Pages

Tampilkan postingan dengan label Lembar Sastra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Lembar Sastra. Tampilkan semua postingan

Jalur Cinta yang Tak Bisa Terulang

 *Jalur Cinta yang Tak Bisa Terulang*



Sore itu selepas kerja aku membawva cinta dalam kardus kecil. Ia mengeong pelan, seperti tahu bahwa ia akan diserahkan kepada tangan lain yang lebih lembut daripada tanganku: tangan anak perempuanku, belahan jiwaku, amanah terbesar dalam hidupku.

Dia, anakku, kini berada di semester terakhir kuliahnya. Usianya telah menginjak dewasa, tapi dalam benakku, ia masih bocah kecil yang dulu sering memelukku saat takut petir, tidak dapat tidur sebelum kupeluk erat-erat, Kulitnya bersih seperti lembaran pagi pertama di musim semi. Wajahnya membawa cahaya, dan setiap kali ia tersenyum, dunia seperti menunduk hormat. Sebagai ayah, aku tahu: kelak ia akan pergi. Bukan karena ia tidak cinta, tapi karena cinta yang lain akan menjemputnya, dan aku harus rela berdiri di tepi peron kehidupannya, melambaikan tangan kepada kereta yang tak lagi kutumpangi.

Tapi malam ini aku masih punya alasan untuk mendekap sebentar waktu bersamanya. Kucing kecil ini, kesayangannya, harus aku antarkan. Dan cinta seorang ayah, tak pernah bertanya "kenapa" atau "kenapa harus aku". Ia hanya berjalan, bahkan ketika jalannya gerimis, bahkan ketika tubuh lelah dan jarak jauh. Aku tak bisa membawa kucing ini naik kereta, kereta tidak menerima binatang piaraan. Maka aku memilih motor. Setia seperti rindu, motor tua itu kupacu menembus jalanan yang mula-mula hanya dipeluk gerimis, namun perlahan dibalut hujan. Gerimis itu seperti kesedihan kecil yang datang tanpa alasan. Tapi hujan, ia seperti air mata yang telah menumpuk dan tak sanggup ditahan. Dan malam itu, aku diguyur oleh keduanya oleh hujan dan oleh kenangan.

Aku membayangkan makan malam di alun-alun. Duduk berdua, membicarakan hal-hal remeh yang tidak akan pernah aku anggap remeh. Tapi hujan membuat semuanya harus ditunda. Begitulah hidup: ia tak pernah selesai sesuai rencana, tapi tetap harus dijalani. Aku tiba di tempat anakku pukul setengah delapan malam. Hanya ada waktu satu setengah jam sebelum kereta membawaku kembali ke Banyuwangi. Dan dalam waktu yang sempit itu, tidak ada yang bisa kulakukan kecuali menatap wajah cantik anakku, dan mendengar suaranya seperti doa yang dibacakan pelan-pelan. Kami menuju stasiun. Ia mengantarku, berjalan di sampingku, seperti dulu ia berjalan menggandeng tanganku saat belum tahu arah mata angin. Tapi kini ia tahu ke mana ia melangkah. Dan aku hanya bisa berharap, langkahnya selalu baik, selalu disertai langit yang cerah.

Stasiun ramai tapi sunyi. Orang-orang saling menunggu, saling meninggalkan. Di sana, kereta ekonomi jurusan Malang–Banyuwangi telah bersiap. Dari manapun penumpang naik, harga tiketnya sama. Seperti hidup, yang kadang tidak adil dalam logikanya, tapi adil dalam ketetapannya. Aku teringat: bahkan jika aku naik dari Jember, biayanya sama dengan yang naik dari Malang. Begitulah hidup memperlakukan kita, kadang kita merasa terlambat datang, tapi tetap harus membayar utuh. Dan kita tidak punya pilihan selain menerima, atau turun dari perjalanan.

Kereta itu indah. Ia punya jalur sendiri. Tak ada yang bisa melintasi selain dirinya sendiri .Jika ada yang menghalangi, ia akan melindas. Tak peduli siapa. Karena kereta diciptakan bukan untuk berhenti demi hal-hal kecil. Ia berjalan teguh, dengan tujuan yang pasti. Dan siapa pun yang mencoba menghentikannya, akan ditinggal, atau terluka. Dan aku berpikir, begitulah cinta seorang ayah. Ia berjalan di jalurnya sendiri. Ia tak bisa dihentikan oleh lelah, oleh jarak, bahkan oleh perpisahan. Cinta itu tidak menuntut dibalas. Ia hanya ingin anaknya bahagia, meski harus melambaikan tangan di balik kaca gerbong.

Aku naik ke kereta, sementara anakku berdiri di luar. Hujan masih menetes dari sayap stasiun, seakan langit pun ikut bersedih karena waktu kami terlalu singkat. Tapi aku tersenyum, dan ia tersenyum.

"Jaga kucingnya baik-baik," kataku.

"Selalu," jawabnya.

Kereta pun melaju. Aku tak menoleh lagi. Karena aku tahu, kenangan tak butuh ditatap dua kali untuk hidup selamanya. Ia akan tinggal di rel hati, berjalan pelan, dan suatu hari, akan berhenti di stasiun rindu yang sama, ketika semua telah tua, dan cinta telah mengendap jadi doa yang tak pernah habis.

Dan malam itu, aku tahu satu hal: seorang ayah tidak pernah benar-benar pulang. Ia hanya berpindah, dari rumah ke dalam hati anaknya.

Stasiun Jember, 14-07-2025

Dewan Kesenian Belambangan Gelar “Ajar Bareng Lontar Yusuf” di Rumah Budaya Osing Kemiren

Banyuwangi, (Warta Blambangan) Di sebuah malam yang lirih di Rumah Budaya Osing (RBO), Desa Kemiren, Banyuwangi, suara tembang Pupuh Kasmaran mengalun pelan. Nada-nada itu tak sekadar melagukan aksara, tetapi membangkitkan ingatan, rasa, dan nilai-nilai yang mungkin nyaris terbenam dalam debu waktu. Selasa malam, 3 Juni 2025, Dewan Kesenian Belambangan (DKB) membuka kalender literasi tahun ini dengan sebuah gerakan yang bukan saja estetis, tetapi juga bernapas spiritual: Ajar Bareng Lontar Yusuf. 


Ini bukan sekadar kelas sastra atau workshop naskah kuna. Ini adalah sebentuk laku. Sebentuk pemuliaan terhadap khazanah lisan masyarakat Osing yang hidup bukan di rak-rak buku, tapi di ruang batin, di pelipir-pelipir kehidupan. Kang Pur, budayawan yang telah bertahun-tahun memelihara nyala kecil warisan tembang dan lontar, memandu sesi ini dengan sikap rendah hati dan hangat. Ia bukan guru, melainkan sahabat seperjalanan. Di hadapannya, para peserta tak diajak duduk mendengar, melainkan turut menyelami.

“Lontar Yusuf ini bukan sekadar teks sastra. Ia adalah jendela batin, pancaran nilai, dan sarana menyelami rasa,” ucap Kang Pur, sambil membuka lembar pertama naskah, seolah membuka kembali sebuah pintu yang telah lama diketuk sunyi.

Pupuh Kasmaran yang dipilih menjadi gerbang awal kegiatan bukan tanpa alasan. Pupuh ini dikenal sebagai tembang yang menggugah rasa halus manusia: cinta, pengorbanan, keindahan yang lirih. Kang Pur melagukannya terlebih dahulu, mengikuti pakem yang sudah turun-temurun. Lalu satu per satu peserta mencoba mengikutinya. Tak semua tepat cengkok. Tak semua selaras laras. Tapi di sinilah justru maknanya. Ini bukan panggung penampilan. Ini adalah ruang belajar yang egaliter, di mana suara tak harus indah, tapi harus tulus.

Di sekeliling mereka, arsitektur kayu Rumah Budaya Osing berdiri sunyi namun bersaksi. Aroma kopi kemiren yang mengepul dari sudut dapur menemani pelafalan bait-bait awal kisah Nabi Yusuf. Angin malam menyisip dari sela jendela terbuka, seolah ingin turut menjadi bagian dari mocoan itu. Rasa kontemplatif menjelma begitu saja, tak dirancang, tak dipaksakan.

Ketua DKB, Hasan Basri, dalam sambutannya menyebut kegiatan ini sebagai titik tolak penting dari ikhtiar kebudayaan yang selama ini nyaris hanya berputar pada gelaran pertunjukan. “Rumah Budaya Osing bukan sekadar panggung. Ia adalah ruang hidup. Kami ingin menjadikannya ruang belajar bagi karya sastra lisan seperti Lontar Yusuf yang pernah tumbuh dalam kesadaran masyarakat Osing.”

Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa kegiatan semacam ini akan menjadi agenda rutin, tidak hanya sebagai bentuk pelestarian, tapi juga regenerasi nilai. Dalam konteks itulah Lentera Sastra Banyuwangi turut serta, membawa semangat yang tak hanya literer, tetapi juga spiritual. Syafaat, Ketua Lentera Sastra Banyuwangi, menegaskan bahwa teks seperti Lontar Yusuf memiliki kedekatan kuat dengan sejarah penyebaran Islam di bumi Blambangan. 


“Mocoan Lontar Yusuf bukan sekadar pengulangan kisah. Ia adalah dialektika kultural antara Islam dan kearifan lokal. Di sinilah Islam tumbuh: tidak menyerbu, tapi meresap.”

Beberapa peserta yang hadir membawa salinan lontar mereka sendiri—naskah fotokopi yang telah menguning, atau dalam bentuk cetakan ulang terbatas. Ada rasa haru yang tak diucapkan, hanya terlihat dari cara mereka membolak-balik halaman, seperti menyentuh sesuatu yang telah lama mereka rindukan.


Pada sesi akhir, Kang Pur membedah bagian awal lontar yang telah dibaca bersama: kelahiran Yusuf dan metafora cahaya wajahnya yang disebut cahyaning jagad. Dalam tafsir tembang, cahaya itu bukan semata rupa, melainkan pancaran batin yang menyinari tanpa menyilaukan.


> “Melalui Lontar Yusuf, kita belajar tentang keteladanan, keindahan yang tak sombong, dan cinta yang tak membelenggu,” ujar Kang Pur, menutup sesi malam itu.




Suasana yang tersisa adalah kesunyian yang menggetarkan. Tidak sepi, melainkan penuh gema batin. Inilah ziarah rasa itu. Inilah ajar bareng yang tidak hanya berbagi pengetahuan, tetapi juga menggugah kesadaran.


DKB telah merancang seri lanjutan dari kegiatan ini. Dalam waktu mendatang, mereka akan memadukan tembang dengan ilustrasi visual dan pertunjukan dramatik. Harapannya, lontar-lontar yang selama ini terkurung di museum dan perpustakaan bisa kembali bernyawa dalam ingatan kolektif masyarakat. Terutama generasi muda, yang sering kali hanya mengenal masa lalu sebagai catatan kaki dalam buku sejarah.


Rumah Budaya Osing, malam itu, telah menjadi lebih dari sekadar ruang. Ia menjelma menjadi tubuh waktu, tempat di mana masa lampau, kini, dan nanti bisa saling menyapa tanpa canggung. Dalam lantunan Pupuh Kasmaran, dalam bait demi bait kisah Yusuf, kita semua belajar untuk tidak hanya mengingat, tapi juga merawat—dengan rasa, dengan jiwa, dengan cinta.


Hasan Basri Soroti Ekonomi Kreatif Berbasis Tradisi Lisan dan Manuskrip di Hari Kedua Lokakarya HISKI Banyuwangi

Banyuwangi (Warta Blambangan)  Lokakarya Penulisan Sastra dan Pembuatan Karya Inovatif Berbasis Tradisi Lisan dan Manuskrip yang digelar selama dua hari di Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Banyuwangi memasuki sesi ketiga pada hari kedua. Bertempat di ruang Mini Bioskop lantai tiga, sesi ini menghadirkan Hasan Basri, Ketua Dewan Kesenian Blambangan (DKB), sebagai narasumber utama.

Kegiatan ini merupakan hasil kolaborasi antara HISKI Pusat, HISKI Komisariat Banyuwangi, Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), Dana Indonesiana, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi, Dewan Kesenian Blambangan, dan UNTAG Banyuwangi. Sinergi berbagai lembaga ini menunjukkan komitmen bersama untuk mengangkat kembali kekayaan budaya Banyuwangi agar mampu menjawab tantangan zaman dan memberi kontribusi nyata terhadap pembangunan daerah. 


Dalam paparannya yang berjudul “Alihwahana dan Produk Ekonomi Kreatif Berbasis Tradisi Lisan dan Manuskrip Banyuwangi,” Hasan Basri menekankan pentingnya mengembangkan ekonomi kreatif dengan bersumber pada kearifan lokal. Ia menyebutkan bahwa Banyuwangi memiliki modal budaya yang sangat kaya, seperti cerita rakyat, lagu daerah, babad, dan manuskrip kuno—termasuk Lontar Yusuf, Lontar Sri Tanjung, dan Babad Tawangalun—yang belum sepenuhnya dimanfaatkan secara maksimal.

