewasa. 


Maka, MTQ bukan sekadar arena lomba. Ia adalah ruang perjumpaan manusia dengan firman Tuhan. Anak-anak itu melafalkan ayat, bukan hanya untuk dinilai, tetapi untuk menyirami hatinya sendiri. Dan seorang bupati yang mau hadir, yang mau mendengar, yang mau menghapus air mata anak-anaknya, sebetulnya sedang menunjukkan pada kita semua: bahwa membaca Al-Qur’an adalah perjalanan hati, bukan sekadar kompetisi.

Banyuwangi tidak pulang dengan tangan kosong. Ada yang masuk final dan juara pertama, ada yang masih harus menunggu giliran di tahun-tahun mendatang. Tetapi apa arti tangan kosong, bila dada mereka pulang dengan cahaya?

Saya kira, inilah yang akan terus diingat: seorang pemimpin yang mendekat, seorang ibu yang menenangkan, dan sebuah pesan yang akan terus bergema di hati anak-anak Qur’ani kita: jangan takut kalah, karena yang paling penting adalah bagaimana kita menjaga cahaya Al-Qur’an tetap menyala dalam dada.

Saya menyaksikan seorang anak laki-laki menunduk, bahunya bergetar, karena kalah tipis dari lawannya. Bupati menghampiri. Ia tidak berkata banyak, hanya menepuk bahu anak itu, seolah ingin mengatakan: “Kamu sudah sangat baik.” Saya kira, anak itu akan mengingat tepukan itu sepanjang hidupnya. Karena ada saat-saat tertentu, kekalahan tidak butuh banyak kata. Ia hanya butuh sentuhan kecil untuk membuatnya tidak runtuh. Seorang pemimpin, dalam hakikat yang lebih dalam, bukan hanya pengatur administrasi. Ia adalah teladan. Dan teladan itu tidak selalu hadir dalam bentuk keputusan besar, kadang ia hadir dalam hal-hal sederhana: duduk bersama, mendengar, menenangkan, menghapus air mata.

Dan saya percaya, di situlah nilai sejati MTQ. Ia bukan sekadar lomba. Ia adalah ruang perjumpaan manusia dengan firman Tuhan. Anak-anak itu membaca, menghafal, melantunkan, bukan hanya untuk dinilai juri, tetapi juga untuk menyirami jiwa mereka sendiri. Di ruang seperti itu, kehadiran seorang pemimpin yang mendekat bukan lagi sekadar urusan protokol. Ia berubah menjadi teladan bahwa firman Tuhan itu bukan sekadar diperlombakan, melainkan dihayati.

Banyuwangi memang tidak selalu membawa pulang piala tertinggi. Tetapi apa arti piala, bila yang pulang bukan cahaya? Ada semangat baru yang lahir. Ada keyakinan bahwa perjalanan masih panjang. Dan ada doa yang lebih ringan, karena dibawa dengan cinta, dengan kejujuran dan bukan ambisi.

Mungkin di sinilah letak indahnya sebuah musabaqah. Ia tidak berhenti di podium juara. Ia terus hidup dalam hati anak-anak yang berjanji untuk menjaga Al-Qur’an dalam keseharian mereka. Dan ketika seorang bupati hadir, bukan sebagai penguasa, melainkan sebagai seorang ibu, kita tahu bahwa ada yang lebih penting daripada kemenangan: ada cinta yang diturunkan bersama ayat-ayat suci.

Dan cinta itu, saya kira, akan bertahan lebih lama daripada piala.

Bidadari Surga Qur'ani

Ada saat-saat tertentu dalam hidup yang membuat dada kita terasa lapang. Seperti ketika saya duduk di antara generasi cerdas Qur’an, mereka adalah Auline Alvira Syafa Azzahra, Anggun Dwi Wahyuni, dan Alwa Sakna Fuadiyah. Mereka masih remaja, masih duduk di kelas sebelas dan dua belas, dan satunya baru semester awal. Tapi apa yang mereka bawa di kepala dan hati membuat saya berpikir: betapa luasnya dunia anak-anak muda ini, betapa tenang sekaligus bergemuruh jalan yang sedang mereka tempuh.

Di Jember, pada Musabaqah Fahmil Qur’an (MFQ) tingkat provinsi Jawa Timur ke-XXXI, mereka berhasil menjadi yang terbaik. Kemenangan itu, tentu saja, bukan hanya kemenangan atas nama madrasahnya, tetapi juga untuk Banyuwangi. Kemenangan itu seperti sebuah pesan yang turun perlahan: bahwa ayat-ayat yang dijaga dengan cinta, yang diulang tanpa rasa lelah, akhirnya menjelma menjadi cahaya bagi siapa saja yang mau melihat. 


Saya menatap sang juru bicara, seorang remaja dengan hafalan tiga puluh juz. Bayangkan, tiga puluh juz di dalam jiwa seorang anak yang mungkin masih suka bercanda di sela-sela latihan. Bagaimana seorang anak seusia itu bisa membawa Al-Qur’an seutuhnya ke dalam hidupnya? Ada rahasia di sana, rahasia yang tidak terjangkau oleh hitungan jam belajar biasa. Rahasia itu bernama kesetiaan, kesungguhan, dan cinta yang tidak berpamrih.

Orang tua mereka, saya pikir, tentu sedang menahan bahagia yang nyaris tumpah. Apa lagi yang lebih indah selain menyaksikan anak-anak kita berjalan dengan bendera kalamullah di tangannya? Bersyukurlah mereka yang menjadi orang tua dari anak-anak cerdas ini. Sebab, tidak semua orang tua diberi anugerah untuk melihat buah hatinya menjadi lentera di jalan Qur’an.

Saya berdoa, semoga langkah mereka tidak berhenti di sini. Semoga di tingkat nasional mereka juga bisa menjadi yang terbaik. Tapi lebih dari sekadar piala atau gelar juara, saya ingin mereka tetap menjaga cahaya yang kini sudah menyala. Cahaya itu lebih penting daripada sekadar podium. Karena cahaya itu akan terus menemani, bahkan ketika perlombaan sudah selesai, ketika dunia semakin bising, ketika manusia makin sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri.

Dan di tengah semua itu, tiga remaja ini mengajarkan saya sesuatu: bahwa Qur’an bukan hanya kitab untuk dibaca. Qur’an adalah jalan panjang yang, bila kita ikuti dengan cinta, akan membawa kita pulang dengan tenang.

Ketegangan Semifinal MFQ ke XXXI Provinsi Jawa Timur

 Ketegangan Semifinal MFQ XXXI Jawa Timur

oleh.: Syafaat 

Pagi itu bukan sekadar pagi biasa, melainkan sebuah halaman kitab yang baru saja dibuka dengan hati yang berdebar. Di dalamnya tersimpan kisah empat regu yang akan bertanding pada Musabaqah Fahmil Qur’an. (MFQ), Salah satunya adalah regu putri dari Banyuwangi. Mereka duduk berfampingan dengan wajah tenang, seperti kuntum bunga yang mekar di antara seribu daun, tetapi dada mereka berdegup seperti pintu yang diketuk tanpa henti.

Ketika regu pertama—yang bukan dari Banyuwangi—menjawab sebuah soal, limpahan nilai 175 justru jatuh ke pangkuan regu putri kami. Sebuah anugerah yang tidak hanya berupa angka, melainkan semacam bisikan lembut dari langit. Nilai itu seakan berkata: “Aku hanya titipan. Rawatlah aku dengan syukur. Jangan pernah merasa ini milikmu sepenuhnya.”

Kemenangan, ternyata, sering datang dari jalan yang tidak pasti. Dari lemparan soal yang membuat peserta lain terguncang, dari kerikil kecil yang justru membuka pintu rezeki bagi yang lain. Hidup memang bergerak seperti itu: yang satu tergelincir, yang lain mendapat pijakan. Namun dalam setiap peristiwa, ada hikmah yang lebih besar ketimbang sekadar angka di papan skor.

Lalu ujian kecil itu datang, seperti cara Tuhan mengingatkan agar manusia tak terlalu hanyut dalam gembira. Saat giliran soal bahasa Inggris, sistem tiba-tiba error. Layar membeku, ruangan hening. Sesaat semua mata saling berpandangan, menunggu keputusan. Tetapi justru di dalam hening itu, lahirlah sesuatu yang lebih indah: dewan juri mengajak semua hadirin bershalawat.

Maka terdengar suara demi suara menyatu, mengalun pelan, lalu menguat, memenuhi ruangan. Shalawat itu berputar, naik ke langit, dan jatuh kembali sebagai ketenteraman. Tidak ada yang tahu berapa menit keheningan itu berlangsung. Waktu seolah berhenti, dan hanya doa yang terus bergerak. Pada akhirnya, soal bahasa Inggris dilewati begitu saja, memberi jalan kepada soal berikutnya.

Alhamdulillah, regu putri Banyuwangi tetap melangkah dengan nilai tertinggi. Mereka berhak menuju final. Ada rasa lega, bahagia, sekaligus syukur yang meluap-luap. Tetapi perjalanan belum selesai. Setelah Dzuhur, giliran regu putra akan bertanding. Kegembiraan bercampur cemas, seperti menunggu kabar baik dari kejauhan, seperti seorang ibu yang menunggu anaknya pulang.

Di sela-sela sebelum lomba berlangsung, saya berkata kepada para peserta: “Hubungilah ibumu. Mintalah doa darinya. Sebab doa yang paling tulus, paling jujur, dan paling lurus menuju langit, adalah doa seorang ibu untuk anaknya.” Mereka menunduk, beberapa langsung mengambil ponsel, mengirim pesan singkat atau menekan nomor. Saya tahu, dalam detik-detik itu, hati mereka kembali tenang.

Dan di situlah cinta dan agama bertemu: di antara doa seorang ibu yang tak pernah berhenti mendoakan, bahkan ketika anaknya sedang duduk di ruangan sunyi dengan kitab suci terbuka.

Jika perasaan ini dapat dilukiskan, barangkali tak ada garis yang cukup tegas untuk menggambarkannya. Ia lebih mirip riak air yang dipukul angin, gemetar, tapi indah. Bergetar, tapi tak pecah. Begitulah wajah-wajah peserta MTQ sore itu ketika semifinal berlangsung. Empat regu putra duduk berfampingan, dan nilai mereka nyaris bersisian, hanya terpaut dua puluh lima poin, tipis, rapuh, seperti jarak antara harap dan cemas.

Para pendamping kafilah pun tak kalah gelisah. Mereka yang sejak berbulan-bulan membina, mengajarkan, membimbing dengan sabar, kini hanya bisa duduk dengan dada berdebar. Ketika seorang peserta keliru menjawab, pembinanya menunduk, melafazkan astaghfirullahaladzim dengan suara yang hanya Allah mendengar. Tapi di sisi lain, pembina regu lawan tersenyum lega, bahkan kadang tepuk tangan pun tak tertahan.

Di situ terasa benar: betapa hidup selalu menakar dengan dua sisi, ada yang jatuh, ada yang bangkit. Ada yang dirundung musibah, ada yang beroleh rezeki. MTQ sore itu menjadi cermin kecil dari dunia: tidak semua bisa naik bersama. Ada yang harus berhenti, agar yang lain bisa melanjutkan. Ada yang harus rela, agar yang lain mendapat kesempatan.

Namun di menit-menit terakhir, keajaiban sederhana itu hadir. Regu putra Banyuwangi menjawab benar pertanyaan terakhir, menambah seratus poin, dan melampaui batas yang menentukan. Dari empat regu yang berjuang, hanya dua yang berhak ke final, dan Banyuwangi termasuk di dalamnya. Lebih dari itu, sejarah tercipta: regu putra dan putri sama-sama lolos ke babak final. Hal yang belum pernah terjadi sebelumnya di MTQ tingkat provinsi. 

Semua orang bergembira. Tapi kegembiraan ini bukan semata tentang juara. Mereka sadar, menjadi yang terbaik hanyalah tambahan. Yang utama adalah belajar mendekat kepada Al-Qur’an, merawat cintanya dengan suara, hafalan, dan pemahaman. Juara hanyalah bonus, sementara hadiah sejati adalah keberanian untuk duduk di hadapan kitab suci, mengucapkan ayat-ayatnya dengan penuh iman, dan belajar rendah hati di antara kemenangan maupun kekalahan.

Kita melihat bagaimana ayat-ayat Allah tidak hanya dibaca, tetapi juga hidup di dalam dada mereka. Kita menyaksikan bagaimana anak-anak muda itu belajar bahwa kemenangan sejati bukanlah saat nama mereka disebut di podium, melainkan saat mereka mampu menjaga Al-Qur’an tetap bercahaya dalam kehidupan sehari-hari.

Di situlah cinta dan religi menyatu. Bahwa setiap debar bukan semata tentang kalah atau menang, melainkan tentang kesadaran bahwa hidup, sebagaimana musabaqah ini, selalu berjalan di antara dua ayat: ujian dan rahmat. Yang satu menuntun agar kita sabar, yang lain menuntun agar kita bersyukur.

Dan mungkin, jika hati kita cukup jernih untuk membaca, kita akan sadar bahwa hidup kita pun tak ubahnya musabaqah panjang. Pertanyaan-pertanyaan akan datang, kadang mudah, kadang sulit, bahkan kadang membuat sistem kita error. Namun selalu ada shalawat, selalu ada doa ibu, selalu ada cahaya yang turun diam-diam dari langit untuk menenangkan hati. Sampai akhirnya kita pun akan berdiri di panggung akhir, menunggu pengumuman yang

 hanya Allah yang tahu hasilnya.

Motivasi di Balik Hafalan Ayat-Ayat Suci

                                                Motivasi di Balik Ayat-Ayat Suci

oleh : Syafaat

Sore itu menjelang ashar. Udara Jember masih hangat, langit mendung separuh jingga, dan langkah-langkah kecil menuju sebuah gedung dekat GOR Kaliwates terasa seperti perjalanan yang sederhana namun penuh makna. Di tangan ada sebuah tanggung jawab kecil: mengantar peserta musabaqah hifdzil qur’an. Tidak ada sambutan megah, tidak ada karpet merah. Hanya sebuah kesadaran bahwa kehadiran, sekadar hadir, sekadar menatap, sekadar mendampingi, adalah bentuk motivasi yang tidak bisa dianggap remeh.

Orang kadang melupakan hal-hal kecil yang memberi kekuatan. Sebagian besar kita mengira bahwa motivasi hanya lahir dari kata-kata besar, pidato panjang, atau janji kemenangan. Padahal, sering kali yang dibutuhkan anak-anak itu hanyalah seseorang yang menemani mereka berjalan menuju sebuah gedung perlombaan. Karena percaya diri adalah setengah dari kemenangan. Dan percaya diri itu, kadang, lahir dari mata orang lain yang menatap mereka dengan kasih. 


Anak-anak itu, dengan wajah polos, berdiri di depan pintu gedung. Ada yang sibuk merapikan jilbabnya, ada yang memegang lembaran mushaf kecil untuk mengulang hafalan, ada yang hanya diam sambil menunduk, menahan degup jantung yang semakin cepat. Setiap orang punya caranya sendiri menghadapi detik-detik menjelang giliran tampil.

Saya melihat beberapa anak SMP datang dengan gurunya. Kepala sekolah mereka ikut mengantar, bahkan sempat mengambil foto di depan backdrop sederhana yang dipasang panitia. Foto itu mungkin akan dikirim ke grup WhatsApp sekolah, menjadi laporan, atau sekadar tanda bahwa mereka sudah hadir. Namun, lebih dari sekadar laporan, kehadiran guru mereka adalah cahaya kecil yang menyala di hati peserta.

Anak-anak yang datang tidak selalu paham arti kemenangan. Mereka hanya tahu bahwa ada ayat-ayat suci yang telah mereka hafalkan, dan hari itu mereka diminta untuk melantunkannya. Bagi sebagian besar dari mereka, keberanian untuk berdiri di depan orang banyak sudah merupakan kemenangan tersendiri. Mereka mungkin tidak mengejar juara, tidak mencari piala, tidak berharap pada sertifikat. Yang mereka kejar hanyalah mempersembahkan yang terbaik dari hafalan yang menempel di hati. Dan bagi mereka, ayat-ayat itu bukan sekadar deretan huruf. Al-Qur’an adalah tubuh cahaya, yang bertubuh indah saat dilantunkan, yang bertugas maknanya ketika dihayati, dan yang tidak akan lekang oleh perkembangan zaman.

Saya teringat sebuah kalimat lama: “Kehadiran adalah bentuk cinta yang paling sederhana, dan mungkin yang paling penting.” Betapa benar kalimat itu. Seorang anak yang berjalan menuju panggung dengan ditemani orang tuanya, akan tampil lebih percaya diri dibanding anak yang berjalan sendirian. Seorang remaja yang menoleh dan menemukan gurunya duduk di bangku penonton, akan melantunkan ayat dengan lebih tenang. Karena sesungguhnya, kehadiran adalah doa yang menjelma bentuk.

Musabaqah hifdzil qur’an, atau lomba hafalan Al-Qur’an bukanlah ajang biasa. Di sana, setiap kata adalah cahaya, setiap huruf adalah doa. Mereka yang menghafalnya tidak hanya sedang mengumpulkan kata, tetapi sedang membangun benteng di dalam dirinya. Banyak orang percaya bahwa penghafal Al-Qur’an diberi keistimewaan: otaknya terlatih untuk menyimpan, hatinya terlatih untuk menjaga, jiwanya terlatih untuk bersih. Maka tak heran bila banyak dari mereka yang kelak tumbuh menjadi manusia-manusia cemerlang di bidang apa pun. Ada yang menjadi dokter, ada yang menjadi insinyur, ada pula yang menjadi pemimpin. Sebab, mereka telah terbiasa merawat sesuatu yang suci di dalam kepala dan hatinya.

Saya teringat satu cerita. Seorang kawan lama pernah berkata bahwa ia tidak pandai menghafal pelajaran sejarah di sekolah. Nama-nama tokoh dan tanggal peristiwa selalu berlarian dari kepalanya. Tapi anehnya, ketika ia mencoba menghafal satu surah pendek dalam Al-Qur’an, ia bisa menyimpannya dengan cepat. Ia heran sendiri. Kemudian ia menyadari, bukan karena dirinya lebih cerdas. Tetapi karena Al-Qur’an memang memiliki irama, struktur, dan keseimbangan yang membuatnya mudah masuk ke dalam ingatan. Ayat-ayat itu seperti musik yang tidak pernah lekang, yang terdengar sama di setiap tempat, di setiap lidah, di setiap zaman.

Tidak seperti kitab-kitab lain yang harus diterjemahkan dan bisa kehilangan sebagian maknanya, Al-Qur’an tetap sama di manapun. Huruf-hurufnya tidak berkurang, tidak bertambah, tidak berubah. Itulah mengapa menghafalnya bukan sekadar latihan mengingat, melainkan latihan menjaga kesetiaan pada sesuatu yang tetap. Sore itu, aku melihat seorang anak laki-laki duduk di pojok ruangan. Wajahnya serius, bibirnya bergerak pelan, matanya menunduk pada mushaf kecil yang sudah lusuh. Sesekali ia berhenti, menutup mata, seolah mengulang ayat di dalam hati. Aku teringat pada kalimat lain: “Al-Qur’an tidak hanya dibaca dengan mulut, tetapi juga dengan hati.”

Dan di sana, di wajah anak itu, saya melihat kebenaran kalimat itu. Mendengarkan bacaan Al-Qur’an, bahkan dari mulut anak-anak, adalah keberkahan. Setiap huruf yang terucap menghunjam dada, menyentuh sanubari. Kita mungkin tidak selalu mampu menghafalnya, tapi telinga yang ikhlas mendengar bisa menjadi pintu masuk bagi cahaya-Nya. Ada kalanya, doa seorang ibu yang membacakan Al-Qur’an untuk anaknya jauh lebih kuat daripada seribu nasihat. Ada kalanya, suara anak-anak yang melantunkan ayat lebih murni daripada suara para qari dewasa yang sudah terbiasa tampil. Karena di dalam suara yang polos itu, tidak ada ambisi lain selain mempersembahkan ayat Tuhan dengan sebaik-baiknya.

Al-Qur’an memang berbeda. Ia tidak sekadar kitab. Ia mukjizat. Ia bisa didengar oleh bayi dalam kandungan. Bahkan, para ibu yang sedang hamil sering membacakan ayat-ayat Al-Qur’an agar anak yang dikandungnya tumbuh dengan sifat-sifat mulia. Nada bacaan Al-Qur’an, kata mereka, bisa membuat detak jantung bayi lebih teratur, lebih sehat, lebih tenteram. Dan benar saja, setiap kali ayat-ayat itu dibacakan, suasana ruangan berubah. Ada ketenangan yang turun. Ada kedamaian yang tidak bisa dijelaskan dengan logika.

Hari itu di Jember, saya menyaksikan semua itu. Anak-anak SMP yang baru selesai sekolah, datang dengan baju rapi. Guru-guru yang sabar menunggu mereka di luar ruangan. Orang tua yang menatap dari kejauhan dengan doa yang tak terucap. Semuanya berkumpul bukan hanya untuk sebuah lomba. Mereka berkumpul untuk merayakan cahaya yang tidak akan pernah padam. Dan aku belajar satu hal: bahwa kemenangan sejati bukanlah piala yang dibawa pulang. Kemenangan sejati adalah keberanian untuk berdiri, melafalkan ayat Tuhan dengan percaya diri, dan menyadari bahwa di setiap huruf yang diucapkan, ada cahaya yang turun, ada doa yang mengalir, ada kasih yang melingkupi. Sore itu menjelang ashar, di sebuah gedung sederhana dekat GOR Kaliwates, aku tahu bahwa motivasi terbesar sesungguhnya bukanlah kata-kata. Motivasi terbesar adalah hadir.

Hadir untuk mendengar.

Hadir untuk menemani.

Hadir untuk percaya.

Bahwa setiap anak yang melafalkan Al-Qur’an, sedang menjadi jembatan bagi cahaya yang abadi untuk sampai pada kita semua.

Penulis adalah Ketua Lentera Sastra Banyuwangi



Cahaya di Lorong Kesederhanaan: Renungan Pagi dari Masjid Ar Royan

 Renungan Pagi  dari Masjid Ar Royan

Oleh: Chaironi Hidayat


Pagi itu, masjid Ar Royan di Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi terasa berbeda. Semestinya ada suara ustaz yang membimbing kita memasuki hari, membuka ruang-ruang hati dengan tausiyah, menguatkan langkah dengan doa. Suara yang biasanya membawa kita ke lorong-lorong hikmah—kadang sederhana, kadang rumit, tapi selalu menyisakan bekas di dada. Namun, pagi itu ia tak datang. Ustaz itu sakit, lalu izin. Dan kita pun duduk bersama dalam keheningan yang asing, dalam ruang kosong yang justru penuh makna.

Ketiadaannya ternyata menghadirkan pelajaran baru. Pelajaran yang mungkin lebih dalam daripada isi ceramah yang seharusnya kita dengar: bahwa manusia rapuh, tetapi ilmu tidak boleh berhenti. Bahwa sakit, absen, bahkan kematian sekalipun bukan alasan bagi cahaya untuk padam. Ilmu harus tetap berjalan, meski dengan suara lain, meski dengan cara yang tak pernah kita rencanakan.

Dan kita pun menoleh ke belakang. Ke Ramadan yang baru saja lewat. Ramadan yang menyisakan aroma kopi di meja, tikar yang digelar di aula, serta kitab kecil yang setiap hari menemani kita: Arba’in An-Nawawi. Kitab tipis, empat puluh hadis, sederhana bentuknya, kecil ukurannya. Namun, dari halaman-halaman ringkas itu lahirlah cahaya yang melampaui ukuran buku, bahkan melampaui ukuran manusia. 


Saya masih ingat ketika hadis ke-13 dibacakan. Hadis itu sederhana, seolah biasa, namun ia menyalakan cahaya kecil. Cahaya yang tidak meledak seperti kembang api, tidak menyalak seperti petasan, tetapi merembes pelan, merasuk ke hati, lalu menetap di sana. Itulah bedanya ilmu dengan tontonan. Ilmu tidak harus riuh, cukup ia menetes perlahan, lalu menumbuhkan akar yang dalam.

Sanad hadis itu bahkan sampai kepada saya. Seperti kejutan yang tak pernah saya bayangkan. Rasanya seperti Allah membukakan jalan pintas—sebuah bypass menuju kedalaman ilmu. Padahal dulu, sanad itu hanya saya temui di pondok sederhana, di malam-malam panjang bersama kitab kuning yang aromanya masih melekat dalam ingatan: bau kertas tua, tinta samar, doa-doa guru yang lirih tapi kuat, menempel di telinga para santri. Ilmu di sana bukan sekadar bacaan. Ia adalah napas. Ia pengingat, bahwa agama bukan hiburan.

Sayangnya, hari ini saya sering melihat ilmu berubah menjadi tontonan. Ceramah-ceramah lebih ramai karena kelucuan penceramah, bukan ketajaman nasihatnya. Jamaah pulang dengan cerita, “Tadi lucu sekali!”—bukan dengan hati yang tercerahkan. Dakwah diperas menjadi sekadar pertunjukan. Pertunjukan, seperti semua hiburan lain, hanya menyisakan tawa yang cepat pudar setelah keluar dari pintu masjid. Apakah itu yang kita mau? Agama dijadikan topeng agar acara terlihat meriah, penuh gelak, penuh tepuk tangan?

Dulu, para kiai berbicara dengan kesungguhan. Suara mereka tidak mengundang tawa, tapi meluruskan arah. Orang pulang dari pengajian dengan wajah tanpa senyum, namun dengan hati yang lebih terang. Kini, banyak orang pulang hanya mengingat guyonan. Dan agama pun perlahan direduksi menjadi panggung hiburan.

Rasulullah mengajarkan kita logika yang lain. Logika yang sering tidak enak di mata manusia. Lihatlah Perjanjian Hudaibiyah. Di mata para sahabat, itu aib. Umar marah, para sahabat gelisah. Namun Rasulullah menerimanya. Sebab beliau tahu, logika Allah lebih luas daripada logika manusia. Dari perjanjian yang tampak merugikan itulah pintu-pintu cahaya terbuka. Mekkah kemudian menerima Islam. Logika langit sering tampak sebagai luka di bumi, tapi dari luka itulah tumbuh cahaya.

Pertanyaannya, apakah kita masih belajar dari logika itu? Ataukah kita sibuk mencari ustaz yang paling pandai menghibur, yang paling viral di media sosial, yang ceramahnya dipotong-potong agar pas dijadikan konten?

Agama kehilangan wibawa ketika ia dipaksa mengikuti selera pasar. Padahal agama bukan barang dagangan. Ia bukan produk yang harus dibungkus dengan humor agar laku. Agama adalah napas panjang yang melatih kesabaran, mendidik keteguhan, dan mengajarkan manusia untuk tahan terhadap luka.

Kementerian Agama, tempat kita bernaung, jangan sampai kehilangan ruh agamanya. Ia bukan sekadar kantor dengan daftar hadir, rapat, dan laporan formal. Seharusnya ia menjadi jantung yang memompa darah spiritual bagi masyarakat. Betapa ironis bila kementerian ini sibuk dengan administrasi, tapi melupakan inti dari namanya sendiri: agama.

Bayangkan bila suatu hari Kementerian Agama hanya tinggal kantor dingin, penuh tanda tangan dan arsip, tapi kosong dari dzikir. Betapa ganjil, bila kementerian yang bernama “agama” justru kehilangan agama.

Kita butuh ruang-ruang seperti pengajian sederhana ini. Ruang yang kadang ada karena “darurat penceramah”. Namun justru dari kesederhanaan itu kita belajar melihat wajah satu sama lain, menyapa, meneguhkan iman. Di ruang sederhana itu, cicilan terasa lebih ringan, kesulitan rumah tangga lebih bisa ditanggung, dan doa-doa naik seperti asap tipis menuju langit. Logika Allah selalu lebih besar dari logika kita. Tugas kita bukan sekadar menghafal, tetapi menjadikannya jalan hidup.

Semoga kita tidak tergelincir dalam formalitas agama. Semoga kita tidak berhenti pada lucunya ceramah. Semoga kita kembali belajar dengan sabar, beribadah dengan ikhlas, dan mencintai Rasulullah bukan hanya di panggung maulid, tetapi dalam denyut kehidupan sehari-hari.

Karena jika kementerian ini kehilangan agama, apa lagi yang tersisa?


Peringatan Maulid Nabi dan Telur Jodang di Banyuwangi

Di Banyuwangi, peringatan Maulid Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menjadi sekadar kalender rutin. Ia hadir seperti musim yang ditunggu. Orang-orang menyebutnya dengan berbagai nama, tetapi di desa-desa ia selalu datang dengan warna yang khas. Ada tabuhan rebana, ada suara shalawat yang saling sahut, ada arak-arakan yang memadati jalan kecil, dan ada simbol sederhana yang membuatnya berbeda dari tempat lain: sebutir telur yang dihias, ditancapkan pada batang pisang, lalu dipikul bersama keliling kampung.

Endhog-endhogan. Begitu orang Banyuwangi menyebutnya. Batang pisang yang menopang telur-telur itu dinamakan jodang atau jojohan gedang. Dari jauh, jodang tampak seperti pohon ajaib yang berbuah warna-warni. Dari dekat, ia lebih mirip kesabaran yang berdiri tegak: batang pisang yang rela menanggung beban, dan telur-telur yang bersinar karena dihias dengan cinta sederhana.

Saya pernah melihat seorang anak kecil, kira-kira usia sembilan tahun, berdiri di depan rumah sambil memandangi jodang yang sedang disiapkan bapaknya. Ia menatap telur-telur berwarna merah, biru, hijau, dan kuning yang menancap rapi. Wajahnya penuh kekaguman. Sesekali ia mengangkat tangannya, seolah ingin menyentuh, tetapi buru-buru ditahan. Seakan ia tahu, ada sesuatu yang sakral di sana. Kelak, ia akan ikut berarak, ikut menyanyikan shalawat dengan suara yang mungkin tak beraturan, tetapi penuh semangat. Dari wajah anak itu, saya merasakan betapa agama tidak selalu hadir lewat ceramah panjang. Kadang ia datang melalui warna kertas di sebutir telur.

Setiap Rabiul Awal, halaman rumah di desa berubah menjadi bengkel sederhana. Para ibu menyiapkan telur, merebusnya, menghiasnya dengan kertas minyak warna-warni, menambahkan bendera kecil di ujung tusuk. Para bapak menebang batang pisang di kebun belakang, mengukur panjangnya, menancapkan telur satu per satu hingga penuh. Di sekitar mereka, anak-anak menunggu dengan wajah berbinar, seperti menunggu hari raya. Ada aroma rebusan telur yang menyatu dengan suara orang-orang dewasa yang tertawa kecil sambil bekerja. Ada suasana gotong royong yang mengikat rumah-rumah dengan benang tak kasatmata.

Ketika pagi tiba, jodang-jodang dipikul bergantian. Shalawat mengalun, rebana dipukul, dan jalan-jalan desa yang biasanya sepi berubah menjadi ruang pertemuan. Di setiap langkah, ada doa yang berjalan. Di setiap tabuhan, ada kerinduan yang naik ke langit. Saya pernah berjalan di belakang arak-arakan itu. Dari jauh, saya melihat barisan jodang bergerak seperti hutan kecil yang berpindah. Dari dekat, saya mendengar suara orang-orang tua melantunkan Barzanji dengan suara yang bergetar. Saya pikir, inilah cara paling sederhana orang Banyuwangi mengingat Nabi: bukan dengan kata-kata besar, tetapi dengan telur yang diarak seperti hadiah kecil yang dipersembahkan untuk langit.v

Di masjid atau mushola, jodang-jodang disusun rapi. Kitab Al-Barzanji dibacakan. Nama Nabi Muhammad kembali disebut, kisah kelahiran beliau kembali dihidupkan. Satu per satu bait syair menyalakan ingatan, bahwa pernah ada manusia yang datang dengan kelembutan, yang mampu mengubah arah sejarah hanya dengan kasih. Beliau memimpin tanpa istana. Beliau menjadikan masjid sebagai pusat musyawarah. Beliau menegakkan Piagam Madinah sebagai tanda bahwa damai itu mungkin, bahkan di tengah perbedaan yang tajam. Semua dijalankan dengan kasih sayang, bukan kekerasan.

Tradisi endhog-endhogan adalah cermin kecil dari semangat itu. Telur bulat mengajarkan tentang kesempurnaan hidup. Lapisan di dalamnya—kulit, putih, dan kuning—adalah peringatan tentang Islam, Iman, dan Ihsan: tiga hal yang saling membungkus. Batang pisang sebagai jodang adalah gambaran kerendahan hati: mudah dipotong, mudah dibentuk, tetapi sanggup menopang beban tanpa keluhan. Arak-arakan adalah lambang kebersamaan. Sebuah pesan bahwa iman tak pernah berjalan sendirian, selalu ada bahu yang ikut memikul.

Di Banyuwangi, perbedaan etnis dan agama tidak pernah sepenuhnya menjadi sekat. Ia lebih sering berubah menjadi harmoni. Dan ketika Maulid tiba, harmoni itu semakin nyata: semua larut dalam satu perayaan yang sama, meski berasal dari latar berbeda. Di sinilah endhog-endhogan bekerja sebagai bahasa cinta. Sebuah bahasa yang lahir dari iman, tetapi dipeluk oleh budaya.

Ketika acara selesai, telur-telur itu dibagikan. Anak-anak berebut dengan tawa riang, orang-orang tua menatapnya dengan senyum lega. Sebutir telur yang biasa, tiba-tiba berubah menjadi berkah. Ada doa yang ikut termakan bersama putih dan kuningnya. Ada cinta Nabi yang diam-diam menyusup melalui tradisi.

Ada yang mungkin menertawakan semua ini. Mereka berkata: menghias telur tidak ada di zaman Nabi. Benar, bentuknya memang tidak pernah ada. Tetapi bukankah agama selalu menemukan bentuknya di dalam kebudayaan? Bukankah cinta bisa hadir lewat apa saja, bahkan lewat sebutir telur yang dihias dengan kertas warna? Selama tradisi ini mengajarkan syukur, cinta, dan kebersamaan, bukankah di situ letak ibadahnya?

Endhog-endhogan adalah cara masyarakat Banyuwangi merawat ingatan pada Nabi. Ingatan itu tidak hanya dibaca di kitab, tidak hanya didengar di mimbar, tetapi dihidupkan dalam bentuk yang bisa disentuh, diarak, dibagikan, dan dirasakan. Saya pikir, agama yang hidup adalah agama yang menyalakan ingatan. Dan ingatan itu harus menemukan bentuknya agar bisa diwariskan.

Dan setiap kali jodang dipikul keliling kampung, setiap kali shalawat mengalun dari mulut-mulut sederhana, seakan terdengar kembali bisikan paling halus dari Nabi: bahwa ajaran Islam adalah rahmat, bukan hanya bagi satu kaum, melainkan bagi seluruh alam.


Indonesia, Rumah Kita Sendiri

 Indonesia, Rumah Kita Sendiri

oleh: Syafaat

Indonesia adalah rumah besar yang tak pernah mengklaim kesempurnaan. Atapnya kadang bocor, dindingnya retak, lantainya dingin di malam sunyi. Namun tetaplah rumah, tempat luka dan tawa berlabuh, tempat pulang yang tak tergantikan. Ia berdiri dari peluh buruh dan petani, darah para pejuang, doa ibu di lereng gunung, dan air mata nelayan yang menatap laut tanpa kepastian. Kini rumah ini diuji, bukan karena cintanya pudar, tetapi karena penghuninya lupa cara menyapu halaman. Retakan bisa ditambal, asalkan kita merawatnya dengan cinta.

Tidak ada rumah yang benar-benar sempurna. Bahkan rumah yang dibangun dengan cinta pun bisa bocor di musim hujan. Gentengnya bisa bergeser, dindingnya bisa retak, lantai bisa dingin saat malam tiba. Tapi rumah tetaplah rumah. Tempat kembali setelah dunia terlalu gaduh, tempat menyimpan luka dan tawa, tempat di mana aroma kayu tua dan masakan ibu bertahan lebih lama dari ingatan kita sendiri. Rumah besar ini, Indonesia, berdiri seadanya, fondasinya ditanam dari peluh petani dan darah para pemberontak yang menolak dijajah, doa ibu di lereng gunung, air mata istri nelayan yang menatap laut tiap pagi tanpa kepastian.

Rumah ini kini dalam masa yang tak mudah. Bukan karena cintanya padam, bukan karena tiangnya patah. Ia hanya terlalu banyak dihuni oleh tangan yang lupa cara membersihkan halaman, oleh mulut-mulut yang rajin menyalahkan namun enggan memungut sampah di depan pintu. Namun rumah tetaplah rumah. Kau boleh marah saat listrik padam. Kau boleh mengeluh saat harga beras melonjak dan suara rakyat tenggelam dalam rapat dingin ber-AC. Tapi jangan pernah menjelekkan rumah ini di hadapan orang luar. Satu atap roboh, semua kehujanan. Satu dinding runtuh, kita semua kehilangan sandaran.

Korupsi, ketidakadilan, kerusakan lingkungan—itu retakan kecil yang kadang tak kasatmata, tapi jika dibiarkan, bisa membuat tembok roboh. Rumah ini tidak butuh penghuni sempurna. Ia hanya butuh orang-orang yang tahu cara menambal dan membersihkan. Indonesia bukan sekadar pulau-pulau. Ia tubuh yang bernapas, yang bisa terluka, yang bisa sembuh.

Di era digital, perpecahan tumbuh cepat. Media sosial menjadi pasar riuh sekaligus arena yang menelanjangi manusia. Ada anak muda yang bunuh diri karena dibuli komentar, ada yang diperas karena rekamannya tersebar. Dunia maya, jendela kebebasan yang berubah menjadi ruang penyiksaan. Retakan perahu hari ini bukan hanya politik dan ekonomi, tapi juga dari sikap kita: jari yang mengetik terlalu cepat, mulut yang ringan menghina, hati yang tipis empati.

Retakan bisa ditambal. Rumah bisa diperkuat kembali. Caranya sederhana tapi tidak mudah: kebersamaan, cinta tulus. Ambil semen kesadaran, pasir kesabaran, air pengertian, lalu tambal dinding rumah kita. Perahu bocor? Ambil papan persaudaraan, paku dengan tekad bersama, ikat dengan cinta—ia akan kuat kembali. Menambal retakan bukan pekerjaan satu orang. Semua harus bergerak, semua harus turun tangan.

Bayangkan Indonesia sebagai kekasih yang kita cintai sepenuh jiwa. Kekasih yang menangis ketika retakan muncul, tersenyum saat tangan kita menambal, berdebar saat kita mengingatnya. Kekasih yang dipeluk dalam doa panjang, dicintai para pejuang ketika darah menetes di tanah, dibisikkan para ibu saat melepas anak berperang. Kekasih ini, yang kita warisi, belum selesai kita cintai, tapi terus kita jaga.

Ketika dunia gaduh dan bangsa-bangsa saling menatap tajam, rumah ini hanya ingin tenang. Ia tidak meminta semua setuju, ia hanya ingin semua sadar bahwa perbedaan bukan alasan menyingkirkan. Negeri ini bukan sekadar tanah, udara, dan batu. Ia kekasih yang bernapas, menangis di senja, tersenyum di fajar. Lahir dari darah yang meresap ke bumi, dari keringat yang menempel di batu, dari rintihan sunyi yang dipanjatkan dalam doa. Para pendahulu mencintainya dengan pengorbanan yang tak masuk akal: senjata seadanya, perut keroncongan, tubuh ringkih, tapi hati mereka membara, tekad lebih keras dari baja. Dari penderitaan dan cinta itu lahirlah rumah bernama Indonesia, hati yang kita jaga bersama, rawat dengan harapan dan doa yang tak padam.

Rumah berdiri di atas kesepakatan bersama, cinta yang disepakati semua hati. Bahasa kita satu, nasib kita satu, perbedaan bukan alasan terpisah. Suku-suku ratusan jumlahnya, budaya bertubrukan di perempatan sejarah, keyakinan berbeda bahkan bertolak belakang—semua dipayungi satu kata yang lebih besar daripada ego: Indonesia. Di rumah itu, setiap suara adalah bisikan cinta, setiap langkah tarian hati, setiap tangan yang terulur bukan untuk diri sendiri semata, tapi untuk menahan dinding tetap tegak, agar atap tak roboh, agar jiwa rumah tetap hangat.

Perbedaan diolah menjadi harmoni rapuh namun indah, seperti sungai yang mengalir di antara batu-batu berwarna, menyatu tanpa kehilangan bentuk. Bahasa yang satu bukan sekadar kata, tapi rindu yang diamini bersama; nasib yang satu bukan sekadar nasib individu, tapi nasib kolektif yang menuntut pengorbanan, perhatian, dan kesadaran bahwa runtuhnya satu bagian akan menimpa seluruh rumah. Rumah ini menuntut kesabaran, keberanian mengakui kesalahan, kebijaksanaan menahan amarah, kasih untuk menambal setiap retak dengan kelembutan. Indonesia bukan sekadar nama, bukan sekadar tanah dan air, melainkan kekasih yang jiwa-jiwanya kita rawat bersama, sejarahnya menjadi doa panjang, harapannya cahaya yang tak pernah padam meski badai terus datang.

Tetapi rumah ini, betapapun megah, tak pernah selesai sekali jadi. Selalu ada genteng yang rembes saat hujan, dinding merekah dimakan waktu, kayu lapuk bila penghuninya sibuk menolong diri sendiri. Menjaga rumah ini adalah menjaga hati kita sendiri; keruntuhannya patah hati kita, keutuhannya kebahagiaan bersama.

Pada malam sunyi, ketika lampu padam dan jangkrik bernyanyi, terbayang rumah indah bernama Indonesia, dibangun dengan tergesa sekaligus cinta yang membara. Tiangnya kokoh namun belum dipoles, dinding menjulang tapi kasar, atap tegak meski banyak genteng belum rapat. Tergesa itu bukan sekadar ingin berteduh, tapi karena luka ingin segera diobati dengan persatuan, karena hati ingin segera dimiliki bersama. Rumah itu dibangun dari bahan seadanya tapi dengan doa tak putus, bata rapuh diperkuat harapan, kayu basah dipanaskan semangat. Ia berdiri bukan hanya sebagai tempat berteduh, tetapi sebagai pernyataan: bangsa ini memilih mencintai bersama, meski fondasinya belum sempurna, retakan kecil selalu muncul, dan hanya dengan kesabaran serta ketulusan rumah itu bisa bertahan.

Hari-hari berlalu. Rumah semakin ramai. Anak-anak lahir, cucu-cucu tumbuh. Ada yang rajin membersihkan, ada yang menumpang tidur. Ada yang menyumbang bata, ada yang mencuri kayu. Rumah besar itu mulai retak. Retakan kecil, awalnya bisa ditambal tipis, lama-lama dibiarkan. Kita terlalu sibuk, terlalu lelah, terlalu mementingkan diri sendiri.

