Selamat Datang di Warta Blambangan

Pages

Tampilkan postingan dengan label Kabar Dari Makkah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kabar Dari Makkah. Tampilkan semua postingan

Perjalanan Yang Tidak Melewatkan Miqot

Cerita ini datang dari seseorang yang tak sengaja menjadi saksi atas kebingungan manusia. Ia tidak sedang mengisahkan perang atau cinta yang ditolak, melainkan tentang seseorang yang ingin sampai kepada Tuhan tetapi tersesat di tengah prosedur, di antara nama-nama Syarikah dan kode rombongan.

Ia adalah pembimbing ibadah haji tahun ini. Tahun sebelumnya, istrinya yang bertugas. Tapi tahun ini, ia yang berangkat. Ia membawa nama negara, nama agama, dan nama-nama kecil dalam rombongan—nama-nama yang biasanya tak tercatat dalam sejarah, tapi sangat penting dalam kehidupan satu sama lain.v


Dia bertutur seperti orang yang tidak sedang ingin menyalahkan siapa-siapa, hanya menyampaikan keganjilan yang membuatnya merenung cukup lama. Tentang jamaah yang naik bis dari Madinah menuju Makkah, namun tak tahu bahwa mereka telah melewati miqat. Tentang pakaian ihram yang sudah dikenakan, tapi niat yang belum diucapkan. Tentang Masjid Bir Ali yang dikira Masjid Quba, dan tentang bis yang berhenti tanpa ada yang turun, karena semua mengira tempat itu bukan tujuan mereka.

"Padahal dari Madinah," katanya pelan, "sudah saya sampaikan bahwa kita akan miqat di Bir Ali."

Tapi ternyata antara kata yang diucapkan dan pemahaman yang sampai ada jarak yang tak bisa dijembatani dengan satu-dua kalimat dalam keramaian manasik. Apalagi jika kemudian realitas di lapangan berbeda dari imajinasi jamaah. Mereka pikir akan ada pembimbing di sana. Akan dikumpulkan dulu, diberi aba-aba, salat sunnah dua rakaat, lalu bersama-sama niat ihram.

Tapi itu tidak terjadi. Bis mereka hanya berhenti sebentar. Tidak ada yang turun. Tidak ada aba-aba. Tidak ada siapa pun yang memberi tahu bahwa inilah tempatnya, Masjid Bir Ali, bahwa inilah saatnya memulai ritual suci. Lalu bis melaju lagi. Waktu pun berlalu, hingga hari kedua di Makkah, ketika jamaah itu akhirnya sadar bahwa mereka belum niat. Mereka masih dalam pakaian ihram, tapi belum menjadi orang yang berihram. Mereka masih dalam kebingungan.

Mereka bertanya, “Bolehkah kami kembali ke Bir Ali untuk mengambil miqat?”

Temanku hanya menunduk. “Kalau sekarang,” katanya, “bukan miqat lagi namanya. Itu hanya nostalgia. Hukum sudah bicara lain.”

Seseorang yang melewati miqat tanpa berniat ihram telah meninggalkan salah satu kewajiban umrah. Dan jika itu terjadi, maka gantinya adalah dam. Denda. Menyembelih satu ekor kambing di Makkah dan memberikannya kepada fakir miskin. Sebuah tindakan simbolik, untuk menebus kekhilafan. Tapi dalam kasus ini, kekhilafan itu bukan datang dari keengganan, melainkan dari ketidaktahuan, dari kekacauan sistem, dari bahasa yang tak bertemu antara sopir bis dan para penumpangnya. Dan, seperti biasa, kambinglah yang jadi korban.

Kisah ini, bagi saya, lebih dari sekadar laporan teknis perjalanan haji. Ini adalah pengingat bahwa kadang kita terlalu percaya pada skema, pada sistem, pada asumsi bahwa segala sesuatu akan berjalan sebagaimana yang kita bayangkan. Kita lupa bahwa sebagian besar hidup justru terjadi dalam kekacauan kecil yang tidak kita siapkan.

Di sinilah letak pentingnya pendidikan sebelum ibadah. Pendidikan yang bukan hanya dalam bentuk ceramah di aula, tapi pelatihan nyata yang menyiapkan jamaah untuk berjalan sendiri. Karena memang pada akhirnya, setiap orang akan berjalan sendiri. Tidak semua akan mendapat kemewahan dikawal pembimbing dalam bis yang sama, atau diberi tahu kapan saatnya membaca niat. Kadang, satu-satunya pembimbing kita hanyalah pengetahuan yang kita simpan di dalam hati.

Tapi sayangnya, banyak dari kita yang berangkat dengan bekal keyakinan bahwa “akan ada yang mengurus.” Kita datang sebagai anak-anak manja yang berharap ada orang tua spiritual yang akan membimbing kita dari miqat hingga mabit. Padahal, dalam banyak situasi, satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan kita adalah diri kita sendiri.

Dan di sinilah seharusnya peran negara hadir—bukan hanya sebagai pengatur akomodasi dan makanan, tapi sebagai pemantik kesadaran spiritual yang mandiri. Sebab, sebanyak apa pun pembimbing disiapkan, selama mereka tak berada dalam satu kendaraan, satu ruang, dan satu waktu yang sama dengan jamaah, maka peran mereka akan kehilangan maknanya.

Teman saya bilang, tahun depan ini harus dievaluasi. Bahwa keberagaman Syarikah (perusahaan penyelenggara layanan) membuat segalanya jadi lebih rumit. Bahwa pembimbing tidak bisa lagi menemani jamaah secara langsung karena setiap rombongan dipecah, dibagi ke bis yang berbeda, sopir yang berbeda, dan SOP yang entah siapa yang pahami.

Maka, harapannya adalah agar jamaah dididik menjadi jamaah yang mandiri. Yang tidak hanya tahu rukun haji, tapi tahu bagaimana membacanya di tengah kekacauan sistem. Yang tidak hanya hafal syarat wajib, tapi tahu kapan harus bertanya dan kepada siapa. Yang tidak hanya paham teori niat, tapi tahu kapan saatnya mengucap sebelum segalanya terlambat.

Karena haji, pada akhirnya, bukan hanya tentang berangkat dan pulang. Tapi tentang menemukan jalan sendiri menuju Allah, bahkan ketika tak ada yang menuntun, bahkan ketika semua penunjuk jalan mendadak hilang. Karena haji, seperti hidup, adalah perjalanan yang dalam banyak hal kita jalani seorang diri—dengan pakaian ihram, dengan keraguan, dan dengan tekad untuk tidak menyerah meskipun kadang tak tahu ke mana harus turun dari bis yang melaju terlalu cepat. 

Dan dalam sunyi miqat yang tak sempat disentuh, kita belajar: bahwa tidak semua perjalanan bisa dituntaskan dengan sempurna, tapi semua perjalanan selalu bisa ditafsirkan kembali. Dalam tafsir itulah, mungkin, Tuhan menyisipkan pengampun.

“Perjalanan yang Selesai dengan Doa”

 

“Perjalanan yang Selesai dengan Doa”

Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.
Berita itu datang seperti angin malam yang membuka jendela dengan pelan-pelan, tidak membanting, tidak juga tergesa. Hanya membuka dan membiarkan malam masuk. Lalu dari gelap itulah terdengar kabar:
Bapak H. Kajim Susanto telah berpulang ke Rahmatullah.

Saya sempat bertemu beliau di malam itu yang ramai. Hari pemberangkatan jemaah haji, di depan kantor Bupati Banyuwangi. Tenda putih berdiri, bintang bertabur terang, dan suara adzan dan doa terdengar dari pengeras suara yang kadang sumbang tapi tulus. Di antara ratusan wajah yang mengambang antara bahagia dan haru, saya melihat beliau dan istrinya, Ibu Istiadah. 


Beliau tak banyak bicara. Hanya menangkupkan tangan, tersenyum, dan berbisik lirih, "Mohon doanya."
Saya mengangguk, dan menjawab pelan, "Semoga mabrur."
Entah kenapa malam itu seperti melipat waktu. Rasanya baru kemarin.

Kematian memang tidak pernah benar-benar tiba-tiba. Ia selalu punya niat. Tapi kita seringkali mengabaikannya, atau menutup pintu rapat-rapat agar ia tak sempat masuk. Padahal ia bukan tamu. Ia tuan rumah. Kita hanya singgah.

Maka ketika saya mendengar bahwa beliau wafat setelah pulang dari Tanah Suci, saya tahu bahwa beliau sudah sampai. Bukan hanya di bandara Indonesia, tapi sampai di puncak dari seluruh perjalanan hidup yang pernah ia tempuh. Dari seorang guru, dari seorang ayah, dari seorang hamba.

Saya yakin, kematian ini bukan akhir. Ini pintu.
Pintu yang hanya dibuka oleh mereka yang sudah selesai dengan dunianya. Saya ingat betul, sebelum keberangkatan haji itu, kami dari Yayasan Lentera Sastra Banyuwangi juga hadir ke rumah beliau. Sederhana. Ramah. Ada suguhan pisang goreng yang rasanya lebih banyak dari yang kami sanggup habiskan. Tapi yang paling saya ingat, adalah doa beliau yang tidak egois. 

“Semoga bukan cuma saya dan istri yang bisa ke sana,” katanya. “Semoga panjenengan semua juga bisa. Kita semua.”
Doa yang mengajak. Bukan doa yang membatasi.

Dan begitulah beliau. Tidak riuh. Tidak ingin dipuja. Tapi selalu hadir dengan benih yang pelan-pelan tumbuh menjadi kebaikan.
Beliau memang punya riwayat sakit. Tapi siapa yang tak punya? Bahkan orang paling sehat pun tidak pernah benar-benar tahu apakah paru-parunya masih mengembang sempurna atau hatinya sudah diam-diam retak. Tapi beliau berangkat haji. Dan menyelesaikannya.

Kita menyebutnya mabrur.
Kita menyebutnya perjalanan yang tak hanya kembali, tapi juga mengangkatnya ke derajat yang tak bisa dihitung dengan angka.

Ada orang-orang yang pergi meninggalkan dunia dalam keadaan bersembunyi dari kebaikan. Tapi ada juga yang pergi setelah menggenapkan ibadahnya. Setelah thawaf. Setelah sa’i. Setelah bermunajat. Setelah segala tetes air mata bercampur dengan debu tanah Mekkah yang kering tapi suci.

Kita tak bisa memilih kapan dan di mana akan mati. Tapi kita bisa memohon pada Tuhan agar di saat kematian datang, kita sedang dekat dengan-Nya. Sedang tidak sibuk dengan urusan dunia. Sedang tidak membawa dendam atau niat buruk.

Dan saya percaya, Bapak H. Kajim Susanto dipanggil pulang dalam keadaan paling baik:
Setelah haji. Setelah menuntaskan rukun-rukun cinta kepada Allah.
Setelah menabur senyum kepada istri, sahabat, dan murid-muridnya.
Setelah mengajari kita bahwa hidup bukan soal panjangnya, tapi soal keberkahannya.

Saya bayangkan, suatu sore di langit Madinah yang warnanya seperti madu yang dituangkan perlahan, beliau duduk di depan Masjid Nabawi. Tangannya bersedekap. Hatinya tenang. Ia melihat burung-burung terbang rendah di antara kubah masjid, dan tahu bahwa hidup ini indah.

Lalu malam tiba. Dan ada suara yang tidak terdengar oleh kita, tapi sangat jelas baginya:
"Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu, dengan ridha dan diridhai. Masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku."

Dan beliau pulang. Senyap. Damai. Seperti seorang ayah yang tahu bahwa seluruh tanggung jawabnya sudah selesai.

Kita yang tinggal, hanya bisa menunduk. Mengamini.
Dan menyambung doa beliau yang terpotong oleh kematian:
Agar semua kita pun kelak menyusul dalam keadaan husnul khatimah.

Amin.
Selamat jalan, guru kami.
Semoga engkau kini sedang tersenyum di taman surga, mendengarkan ayat-ayat Alquran yang dibacakan para malaikat.
Dan semoga cinta yang kau tinggalkan menjadi pohon yang terus tumbuh di hati kami.


Malam Ketika Jamaah Haji Berada di Hotel Bintang Lima Jeddah

 

Malam Ketika Jamaah Haji Berada di Hotel Bintang Lima Jeddah

Saya tidak pernah berencana pergi malam itu. Tapi seperti banyak hal dalam hidup, kepergian saya ke rumah itu bukan karena kehendak saya sendiri. Ada tangan halus yang menggiring langkah kita ke arah yang tak kita duga. Tangan yang sering kita sebut sebagai kebetulan, padahal sebenarnya ketetapan yang malu-malu.

Rumah itu bukan rumah siapa-siapa. Tapi entah bagaimana, sejak saya melepas sandal dan duduk di atas karpet bercorak Timur Tengah, rumah itu terasa seperti bagian dari saya. Seperti ruang kecil dalam hati yang lama tidak saya buka. Ada air Zamzam di meja. Ada kurma yang tidak manis, tapi entah mengapa menghangatkan dada. Dan ada satu perempuan yang duduk di depan saya—perempuan yang saya rasa pernah saya temui entah di mana. Di mimpi? Di antrean haji tahun lalu? Atau di lorong waktu yang saya sendiri tidak pernah hafal pintunya? 


Namanya Hj. Danny Fardah Mihmidati. Perempuan itu duduk seperti seseorang yang sudah berdamai dengan waktu. Ia mengenakan gamis warna krem, kacamatanya tipis, dan sudut bibirnya menyimpan senyum yang tidak selesai. Senyum yang tidak menawarkan bahagia, tidak pula mengundang iba. Hanya senyum yang tahu caranya bersabar. Kloter SUB-44. Itulah rombongan hajinya. Rombongan yang oleh berita-berita dikabarkan sebagai “kloter tertunda.” Tapi saya merasa: tidak ada yang benar-benar tertunda, kecuali orang-orang yang terlalu cepat menuntut kepastian.

“Tertunda, Mas,” katanya pelan. “Tapi ternyata yang tertunda itu bukan hanya kepulangan. Tapi juga kesedihan.”

Saya mendengarkan kalimat itu seperti orang yang baru pertama kali belajar membaca. Saya mengucapkannya dalam hati, lalu menekuri maknanya, seakan sedang merenungkan ayat yang turun di luar jadwal. Ia bercerita. Tentang malam-malam di Jeddah. Tentang kepanikan awal ketika pengumuman penundaan disampaikan. Tentang jamaah yang menangis, yang mengeluh, yang pasrah, dan yang diam. Tapi yang paling mengejutkan bukanlah keterlambatan itu. Melainkan hadiah yang diam-diam diselipkan Tuhan ke dalam koper mereka: hotel bintang lima. Hotel dengan lift yang berjalan pelan seperti dzikir. Hotel dengan kasur empuk seperti dada yang telah memaafkan. Hotel dengan sarapan yang membuat lidah kampung kehilangan kata.

“Awalnya kami sedih,” kata Danny. “Tapi begitu masuk kamar hotel itu, kami tertawa, seperti anak-anak dapat permen.”

Saya tertawa. Tapi tawa saya tertahan di tenggorokan. Ada rasa bersalah yang menggumpal. Rasa bersalah karena saya ingat betapa sering saya kecewa ketika rencana kecil saya tak sesuai jadwal. Padahal Tuhan sedang menyusun kejutan. Hotel itu bukan hanya tempat menginap. Ia adalah ayat yang dilipat dalam selimut. Ia adalah tanda bahwa Tuhan bisa menyewa hotel bintang lima untuk hamba-hamba-Nya yang sabar. Tanpa pesan. Tanpa down payment. Tanpa jaminan. Mereka tidak membayar malam itu. Tapi malam itu membayar banyak luka. Dani lalu mengatakan sesuatu yang bagi saya terdengar seperti doa yang disamarkan:

“Mas, kadang kita tidak perlu terburu-buru pulang. Karena Tuhan juga tidak selalu terburu-buru memberi. Tapi Ia pasti memberi. Itu pasti.”

Saya menunduk. Mencium aroma teh yang disuguhkan, seperti mencium ketenangan yang tak bisa dibeli. Lalu, dalam percakapan yang entah mengapa terasa seperti pengakuan dosa di pinggiran kota, saya bertanya dengan nada main-main, “Apa doa Ibu ketika di Multazam?”

Dia mengangkat bahu. Gerak kecil, tapi saya tahu beratnya seperti menahan gerimis agar tidak jatuh.

“Saya tidak berani berdoa banyak-banyak. Takut tidak kuat menerima,” katanya.

Kalimat itu membuat saya diam cukup lama.

“Saya hanya bilang, ‘Ya Allah, saya terima apapun. Asal Engkau tetap jadi arah saya pulang.’”

Saya mendengar kalimat itu seperti sedang membaca puisi dari buku tua yang belum selesai ditulis penulisnya.

“Kalau soal keinginan-keinginan pribadi,” katanya lagi, “saya pasrahkan ke orang yang minta didoakan. Biarlah mereka berdoa, saya yang mengaminkan.”

Saya tercekat. Di dunia yang penuh dengan orang yang sibuk meminta, saya bertemu seseorang yang bersedia menjadi peng-amin. Ia tidak ingin menjadi pusat dari doa-doa. Ia ingin jadi gema kecil. Menjadi amin di ujung doa orang lain. Ia adalah jalan sunyi dari spiritualitas yang tidak ingin dipamerkan.

Saya lalu teringat cerita dari pembimbing ibadah kloter itu, yang dulu adalah Ketua Rombongan satu SUB-58. Tahun lalu saya ketua kloternya. Kami pernah berbagi malam-malam tanpa tidur di Mina, meyakinkan jamaah yang hilang arah, atau membagi makanan untuk jamaah. Dan di sanalah saya menyadari: ibadah haji adalah ibadah yang kolektif, tapi hati tetap bekerja sendiri-sendiri.

Saya pulang malam itu di atas motor tua. Jalanan sepi. Tapi kepala saya penuh suara. Seperti malam sedang membacakan catatan harian yang tidak pernah saya tulis. Dan catatan itu berkata: tidak semua penundaan adalah musibah. Kadang ia adalah bungkus hadiah yang belum siap kita buka. Saya memikirkan kolam renang di hotel bintang lima itu. Kolam yang tidak disentuh para jamaah karena menjaga wudhu. Dan saya tersenyum pahit. Di kota ini, banyak orang yang berenang dalam dosa, tapi tetap bangga dengan pakaian ibadahnya.

Dani tidak sedang bercerita tentang mewahnya hotel. Ia sedang menyampaikan: bahwa dalam perjalanan menuju Tuhan, ikhlas bukan hanya kunci. Ia adalah rumah. Dan rumah itu tidak perlu besar. Cukup tenang. Ia tidak meminta surga, tidak menuntut umur panjang, tidak pula memohon harta. Ia hanya ingin tetap berdoa. Dan menjadi suara amin bagi mereka yang ingin meminta. Saya merasa telah berziarah malam itu. Bukan ke makam wali, bukan ke Madinah atau Arafah. Tapi ke hati seorang perempuan yang sudah haji bukan hanya dengan fisik, tapi dengan pasrah yang tidak dibuat-buat. Di jalan pulang, angin mengusik helm saya. Tapi saya tidak peduli. Saya masih memikirkan satu hal: Tuhan ternyata bisa menyewa hotel bintang lima. Dan malam ini, Ia juga telah menyewa ruang dalam hati saya—untuk saya diami dengan diam, untuk saya renungi dengan takut, dan untuk saya isi dengan kata paling sederhana dalam ibadah: Amin.

Di Jeddah, Cinta Tiba Terakhir

 Di Jeddah, Cinta Tiba Terakhir

Saya mendengar cerita ini dari seseorang yang tidak sedang menulis sejarah, melainkan sedang mengendapkan cinta. Bukan cinta yang gaduh, bukan cinta yang membuat orang bersajak atau membentangkan spanduk, melainkan cinta yang sabar. Yang tahu cara menunggu. Yang tahu tempat untuk tidak tergesa pulang.

Namanya Dimyati. Ketua Kloter SUB-43. Asalnya dari Dusun Suwaluh Desa Sumbersari, sebuah desa yang jika matahari sore melorot ke balik bukit, akan terdengar kokok ayam jantan seperti memanggil pulang masa kecil saya, kita pernah sekolah di madrasah yang sama, meskipun dengan tahun berbeda. Desa kita bersebelahan, ada pesantren tua yang banyak memunculkan banyak tokoh nasional.


Saya tidak tahu apakah Dimyati tahu bagaimana menciptakan sejarah. Tapi dari cerita yang sampai ke saya, ia tampaknya lebih tahu bagaimana cara tidak merusaknya.

Dia bukan jenis ketua kloter yang berdiri di depan podium lalu menghilang ke kursi eksekutif. Ia tidak mengenakan nada suara keras ketika berbicara, tidak pula menginstruksikan seperti komandan yang sedang mengatur barisan. Tapi orang-orang mendengarkannya. Karena ia lebih dulu mendengarkan. Dia mencatat nama. Menghafal wajah. Mengenali nada suara. Mengerti ketegangan di antara helaan napas yang terengah saat berjalan menuju Masjidil Haram. Ia tahu kapan seseorang hanya butuh sebotol air zamzam dingin, bukan tausiyah. Ia tahu siapa yang lebih butuh didengarkan ketimbang dibimbing. Ia tidak sedang menjalankan tugas administratif. Ia sedang menanggung ruhani.

Waktu yang Tertunda, Kloter SUB-43 menjadi kloter terakhir dari Banyuwangi yang pulang. Mereka pulang belakangan. Lewat dari jadwal. Tertunda karena ketegangan politik di Timur Tengah. Saya membayangkan, dari Bandara King Abdulaziz di Jeddah, para petugas maskapai menjelaskan dengan wajah datar bahwa jadwal penerbangan belum pasti. Saya membayangkan sekelompok orang yang sudah lelah namun tetap duduk tegak. Yang sudah rindu anak dan cucu namun tetap bersabar. Yang seharusnya marah, namun justru tersenyum.

Saya pernah berada di antara orang-orang yang kehilangan koper di Madinah dan menyaksikan mereka menyumpah-nyumpah dalam bahasa yang bahkan Tuhan pun mungkin enggan menerjemahkannya. Tapi cerita Dimyati ini tidak seperti itu.

Mereka tidak marah. Tidak gelisah. Tidak menyalahkan siapa pun. Mereka tahu bahwa tidak semua penundaan adalah musibah. Beberapa penundaan adalah jawaban dari doa yang bahkan tak sempat mereka panjatkan.

Jeddah: Hotel, Takdir, dan Sepi yang Indah, dan inilah bagian yang paling membuat saya berhenti sejenak dari membaca pesan suara Dimyati:

> “Karena akhirnya kami bisa berdua,” kata seorang jamaah pria dengan pipi keriput yang tersipu seperti anak muda jatuh cinta.

