Kamar Barokah dan Syarikah: Catatan tentang Haji yang Semakin Privat dan Profesional"
Beberapa kali saya menerima pesan WhatsApp yang nadanya serupa: tanya ini-tanya itu tentang haji. Mungkin karena tahun lalu saya menjadi petugas haji, lalu tiba-tiba dianggap tahu segalanya. Jamaah yang dulu saya bantu kini menempatkan saya dalam posisi seorang konsultan lintas batas: perihal manasik, akomodasi, bahkan... kamar barokah. Ya, kamar barokah. Satu istilah yang terdengar jenaka tapi sangat manusiawi. Ini bukan sekadar tentang tempat tidur dan pasangan halal. Ini tentang privasi di tanah suci, di tengah jutaan manusia yang sedang menjalani ibadah yang paling sakral dalam hidup mereka.
Seseorang bertanya: "Ustaz, kamar barokah itu boleh dipakai kapan saja?"
Saya tidak langsung jawab. Saya kirim emoji tertawa dulu, baru kemudian menulis: "Boleh, asal belum berniat umroh atau haji dan kalau sudah niat haji menjelang Arofah sudah thawaf ifadah dan tidak ihram. Tapi... jaga etika."
Di tengah semrawutnya logistik, padatnya jadwal ibadah, dan sengatan suhu gurun yang melebihi 40 derajat Celsius, pertanyaan-pertanyaan semacam itu justru terasa sangat membumi. Ia menunjukkan bahwa para jamaah, seberapa pun khusyuknya mereka di tanah suci, tetaplah manusia: dengan rindu, dengan hasrat, dengan keinginan untuk merasa dimanusiakan. Tahun ini berbeda. Tahun 2025 ini, skema pelayanan haji berubah cukup drastis. Kementerian Agama RI menggandeng delapan syarikah, perusahaan penyedia layanan haji dari Arab Saudi, untuk melayani jamaah reguler. Ini langkah yang besar. Bagi saya, ini juga revolusi diam-diam yang dampaknya tidak main-main.
Tapi perubahan, sekecil apa pun, selalu mengundang guncangan. Seorang jamaah bercerita, ia berada dalam satu kloter tapi berbeda hotel dengan teman sekamarnya sejak di tanah air. Temannya itu ogah ke masjid bareng karena merasa bukan “serombongan KBIHU”. Ia jadi seperti anak rantau dalam rombongan sendiri. Saya teringat kisah viral sepasang suami istri yang hotelnya berjauhan, satu di Misfalah, satu di Misfalah. Tapi mereka tetap bahagia, bahkan terlihat "enjoi" padahal jarnya cukup jauh, terminal di Masjidil Haram juga berjauhan, satu di Syib Amir dan satunya di Ajyad yang jaraknya 1,5 Km. Mereka sesekali saling mengunjungi, membawakan bekal, dan membuat video dengan gaya “pulang kampung”. Dalam keterpisahan, mereka justru menciptakan cerita. Bukankah itu cara Tuhan mengajarkan makna dari keikhlasan?
Namun tak semua seindah TikTok. Ada yang mengeluh, protes, sampai membawa masalah ke petugas sektor. Mereka menuntut agar bisa dikembalikan ke hotel asal. Tapi sistem tidak semudah menggeser nama di spreadsheet. Ada kontrak, ada komitmen layanan, ada sekat yang tidak bisa ditembus hanya dengan air mata. Saya paham keresahan para jamaah. Tapi saya juga paham dinamika para petugas. Di balik layar, kerja mereka tidak main-main. Mereka harus memastikan bahwa delapan syarikah yang kini bergabung benar-benar menjalankan tugas sesuai perjanjian. Ini pertama kalinya Indonesia tak lagi bergantung pada satu muassasah. Sekarang ada persaingan. Ada pilihan. Ada evaluasi. Dan seperti hukum alam: persaingan itu sehat. Ia melahirkan standar baru.
Di Arafah, Muzdalifah, dan Mina , tiga titik krusial dalam ibadah haji, kualitas tenda mulai berbeda. Dulu, semua seragam. Sekarang, ada yang pendinginnya lebih baik, ada yang kateringnya lebih manusiawi, ada juga yang tetap seperti masa lalu , seadanya.
Saya pun mencatat satu hal penting: transformasi ini bukan hanya soal tenda yang lebih nyaman atau makanan yang lebih bergizi. Ini soal arah baru penyelenggaraan haji. Skema syarikah adalah semacam privatisasi dalam ruang suci. Tapi jika dijalankan dengan jujur dan profesional, ini bisa jadi jawaban bagi jutaan jamaah yang ingin lebih dari sekadar "selamat" di Tanah Haram.