Banyak yang ingin rumah ini gagal, dari luar dan dari dalam. Tapi harapan tidak pernah mati jika masih ada orang yang menyalakan lilin meski tahu malam panjang. Jika masih ada yang menatap merah-putih dengan mata basah, bukan karena sedih, tapi karena cinta terlalu dalam untuk dijelaskan dengan kalimat. Tidak perlu menjadi pahlawan. Cukup menjadi tetangga yang tahu kapan mengetuk pintu dan kapan membantu memperbaiki pagar. Rumah ini tidak utuh karena satu orang hebat, tapi karena semua orang saling menambal retaknya.


Kita dulu bangsa besar. Bukan karena senjata, bukan karena tambang, tapi karena semangat menyala di dada-dada yang nyaris tak punya apa-apa. Guru berjalan kaki membawa buku, petani menanam doa di sela benih, ibu melilitkan kain di tubuh anak sambil mengajarkan sabar. Saat dunia gelap oleh penjajahan, negeri ini memekikkan kemerdekaan. Bukan hanya untuk diri sendiri, tapi untuk dunia. Konferensi Asia Afrika bukan untuk pamer diplomasi, tapi menyatakan keadilan bisa dibicarakan, kemerdekaan bisa dijemput bukan hanya dengan peluru, tapi dengan puisi dan jabat tangan.

Negeri ini pernah mengirim guru ke negeri lain tanpa berharap balasan, karena percaya, cahaya yang dibagi tidak membuat telempiknya padam. Sekarang mungkin kita tertinggal. Jalan mereka lebih mulus, gedung lebih tinggi, uang lebih kuat. Tapi itu bukan akhir cerita. Rumah bukan dinilai dari cat dinding, tapi dari bagaimana penghuninya menjaga nilai-nilai sejak awal. Masalah negeri bukan pada kekurangan, tapi pada lupa. Kita lupa rumah harus dijaga bersama. Kita mulai curiga, membandingkan, menyalahkan. Padahal rumah hanya ingin dihuni oleh mereka yang tahu cara saling menyapa.

Belum terlambat. Dinding masih berdiri. Ada bunga baru tumbuh di pekarangan. Anak-anak menatap huruf pertama dengan mata berbinar. Remaja menulis kode dan puisi dengan imajinasi lebih kaya dari APBN. Rumah belum habis. Yang dibutuhkan bukan pidato baru, bukan jargon, bukan kembang api. Cukup ingatan, bahwa kita pernah menyala, dan bisa menyala lagi.

Tidak perlu menjadi bangsa sempurna. Cukup menjadi keluarga yang tahu menjaga rumah. Karena rumah ini, betapapun retaknya, tetap milik kita. Jika kita saling menjaga, pekerjaan berat berubah menjadi ladang harapan. Yang pernah menyala tak akan selamanya gelap, asal ada yang meniup bara dengan sabar, asal ada yang tahu rumah ini dibangun dari sabar, dari luka, dari doa ibu yang tak pernah lelah meski malam makin sunyi.

Rumah ini indah bukan karena emas dan tambangnya, tapi karena dihuni oleh orang-orang yang pernah bersumpah saling menjaga. Sumpah itu kini terdengar seperti gema, tak jelas, tak bulat, kadang sekadar seremonial tanpa jiwa. Permata-permata itu masih ada, tapi hanya bisa digali oleh tangan bersih dan niat jernih. Rumah ini, dibangun oleh syuhada dan tangis diam perempuan tua, tidak boleh dikelola dengan rakus. Jika rumah ladang, hasilnya harus dimakan semua, bukan hanya mereka yang memegang kunci gudang.

Masjid boleh megah, tapi adzan harus tetap lebih nyaring dari suara mesin tambang. Sekolah agama jangan hanya ramai saat pagi, tapi harus menghidupkan kasih sayang dan keadilan sampai ruang sidang. Anak-anak rumah ini belajar menanam, bukan mencuri; memetik, bukan merampas. Bila dewasa, biarlah mereka menggali permata dengan dzikir, bukan tipu daya. Permata yang digali dengan dzikir bercahaya lebih lama daripada permata dicuri dalam gelap.

Rumah ini bukan milik kita semata. Ia titipan masa lalu, warisan masa depan. Jagalah sebagaimana tubuhmu: diberi makan baik, dibersihkan dari penyakit hati, dilindungi dari hawa nafsu yang membutakan. Karena rumah ini akan bertanya kelak: Apa yang kau lakukan saat rumah hampir retak? Memperbaiki, atau ikut menambahi retaknya?

Karena rumah ini, meski letih, masih percaya pada cinta. Dan cinta yang setia akan selalu menemukan jalan untuk pulang.

Penulis adalah , Ketua Lentera Sastra Banyuwangi

Kasih Sayang Yang Menembus Batas

 

Kasih Sayang Yang Menembus Batas

Oleh : Chaironi Hidayat


Pagi selepas dhuha, masjid kecil di sudut kantor terasa teduh. Cahaya matahari menembus kisi-kisi rintik mendung, menimpa sajadah yang masih hangat oleh sujud duha. Udara di dalamnya hening, hanya suara detik jam dinding yang terdengar samar. Dalam keteduhan itu, sebuah kisah lama teringat dan tersampaikan kembali, kisah yang tak pernah usang, sebab diulang oleh hati setiap kali manusia merindukan teladan. Kisah tentang Nabi Muhammad Saw. 


Beliau, setiap pagi dan sore, datang membawa makanan untuk seorang pengemis buta beragama Yahudi. Dengan sabar dan lembut, beliau menyuapkan makanan ke mulut lelaki tua itu. Namun lidah si pengemis tak berhenti mencela. Ia menuduh Muhammad sebagai tukang sihir, pengadu domba, pembawa kerusakan. Ia bahkan melaknat nama yang justru setiap hari membawanya pada kenyang. Ia tidak tahu, orang yang selalu hadir dengan tangan penuh cinta adalah sosok yang ia hina. Tetapi Rasulullah tidak pernah marah. Tidak pernah berhenti datang. Tidak pernah berhenti memberi. Tidak pernah berhenti menyayangi.

Dari kisah itu, jelaslah: cinta Nabi melampaui sekat keyakinan, dinding prasangka, bahkan luka hati yang ditorehkan manusia kepadanya. Kasih sayang yang beliau hadirkan bukanlah kasih sayang bersyarat, bukan pula cinta yang menunggu balasan. Ia adalah mata air yang terus memancar, bahkan ketika batu menghantamnya. Semakin keras dunia mencoba melukai, semakin lembut pula beliau membalas dengan doa. Semakin dalam luka yang ditorehkan manusia, semakin luas pula samudra ampunannya membentang.

Dari kisah itu, teranglah sudah: cinta Nabi bukanlah cahaya yang dibatasi jendela sempit keyakinan, bukan pula api yang padam oleh tiupan prasangka. Ia menjelma pelukan luas yang merengkuh siapa saja, bahkan mereka yang pernah menaburkan garam di luka hatinya. Dalam kehangatan cinta itu, tidak ada wajah yang ditolak, tidak ada tangan yang dihindari. Semua disapa dengan kelembutan, semua direngkuh dengan rahmat. Kasih sayang beliau adalah angin yang berhembus tanpa memilih rumah mana yang akan disinggahi. Ia mengetuk hati yang keras, menyejukkan jiwa yang resah, dan menghidupkan kembali nurani yang nyaris padam. Seperti matahari yang menyinari tanpa membeda-bedakan, cinta Nabi hadir untuk semua, tak peduli apakah ia disambut dengan syukur atau ditanggapi dengan caci, kisah itu menjadi cermin bagi kita: betapa kecil cinta kita dibanding cinta beliau, betapa dangkal sabar kita dibanding sabar beliau. Sementara dunia mudah menumbuhkan dendam, beliau justru mengajarkan bahwa kasih yang sejati adalah kasih yang tetap mengalir, bahkan di tengah badai kebencian. Cinta Nabi adalah rahmat yang melintasi batas, pelajaran abadi bagi hati-hati yang ingin belajar menyalakan cahaya ketulusan.Saya teringat pula peristiwa hijrah. Kaum Anshar di Madinah menyambut para Muhajirin dengan dada terbuka. Mereka membagi rumah, tanah, pekerjaan, bahkan, dalam praktik zamannya, bersedia berbagi istri demi menjaga kelanjutan hidup saudaranya. Kini terdengar ekstrem, tetapi di sanalah saksi sejarah yang memperlihatkan betapa kasih sayang menyingkirkan rasa memiliki. Apa yang ada bukan lagi “milikku”, melainkan “milik kita.” Orang-orang luar Madinah yang menyaksikan kedekatan itu berkata lirih, penuh takjub: “Aku belum pernah melihat manusia mencintai orang lain sebagaimana sahabat Muhammad mencintai Muhammad.”

Cinta itu bukan sekadar penghormatan, bukan sekadar pengagungan. Ia adalah kerinduan yang tak ingin berpisah. Bahkan ada sahabat yang berucap: “Ya Rasul, aku ingin masuk surga hanya jika dapat bersamamu. Jika tidak, biarlah aku tidak masuk.”Beginilah cinta yang tak lagi mencari imbalan. Ia menjelma sebagai ikatan yang melampaui hidup dan mati, dunia dan akhirat.

Kemudian ingatan beralih kepada Umar bin Khattab, sahabat Nabi, sosok yang keras seperti baja yang ditempa api, seorang lelaki padang pasir yang disegani karena keberaniannya memburu singa di tengah sunyi gurun. Ketegasannya dahulu membuat namanya bergetar di telinga banyak orang. Namun lihatlah, ketika Islam mengetuk pintu hatinya, bara yang dahulu menyala sebagai amarah berubah menjadi cahaya yang teduh. Dari lelaki yang tegas, ia menjelma pemimpin yang lembut, seorang khalifah yang menundukkan kekuasaan di hadapan kasih. Ukurannya sederhana, namun menghunjam: jika seorang pejabat tak mampu menyayangi istri dan anak-anaknya, bagaimana mungkin ia bisa menyayangi rakyat? Umar menimbang kepemimpinan bukan dari jubah kebesaran, bukan dari gelar atau jabatan, melainkan dari cinta yang hidup di dalam rumah. Baginya, rumah adalah cermin kekuasaan: bila congkak dan angkuh di hadapan keluarga, bagaimana mungkin ia bisa adil dan rendah hati di hadapan rakyat? Karena itu, Umar tanpa ragu memecat pejabat yang gagal menanam kasih di rumahnya sendiri, sebab kepemimpinan sejati lahir dari kelembutan, bukan dari teriakan kuasa.

Dan demikianlah Umar bin Khattab berdiri sebagai teladan: keras pada kezaliman, namun lembut pada rakyatnya; tegas pada pengkhianatan, namun penuh kasih kepada yang lemah. Ia memahami bahwa seorang pemimpin bukanlah singa yang menerkam, melainkan pohon yang menaungi. Dari tangannya, lahir keadilan yang berakar pada cinta. Dari hatinya, mengalir kasih sayang yang menyejukkan negeri. Dalam dirinya, kekuatan dan kelembutan bersatu, menjadi pelajaran abadi bahwa kuasa tanpa kasih hanyalah tirani, sementara kasih tanpa kuasa hanyalah impian. Umar menghadirkan keduanya, dan dengan itu, sejarah mengenangnya sebagai pemimpin yang dibangun dari cinta yang kokoh.Ada paradoks yang indah: manusia yang dulu dikenal tegas dan garang justru menjadi lambang welas asih setelah mengenal Nabi. Kasih sayang mampu menundukkan kekerasan, sebagaimana air menundukkan api.

Semua kisah itu menyadarkan bahwa cinta dan kasih sayang bukan tambahan dalam kehidupan, melainkan inti. Kantor tanpa kasih hanyalah mesin berisik yang menggiling manusia. Ibadah tanpa kasih hanyalah gerakan tubuh tanpa jiwa. Hidup tanpa kasih hanyalah rutinitas yang perlahan melahirkan kehampaan.

Allah sendiri mengajarkan doa lembut di ujung surah Al-Baqarah:

*“Rabbana la tu’akhidzna in nasina aw akhta’na…”*

“Ya Allah, jika kami lupa atau salah, janganlah Engkau siksa kami.”

Doa itu sederhana, tetapi mengandung pengakuan paling jujur: bahwa manusia lemah, sering lalai, mudah keliru. Dan Allah, dengan kasih sayang-Nya, memilih untuk memaafkan. Rasulullah pun sangat menyukai doa itu, karena ia menggambarkan betapa Tuhan lebih memilih mengampuni daripada menghukum. Maka bukankah kita pun seharusnya demikian? Lebih memilih memaafkan daripada menyimpan dendam. Lebih memilih merangkul daripada menolak. Lebih memilih menyayangi daripada membenci.

Seandainya kasih sayang dijadikan pedoman, mungkin kita tak perlu banyak undang-undang, tak perlu aturan yang mengekang. Karena hati yang dipenuhi kasih akan lebih taat daripada sekian banyak pasal dan pasal. Ia akan menjaga tangan dari menyakiti, menjaga lidah dari menyakiti, menjaga langkah dari merugikan. Ia adalah pagar tak kasatmata yang lebih kokoh daripada tembok penjara. Maka tinggal kita, manusia-manusia hari ini, yang perlu menjawab: apakah mau melanjutkan teladan itu? Apakah kita rela menjadikan kasih sayang sebagai nafas yang mengiringi setiap detik kehidupan? Jika iya, dunia akan menjadi taman yang lebih hijau, hati akan menjadi telaga yang lebih jernih, dan jiwa-jiwa akan menemukan rumahnya dalam damai. Sebab kasih sayang adalah cermin dari rahmat Ilahi, yang diturunkan untuk meliputi seluruh alam.Pagi itu, di masjid kecil yang sederhana, saya merasa sedang belajar ulang menjadi manusia. Bukan manusia yang hanya pandai bekerja. Bukan manusia yang hanya rajin beribadah. Melainkan manusia yang tahu bagaimana caranya mencintai. Kasih sayang, ternyata, adalah jantung kehidupan. Ia bukan sekadar bunga di pinggir jalan yang mudah dipetik dan mudah layu. Ia adalah akar yang menancap dalam, memberi napas pada setiap helai daun kehidupan. Dan mungkin, pada akhirnya, hanya kasih sayanglah yang akan kita bawa pulang. Segala harta, kedudukan, ilmu, prestasi, semua akan ditinggal. Tetapi kasih sayang yang pernah kita taburkan, akan kembali kepada kita. Ia menjadi cahaya yang tidak padam, meski matahari dunia telah lama tenggelam.

Di masjid kecil sederhana, dengan dinding-dindingnya yang penuh bekas sujud dan udara harum oleh doa, saya merasa sedang belajar ulang menjadi manusia. Bukan manusia yang hanya pandai bekerja, mengejar angka dan prestasi, lalu pulang dengan dada kosong. Bukan pula manusia yang hanya rajin beribadah dengan bibir yang bergetar melafalkan doa, sementara hatinya masih beku dan keras. Tetapi manusia yang benar-benar mengerti bagaimana caranya mencintai—mencintai tanpa syarat, tanpa hitungan untung-rugi, mencintai dengan hati yang lapang seperti langit. Kasih sayang, ternyata, adalah jantung kehidupan. Ia bukan sekadar bunga di pinggir jalan yang mudah dipetik lalu mudah layu. Ia adalah akar yang menancap dalam, yang diam-diam memberi napas pada setiap helai daun kehidupan. Tanpa akar itu, pohon akan mati; tanpa kasih sayang, manusia hanya tinggal raga yang kering. Kasih sayanglah yang menjadikan rumah terasa rumah, pekerjaan terasa ibadah, dan ibadah terasa hidup.

Di bawah kubah masjid Kementerian Agama, kita memahami bahwa kasih sayang adalah perpanjangan tangan dari rahmat Allah. Ia mengalir melalui tatapan lembut seorang ibu, melalui genggaman tangan seorang sahabat, melalui maaf yang diberikan kepada orang yang pernah melukai. Ia adalah bahasa ilahi yang diturunkan agar manusia tak hidup sebagai serigala yang memangsa, tetapi sebagai saudara yang saling menguatkan. Kasih sayang juga adalah cermin dari ibadah sejati. Sujud tanpa kasih sayang hanya menyentuh lantai, bukan menyentuh langit. Zikir tanpa kasih sayang hanya bunyi bibir, bukan cahaya yang menenangkan. Ilmu tanpa kasih sayang hanyalah pedang yang tajam, bukan lentera yang menerangi. Maka, belajar mencintai sesama adalah bagian dari belajar mencintai Sang Pencipta.

Di masjid kecil itu, kita seakan diajak untuk menanam kembali akar-akar kasih sayang dalam hati sendiri. Agar doa-doa tak hanya melangit, tetapi juga menetes menjadi air sejuk bagi sesama. Agar kerja tak hanya menghasilkan harta, tetapi juga kebahagiaan bagi orang lain. Agar hidup tak hanya panjang diukur waktu, tetapi dalam diukur kasih. Sebab pada akhirnya, kasih sayang adalah detak yang membuat kehidupan terus berdiri dan tanpa kasih, hidup hanyalah bayangan yang kosong.

Kasih sayang adalah bahasa universal, yang dimengerti siapa saja tanpa perlu diterjemahkan. Ia merayap halus menembus batas agama, bangsa, dan pandangan hidup. Anak kecil merasakannya dari senyum ibunya. Seorang asing merasakannya dari uluran tangan yang tak ia duga. Bahkan musuh sekalipun dapat luluh ketika dihadapkan pada kasih sayang yang tulus. Nabi telah mencontohkan: beliau berdoa untuk mereka yang menyakitinya, beliau tersenyum kepada mereka yang memusuhinya. Para sahabat meneladani: Umar yang keras menjadi lembut, Abu Bakar yang penuh welas asih menjadi sandaran umat, Ali yang penuh hikmah menebarkan ilmu bersama kasih.


Duha pagi, 29 Agustus 2025

“Di Balik Senyum Virtual, Ada Iblis yang Menunggu

 Tubuh Bisa Ditelanjangi, Jiwa Tak Boleh Dikalahkan

Oleh: Syafaat

Ada seorang guru. Seorang ASN yang hidupnya biasa saja. Pagi berangkat ke sekolah negeri, siang pulang dengan wajah lelah tapi tetap ramah. Murid-murid mengenalnya sebagai sosok yang sabar. Ia mengajarkan huruf, angka, doa, dan sedikit-sedikit tentang hidup. Tetapi di balik itu, ia menyimpan luka yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya: luka yang datang bukan dari ruang kelas, bukan dari murid yang nakal, melainkan dari dunia maya yang tak berhenti menebarkan jebakan.

Ceritanya sederhana. Bermula dari sebuah sapaan di media sosial. Seseorang hadir dengan wajah tampan dan suara yang menenangkan. Mereka bercakap-cakap, lalu berlanjut ke panggilan video. Malam-malam panjang yang sepi tiba-tiba terasa hangat. Ada tawa, ada perhatian, ada janji-janji kecil yang membuat perempuan itu merasa dihargai. Sampai pada suatu malam, ia menyerahkan kepercayaannya. Ia menanggalkan busana di depan kamera, dengan keyakinan cinta sedang menyapanya. Ia tak tahu bahwa layar kecil itu sedang merekam, mengubah cintanya menjadi perangkap. Keesokan hari, ancaman datang. Uang atau aibmu akan disebarkan.



Dunia yang ia percaya runtuh seketika. Kejahatan digital memang licik. Teknologi yang katanya cerdas ternyata bisa menipu mata dengan begitu halus. Wajah bisa dipoles, suara bisa dimodifikasi, identitas bisa dipinjam dengan begitu meyakinkan. Seseorang bisa menyamar jadi siapa saja: duda mapan, ustaz alim, pejabat berwibawa, atau sekadar lelaki penuh kasih. Semua ilusi itu bersinar di layar, memikat hati, dan menjebak. Pertanyaannya: siapa yang sanggup membedakan cinta dari tipuan ketika layar begitu meyakinkan?

Seperti kisah lama: iblis menggoda Adam dengan buah khuldi. Bedanya, kini ia tak datang dengan buah, tapi dengan cahaya layar yang selalu menyala. Tipu daya tetap sama: merenggut manusia di titik paling rapuh, rasa ingin dicintai. Dan seorang guru pun bisa kalah. Bukan karena ia bodoh. Justru karena ia manusia.

Fenomena ini bukan hanya menimpa pribadi. Lembaga pendidikan pun sering jadi sasaran. Ada yang datang mengaku wartawan, membawa ancaman berita buruk. Ada pula yang mengaku LSM, menakut-nakuti dengan laporan hukum. Mereka mengetuk pintu sekolah dengan suara dingin: “Jika tak memberi uang, reputasimu akan kami hancurkan.” Kepala sekolah panik. Guru-guru resah. Mereka takut namanya rusak. Lalu mereka memilih jalan singkat: menyerahkan sejumlah uang, berharap teror itu berhenti. Padahal hukum punya mekanisme. Ada hak jawab. Ada inspektorat. Ada aturan yang bisa melindungi. Tapi ketakutan lebih besar daripada logika.

Begitulah negeri ini: ancaman lebih sering menang daripada kejujuran. Namun tidak adil bila dunia digital hanya dilihat sebagai kegelapan. Ada juga cahaya: ruang belajar, gerakan solidaritas, komunitas kreatif, kesempatan yang dulu mustahil kini terbuka lebar. Dunia maya melahirkan banyak kebaikan. Tetapi ia tetap hutan lebat: ada jalan terang, ada jalan gelap. Dan manusia berjalan di dalamnya, sering tanpa peta.