Saya kira itu kalimat paling jujur dari seseorang yang pernah mendefinisikan ulang arti bulan madu. Selama lebih dari 40 hari mereka berbagi kamar dengan orang asing. Berbagi dengkuran, berbagi keluhan, berbagi sandalnya hilang di pelataran Masjid Nabawi. Mereka tahu terlalu banyak tentang dengkul orang lain dan terlalu sedikit tentang tangan istrinya sendiri.

Dan di Jeddah, karena penundaan itu, mereka diberi satu kamar, Berdua, suami dan istri. Satu malam. Dua malam. Entah berapa kali mereka berbulan madu. Dan itu adalah malam-malam yang lebih sakral daripada ijab kabul.

Mereka berangkat sebagai jamaah. Tapi di Jeddah, mereka kembali seperti pasangan baru. Bukan karena sesuatu yang dikatakan petugas kloter, tapi karena sesuatu yang ditiupkan oleh sunyi. Dan saya membayangkan seseorang sedang menanak air untuk kopi. Istrinya menunggu sambil membaca surat kabar dari tanah air yang sudah kusut. Tidak banyak percakapan. Tidak banyak rencana. Tapi dalam diam itu, ada ruang yang tiba-tiba terisi. Seperti cinta yang tiba paling akhir. Tapi datang dengan tangan yang utuh. Jamaah Terakhir, Tapi Pulang Paling Siap

Beberapa orang menyebut keterlambatan mereka sebagai “bonus dari langit.”

Saya menyebutnya sebagai pertemuan antara kesabaran dan karunia. Tidak ada satu pun dari mereka yang mengeluh. Tidak ada yang meminta tiket pulang lebih cepat. Tidak ada yang menanyakan kompensasi. Mereka sudah terlalu kaya oleh pengalaman. Karena sesungguhnya, orang-orang seperti Dimyati dan para jamaah kloter SUB-43 telah menyelesaikan haji mereka bukan dengan ritual, tapi dengan cara menerima.

Menerima bahwa tak semua cinta harus ditunjukkan. Menerima bahwa tak semua kerinduan harus segera sampai. Menerima bahwa Jeddah bisa menjadi kota singgah yang lebih manis daripada kampung halaman, asal yang bersamanya adalah orang yang seharusnya.bDi Antara Doa dan Detak Jantung Terakhir Satu jamaah meninggal sebelum kepulangan. Dan itu bukan duka. Itu pertemuan.

Dimyati, dari yang saya dengar, menangani itu sendiri. Tidak dengan prosedur kaku, tapi dengan tangan yang menepuk pundak. Dengan kata-kata pendek yang tak tertulis dalam SOP. Karena kadang, pemimpin sejati bukan yang tahu semua aturan, melainkan yang tahu kapan harus diam dan memberi pelukan.

Saya membayangkan di Makkah, di antara jutaan manusia, Dimyati menyebut satu nama di dalam doanya. Menyebutnya pelan, seperti menyebut nama sendiri. Karena ia tahu, ia tidak sedang memimpin perjalanan.

Ia sedang mengantarkan kepulangan. Takdir yang Tidak Terburu-Buru, Kita selalu membayangkan cinta sebagai sesuatu yang terburu-buru. Seolah yang cepat adalah yang sahih. Seolah yang pertama datang adalah yang paling setia.

Tapi di Jeddah, cinta tiba terakhir. Dan justru karena itu, ia datang dengan paling banyak membawa waktu. Mereka—para suami istri yang telah puluhan tahun menikah—tiba-tiba menjadi pengantin baru di kota pelabuhan yang selama ini hanya dikenal karena toko emas dan ikan bakar.

Mereka tidak meminta tempat tidur yang empuk. Tidak bertanya apakah AC berfungsi. Mereka hanya ingin satu hal: bersama, dalam ruang yang cukup. Dan itu cukup. Kamar mewah, kamar pengantin, Kamar-Kamar yang Menyimpan Rahasia

Saya tidak tahu nomor kamar mereka. Tapi saya yakin kamar-kamar itu menyimpan percakapan-percakapan yang hanya dipahami oleh waktu. Mungkin seorang istri memijit kaki suaminya yang bengkak. Mungkin seorang suami membacakan ulang doa wukuf dengan suara parau.

Mungkin mereka duduk di balkon, melihat pelabuhan Jeddah yang remang, dan untuk pertama kalinya, merasa bahwa dunia ini tidak terlalu luas. Karena yang luas bukanlah ruang, melainkan hatimu saat tidak ingin buru-buru pulang.

Pulang yang Tidak Sama Lagi Ketika akhirnya mereka tiba di Banyuwangi, mereka turun dari bus dengan wajah yang lain. Mereka tidak hanya membawa koper. Mereka membawa kamar. Mereka membawa malam-malam Jeddah yang pelan dan penuh debar.

Dan saya percaya, beberapa cinta tidak lahir dari pelaminan. Tapi dari ketertundaan. Dari keterpaksaan yang akhirnya menjadi anugerah. Dari kota-kota asing yang diam-diam menyusun ulang perasaan kita. Dan di Jeddah, cinta itu tiba terakhir. Tapi tidak terlambat. Karena cinta yang datang di akhir, adalah cinta yang paling tahu mengapa ia perlu menunggu.

Ditulis untuk yang tidak tergesa mencintai, dan yang tahu bahwa pulang bukan soal waktu, melainkan siapa yang masih menggenggam tanganmu ketika semua orang sudah melepaskan. (syaf)

Di Antara Delapan Syarikah dan Satu Nama: Guntur Al Baderi

Di Antara Delapan Syarikah dan Satu Nama: Guntur Al Baderi


Saya seharusnya berangkat haji tahun ini. Tahun 2025. Bukan karena panggilan batin saya sendiri. Tapi karena panggilan cinta yang pelan-pelan dibisikkan dari masa lalu oleh kedua orang tua saya. Mereka bilang, “Kalau kami haji, kami ingin kamu yang mendampingi.” Kalimat itu pendek, tapi seperti biji kurma, kecil namun mengandung kehidupan yang bisa tumbuh dalam perut gurun yang paling kering.        

Dari lima anak, hanya saya yang sudah berhaji. Itu pun karena saya dulu pernah menjadi petugas. Dan dalam banyak hal, menjadi petugas adalah pengalaman yang rumit. Kau harus menyatu dengan kerumunan, tapi juga harus berdiri sedikit lebih tinggi darinya agar bisa menuntun. Kau harus hafal arah, waktu, bahkan jeda napas para jamaah. Tapi bukan itu inti dari kisah ini. 


     

Saya ingin mengisahkan sesuatu yang lebih dari daftar tugas. Saya ingin bercerita tentang persahabatan, tentang kehilangan kecil, dan tentang bagaimana kita kadang tak jadi berangkat haji, tapi sesungguhnya sedang berhaji di hati kita yang paling dalam.       

Saya sudah mempersiapkan semuanya. Paspor saya, paspor anak saya, bahkan paspor kedua orang tua saya. Kami sudah mengikuti manasik, berkali-kali. Saya dan teman saya, Guntur Al Badri, sudah membayangkan bagaimana kami akan mengisi 42 hari di Tanah Suci. Kami tahu, puncaknya hanya 5 atau 6 hari. Tapi manusia tidak hidup dari puncak ke puncak saja. Kami mempersiapkan yang datar-datar juga. Yang sepi-sepi juga. Kami merencanakan wisata religi. Kami bahkan menyiapkan obrolan, guyonan, dan jadwal shalat malam.      

Saya mengenal Guntur sebelum kami jadi PNS. Dulu, kami sama-sama aktivis di masyarakat. Saya di PNPM. Dia mengirim saya kritik. Kritik itu singkat, tapi tidak pendek. Ia tajam seperti kerikil di sepatu. Mengganggu, tapi menyadarkan bahwa ada yang perlu dikendurkan, ada yang perlu dikencangkan.       

Saya tidak marah. Kritik itu datang dari orang yang peduli. Orang yang marah biasanya karena merasa tak dihargai. Tapi kritik justru adalah bentuk tertinggi dari penghargaan. Ia adalah tanda bahwa seseorang sudi memperhatikan pekerjaan kita, cukup dalam untuk berani berkata, “Hei, ini salah.”        

Sejak itu kami berteman. Kami sama-sama jadi PNS, sama-sama sempat terjebak nostalgia aktivisme, dan sama-sama tahu bahwa menjadi pegawai negeri tidak berarti harus kehilangan nyali.      

Tapi takdir, seperti biasa, punya rencana lain. Kedua orang tua saya ternyata belum berangkat. Namanya belum tercantum. Entah kenapa. Padahal semua sudah siap. Mungkin Tuhan ingin saya lebih sabar. Mungkin Tuhan ingin memberi pelajaran bahwa keinginan manusia tak akan pernah setajam kehendak-Nya. Maka saya tidak jadi berangkat. Dan Guntur, bersama beberapa teman kami, tetap berangkat. Tanpa saya.         

Saya bukan kecewa. Tapi saya mengakui ada ruang kosong yang tidak bisa saya isi dengan apapun. Saya ingin bersama mereka. Tapi saya harus tetap bersama orang tua saya di sini. Saya tetap terhubung dengan mereka lewat WhatsApp. Percakapan digital yang tidak bisa menggantikan pelukan sahabat, tapi cukup untuk menguatkan ikatan.      

   Kami masih komunikasi dengan para jamaah terutama dengan Guntur Al Badri karena beberapa hal memang yang sudah kita rencanakan harus berjalan dan saya dianggap yang tahu tentang travel atau biro perjalanan yang ada di Makkah maupun di Madinah beberapa hari sebelum kepulangan ke tanah air Guntur juga pa kepada saya menanyakan tentang makam dari mertuanya karena mertuanya meninggal ketika melaksanakan ibadah haji tahun 2017 dan saat itu saya sebagai ketua kloternya,b ayah mertua Guntur meninggal ketika kami sudah berada di tanah air saat itu bulannya harus kita tinggal di Mekkah setelah melaksanakan ibadah haji karena harus dirawat di rumah sakit kami mendengar beliau meninggal dunia 2 hari setelah kami berada di rumah sakit dan biasanya untuk jamaah di Indonesia yang meninggal saat itu dimakamkan di Seraya bukan di ma'la, karena hanya orang-orang tertentu saja yang dimakamkan di ma'la selebihnya di Seraya.   

Tahun 2025 ini, pemerintah membuat kebijakan baru: delapan syarikah. Delapan perusahaan yang mengelola jamaah. Maka dalam satu kloter, jamaah bisa tersebar di sepuluh hotel. Seperti buih yang dipisahkan ombak. Dalam satu cerita, ada satu jamaah perempuan yang baru bayar. Dia dapat kamar bersama jamaah lain, masih dari Banyuwangi, tapi beda rombongan. Lalu, sebagaimana manusia yang kadang terlalu terikat pada batas administratif, dia tak diajak pergi ke Masjidil Haram oleh teman sekamarnya.      

Alasannya sederhana: “Bukan kelompok kita.” Kalimat yang singkat, dan dalam konteks ini, menyakitkan.      

Saya tahu cerita ini dari Guntur. Saya minta tolong padanya. “Fasilitasi dia. Sampaikan pada teman sekamarnya bahwa perempuan ini bagian dari kita, dari Banyuwangi, dari Indonesia, dari Adam dan Hawa yang sama.” Agama ini tidak mengenal kloter dalam cinta. Islam ini tidak mengenal batas dalam kasih sayang. Tapi memang, kadang manusia lebih tunduk pada struktur daripada nurani.        

Ketika di Arafah, di puncak haji, bahkan kloter tidak berlaku. Jamaah dibagi berdasarkan kafilah. Satu kafilah bisa terdiri dari beberapa kloter, bahkan dari beberapa embarkasi. Bisa saja orang Banyuwangi sekamar dengan orang Medan. Bisa jadi yang dulu satu desa, sekarang terpencar ke lima kemah. Begitulah hidup. Ia membagi-bagi agar kita belajar menemukan kembali.       

Dan saya, yang tidak ikut berangkat, merasa sedang menjalani haji dalam bentuk yang lain. Saya melihat dari jauh. Saya mendengarkan kabar-kabar. Saya membantu mengurai persoalan dari ribuan kilometer. Dan saya mulai mengerti, mungkin inilah haji saya: haji melalui kehadiran yang tidak terlihat. Seperti doa, seperti cinta, seperti malaikat.      

Saya tidak bisa memeluk Guntur ketika dia masuk Raudhah. Saya tidak bisa menggenggam tangan jamaah perempuan itu dan berkata, “Kamu tidak sendiri.” Tapi saya percaya, bahwa dalam satu kalimat yang dituliskan melalui layar kecil, saya sedang memikul satu beban. Dan beban itulah yang mendekatkan saya pada makna haji itu sendiri.        

Orang tua saya belum berangkat. Tapi saya yakin, Tuhan belum selesai menulis cerita kami. Mungkin tahun depan. Mungkin lewat jalur yang lain. Tapi pasti, lewat jalan yang lebih mengajarkan.     

Dan Guntur, sahabat lama saya, yang pernah mengirim kritik itu dulu, yang sekarang membantu saya mengurai peliknya delapan syarikah, tetap menjadi nama yang saya simpan dalam hati. Bukan hanya karena kami pernah merencanakan keberangkatan bersama. Tapi karena dia adalah orang yang memahami satu hal penting: haji bukan hanya urusan fisik, tapi juga urusan nurani.         

Dan ketika nurani sudah terlatih, ketika hati sudah berhaji sebelum kaki melangkah, maka sesungguhnya kita telah menunaikannya. Setidaknya, sebagian darinya. Sebagian yang paling dalam. Yang tidak bisa dilihat oleh visa, paspor, atau petugas imigrasi.      

Maka saya katakan:        

Tahun ini saya tidak jadi berangkat.       

Tapi saya tetap pergi.        

Ke tempat yang lebih jauh dari Tanah Suci.        

Ke tempat yang disebut Tuhan dalam diam: Hati.      


Ziarah ke Petugas Haji, dan Cerita Tentang Raudhah yang Jauh dari Misfalah

 Ziarah ke Petugas Haji, dan Cerita Tentang Raudhah yang Jauh dari Misfalah

Oleh: Peziarah Haji 


Saya berziarah, bukan dalam makna yang lazim dipahami orang-orang. Saya tidak datang membawa bunga, doa, atau air mawar. Saya datang membawa secangkir kopi sachet dua ribu perak yang sudah saya larutkan di gelas plastik dari rumah. Saya tahu dia suka kopi, meskipun sore itu kami tak benar-benar sempat menyeruputnya bersama.

Teman saya itu, lelaki dengan janggut tipis yang akhir-akhir ini lebih sering memeluk sunyi, adalah seorang petugas haji daerah. Tahun ini, 2025, ia ditugaskan ke tanah yang mengajarkan ribuan makna kepada siapa pun yang bersedia mengalami. Ia bukan orang sembarangan, juga bukan orang yang ingin terlihat istimewa. Tapi ia kini berada dalam sebuah sistem yang membuatnya tampak begitu kecil. Ia menunggu saya di beranda rumahnya dengan sorot mata yang tidak sepenuhnya selesai tidur.

Kami tak langsung bicara tentang apa pun. Angin sore lebih dahulu menyela. Ada nyanyian jangkrik dari kebun tetangganya yang tidak pernah ia kenal benar. Lalu suara motor sayup dari jalan depan. Seperti hidup yang terus berjalan, bahkan ketika kita merasa terjebak di satu titik.

“Aku dengar kabar buruk tentang petugas haji,” saya memulai, hati-hati.

“Kabar buruk selalu lebih cepat tiba dibanding kabar baik,” katanya tersenyum kecil.

Saya tak ingin membantah. Saya hanya ingin mendengar. Katanya, tahun ini berbeda. Haji 2025 adalah lembaran baru yang ditulis ulang oleh delapan syarikah yang tak sepenuhnya bisa dikendalikan. Syarikah—semacam lembaga penyedia layanan jamaah haji di Arab Saudi—telah membuat peta tugas dan layanan menjadi lebih luas, lebih rumit, dan kadang membingungkan. 


“Kau tahu,” katanya, “aku bahkan terpisah dari jamaahku sendiri. Mereka di Misfalah. Aku di Raudhah.”

Saya mengangguk, meskipun saya tak sepenuhnya paham makna jarak itu sebelum dia melanjutkan.

“Terminal bisnya saja beda 1,5 kilometer,” ujarnya. “Jangankan mengurus mereka setiap waktu, untuk bertemu satu dua orang pun seperti mendaki malam tanpa lampu.”

Ia terdiam. Saya tahu diamnya bukan karena kehilangan kata. Ia sedang menyusun perasaan. Itu yang sering dilakukan orang-orang yang tak ingin menyalahkan apa pun.

“Tapi kan tugas ya tetap tugas?”

“Ya,” katanya. “Tugas tetap dijalankan. Meski tidak maksimal.”

Saya ingin menertawakan kalimat itu, bukan karena lucu, tapi karena begitu jujurnya. Di negeri kita, kalimat seperti itu sering diputarbalikkan. Ketika seseorang berkata ‘tidak maksimal’, ia akan segera dibungkam oleh seribu alasan pembenar. Tapi teman saya tidak sedang membenarkan diri. Ia sedang mencoba jujur dalam dunia yang sering meminta orang berpura-pura.

Satu hari menjelang keberangkatan haji, katanya, ia dipindahkan ke kloter lain. Bukan karena ingin, tapi karena sistem syarikah yang memisahkannya. Begitu juga saat tiba, dalam satu kloter yang seharusnya berjalan bersama, mereka malah tersebar di delapan hotel berbeda, satu untuk tiap syarikah. Ia bilang, yang menyatukan mereka hanya waktu kepulangan. Saat pesawat pulang sudah disiapkan dan koper-koper dibaringkan seperti jenazah yang menunggu doa.

“Lalu, bagaimana kamu mengurus jamaah yang bukan kamu kenal?” saya bertanya.

“Dengan sebaik mungkin, dan selemah mungkin,” jawabnya pelan. “Tak ada orang kuat di sana. Yang ada hanya orang yang berusaha sekuat-kuatnya.”

Ia tertawa. Saya juga tertawa. Mungkin itulah satu-satunya momen kami merasa ringan.

“Orang bilang petugas itu nebeng haji,” saya menggoda. “Katanya, dapat fasilitas gratis, bisa tawaf sambil selfie, bisa ziarah sambil ngopi.”

Ia tak menjawab. Tapi matanya memandang saya dengan cara yang hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang pernah hampir kehilangan dirinya sendiri.

“Tak ada nebeng dalam pekerjaan ini,” katanya akhirnya. “Yang ada hanya keberanian untuk menanggung yang tidak mungkin. Menjaga orang-orang yang tidak selalu kita tahu namanya. Membantu mereka wukuf, melontar, thawaf, dengan tubuh yang mulai kehilangan tenaga.”

Saya terdiam.

“Orang luar lihatnya enak, selfie di depan Ka’bah, pakai rompi petugas. Padahal kadang kita menangis sendiri di lorong hotel. Merindukan rumah. Takut salah. Tak bisa tidur karena jamaah lansia hilang jalur pulang. Dan kita harus menunggu hingga dini hari tanpa tahu harus melapor ke siapa.”

Saya membayangkan itu. Jalan-jalan sempit Makkah, hotel-hotel dengan lift rusak, tempat makan yang berpindah-pindah. Dan delapan syarikah yang seperti menggandakan delapan kepala dalam satu tubuh.

“Kalau boleh memilih,” katanya pelan, “aku lebih suka mengurus anak-anak kelas madrasah seperti dulu. Karena mereka tahu cara menghormat. Karena mereka, setidaknya, mencatat namamu.”

Saya tahu ia bukan bicara tentang nama dalam absen, tapi nama dalam hati. Dan hari itu, di bawah lampu beranda yang mulai redup, saya tahu: dia bukan hanya petugas haji. Ia adalah penanggung beban, dalam sistem yang membebaninya tanpa pelatihan tentang bagaimana menghadapi delapan syarikah yang berbeda-beda arah, perintah, dan hotel.

Saya pamit tak lama setelah azan magrib. Saya tahu ia lelah, meski tak mengakuinya. Ia tidak minta dibela. Ia tidak minta dijelaskan kepada publik. Ia hanya ingin mendengar seseorang berkata: aku mengerti.

Dan saya tahu, itu tak cukup. Tapi kadang, satu kalimat seperti itu lebih penting daripada laporan resmi yang panjang.

Saya tidak tahu apakah esok ia masih ingin kembali menjadi petugas. Tapi saya tahu, ia tidak akan pernah menjadi sama. Tidak setelah berjalan 1,5 kilometer setiap hari hanya untuk berkata: “Apa kabar, Pak Haji?”

Dan tak sekali pun dipanggil kembali dengan namanya sendiri.

tentang Zainur Rofik, seorang kepala sekolah negeri di Banyuwangi yang menjadi Petugas Pembimbing Ibadah Haji Tahun 2025

Tentang Zainur Rofik, seorang kepala sekolah negeri di Banyuwangi yang menjadi Petugas Pembimbing Ibadah Haji Tahun 2025

Zainur Rofik tidak sedang pergi dari dunia pendidikan. Ia hanya menepi sebentar, mencatat hal-hal yang tak bisa diajarkan di ruang kelas. Ia bukan lagi kepala sekolah yang menilai ulangan siswa dan menandatangani rapor atau ijazah akhir tahun. Ia sekarang adalah musafir ruhani yang dititipi amanah di tengah gurun, di antara debu dan doa-doa. Ia tidak lagi mengurusi absen guru, tapi absen jemaah; tidak membagikan buku paket, tapi membagikan sabar kepada lansia yang ingin beribadah dengan benar, meski lututnya tak lagi sempurna menahan ruku.

Dan semua ini berawal dari keberangkatannya ke tanah suci tahun lalu. Tahun 2024, Rofik dan istrinya menunaikan ibadah haji sebagai jemaah, tergabung dalam kloter SUB-58. Sebagai ketua rombongan, ia merasakan bagaimana susahnya mengorganisasi para jemaah yang terdiri dari berbagai latar, usia, dan ego. Tapi justru dari situ, ia belajar: haji bukan tentang kekhusyukan pribadi, melainkan bagaimana seseorang menghadirkan diri bagi orang lain dalam situasi yang melelahkan sekalipun.

Di tengah segala hiruk pikuk Arafah dan tenda Mina yang pengap, ia tidak hanya menjadi kepala rombongan, ia menjadi tempat bertanya, tempat mengeluh, tempat menangis diam-diam. Lalu, entah dari ketulusan mana, Ketua Kloter SUB-58 menyarankan agar ia mengikuti sertifikasi petugas haji. Dan Rofik menurut. Tahun 2025, ia resmi menjadi Petugas Pembimbing Ibadah Haji Kloter (PPIHK). Ini hal yang tidak biasa. Baru pertama kali seorang PNS dari luar Kementerian Agama diterima sebagai PPIH. Selama ini, posisi itu seakan-akan hanya milik mereka yang mengenakan sarung dan peci putih sejak remaja, mereka yang lulusan pesantren, atau mereka yang telah menjadi bagian dari sistem birokrasi Kemenag. 


Rofik datang dari dunia sekolah negeri, dari ruang-ruang kelas yang dindingnya penuh peta dan papan tulis, bukan dari surau atau pesantren. Ia mendobrak anggapan lama, tanpa suara keras. Tanpa menyombongkan bahwa ia ‘yang pertama’, ia melangkah tenang ke Makkah, bukan sebagai jemaah biasa, tapi sebagai pelayan tamu Allah. Tapi tahun ini berbeda. Tahun lalu, ia hanya membimbing satu rombongan. Sekarang, ia menjadi penanggung jawab spiritual untuk ratusan jiwa yang mengandalkannya sebagai penunjuk jalan. Tahun lalu, ia hanya sesekali memberi tahu arah ke Jamarat. Tahun ini, ia harus mempersiapkan mental jemaah dari sebelum berangkat, saat di tanah suci, hingga ketika hendak pulang. Tahun lalu, setiap jemaah dibekali kartu Nusuk, yang membantu pelacakan dan manajemen. Tahun ini, sistem berubah. Lebih banyak tantangan administratif, lebih banyak pertanyaan yang datang pada saat ia sendiri sedang bingung. Namun, pengalaman sebagai ketua rombongan memberinya modal besar. Ia tahu titik-titik lelah para jemaah. Ia tahu bahasa yang bisa meluruhkan ketegangan. Ia tahu bahwa untuk membantu orang tua naik bus, bukan hanya dibutuhkan tenaga, tetapi kesabaran seperti yang dimiliki Ibrahim ketika meninggalkan Ismail di padang tandus.

Lalu datanglah hari itu. Hari di mana kloter SUB-44 seharusnya pulang ke tanah air, namun diberi kabar penundaan. Hanya dua kloter yang ditunda, sedangkan kloter-kloter setelahnya tetap pulang sesuai jadwal. Dan itu memunculkan kecurigaan, pertanyaan, dan bahkan penolakan dari beberapa ketua rombongan. Beberapa menolak menyampaikan kabar itu, khawatir diprotes jemaah. Mereka bilang: “Kenapa hanya kami? Kenapa tidak semuanya?”

Rofik berdiri di tengah keresahan itu. Ia tidak memilih diam. Ia tidak menyuruh orang lain yang menjelaskan. Ia turun sendiri ke hadapan para jemaah, wajah-wajah lelah yang sudah menanti rumah dan kampung halaman. Ia tidak membawa dokumen, tidak membawa catatan. Ia hanya membawa suara tenang dan kalimat-kalimat sederhana yang tumbuh dari empati.

“Penundaan ini bukan karena kami pilih-pilih,” katanya. “Ini semata karena alasan keselamatan penerbangan. Tidak ada satu pun di antara kita yang ingin kembali dengan terburu-buru, lalu menyesal karena ada hal-hal yang tidak diperhitungkan. Allah mencintai orang yang bersabar, dan mungkin inilah cara Allah mengajari kita sabar untuk terakhir kalinya dalam perjalanan haji ini.”

Beberapa jemaah menangis. Bukan karena sedih ditunda, tapi karena mereka merasa dihargai, dianggap dewasa, dan diperlakukan sebagai manusia seutuhnya. Seseorang merekam penjelasan itu. Videonya tersebar. Viral. Tapi Rofik tidak berubah. Ia tetap berdiri sebagai petugas yang tahu bahwa tugasnya bukan hanya mendampingi, tapi memahami. Orang-orang bilang, ibadah haji adalah perjalanan puncak spiritual. Tapi bagi Rofik, puncak itu bukan saat ia melempar jumrah, bukan saat berdoa di Multazam, bukan saat melihat Ka'bah untuk pertama kalinya. Puncaknya adalah ketika ia bisa menjelaskan sebuah kebijakan dengan penuh kasih, dan orang-orang yang mendengarnya menjadi lebih ikhlas, bukan lebih marah. Saat itu, ia merasa seolah Allah berbisik, “Begitulah caraku menugaskanmu, bukan untuk menyuruh mereka tunduk, tapi untuk membuat mereka rela.”

Kelak, mungkin akan ada lebih banyak ASN dari luar Kementerian Agama yang ikut menjadi petugas haji. Akan ada guru sejarah yang menenangkan jemaah, kepala dinas yang membersihkan sandal jamaah, atau pengawas sekolah yang mendorong kursi roda nenek-nenek yang ingin thawaf. Karena pelayanan bukan soal instansi, ia soal hati, dan Zainur Rofik sudah menuliskannya di batu-batu Mina dan langkah-langkah thawaf, bahwa pengabdian itu tidak punya batas, selama seseorang membawa cinta yang tak malu-malu kepada Tuhan dan sesama manusia. Lalu bagaimana kita bisa membayangkan peristiwa semacam ini di tengah dunia yang sedang retak? Ketika perang Iran-Israel meletup seperti bisikan kiamat yang tertunda, dan langit dunia digambar ulang oleh roket dan drone? Ketika satu sisi menafsir agama dengan rudal, dan sisi lain membalas dengan embargo dan propaganda?

Apa yang terjadi di Mina dan Makkah tak luput dari gemuruh geopolitik itu. Jamaah dari Iran dicekam ketakutan. Mereka mungkin berdoa sambil memikirkan nasib keluarganya yang tinggal dekat perbatasan. Jamaah dari Lebanon menyelipkan doa bukan untuk dirinya, tapi untuk keamanan negaranya yang bisa lenyap dalam semalam. Dan petugas seperti Rofik, yang tidak punya hubungan langsung dengan konflik itu, tiba-tiba harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang datang dalam bisik: "Apakah kita akan selamat pulang?"

Sementara sebagian dari dunia bersiap-siap membangun bunker atau menimbun bahan pokok, Rofik malah menenangkan jamaah lansia dengan membaca surah Ar-Rahman. Ia percaya, jika tak bisa mengubah geopolitik dunia, ia bisa menjaga satu hal: tenang. Satu jamaah yang tenang adalah satu dunia kecil yang damai. Dan jika damai itu bisa menjalar ke sebelahnya, dan sebelahnya lagi, mungkin kita masih punya harapan di tengah huru-hara dunia. Zainur Rofik bukan diplomat. Bukan ulama besar. Bukan juru bicara. Tapi ia telah menjadi utusan dalam makna yang paling sunyi: utusan bagi ketenangan. Di antara drone dan diplomasi, ia adalah jeda. Seorang jeda yang tahu kapan harus diam, kapan harus bicara, dan kapan cukup memijit punggung jamaah yang pegal setelah lempar jumrah.

Dan barangkali, dalam dunia yang dikuasai algoritma, perang citra, dan pertarungan kuasa, keberadaan orang seperti Rofik adalah penyeimbang yang kita butuhkan. Ia tidak tampil di forum internasional. Tidak ikut merancang perdamaian dunia. Tapi ia membuat satu lansia tersenyum, satu jemaah mengucap syukur, satu hati merasa didengar. Bukankah dunia yang damai adalah akumulasi dari jiwa-jiwa kecil yang merasa teduh?Zainur Rofik, lelaki muda dari Banyuwangi Utara, telah menjadi bagian dari kisah mereka. Tanpa harus tampil di depan, tanpa harus disebut dalam laporan resmi. Ia seperti angin padang . pasir: datang diam-diam, pergi tanpa jejak, tapi meninggalkan keteduhan.

Dan mungkin, itulah sebenar-benarnya bimbingan. Di antara puluhan ribu langkah kaki yang berjejal di jalanan Makkah musim haji 2025, ada satu langkah yang tidak tampak mencolok. Tapi langkah itu menyimpan arah, menyimpan nalar, menyimpan perasaan seorang lelaki muda yang mengabdikan dirinya pada sunyi: H. Zainur Rofik.

Ziarah tidak pernah selesai, selama masih ada hati yang ingin melayani.

Bimbingan Ibadah Haji Mandiri

Saya berziarah haji, bukan ke Tanah Suci, tapi ke rumah seorang sahabat lama selepas salat Isya. Rumahnya di perempatan jalan perumahan yang temaram, di mana lampu-lampu gantung menggantung tanpa semangat, dan kopi hitam diseduh tanpa banyak basa-basi, bersanding kurma, dan  air zamzam, bukan hanya aroma kopi yang menyerupai doa yang tak selesai.

Kami duduk bersisian di teras, seperti para lelaki yang tahu bahwa usia mengubah haluan cinta, dan persahabatan bukan lagi perihal bercerita panjang-panjang, tapi duduk diam sambil menyimak semesta lewat bunyi sendok beradu pelan di dasar gelas, yang paling penting saat ziarah haji bukanlan ceritanya, apalagi oleh-oleh yang tak seberapa. kita hanya butuh doa, butuh motivasi agar bisa kembali ke tanah misteri. 

Ia adalah teman satu fakultas saat kami belajar hukum. Sekarang berpangkat komisaris polisi. Tahun ini dia berangkat haji. Tapi pembicaraan kami tidak pernah benar-benar tentang ibadah sebagai teori. Ia lebih tertarik menceritakan tentang logistik, strategi lapangan, dan pengalaman menyiasati rute manusia yang tak tertebak, kita adalah sekumpulan laki-laki yang ketika berkumpul akan mengalir banyak cerita, tentang masa lalu atau masa sekarang.

"Saya ini polisi. Hari kerja itu kami sibuk tangani perkara," katanya soal alasannya memilih KBIHU ketimbang hanya bimbingan dari pemerintah. Bimbingan dari kementerian terlalu sering bentrok dengan jam dinas. Ia butuh sesuatu yang fleksibel, KBIHU melaksanakan bimbingan di hari libur, sehingga meskipun harus bayar tetapi kita bisa mengikutinya. dan ini merupakan resiko bagi kita yang tidak ingin meninggalkan tugas untuk mengkuti bimbingan, meskipun oleh pimpinan juga diizinkan, sehingga dia juga beberapa kali mengikuti bimbingan dari Kementerian Agama, karena bimbingan di Kementerian Agama lebih lengkap karena ada kurikulum yang wajib diterapkan.

Ia memilih KBIHU karena janjinya: pembimbing dari swasta akan ikut menyertai hingga ke Makkah dan Madinah. Saya tertawa kecil mendengarnya. Janji di tanah air memang indah. Tapi sejarah, seperti biasa, punya kehendaknya sendiri. 


Tahun 2025, sistem delapan syarikah resmi berlaku. Dan tiba-tiba haji bukan lagi rombongan kompak dari bandara ke hotel yang sama, tapi seperti serpihan mozaik yang dibuang angin: satu kloter bisa menginap di delapan titik hotel berbeda. Teman saya menginap di Misfalah. Pembimbing KBIHU-nya malah tinggal di Syisyah. Dua titik yang termialnya saja di Masjidil Haram terpisah satu setengah kilometer dan ribuan manusia.

"Itu bukan jalan pagi di taman kota," katanya. "Kadang seperti pasar, kadang seperti banjir." Maka pembimbing yang dijanjikan tidak pernah benar-benar bisa hadir. Dan janji yang dibungkus manis di tanah air meleleh di panasnya tanah suci, tertakdirkan oleh syarikah yang kurang memahami kondisi bangsa Indonesia yang bereda suku, meskipun kita sudah terbiasa dengan perbedaan suku dan budaya ketika di tanah air, tetapi butuh waktu panjang untuk menyesuaikannya.

Tapi sahabat saya bukan tipe orang yang mudah gelagapan. Ia terbiasa memimpin sektor kepolisian, menghadapi unjuk rasa dan massa yang kehilangan akal sehat. Ketika ditunjuk sebagai ketua rombongan, ia membentuk struktur kecil: ada yang memimpin salat, mengurus lansia, logistik, hingga komunikasi. Ia sendiri jadi semacam komandan lapangan. "Tawaf itu bukan cuma urusan spiritual. Itu juga urusan koordinasi," katanya.

Ia membekali rombongan dengan semangat kebersamaan. Dalam pusaran mataf yang penuh sesak, semangat itu menjadi jangkar visual. Ia memberi instruksi: "saling melindungi, dan perempuan serta orang tua berada di tengah barisan" Saya membayangkan formasi mereka seperti ikan kecil di antara paus-paus besar. Dan suara komandonya, "ke kiri! ke kiri!" lebih mirip arahan evakuasi bencana dibanding ritual ibadah.

Ada sesuatu yang tak diajarkan di buku manasik: bertahan bersama. Kita diajarkan tentang rukun, wajib, larangan. Tapi tak diajarkan bagaimana tetap utuh saat satu orang hilang arah,atau pintu Masjidil Haram tiba-tiba ditutup, bisa jadi ketika jamaah keluar masjid secara terpisah, tidak tahu arah terminal, tidak tahu arah pulang.

"Keluar dari pintu berbeda lima menit saja, bisa tersesat setengah hari," katanya. Tapi tak ada pelatihan cara membaca arus manusia, cara mengenali pintu, atau cara mendekati askar yang setengah galak.

"Haji itu bukan cuma ibadah," katanya. "Itu juga soal logistik, soal daya tahan, dan soal bagaimana tidak saling kehilangan."

Saya menyesap kopi, yang kini mulai dingin. Tapi malam itu menjadi hangat oleh kesadaran baru: mungkin selama ini kita terlalu sibuk mencatat apa yang sah dan tidak sah dalam haji, sampai lupa bahwa ibadah juga soal bagaimana tidak membuat orang di sebelah kita merasa sendiri. Bahwa tawaf paling khusyuk mungkin bukan yang paling banyak doa, tapi yang dilakukan bersama, dengan orang-orang yang saling menjaga. Ia bilang, tak satu pun dari rombongannya hilang. Tak ada yang tersesat. Tak ada yang tertinggal. Tak ada yang patah hati karena kehilangan arah di tempat yang katanya paling dekat dengan Tuhan. Dan mungkin, di titik itulah ia benar-benar berhaji.

Saya pulang malam itu membawa pemahaman baru: bahwa cinta dan ibadah tak selalu berbentuk ayat dan dzikir. Kadang ia hadir dalam bentuk pita kuning, dalam strategi jalan kaki, dalam kejelian membaca arah massa. Kadang pembimbing terbaik bukan yang fasih tentang fiqih, tapi yang tahu kapan harus berhenti, kapan harus menoleh ke belakang.

Bahwa sebagian ibadah justru lahir dari tangan yang menggenggam di tengah kerumunan, dari suara pelan yang berkata, "ke kiri, ke kiri," dari kesediaan berjalan pelan agar yang tua tidak tertinggal. Dan itu, lebih dari apa pun, adalah ziarah paling sunyi yang bisa kita lakukan. 

Kamar Barokah dan Syarikah: Catatan tentang Haji yang Semakin Privat dan Profesional"

 Kamar Barokah dan Syarikah: Catatan tentang Haji yang Semakin Privat dan Profesional"



Beberapa kali saya menerima pesan WhatsApp yang nadanya serupa: tanya ini-tanya itu tentang haji. Mungkin karena tahun lalu saya menjadi petugas haji, lalu tiba-tiba dianggap tahu segalanya. Jamaah yang dulu saya bantu kini menempatkan saya dalam posisi seorang konsultan lintas batas: perihal manasik, akomodasi, bahkan... kamar barokah. Ya, kamar barokah. Satu istilah yang terdengar jenaka tapi sangat manusiawi. Ini bukan sekadar tentang tempat tidur dan pasangan halal. Ini tentang privasi di tanah suci, di tengah jutaan manusia yang sedang menjalani ibadah yang paling sakral dalam hidup mereka.

Seseorang bertanya: "Ustaz, kamar barokah itu boleh dipakai kapan saja?"

Saya tidak langsung jawab. Saya kirim emoji tertawa dulu, baru kemudian menulis: "Boleh, asal belum berniat umroh atau haji dan kalau sudah niat haji menjelang Arofah sudah thawaf ifadah dan tidak ihram. Tapi... jaga etika."

Di tengah semrawutnya logistik, padatnya jadwal ibadah, dan sengatan suhu gurun yang melebihi 40 derajat Celsius, pertanyaan-pertanyaan semacam itu justru terasa sangat membumi. Ia menunjukkan bahwa para jamaah, seberapa pun khusyuknya mereka di tanah suci, tetaplah manusia: dengan rindu, dengan hasrat, dengan keinginan untuk merasa dimanusiakan. Tahun ini berbeda. Tahun 2025 ini, skema pelayanan haji berubah cukup drastis. Kementerian Agama RI menggandeng delapan syarikah, perusahaan penyedia layanan haji dari Arab Saudi, untuk melayani jamaah reguler. Ini langkah yang besar. Bagi saya, ini juga revolusi diam-diam yang dampaknya tidak main-main.

Tapi perubahan, sekecil apa pun, selalu mengundang guncangan. Seorang jamaah bercerita, ia berada dalam satu kloter tapi berbeda hotel dengan teman sekamarnya sejak di tanah air. Temannya itu ogah ke masjid bareng karena merasa bukan “serombongan KBIHU”. Ia jadi seperti anak rantau dalam rombongan sendiri. Saya teringat kisah viral sepasang suami istri yang hotelnya berjauhan, satu di Misfalah, satu di Misfalah. Tapi mereka tetap bahagia, bahkan terlihat "enjoi" padahal jarnya cukup jauh, terminal di Masjidil Haram juga berjauhan, satu di Syib Amir dan satunya di Ajyad yang jaraknya 1,5 Km. Mereka sesekali saling mengunjungi, membawakan bekal, dan membuat video dengan gaya “pulang kampung”. Dalam keterpisahan, mereka justru menciptakan cerita. Bukankah itu cara Tuhan mengajarkan makna dari keikhlasan?

Namun tak semua seindah TikTok. Ada yang mengeluh, protes, sampai membawa masalah ke petugas sektor. Mereka menuntut agar bisa dikembalikan ke hotel asal. Tapi sistem tidak semudah menggeser nama di spreadsheet. Ada kontrak, ada komitmen layanan, ada sekat yang tidak bisa ditembus hanya dengan air mata. Saya paham keresahan para jamaah. Tapi saya juga paham dinamika para petugas. Di balik layar, kerja mereka tidak main-main. Mereka harus memastikan bahwa delapan syarikah yang kini bergabung benar-benar menjalankan tugas sesuai perjanjian. Ini pertama kalinya Indonesia tak lagi bergantung pada satu muassasah. Sekarang ada persaingan. Ada pilihan. Ada evaluasi. Dan seperti hukum alam: persaingan itu sehat. Ia melahirkan standar baru.

Di Arafah, Muzdalifah, dan Mina , tiga titik krusial dalam ibadah haji, kualitas tenda mulai berbeda. Dulu, semua seragam. Sekarang, ada yang pendinginnya lebih baik, ada yang kateringnya lebih manusiawi, ada juga yang tetap seperti masa lalu , seadanya.

Saya pun mencatat satu hal penting: transformasi ini bukan hanya soal tenda yang lebih nyaman atau makanan yang lebih bergizi. Ini soal arah baru penyelenggaraan haji. Skema syarikah adalah semacam privatisasi dalam ruang suci. Tapi jika dijalankan dengan jujur dan profesional, ini bisa jadi jawaban bagi jutaan jamaah yang ingin lebih dari sekadar "selamat" di Tanah Haram.

Di tengah semua modernisasi ini, persoalan lama tetap muncul: visa yang telat, manifes yang berubah, data yang tak sinkron. Kloter jadi campur aduk, ada yang merasa tak lagi "sekloter" secara batin meski secara administratif masih satu kode keberangkatan. Namun petugas selalu menekankan: “Penempatan hotel di Madinah tetap sesuai kloter, demi kenyamanan. Tapi di Makkah, berdasarkan syarikah.” Artinya, jamaah harus bersiap dengan kemungkinan tidak sejalan dengan rombongan awal. Harus adaptif. Harus ikhlas.

Sungguh, dua kata terakhir itu, adaptif dan ikhlas, terasa begitu berat untuk diterjemahkan di lapangan. Tapi, itulah haji. Ia bukan sekadar ibadah jasmani dan rohani. Ia adalah ujian mental, psikologis, dan sosial. Ada seorang ibu yang saya temui di lobi hotel. Ia menangis karena tidak tahu di mana koper suaminya. Mereka terpisah hotel. Suaminya tak bisa dihubungi karena ponselnya tertinggal di koper yang raib itu. Saya duduk di sebelahnya, mendengarkan kisahnya seperti sedang mendengar dongeng malam hari. Ibu itu tidak menuntut solusi. Ia hanya ingin didengar. Itu saja. Satu hal yang membedakan haji zaman ini dengan zaman dahulu adalah kartu. Ya, kartu Nusuk. Kartu ini adalah identitas digital jamaah. Dengan kartu ini, mereka bisa masuk ke Arafah, Muzdalifah, Mina, dan fasilitas lainnya.

Ada juga cerita lucu. Seorang bapak kehilangan kartu Nusuk-nya karena ia masukkan ke dalam dompet, lalu dompet itu disimpan di koper besar, dan koper besar itu dikirim ke gudang logistik. Ia lupa di mana. Ketika ditanya kenapa disimpan di koper, jawabannya sederhana: “Saya kira cuma buat kenang-kenangan.”

Pertanyaan penting dalam kepala saya selama di tanah suci adalah ini: apakah layanan yang makin profesional akan membuat ibadah haji makin spiritual atau justru makin terasing? Karena ketika semua sudah dikelola secara sistematis, hotel ditentukan berdasarkan syarikah, makanan dijatah harian, perjalanan diatur dengan skema transportasi yang presisi maka ruang spontanitas dan kebersamaan jadi semakin sempit.

Dulu, jamaah satu rombongan saling membantu, saling mencari. Sekarang, ada yang bahkan tidak kenal siapa teman sekamarnya karena gonta-ganti hotel. Mereka datang, tidur, pergi, seperti pejalan bisnis yang transit di bandara. Tapi barangkali, di situlah letak ujiannya. Bagaimana tetap bisa saling peduli dalam sistem yang kian steril dan individual. Haji tahun ini adalah tentang keberanian berubah. Tentang bagaimana pemerintah kita melalui Kementerian Agama dan PPIH bersedia menempuh jalan baru demi kualitas pelayanan yang lebih baik. Tapi seperti semua perubahan, pasti ada yang tertinggal. Ada yang bingung. Ada yang bertanya-tanya.

Di akhir musim haji nanti, semua jamaah akan pulang. Mereka akan bercerita. Ada yang bercerita tentang cuaca panas, tentang tenda nyaman, tentang makanan yang asin, tentang hotel yang jauh, tentang kamar barokah yang tak sempat terpakai, atau tentang kartu Nusuk yang sempat tertinggal di koper. Tapi saya percaya, di balik semua itu, mereka juga akan membawa sesuatu yang tak bisa dicetak di paspor atau dibaca oleh barcode. Yaitu, cerita. Cerita bahwa mereka pernah berada di tanah paling suci, menjalani ibadah paling penting, di tengah sistem yang sedang berbenah.

Dan mungkin, cerita-cerita itulah yang akan mengalir dari mulut ke mulut, dari mushola ke mushola, dari grup WA ke grup RT, menyampaikan satu pesan sederhana: Haji bukan hanya soal rukun dan wajib. Ia juga tentang kesabaran dalam antre, keikhlasan dalam kepisahan, dan ketulusan dalam menyambut perubahan.

Haji tahun ini adalah tentang syarikah, ya. Tapi lebih dari itu, ia tentang manusia.

Kabar Kloter sub-44 dari Jeddah

 Penundaan yang Datang Bersama Doa yang Telah Lama Diam

Pagi itu, langit belum sepenuhnya cerah, dan waktu terasa belum sepenuhnya sadar. Lalu datang sebuah video. Bukan sembarang kiriman. Ada sesuatu yang tersembunyi di dalamnya, sesuatu yang terasa lebih tua dari niat dan lebih muda dari kenangan. Ia datang dari Jeddah. Dan seperti sebagian takdir, ia tidak memilih hari baik. Ia datang begitu saja.

Video itu sunyi. Beberapa jamaah duduk, bercakap perlahan. Tidak ada Ka’bah. Tidak ada Arafah. Tidak ada doa yang menggema dari mulut yang gemetar. Yang tampak hanya kursi, meja, dan wajah-wajah yang menunggu. Tapi justru dari yang tidak tampak itulah, kita bisa mencium bau sabar yang sudah lama direbus dalam ketulusan. 


Dan yang mengirim video itu, dia yang dulu pernah menyapa hatiku tanpa benar-benar tinggal, kini datang kembali. Tak menanyakan kabar. Tak juga menawarkan ingatan. Tapi cukup hanya dengan satu video, ia membuat pagi saya punya makna. Kadang, perasaan tak membutuhkan percakapan. Ia hanya butuh dikirimi isyarat bahwa yang jauh masih ada, meski tak lagi bersama.

Saya tahu, mereka mestinya sudah pulang dua hari lalu. Tapi tak semua yang mestinya pulang akan pulang tepat waktu. Tak semua jalan menuju rumah harus lurus. Sebagian justru harus melalui hotel berbintang dan kolam renang, agar kita tahu, tidak semua penundaan adalah musibah.

Kabar perubahan jadwal datang dari seseorang di kementerian. Dingin. Resmi. Datar seperti langit yang sedang menahan hujan:

> “SUB43/SV5302/24jun jam 03:50-21:10 berubah menjadi SV9302/26jun jam 03:50-21.10…”

Tak ada lampiran. Tak ada salam. Kalimatnya seperti kerikil kecil yang dilempar ke danau. Tapi dampaknya menyebar jauh ke dalam hati. Takdir kadang berbicara dengan bahasa birokrasi. Tapi rahmat tidak.

Seseorang membalas:

> “Selama penundaan ditanggung maskapai, jadi kita nikmati saja, semoga takdir terbaik dari Allah SWT.”

Ada jeda di situ. Jeda yang tidak dibuat oleh spasi, tapi oleh ikhlas. Kalimat itu terdengar seperti suara orang tua yang sudah tak lagi berdebat dengan hidup. Yang tahu bahwa segala yang datang, entah kabar baik atau kabar penundaan, semuanya dari arah yang sama: arah langit.

Lalu saya mengingat rencana yang pernah saya buat. Rencana yang tak jadi. Rencana untuk berangkat bersama. Tapi waktu mengubah itu semua. Dan kini saya melihat dari jauh—bahwa apa yang tertunda, sesungguhnya sedang disusun ulang oleh tangan yang lebih halus dari logika.

Di balik haji, yang tampak penuh cahaya dan air mata, ada juga rasa lapar, lutut nyeri, dan nasi kotak yang datang tiga kali sehari. Dan di hari ke-41, ketika prasmanan hotel hadir begitu saja, itu bukan cuma makanan. Itu adalah cara langit memberi selimut kepada tubuh yang sudah letih. Roti sobek, buah dingin, dan teh hangat itu bukan soal rasa. Itu soal diingatkan: kamu masih dijaga.

Teman saya menulis dengan polos:

> “Kita jamaah haji sudah 40 hari makan nasi kotak, tau-tau tadi pagi sarapan prasmanan standar hotel bintang 5. Susah sekali menceritakan kondisinya.”

Saya tahu maksudnya. Bukan soal mewahnya sarapan, tapi soal perasaan ketika yang tak diduga hadir seperti pelukan. Pelukan yang bukan dari manusia, tapi dari sesuatu yang lebih besar, yang tak tampak, yang tak perlu dipanggil tapi selalu tahu kapan harus datang.

Namun bahkan kelezatan omelet pagi itu tetap tak mampu menghalangi satu hal: rindu. Dan satu kalimat muncul:

> “Bagaimanapun mewahnya pelayanan, sebenarnya hati kami sudah di tanah air.”

Kalimat itu seperti daun kering yang jatuh tepat waktu. Ringan, tapi meninggalkan jejak. Ia bukan hanya puisi. Ia adalah nyanyian pulang. Nyanyian yang tahu bahwa rumah tak bisa digantikan, bahkan oleh surga.

Dan rindu, seperti juga iman, tidak butuh alasan. Ia hanya butuh tempat kembali. Rumah tidak selalu soal dinding. Rumah bisa jadi suara sandal istri di dapur. Rumah bisa jadi aroma tubuh ibu yang setia menunggu. Rumah bisa jadi jalan kampung yang belum diaspal, yang tetap setia mengantarkanmu pada waktu kecilmu yang tak pernah selesai.

Saya percaya, tidak semua orang bisa duduk tenang saat tertunda. Butuh usia. Butuh luka yang pernah dirawat doa. Butuh hati yang bersedia percaya bahkan saat segala hal tampak seperti salah. Dan yang bisa bersabar dalam penundaan, barangkali telah selesai dengan dirinya sendiri.

Ada juga cerita tentang alasan teknis. Tentang pesawat. Tentang Iran dan Israel. Tentang ketegangan politik. Tapi hati manusia tidak membaca geopolitik. Ia hanya tahu bahwa ketika rencana berubah, mungkin Tuhan sedang memeluknya lebih erat.

Saya kembali menonton video itu. Tak lama. Tapi cukup untuk membuat saya merasa dipanggil. Bukan oleh tempat, tapi oleh sesuatu di dalam diri saya sendiri yang sudah terlalu lama diam.

Dan dia, perempuan yang pernah singgah dalam hati, seperti hendak berkata lewat video itu:

“Aku baik-baik saja. Tapi lebih dari itu, semoga kau juga sudah berdamai dengan diri sendiri.”

Barangkali memang begitu cara Tuhan menyapa. Tidak lewat denting adzan atau letupan wahyu, tapi lewat video pendek. Lewat hotel yang tak jadi ditinggalkan. Lewat seseorang yang tak lagi bersamamu tapi masih tahu kapan harus mengingatkan.

Dan saya pun duduk lebih lama. Tidak menunggu siapa-siapa. Hanya menunggu diri sendiri tiba di tempat yang semestinya: tempat di mana saya bisa menyebut penundaan sebagai anugerah, dan pulang sebagai keadaan hati.


Banyuwangi, ketika rindu dan takdir mengendap di dalam teh panas. 24-06-2025


Hotel Transit Mewah Jadi Penghibur di Tengah Ketidakpastian Kepulangan Jemaah Haji



JEDDAH (Warta Blambangan) Penundaan kepulangan jemaah haji Kloter 43 dan 44 Embarkasi Surabaya (SUB) menyisakan beragam cerita. Di tengah ketidakpastian jadwal pulang, para jemaah justru mendapat pengalaman tak terduga saat ditempatkan di hotel transit mewah, Ambassador Palace Hotel, yang disiapkan oleh pihak penyelenggara.



Pasangan suami istri asal Muncar, H. Anam dan Hj. Yuni, mengaku sempat bingung saat tiba di hotel tersebut. Mereka tidak menyangka akan ditempatkan di kamar dengan fasilitas mewah dan lengkap. “Kamarnya besar sekali. Kasurnya empuk, ada kompor, ada kursi tamu. seperti di dunia dongeng ,” ujar Yuni, saat menyampaikan melalui seluler, Selasa (25/6/2025).


Bahkan, keduanya sempat duduk cukup lama di depan kamar karena tak yakin kamar semewah itu memang diperuntukkan bagi jemaah. “Hotel ini juga dilengkapi kolam renang mewah,” tambahnya.


Ambassador Palace Hotel diketahui menyediakan fasilitas lengkap bagi para jemaah, seperti televisi layar lebar, kamar mandi modern, dapur kecil, hingga layanan kamar 24 jam. Pelayanan tersebut menjadi hiburan tak terduga bagi jemaah, yang sebelumnya telah menjalani aktivitas ibadah intensif selama lebih dari 40 hari di Tanah Suci.


Meski menikmati kenyamanan tersebut, para jemaah tetap berharap dapat segera kembali ke tanah air. Mereka dijadwalkan pulang pada Senin (24/6) pukul 03.50 dan 05.10 Waktu Arab Saudi (WAS), menggunakan penerbangan Saudia Airlines dengan nomor SV5302 dan SV5440. Namun, kedua penerbangan tersebut dibatalkan secara mendadak dan dijadwalkan ulang pada Rabu (26/6) dengan nomor penerbangan SV9302 dan SV9440.


Dalam surat resmi dari Saudia Airlines bernomor 035/H)CC/SV/2025, tidak dijelaskan alasan teknis maupun operasional secara rinci, selain kalimat standar: “karena alasan keselamatan operasional yang tidak dapat ditunda.”


Sebelumnya, dua pesawat Saudia yang membawa jemaah dari Jakarta dan Jember dilaporkan melakukan pendaratan darurat di Bandara Kualanamu, Sumatera Utara, akibat adanya ancaman bom. Banyak yang berspekulasi bahwa situasi serupa juga menjadi pertimbangan dalam pembatalan penerbangan jemaah asal Banyuwangi ini.


Situasi juga diperparah dengan meningkatnya eskalasi ketegangan di kawasan Timur Tengah. Iran baru-baru ini menggempur pangkalan militer Amerika Serikat di Qatar, yang dikhawatirkan turut berdampak pada jalur-jalur penerbangan internasional, termasuk yang melintasi wilayah tersebut.


Salah satu jemaah, Sufiyanto, turut mengisahkan momen dramatis yang dialami saat sarapan pagi. “Kami sudah 40 hari makan nasi kotak, tiba-tiba pagi tadi sarapan prasmanan dengan standar hotel bintang lima. Susah sekali menceritakan kondisinya,” ujarnya.


Namun demikian, ia menegaskan bahwa sebaik dan semewah apapun fasilitas hotel yang diberikan, kerinduan akan kampung halaman tetap tak terbendung. “Sebenarnya hati kami sudah di tanah air. Karenanya mohon doa teman-teman semua, semoga segera terlaksana kepulangan kami,” imbuhnya.


Kementerian Agama bersama Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi saat ini terus berkoordinasi dengan pihak maskapai dan otoritas terkait untuk memastikan keselamatan dan kelancaran pemulangan jemaah ke Tanah Air.



---


Jika Anda ingin versi dengan gaya piramida terbalik atau tambahan kutipan dari pihak Kemenag, saya siap bantu.


jadwal pulang, para jemaah justru mendapat pengalaman tak terduga saat ditempatkan di hotel transit mewah, Ambassador Palace Hotel, yang disiapkan oleh pihak penyelenggara.

Pasangan suami istri asal Banyuwangi, H. Anam dan Hj. Yuni, mengaku sempat bingung saat tiba di hotel tersebut. Mereka tidak menyangka akan ditempatkan di kamar dengan fasilitas mewah dan lengkap. “Kamarnya besar sekali. Kasurnya empuk, ada kompor, ada kursi tamu. Saya malah bingung cara pakainya,” ujar Yuni sambil tersenyum, saat ditemui di lobi hotel, Selasa (25/6/2025).

Bahkan, keduanya sempat duduk cukup lama di depan kamar karena tak yakin kamar semewah itu memang diperuntukkan bagi jemaah. “Hotel ini juga dilengkapi kolam renang mewah,” tambahnya.

Ambassador Palace Hotel diketahui menyediakan fasilitas lengkap bagi para jemaah, seperti televisi layar lebar, kamar mandi modern, dapur kecil, hingga layanan kamar 24 jam. Pelayanan tersebut menjadi hiburan tak terduga bagi jemaah, yang sebelumnya telah menjalani aktivitas ibadah intensif selama lebih dari 40 hari di Tanah Suci.

Yuni menyampaikan bahwa dirinya yang berasal dari desa pernah ada keinginan nginap di hotel mewah, dan seakan doa tersebut terjawab hari ini, meskipun hanya semalam.

Meski menikmati kenyamanan tersebut, para jemaah tetap berharap dapat segera kembali ke tanah air. Mereka dijadwalkan pulang pada Senin (24/6) pukul 03.50 dan 05.10 Waktu Arab Saudi (WAS), menggunakan penerbangan Saudia Airlines dengan nomor SV5302 dan SV5440. Namun, kedua penerbangan tersebut dibatalkan secara mendadak dan dijadwalkan ulang pada Rabu (26/6) dengan nomor penerbangan SV9302 dan SV9440.

Dalam surat resmi dari Saudia Airlines bernomor 035/H)CC/SV/2025, tidak dijelaskan alasan teknis maupun operasional secara rinci, selain kalimat standar: “karena alasan keselamatan operasional yang tidak dapat ditunda.”

Sebelumnya, dua pesawat Saudia yang membawa jemaah dari Jakarta dan Jember dilaporkan melakukan pendaratan darurat di Bandara Kualanamu, Sumatera Utara, akibat adanya ancaman bom. Banyak yang berspekulasi bahwa situasi serupa juga menjadi pertimbangan dalam pembatalan penerbangan jemaah asal Banyuwangi ini.

Situasi juga diperparah dengan meningkatnya eskalasi ketegangan di kawasan Timur Tengah. Iran baru-baru ini menggempur pangkalan militer Amerika Serikat di Qatar, yang dikhawatirkan turut berdampak pada jalur-jalur penerbangan internasional, termasuk yang melintasi wilayah tersebut.

Kalau dilihat hanya dua kloter yang tertunda kepulangan nya, kemungkinan besar bukan masalah konflik timur tengah, tetapi masalah lainnya, namun demikian para jamaah berharap bisa segera pulang agar keluarga yang di rumah tidak terlalu khawatir.

Salah satu jemaah, Sufiyanto, turut mengisahkan momen dramatis yang dialami saat sarapan pagi. “Kami sudah 40 hari makan nasi kotak, tiba-tiba pagi tadi sarapan prasmanan dengan standar hotel bintang lima. Susah sekali menceritakan kondisinya,” ujarnya.

Namun demikian, ia menegaskan bahwa sebaik dan semewah apapun fasilitas hotel yang diberikan, kerinduan akan kampung halaman tetap tak terbendung. “Sebenarnya hati kami sudah di tanah air. Karenanya mohon doa teman-teman semua, semoga segera terlaksana kepulangan kami,” imbuhnya.

Kementerian Agama bersama Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi saat ini terus berkoordinasi dengan pihak maskapai dan otoritas terkait untuk memastikan keselamatan dan kelancaran pemulangan jemaah ke Tanah Air.


Bukan Umroh di Borobudur

 *Bukan Umroh di Borobudur*

Oleh : Ketua Lentera Sastra Banyuwangi

Kita hidup di zaman ketika kata-kata tak lagi diperlakukan sebagai jembatan menuju makna, melainkan sekadar alat promosi dan sensasi. Maka ketika kata “umrah” muncul dalam iklan wisata Borobudur, kita pun terdiam—bukan karena tak paham, tapi karena terlalu paham bahwa sesuatu yang suci sedang diusik tanpa permisi. 


Ada kata-kata yang tak lahir dari rahim bahasa. Ia turun, seperti hujan pertama di awal musim, dan kita hanya bisa berdiri terpaku memandanginya. Tak tahu apakah kita sedang basah oleh makna, atau oleh ketidaktahuan kita sendiri. Salah satu kata itu adalah “umrah.”

Saya tidak tahu siapa pertama kali menulis kata itu diucapkan dalam video yang sepertinya dibuat oleh AI, promosi wisata ke beberapa tempat dan salah satunya Borobudur. Tapi saya yakin, dia tidak sedang berdoa ketika menuliskan promt, Ia menulis seperti seorang juru kampanye menulis nama calon di bendera plastik, tanpa pernah menanyakan siapa yang akan mewakili makna di belakang nama itu.

“Umrah,” seperti halnya kata “shalat,” “karma,” atau “nirwana,” bukan kata yang bisa dikelola oleh agensi iklan. Kata-kata seperti itu tidak bisa dipanggil sembarangan. Ia akan datang bila hati kita bening dan langkah kita genting. Bila tidak, ia hanya akan duduk di halaman video online, gemetar dan malu, seperti anak kecil yang tersesat di kota besar.

Beberapa waktu lalu, seorang teman mengirim tangkapan layar: ada program promosi wisata bertajuk “Umrah di Borobudur.” Ia bertanya pelan, “Menurutmu, ini niat baik atau salah paham?”

Saya membaca pelan-pelan. Saya tidak langsung menjawab. Karena kalau saya menjawab terlalu cepat, saya takut hanya akan mengulang apa yang sudah terlalu sering kita katakan—bahwa negeri ini semakin sering mencampur-aduk ibadah dan pemasaran.

Tapi bukan itu persoalan yang paling dalam. Persoalannya adalah: kita semakin kehilangan rasa hormat pada kata. Dan bila kita kehilangan rasa hormat pada kata, maka kita kehilangan jembatan menuju makna, beberapa hari sebelumnya juga beredar beberapa narasi tentang pembanding Ka'bah dan Borobudur, putaran tawaf dari kiri ke kanan serta sebuah aktivitas di Borobudur yang memutar seperti jarum jam.

Umrah bukan perjalanan wisata. Ia bukan sekadar kunjungan ke tanah suci sambil mengambil foto berlatar Ka’bah. Ia adalah ibadah. Ia adalah perintah. Ia adalah niat yang dijahit dengan kain ihram, lalu dilipat di antara thawaf, sai, dan tahallul. Umrah tidak lahir dari brosur. Ia lahir dari ketundukan.

Dan ketundukan tidak bisa dipasang di baliho, saya jadi ingat seorang teman lama, seorang arsitek yang kini lebih suka mengerjakan proyek-proyek kecil di desa. Ia pernah berkata, “Kita ini terlalu suka menamakan sesuatu tanpa mengenalnya lebih dulu.” Ia menunjuk taman kecil yang baru diresmikan di sebuah kabupaten. Namanya: Taman Surga Mahameru. “Surga tidak bisa dipasang paving,” katanya.

Begitu juga umrah. Ia tidak bisa dilangsungkan di halaman candi. Tidak di Candi Prambanan, tidak di Borobudur, tidak di kaki gunung mana pun, seindah apa pun tempatnya. Bahkan di Madinah pun, umrah tidak bisa dilaksanakan. Karena umrah hanya sah bila dilakukan di Mekah. Bukan karena bangunan Ka’bah-nya semata, tapi karena perintahnya demikian. Karena sejarahnya demikian. Karena Nabi demikian.

Mereka yang umrah tahu bahwa ibadah itu hanya butuh waktu satu hari, atau bahkan lebih singkat. Tapi mereka tinggal lebih lama di tanah Hijaz bukan untuk memperpanjang ibadahnya, melainkan untuk menyambung ziarah. Ziarah yang bukan sekadar “wisata religi,” tapi jejak kasih pada Rasul. Maka tidak ada orang Islam yang berkata: “Saya umrah di Madinah.” Itu kalimat yang cacat sejak dalam niat.

Tapi kini, kita dengar kalimat seperti itu berseliweran. Bukan dari jamaah awam, tapi dari para penyusun naskah promosi wisata. Dari biro iklan. Dari presentasi investor, yang mungkin juga ada niatan lain yang tidak baik bagi negeri ini

“Umrah di Borobudur.” saya kira ini bukan soal keliru istilah. Ini lebih dalam dari itu. Ini soal cara kita meminjam kata tanpa izin, lalu memakainya untuk kepentingan yang bahkan tidak kita mengerti. Ini seperti memakai jubah duka untuk menyambut pesta. Kata “umrah” dipinjam dari langit, lalu dijual di trotoar. Dan tidak ada yang menggugat, karena kita terbiasa hidup dalam kegaduhan yang membuat sunyi jadi asing.

Setiap agama punya kamus rahasianya sendiri. Kata-kata di dalamnya tidak disusun oleh akademisi atau ahli periklanan. Mereka lahir dari laku hidup, dari tirakat, dari malam-malam panjang yang diselimuti zikir dan air mata. Tiracchāna dalam Buddhisme bukan kata umpatan. Ia adalah cermin batin. “Kafir” dalam Islam bukan pelabelan sosial. Ia adalah posisi spiritual yang tak bisa ditempel di punggung sembarang orang.

Kata-kata seperti itu berjalan pelan. Mereka tidak suka tergesa-gesa. Tidak suka panggung. Mereka lebih suka duduk di tengah keheningan, seperti biksu tua di ujung vihara. Tapi kini, kita paksa mereka naik pentas, berdandan dengan lampu neon, dan berdialog dalam skrip yang bahkan bukan milik mereka.

Saya membayangkan satu malam hening di Borobudur. Saat para biksu sudah kembali ke ruang meditasi mereka, dan para turis tertidur di hotel-hotel ber-AC. Hanya ada batu-batu tua yang menyimpan cerita ribuan tahun. Saya percaya: pada malam seperti itu, kata-kata kembali ke asalnya. Mereka berjalan sendiri, mencari rumah mereka. Kadang menangis. Kadang diam saja.

Kita mungkin belum sampai ke sana. Kita masih berada di zaman yang memaksa setiap kata punya harga. Zaman yang mengira bahwa iman bisa ditarik dengan promo early bird. Tapi saya percaya, akan datang satu malam, ketika seseorang duduk sendirian di depan stupa. Ia tidak membawa kamera. Tidak membawa slogan. Ia hanya duduk. Dan diam.

Dan mungkin, dalam diam seperti itu, kita bisa mulai menyebut nama-nama suci dengan lebih hati-hati. Lebih pelan. Seperti menyebut nama ibu. Karena pada akhirnya, menghormati kata adalah menghormati hidup. Kata “umrah” bukan hanya kata. Ia adalah langkah. Ia adalah jawaban. Ia adalah pulang. Dan tidak ada yang ingin pulang ke rumah yang sudah dijadikan tempat karaoke.

 
Support : Copyright © 2020. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Modifiksi Template Warta Blambangan
Proudly powered by Syafaat Masuk Blog