Di tengah semua modernisasi ini, persoalan lama tetap muncul: visa yang telat, manifes yang berubah, data yang tak sinkron. Kloter jadi campur aduk, ada yang merasa tak lagi "sekloter" secara batin meski secara administratif masih satu kode keberangkatan. Namun petugas selalu menekankan: “Penempatan hotel di Madinah tetap sesuai kloter, demi kenyamanan. Tapi di Makkah, berdasarkan syarikah.” Artinya, jamaah harus bersiap dengan kemungkinan tidak sejalan dengan rombongan awal. Harus adaptif. Harus ikhlas.
Sungguh, dua kata terakhir itu, adaptif dan ikhlas, terasa begitu berat untuk diterjemahkan di lapangan. Tapi, itulah haji. Ia bukan sekadar ibadah jasmani dan rohani. Ia adalah ujian mental, psikologis, dan sosial. Ada seorang ibu yang saya temui di lobi hotel. Ia menangis karena tidak tahu di mana koper suaminya. Mereka terpisah hotel. Suaminya tak bisa dihubungi karena ponselnya tertinggal di koper yang raib itu. Saya duduk di sebelahnya, mendengarkan kisahnya seperti sedang mendengar dongeng malam hari. Ibu itu tidak menuntut solusi. Ia hanya ingin didengar. Itu saja. Satu hal yang membedakan haji zaman ini dengan zaman dahulu adalah kartu. Ya, kartu Nusuk. Kartu ini adalah identitas digital jamaah. Dengan kartu ini, mereka bisa masuk ke Arafah, Muzdalifah, Mina, dan fasilitas lainnya.
Ada juga cerita lucu. Seorang bapak kehilangan kartu Nusuk-nya karena ia masukkan ke dalam dompet, lalu dompet itu disimpan di koper besar, dan koper besar itu dikirim ke gudang logistik. Ia lupa di mana. Ketika ditanya kenapa disimpan di koper, jawabannya sederhana: “Saya kira cuma buat kenang-kenangan.”
Pertanyaan penting dalam kepala saya selama di tanah suci adalah ini: apakah layanan yang makin profesional akan membuat ibadah haji makin spiritual atau justru makin terasing? Karena ketika semua sudah dikelola secara sistematis, hotel ditentukan berdasarkan syarikah, makanan dijatah harian, perjalanan diatur dengan skema transportasi yang presisi maka ruang spontanitas dan kebersamaan jadi semakin sempit.
Dulu, jamaah satu rombongan saling membantu, saling mencari. Sekarang, ada yang bahkan tidak kenal siapa teman sekamarnya karena gonta-ganti hotel. Mereka datang, tidur, pergi, seperti pejalan bisnis yang transit di bandara. Tapi barangkali, di situlah letak ujiannya. Bagaimana tetap bisa saling peduli dalam sistem yang kian steril dan individual. Haji tahun ini adalah tentang keberanian berubah. Tentang bagaimana pemerintah kita melalui Kementerian Agama dan PPIH bersedia menempuh jalan baru demi kualitas pelayanan yang lebih baik. Tapi seperti semua perubahan, pasti ada yang tertinggal. Ada yang bingung. Ada yang bertanya-tanya.
Di akhir musim haji nanti, semua jamaah akan pulang. Mereka akan bercerita. Ada yang bercerita tentang cuaca panas, tentang tenda nyaman, tentang makanan yang asin, tentang hotel yang jauh, tentang kamar barokah yang tak sempat terpakai, atau tentang kartu Nusuk yang sempat tertinggal di koper. Tapi saya percaya, di balik semua itu, mereka juga akan membawa sesuatu yang tak bisa dicetak di paspor atau dibaca oleh barcode. Yaitu, cerita. Cerita bahwa mereka pernah berada di tanah paling suci, menjalani ibadah paling penting, di tengah sistem yang sedang berbenah.
Dan mungkin, cerita-cerita itulah yang akan mengalir dari mulut ke mulut, dari mushola ke mushola, dari grup WA ke grup RT, menyampaikan satu pesan sederhana: Haji bukan hanya soal rukun dan wajib. Ia juga tentang kesabaran dalam antre, keikhlasan dalam kepisahan, dan ketulusan dalam menyambut perubahan.
Haji tahun ini adalah tentang syarikah, ya. Tapi lebih dari itu, ia tentang manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar