Pages

Home » » Literasi Finansial Keluarga Muda pada Gerakan Keluarga Maslahah

Literasi Finansial Keluarga Muda pada Gerakan Keluarga Maslahah

 Literasi Finansial Keluarga Muda pada Gerakan Keluarga Maslahah

Oleh : Syafaat

 

Ada dua bahasa yang mesti dikuasai agar rumah tangga berjalan tenang: bahasa cinta dan bahasa angka, bahasa cinta menjaga hati agar tidak retak, sementara bahasa angka menjaga dapur agar tetap berasap, dua bahasa ini tak lahir dari tempat yang sama, namun saling melengkapi seperti dua sisi doa, yang satu melembutkan rasa, yang lain menegakkan nalar. Bahasa cinta lahir dari kehangatan jiwa. Ia seperti cahaya senja yang menenangkan mata, mengajarkan pelukan saat gagal, doa ketika terdesak, dan pengertian di saat yang lain lelah. Ia membuat manusia kuat menghadapi kekurangan, menukar kemewahan dengan ketulusan.

Ada bahasa kedua, yang sering terlupakan: bahasa angka, bahasa yang tampak kaku, tapi justru menyelamatkan; terdengar dingin, tapi menjaga api dapur agar tetap hidup. Ia tak mengenal kata rindu, tapi paham arti menabung. Sebagian besar pasangan muda fasih dalam bahasa cinta, tapi gagap dalam bahasa angka. Mereka hafal tanggal ulang tahun, tapi lupa tanggal jatuh tempo listrik. Pandai mencintai, tapi belum tentu pandai menghitung. Cinta, pada awalnya, terasa seperti mata air yang tak akan kering. Pelukan dianggap lebih penting daripada perencanaan, tawa dianggap cukup menggantikan tabungan, dan keyakinan seolah bisa membayar semua tagihan. Tapi waktu, seperti guru yang sabar, mengajarkan bahwa listrik tak bisa dibayar dengan maaf, dan beras tak bisa dibeli dengan sabar. Cinta tanpa perhitungan akan kehilangan arah, seperti kapal tanpa kompas di tengah lautan kebutuhan.

Waktu tidak memusuhi cinta, hanya menuntut kedewasaan dalam mengelolanya, cinta yang benar bukan hanya tentang memberi bunga, tapi juga menyiapkan lahan untuk menanamnya. Bahasa cinta membuat kita bertahan, tapi bahasa angka membuat kita berdaya. Keduanya seperti dua sayap burung yang harus bergerak seirama agar bisa terbang tinggi, satu menjaga arah, satu menahan keseimbangan. Jika hanya cinta tanpa hitungan, rumah tangga akan melayang terlalu tinggi dan lupa tanah, jika hanya angka tanpa cinta, rumah akan dingin dan kehilangan jiwa. Dalam rumah tangga yang damai, keduanya bersahutan seperti zikir:
Cinta berkata, “aku bersamamu,” dan angka menjawab, “aku menyiapkan jalan agar kita tetap bersama.” 


Bahasa cinta menyalakan api, bahasa finansial menjaga agar api itu tidak membakar, keduanya, jika disatukan dalam iman, menjadi bahasa keberkahan,
bahasa yang membuat rumah sederhana terasa seperti surga kecil di bumi.
Sebab cinta yang berpadu dengan perhitungan akan melahirkan ketenangan,
dan ketenangan yang dijaga dengan iman akan tumbuh menjadi keluarga maslahah, tempat cinta bukan hanya hidup, tetapi menjadi ibadah yang terus bernapas di antara angka-angka kehidupan.

Gerakan Keluarga Maslahah lahir dari kesadaran yang perlahan tumbuh di antara kesibukan dunia: bahwa keluarga bukan sekadar tempat bernaung, melainkan ruang suci di mana cinta diuji dengan kenyataan, dan iman diuji oleh kebutuhan. Ia bukan program birokrasi, bukan pula proyek sesaat yang berhenti di spanduk dan laporan. Ia adalah panggilan halus, seperti bisikan subuh di hati mereka yang ingin menata ulang makna rumah tangga, menjadikan cinta sebagai ibadah, dan rezeki sebagai amanah.