Di sinilah agama seharusnya menjadi kompas. Kitab suci berulang kali mengingatkan: fitnah akan gugur di hadapan kebenaran. Tapi kebenaran tidak jatuh dari langit begitu saja. Ia menuntut keberanian. Guru itu seharusnya melapor. Sekolah itu seharusnya berani menolak ancaman. Masyarakat seharusnya berdiri tegak, tak tunduk pada pemerasan. Sayangnya, manusia sering kalah sebelum bertanding. Rasa takut datang lebih dulu. Itulah penyakit paling berbahaya: ketakutan yang membuat seseorang menyerahkan harga diri dengan murah.

Kisah guru ASN yang diperas lewat video telanjang hanyalah potret kecil dari rapuhnya manusia di hadapan layar. Ia pahit, tetapi ia juga pelajaran. Bahwa cinta bisa disulap jadi jebakan. Bahwa manusia bisa runtuh hanya dengan cahaya di ujung jari. Tetapi pelajaran itu tidak boleh berhenti pada rasa malu. Ia harus berubah menjadi kekuatan: untuk berani melapor, untuk menegakkan hukum, untuk melawan pemerasan.

Begitu pula lembaga pendidikan. Jangan menyerah hanya karena ada ancaman. Jangan pasrah dengan bayang-bayang fitnah. Sebab setiap tuduhan ada jalannya. Dan setiap kebohongan bisa dipatahkan. Doa pun dibutuhkan. Doa agar manusia tetap waras di tengah banjir notifikasi. Doa agar tidak mudah panik saat difitnah. Doa agar guru, kepala sekolah, siapa saja yang bekerja dengan jujur, diberi keberanian berkata: “Sebarkanlah fitnahmu, kebenaran akan menjawabnya.”

Tubuh bisa dipermalukan. Tetapi jiwa jangan pernah kalah.

Di media sosial, kadang kita tergoda membela diri. Kita menulis bantahan panjang di kolom komentar. Tapi algoritma bekerja dengan cara yang aneh: semakin banyak komentar, semakin tinggi berita itu muncul. Yang palsu justru semakin terlihat nyata. Maka ada saatnya diam lebih bijak. Biarkan yang palsu tenggelam oleh waktunya sendiri. Yang penting bukan seberapa keras kita membantah, tetapi bagaimana kita membuktikan: kita tidak salah, kita tidak kalah.

Dan pada akhirnya, hanya keberanian nyata yang bisa menghentikan kejahatan maya.


80 Tahun Merdeka: Jejak Doa dan Darah

 80 Tahun Merdeka: Jejak Doa dan Darah

Kita memperingati 80 tahun Indonesia merdeka. Delapan puluh tahun bukan sekadar angka. Itu adalah jejak, tanda, dan doa yang menjadi nyata. Bangsa ini telah berani berkata: “Kami merdeka.” Tapi merdeka bukan hanya bendera yang dikibarkan, bukan hanya lagu yang dinyanyikan, bukan hanya seremonial yang hias hari-hari. Merdeka adalah darah yang tumpah, nyawa yang dipertaruhkan, iman yang diuji, dan hati yang tetap teguh.


Delapan puluh tahun yang lalu, para pemuda di negeri ini bergerak dengan mata terbuka lebar. Mereka tidak menunggu izin dari yang tua, meski menghormati mereka yang dianggap bijak—orang-orang seperti Soekarno, yang ketika itu ragu menyatakan kemerdekaan. Jepang, yang menaklukkan Indonesia setelah Belanda, belum menyerahkan apa pun. Jika Jepang memberi, itu berarti kembalinya Belanda. Maka para pemuda, cerdas dan penuh intuisi sejarah, bergerak. Mereka menculik Soekarno dan Hatta, mendesak mereka untuk membacakan teks proklamasi.

Ini yang penting. Proklamasi bukanlah inisiatif pribadi. Tidak lahir dari egosentrisme pemimpin atau ambisi golongan. Itu lahir dari kolektif, dari jiwa bangsa, dari keinginan rakyat yang tak sabar menunggu janji asing. Soekarno dan Hatta hanya menjadi medium. Mereka membacakan atas nama bangsa. Setiap kata, setiap kalimat, adalah doa yang terpatri dalam darah generasi 45. Bukan sekadar ritual, bukan sekadar teks sejarah. Itu adalah tindakan iman terhadap tanah, terhadap masa depan, terhadap Tuhan yang Maha Melihat.

Hari ini, 80 tahun kemudian, peringatan itu tidak hanya diwarnai lomba-lomba bernuansa nasional. Ada juga pertunjukan yang kadang jauh dari sejarah, dasar, atau fakta. Banyak yang muncul entah dari mana, tanpa referensi, tanpa rasa hormat pada akar. Tapi itulah kenyataan. Kemerdekaan bukan hanya tentang kesempurnaan. Ia hidup dalam pluralitas, dalam ketidaksempurnaan, dalam keragaman yang kadang menyakitkan mata nurani.

Bulan Agustus selalu membawa paradoks. Di satu sisi, kita merayakan, mengenang, menghormati. Di sisi lain, di beberapa tempat, ada yang turun ke jalan menuntut keadilan—naiknya pajak bumi dan bangunan, ketidakadilan ekonomi, suara rakyat yang tak terdengar. Tepat di bulan kemerdekaan, ketika kita seharusnya menengok sejarah, ada demonstrasi, ada protes, ada tanda bahwa merdeka itu bukan sekadar kata. Merdeka itu tanggung jawab, yang harus dipertahankan, dijaga, dan dihidupi.

Kita berbeda dari banyak negara tetangga. Di beberapa wilayah lain, kemerdekaan datang dari tangan mereka yang pernah menjajah, atau dari penduduk baru yang mengusir penduduk lama. Di Indonesia, merdeka datang dari perjuangan rakyat asli. Dari darah yang mengalir, dari nyawa yang jatuh, dari hati yang berani. Pahlawan-pahlawan kita, mereka yang mengusir penjajah, bukan orang yang hidup nyaman. Mereka buruh, petani, rakyat kecil, yang ekonominya pas-pasan. Mereka mempertaruhkan nyawa bukan demi nama, bukan demi pujian, bukan demi sejarah di buku-buku, tetapi demi iman bahwa tanah ini pantas untuk mereka, untuk anak cucu mereka, untuk bangsa yang kelak akan mengenang.

Dan kemudian muncul pertanyaan yang tak pernah lekang oleh waktu: apakah anak cucu para pejuang kini lebih makmur daripada mereka yang hidup menikmati kemerdekaan? Atau justru mereka yang merdeka lahir dari perjuangan, hidup sederhana, tapi jiwanya kaya akan doa, iman, dan kesadaran sejarah? Ketika Belanda kembali menguasai negeri ini, sebagian ikut Belanda. Ketika merdeka, mereka beramai-ramai mendukung. Berbeda dengan rakyat asli, yang hidup dan mati di sini, yang tumpah darahnya melekat di bumi ini, berakar dalam sejarah, dalam darah, dalam iman yang tak pernah luntur.

Merdeka bukan sekadar simbol. Ia adalah tanggung jawab. Ia adalah doa yang diwujudkan dalam tindakan. Ia adalah kesadaran bahwa tanah ini suci, bahwa hidup ini singkat, dan bahwa kita bagian dari sejarah yang lebih besar dari diri kita sendiri. 80 tahun merdeka adalah 80 tahun doa yang dijawab dengan pengorbanan.

Para pemuda 45 bergerak bukan karena ambisi politik semata. Mereka bergerak karena iman, karena keinginan untuk melihat bangsa merdeka. Mereka berani menantang waktu, menantang ketakutan, menantang orang tua, menantang sejarah. Mereka tahu: kemerdekaan tidak datang begitu saja. Ia harus diambil, diperjuangkan, dikawal dengan nyawa, hati, dan doa.

Hari ini, kita mengingat mereka. Kita menatap lomba, pertunjukan, dan demonstrasi dengan mata yang berbeda. Bukan untuk menghakimi, bukan untuk menilai, tapi untuk merenung. Kemerdekaan bukan hadiah. Ia bukan objek yang bisa dipamerkan. Ia adalah amanah, tanggung jawab, dan doa yang terus hidup dalam tiap jiwa.

Kita perlu menyadari: kemerdekaan itu bukan hanya soal politik, bukan hanya soal ekonomi, bukan hanya soal tanah dan bangunan. Merdeka adalah soal hati, soal iman, soal kesadaran akan asal-usul kita, soal pengorbanan yang pernah diberikan dan harus kita jaga. Dalam setiap lomba, dalam setiap upacara, dalam setiap protes, ada satu pertanyaan: apakah kita masih mampu menjaga doa yang 80 tahun lalu lahir dari darah dan nyawa?

Banyak orang lupa. Mereka melihat merdeka sebagai hak, sebagai fasilitas, sebagai kesempatan untuk mencari keuntungan semata. Tapi kemerdekaan itu lebih dari itu. Ia adalah tanggung jawab moral dan spiritual. Ia adalah kewajiban untuk hidup dalam kesadaran sejarah, untuk menghormati pengorbanan, untuk menumbuhkan keadilan, dan untuk membangun bangsa yang tak hanya merdeka secara politik tapi juga merdeka dalam hati dan iman.

Di antara paradoks dan pluralitas ini, ada hikmah yang tetap sama: generasi 45 tidak menunggu. Mereka bergerak, menculik Soekarno-Hatta, menulis teks proklamasi, membacakan kata demi kata atas nama bangsa. Mereka tahu, kemerdekaan itu tidak menunggu persetujuan penjajah, tidak menunggu pengakuan asing, tidak menunggu kemapanan. Kemerdekaan adalah tindakan iman, keberanian yang lahir dari hati, dan doa yang diwujudkan dalam darah.

Hari ini, generasi kita dihadapkan pada pertanyaan serupa. Bagaimana kita menjaga kemerdekaan? Apakah hanya dengan upacara dan lomba? Apakah dengan protes dan tuntutan saja? Atau dengan kesadaran bahwa merdeka berarti hidup dengan tanggung jawab, hidup dengan doa, hidup dengan iman bahwa tanah ini bukan sekadar milik kita, tetapi amanah yang diwariskan oleh darah, nyawa, dan doa para pejuang?

Maka bulan ini, ketika kita menatap lomba-lomba dan demonstrasi, biarlah kita merenung. Biarlah kita menatap sejarah dengan mata hati. 80 tahun merdeka adalah 80 tahun doa, 80 tahun pengorbanan, 80 tahun tanggung jawab yang harus kita jalani. Dan kita, generasi sekarang, adalah penjaga doa itu.

Kita merdeka bukan karena kita lebih kuat, bukan karena kita lebih kaya, bukan karena kita lebih pintar. Kita merdeka karena ada hati yang berani, iman yang teguh, dan doa yang dijawab dengan pengorbanan. Itulah yang harus kita ingat. Itulah yang harus kita jaga.