Kementerian Agama menamai gerakan ini sebagai upaya membangun keluarga yang bahagia, sejahtera, dan taat agama. Kalimat itu sederhana, tapi di dalamnya terkandung cita-cita besar yang melampaui angka-angka APBN: cita-cita untuk membentuk keluarga utuh, yang tangannya bekerja di bumi, tapi hatinya tetap tertaut pada langit. Di bawah naungan program ini, ada banyak cabang kegiatan: bimbingan perkawinan yang mengajarkan cinta bukan hanya sebagai rasa, tapi sebagai tanggung jawab. Ada pelatihan parenting yang menuntun orang tua agar mendidik anak bukan hanya dengan kata, tapi dengan teladan. Ada intervensi stunting, agar tubuh anak-anak tumbuh sehat bersama dengan akal dan imannya. Ada pemberdayaan ekonomi, agar rezeki mengalir tanpa kehilangan keberkahan. Ada penguatan karakter, agar keluarga tetap tegak meski badai zaman datang berganti rupa, semua itu berpangkal pada satu hal: kesadaran bahwa keluarga adalah madrasah pertama tempat iman diuji dalam bentuk paling nyata, pengelolaan kehidupan sehari-hari.

Di sanalah semua teori agama menemukan wajah praktisnya, bagaimana suami menahan diri ketika rezeki menipis, bagaimana istri bersabar tanpa kehilangan harap,
bagaimana anak belajar arti syukur dari piring sederhana di meja makan. Setiap detik di rumah tangga adalah pelajaran tauhid: ketika seseorang menakar beras, menulis daftar belanja, membayar listrik, menabung sedikit demi sedikit, semuanya bisa menjadi dzikir jika dilakukan dengan kesadaran. Maka literasi keuangan keluarga bukan sekadar ajaran duniawi; ia adalah bentuk lain dari fikih kehidupan, sebab di balik hitungan angka, tersembunyi ujian hati.Seberapa ikhlas kita mengelola yang sedikit, seberapa amanah kita menjaga yang banyak.

Di luar negeri, harta bekerja untuk manusia, mereka membangun sistem agar uang berputar, menciptakan manfaat, menumbuhkan kesejahteraan Bersama, namun di negeri ini, sering kali manusia bekerja untuk menumpuk harta, seolah-olah harta itu jaminan keselamatan. Padahal, harta yang tidak bergerak untuk kebaikan, akan membatu di dalam dada seperti karat yang pelan-pelan merusak iman. Itulah mengapa gerakan ini penting, karena ia mengembalikan ruh ekonomi kepada nilai-nilai spiritualnya. Bahwa uang bukan tujuan, tapi titipan, bahwa kekayaan sejati bukan di rekening, tapi di keberkahan yang menenangkan batin. Seorang ulama pernah berkata, “Harta yang tak dizakati akan menjadi api yang membakar pemiliknya.” Maka, bagaimana mungkin kita merasa cukup hanya dengan mengumpulkannya, tanpa pernah menyalurkannya?

Gerakan Keluarga Maslahah mengajak kita menatap uang seperti kita menatap diri sendiri: rapuh tapi berharga, fana tapi bisa menjadi jalan menuju keabadian.
Ia bukan musuh yang harus dihindari, bukan pula tuan yang harus disembah. Ia hanyalah alat, jembatan menuju kemaslahatan, jika digunakan dengan hikmah. Bayangkan jika setiap rumah tangga Muslim di negeri ini paham bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan dengan niat baik bisa menjadi sedekah, bahkan ketika hanya untuk membeli susu anak atau membayar sekolah, jika setiap keluarga menulis rencana keuangannya dengan bismillah, bukan dengan ambisi, betapa tenteramnya negeri ini, karena kesejahteraan tak lagi diukur dari banyaknya harta, tapi dari tenangnya hati yang mengelolanya.

Gerakan Keluarga Maslahah bukan sekadar pelatihan keuangan, tapi gerakan menyucikan cara kita mencari dan membelanjakan rezeki. Ia mengingatkan kita bahwa tangan yang menulis anggaran rumah tangga seharusnya adalah tangan yang pernah berdoa di sepertiga malam, bahwa angka-angka di buku catatan seharusnya diimbangi dengan zikir di hati yang tak henti. Di setiap kolom pemasukan, ada doa agar rezeki datang dari jalan yang halal, di setiap kolom pengeluaran, ada harap agar tak satu pun keluar tanpa manfaat, dan di setiap rencana masa depan, ada sujud yang panjang agar semua itu diridai Allah.

Karena sejatinya, kesejahteraan bukanlah tentang berapa banyak yang kita miliki, melainkan tentang seberapa cukup hati kita dengan yang ada. Keluarga maslahah adalah keluarga yang belajar menyeimbangkan cinta dan angka, iman dan perhitungan, rasa syukur dan usaha. Mereka memahami bahwa cinta yang tak diatur dengan perencanaan bisa kehilangan arah, dan perencanaan yang tak disertai cinta hanya akan menjadi daftar kosong tanpa ruh, ketika cinta bersanding dengan iman, dan angka tunduk pada takwa,di sanalah lahir keluarga yang sejati,  keluarga yang tidak sekadar hidup dari harta,tetapi hidup untuk memberi makna pada harta. Keluarga yang tidak hanya mencari dunia, tetapi menjadikan dunia sebagai ladang menuju akhirat, menjadikan rumah bukan sekadar tempat tinggal, melainkan tempat pulang bagi hati yang sedang belajar menjadi hamba.

Di sebuah ruang pelatihan sederhana, para pasangan muda duduk berdampingan, di atas meja, selembar kertas terbentang: tabel pemasukan, pengeluaran, aset, dan rencana, di mata sebagian orang, itu hanyalah angka. Tapi di mata mereka yang mulai belajar, itu adalah cermin kecil, tempat mereka melihat ulang diri sendiri. Ada yang menulis dengan cepat, ada yang menatap lama, seolah setiap kolom menyimpan pertanyaan yang lebih dalam: “Untuk apa sebenarnya kita bekerja?” Seorang perempuan muda berjilbab krem menatap kertasnya lama sebelum menulis: “Agar suami saya tidak khawatir besok makan apa.” Kalimat sederhana itu menyimpan keheningan panjang, lahir dari hidup yang dijalani dengan sabar. Di sudut lain, seorang lelaki mengaku pelan, “Saya tidak tahu ke mana gaji saya pergi setiap bulan.” Ucapan ringan, tapi terasa seperti pengakuan dosa kecil. Di situlah literasi keuangan bermula, bukan dari angka, melainkan dari kejujuran kepada diri sendiri, dari keberanian menyingkap kalimat “nanti juga cukup” yang sering kita jadikan tameng.

Fasilitator menyebutnya financial check-up, namun sejatinya itu muhasabah harta, sebuah zikir sunyi tentang asal dan arah rezeki, setiap catatan pengeluaran menjadi bentuk dzikrullah di antara tagihan dan kebutuhan. Di luar sana, dunia berputar cepat: diskon memanggil, media sosial memamerkan kebahagiaan palsu. Banyak yang hidup dari utang demi citra, padahal yang mereka cari hanyalah ketenangan yang beriman, rasa cukup yang tak lagi diukur dari kepemilikan, melainkan dari keikhlasan menerima, keberhasilan rumah tangga bukan diukur dari harta, tapi dari kemampuan menahan diri. Bukan meniru orang lain, tapi menemukan ritme rezeki sendiri, seorang pembicara berpesan lirih, “Jangan bekerja hanya untuk menumpuk aset, tapi tumbuhkan manfaat.” Harta, katanya, hanyalah amanah; dan amanah kelak akan ditagih.

Kini, banyak orang mengejar angka tanpa makna, penghasilan naik, tapi hati tetap resah. Tabungan penuh, tapi berkah menipis. Maka literasi keuangan keluarga sejatinya adalah pelajaran tauhid dalam bentuk paling praktis, bahwa setiap rupiah adalah ujian, dan setiap pengeluaran adalah kesaksian. Menghitung bukan berarti kikir, menahan bukan berarti miskin. Seperti cinta, uang pun harus diurus dengan iman. Sebab cinta tanpa perencanaan melahirkan kekacauan, sementara perencanaan tanpa cinta menimbulkan kekeringan, dan di antara keduanya, manusia belajar bahasa yang lebih tinggi: bahasa keberkahan. Bahasa yang tak terhitung oleh kalkulator, tapi terasa di hati yang tenang setelah memberi, tempat di mana cukup berarti kaya, dan kaya berarti sanggup bersyukur.

Penulis adalah ASN / Ketua Lentera Sastra Banyuwangi

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar

 
Copyright © 2013. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Template Modify by Blogger Tutorial
Proudly powered by Blogger