80 tahun merdeka adalah 80 tahun kesadaran bahwa kemerdekaan itu adalah amanah. Amanah untuk hidup dengan kesadaran sejarah, amanah untuk menghormati darah dan doa, amanah untuk membangun bangsa yang adil dan beriman. Generasi 45 telah menulis sejarah dengan darah dan nyawa mereka. Kita menulis sejarah dengan tindakan, dengan hati, dengan doa yang tidak kalah pentingnya.

Dan akhirnya, kemerdekaan adalah pengingat. Pengingat bahwa hidup ini singkat, tanah ini suci, dan doa itu nyata. Bahwa kita bagian dari sejarah yang lebih besar dari diri sendiri. Bahwa 80 tahun merdeka bukan sekadar perayaan, tetapi panggilan untuk tetap hidup dalam iman, dalam kesadaran, dan dalam tanggung jawab.

Maka, ketika kita mengibarkan bendera, ketika kita menyanyikan lagu kebangsaan, ketika kita menatap lomba, pertunjukan, atau demonstrasi, biarlah hati kita sadar: 80 tahun merdeka adalah 80 tahun doa dan darah, dan kita adalah penjaganya.


Habitusmu Dirampas, Pajakmu Diganyang

 "Habitusmu Dirampas, Pajakmu Diganyang"

Oleh : Lensa Banyuwangi

Kau bangun pagi. Matahari belum sepenuhnya menembus kabut di kota ini, tapi kau sudah berdiri di depan cermin, menatap wajah yang lelah tapi keras. Kau menyiapkan diri untuk bekerja, bukan sekadar untuk uang, bukan sekadar untuk rutinitas, tapi untuk membangun sesuatu dari dirimu sendiri. Kau membangun habitus. Pierre Bourdieu menamainya habitus: pengalaman yang menyusup ke pikiranmu, cara berpikir yang mulai mengokoh, rasa yang mulai tajam, empati yang meresap ke setiap tindakan. Tanpa itu, katanya, manusia akan menjadi hampa, kepribadian anomali, jiwa rusak. Kau merasakannya. Kau tahu, tanpa rutinitas yang bermakna, tanpa kerja yang menumbuhkan rasa dan refleksi, manusia hanyalah sekadar mesin yang berjalan tapi tak bernyawa.

Kau berjalan ke kantor, atau ke bengkel, atau ke toko kecilmu. Kau bersalaman, kau tersenyum, kau berinteraksi dengan manusia lain yang tak kau kenal baik. Semua itu kau lakukan dengan kesadaran, dengan perhatian, dengan empati yang kau bentuk sendiri lewat pengalaman bertahun-tahun. Kau menanam benih habitus di setiap sudut hidupmu. Setiap percakapan, setiap keputusan kecil, setiap sentuhan pada benda dan orang, adalah latihan untuk jiwa. Kau tahu, kalau habitus tidak terbentuk, kehancuran akan datang perlahan, diam-diam. Bukan perubahan yang lahir, tapi anomali yang memakan manusia dari dalam.v


Dan di sinilah paradoksnya: negara yang kau harapkan hadir sebagai pelindung, sebagai penyedia ruang untuk berkembang, seringkali tak ada. Ia menonton dari kejauhan, diam, seolah dunia yang kau bangun sendiri adalah urusanmu sendiri. Lapangan kerja tidak tersedia. Subsidi tidak jelas. Peluang tidak nyata. Kau digantung di udara. Kau harus bertahan sendiri.

Tetapi begitu kau berhasil. Kau berhasil membangun diri, punya penghasilan, punya karya, punya pencapaian. Kau merasa hidup, merasa dihargai. Dan saat itu, negara datang. Tidak dengan tepuk tangan, tidak dengan penghargaan, tidak dengan apresiasi. Yang datang hanyalah catatan pajak, dokumen yang menagih setiap tetes keringatmu. Negara menakar, mengukur, menghitung, menuntut. Kau bekerja, negara menunggu untuk mengambil. Kau membangun, negara menagih. Kau bernapas, negara mencatat.

Kau ingin perubahan, tapi dunia menatapmu dengan dingin. Kau ingin memperbaiki, tapi setiap gerakmu diperiksa. Kau ingin berkembang, tapi sistem hanya tahu menagih. Habitus yang seharusnya menjadi senjata untuk membentuk kehidupan, menjadi korban birokrasi yang tak pernah puas. Jiwa yang seharusnya bersinar, mulai retak.

Dan kau mulai bertanya: untuk apa semua ini? Untuk siapa kau membangun diri sendiri jika setiap kemajuan hanya akan dimintai imbalan oleh sistem yang tak pernah memberi lebih dari tuntutan? Kau ingin membentuk empati, tapi negara tidak peduli pada rasa. Kau ingin melatih kesadaran, tapi negara hanya peduli angka. Kau ingin perubahan, tapi sistem hanya tahu menghitung, menagih, menakar.

Di sinilah tragedi kehidupan modern. Habitus, yang seharusnya menjadi benteng manusia, menjadi sasaran. Kau membangun diri, tetapi sistem menjarah. Kau memperkaya jiwa, tetapi birokrasi menuntut materi. Kau menumbuhkan empati, tetapi pajak datang seperti bayangan hitam yang menelan setiap rasa. Kau ingin perubahan, tapi kehancuran diam-diam sudah menunggu di sudut yang tak terlihat.

Kau bekerja keras, membangun usaha kecil, merawat toko, bengkel, atau kantor yang kau miliki. Kau membentuk kebiasaan, mengasah rasa, menata tindakan, membangun diri. Semua itu seharusnya menjadi cermin perkembangan manusia. Tetapi di negara yang tak menyiapkan ruang untukmu, setiap pencapaian menjadi beban baru. Pajak, pungutan, regulasi, birokrasi yang lamban dan tak ramah. Kau merasa seperti pemain dalam sandiwara tanpa naskah: kau berusaha, kau memberi, kau bekerja, tapi setiap langkah diukur dengan ketelitian tanpa hati.

Habitusmu, yang kau bentuk dengan penuh kesabaran dan ketekunan, menjadi alat ukur untuk memungut pajak. Negara hadir bukan sebagai pelindung atau pendamping, tapi sebagai pengukur dan penagih. Kau yang membangun, ia yang menuntut. Kau yang menumbuhkan empati dan tindakan, ia yang menakar. Kau yang membentuk diri, ia yang menjarah. Kau ingin perubahan, tapi anomali lahir di setiap celah yang terbuka. Jiwa yang seharusnya utuh, menjadi rapuh. Perubahan yang seharusnya lahir dari habitus, menjadi impian yang tertunda.

Bayangkan seorang pedagang kecil di pasar. Ia bangun subuh, menata dagangan, menata diri, berinteraksi dengan pelanggan dengan senyum dan kesabaran. Ia membentuk habitus: kesabaran, empati, ketelitian, ketekunan. Tetapi begitu ia menghasilkan, pajak datang. Pajak atas dagangan, pajak atas penghasilan, pajak atas tanah yang digunakan. Semua yang ia bangun sendiri, semua yang ia kerjakan dengan keringat dan rasa, dihitung sebagai angka yang harus dibayarkan. Bukankah itu paradoks? Bukankah itu penghancuran perlahan dari manusia yang bekerja dengan niat baik?

Dan lebih jauh lagi, kita melihat fenomena yang sama terjadi di banyak lapisan kehidupan. Birokrasi yang tak ramah, regulasi yang menjerat, kebijakan yang tidak berpihak, semuanya merusak habitus manusia. Bukannya memfasilitasi pengalaman, bukannya memperkaya empati, bukannya menumbuhkan kesadaran, sistem justru merampas energi, merusak rasa, menghancurkan jiwa. Kau membangun diri sendiri, tapi sistem memaksa kau membela diri dari tuntutan yang tak ada habisnya.

Kau ingin berbuat baik, ingin produktif, ingin berinovasi, tapi setiap langkah diperiksa. Kau ingin belajar, ingin berkembang, ingin memperluas cakrawala, tapi setiap pencapaian dihitung. Kau ingin berkreasi, tapi setiap ide diperiksa, dinilai, dan dijadikan alasan untuk menagih. Kau ingin perubahan, tapi sistem menuntut stabilitas yang membunuh kreatifitas. Kau ingin empati, tapi setiap tindakan diukur dengan angka.

Dan di tengah semua ini, jiwa manusia mulai retak. Orang yang seharusnya utuh menjadi pecah. Habitus yang seharusnya menjadi benteng untuk menghadapi kehidupan, menjadi sasaran penghancuran sistemik. Anak-anak yang melihat orang tua bekerja keras, belajar, membangun, tetapi selalu ditekan oleh tuntutan sistem, mulai kehilangan keyakinan pada keadilan. Mereka melihat perubahan bukan sebagai hasil karya dan pengalaman, tapi sebagai beban baru yang datang dari kekuatan yang jauh dan tak terlihat.

Kita bisa melihat paradoks ini di kota-kota besar dan kecil. Di desa yang jauh, di kantor yang sepi, di toko-toko pinggir jalan, di bengkel-bengkel kecil, di rumah-rumah yang penuh keluarga, semua manusia yang membangun habitusnya sendiri, menghadapi sistem yang menjarah. Tidak peduli seberapa kuat empati, seberapa halus rasa, seberapa kokoh cara bertindak, setiap pencapaian selalu dihitung, ditakar, dan ditagih. Kau membangun diri, sistem menghancurkan. Kau menumbuhkan jiwa, sistem menjarah. Kau ingin perubahan, sistem menunda.

Dan inilah kesimpulannya: tanpa habitus yang kuat, manusia hancur. Tanpa ruang untuk membentuk pengalaman, empati, rasa, dan tindakan, manusia menjadi anomali. Tanpa keadilan dalam sistem yang mengatur hidup, setiap pencapaian menjadi ancaman, setiap langkah menjadi beban. Negara yang seharusnya hadir untuk mendukung, justru hadir sebagai penuntut. Kau membangun, ia menghancurkan. Kau menumbuhkan, ia menagih. Kau ingin perubahan, ia menunda.

Jadi, kau berdiri di sini, menatap dunia, menatap sistem, menatap negara yang hadir bukan sebagai pelindung, tapi sebagai penagih. Kau membangun habitus, tetapi habitus itu sendiri sedang diuji oleh kekuatan yang jauh, dingin, dan tak peduli. Kau ingin empati, tapi empati dihitung. Kau ingin tindakan, tapi tindakan ditagih. Kau ingin perubahan, tapi perubahan tertahan oleh sistem yang tak memahami manusia.

Habitusmu dirampas, pajakmu diganyang. Dan kau hanya bisa menatap, menahan nafas, membangun lagi, membentuk lagi, mencoba bertahan di dunia yang seharusnya mendukung, tapi justru menguji setiap tetes keringat, setiap pikiran, setiap rasa. Dan di sanalah tragedi modern ini: manusia membangun diri sendiri, sementara sistem memaksa manusia mempertahankan diri dari kehancuran yang ditimbulkan oleh ketidakadilan itu sendiri.

 
Copyright © 2013. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Template Modify by Blogger Tutorial
Proudly powered by Blogger