“Tradisi lisan dan manuskrip bukan sekadar warisan, melainkan sumber daya kreatif yang dapat dialihwahanakan menjadi produk-produk ekonomi yang bernilai jual tinggi. Lewat pendekatan inovatif, warisan ini bisa diolah menjadi aplikasi digital, gim edukatif, desain visual, karya kriya, fesyen bermotif lokal, hingga seni pertunjukan yang dikemas modern,” tegas Hasan.

Ia juga memaparkan tujuh manfaat strategis dari pengembangan ekonomi kreatif, antara lain penciptaan lapangan kerja, peningkatan citra daerah, pengembangan destinasi pariwisata, dan pengentasan kemiskinan berbasis komunitas. Produk-produk kreatif seperti yang telah dilakukan oleh kelompok GEMBRUNG menjadi contoh nyata bagaimana tradisi dapat menjadi pondasi lahirnya inovasi, sekaligus mendongkrak perekonomian lokal.

Selain memantik diskusi tentang strategi alihwahana budaya, sesi ini juga menggarisbawahi pentingnya keberlanjutan dan tanggung jawab sosial dalam setiap produk kreatif yang dihasilkan. Kreativitas, menurut Hasan, harus selalu berpijak pada nilai dan identitas lokal, agar tidak kehilangan akar di tengah arus globalisasi. 


Dalam penutupan sesi, HISKI Komisariat Banyuwangi menyampaikan harapannya agar lokakarya ini tidak hanya menjadi ruang reflektif, tetapi juga pemantik aksi nyata bagi para seniman, sastrawan, dan budayawan Banyuwangi. “Kami berharap kegiatan ini menjadi energi baru untuk membangun Banyuwangi melalui seni dan sastra, sekaligus mengajak pelaku budaya untuk lebih berani memanfaatkan teknologi digital demi memperluas jangkauan dan dampak karya mereka,” ungkap perwakilan HISKI Komisariat.

Dengan semangat kebersamaan dan keberanian berinovasi, sesi ketiga ini menjadi titik penting yang menunjukkan bahwa tradisi bukanlah beban masa lalu, melainkan bahan bakar masa depan yang kaya potensi dan layak digarap secara kreatif.

Seni yang Resah di Padepokan Tua: Dari Kopi, Kata, dan Kegelisahan Budaya

Lemahbang Dewo, (Warta Blambangan) Sabtu Sore (17/05/2025)  menyelinap pelan di desa Lemahbang Dewo. Langit seperti kanvas senja yang digores lembayung. Di antara rindang bonsai tua yang seolah menyimpan rahasia zaman, sebuah padepokan milik Profesor Jaenuri menjadi saksi bisu pertemuan mereka yang masih percaya bahwa budaya bukan sekadar tontonan, melainkan tuntunan.

Tidak ada panggung resmi. Tidak ada meja panel atau mikrofon. Gesah sore itu berlangsung tanpa moderator, mengalir sekenanya, seperti sungai kecil yang mengikuti lekuk tanah. Di tempat yang oleh warga sekitar dijuluki “palagan seni” atau “tempat orang-orang bersila dalam diam,” berkumpullah para pengangguran, penyair, dan budayawan Banyuwangi. Mereka datang tak berseragam, tak bertata protokoler. Mereka hadir seperti daun yang tahu arah angin. Dengan secangkir kopi dan hati yang tersulut, mereka bicara: tentang budaya, tentang luka, dan tentang jalan pulang. 

Diskusi dimulai pelan. Di hadapan gelas kaca yang mulai berembun dan kue pisang yang tak sempat dipilih, Aekanu Hariyono dari Killing Osing membuka suara. Pria yang dikenal menyulap panggung-panggung musik menjadi altar kesadaran budaya itu berkata lirih tapi tegas,

“Seni itu bukan wilayah liar. Ia punya pakem. Sejak zaman keraton, sampai zaman kemerdekaan, ada garis-garis yang tak boleh dilanggar. Kita boleh kreatif, tapi tak bisa liar tanpa arah.”

Sejenak hening. Angin sore membawa aroma kopi dari dapur kayu. Lalu, suara Syafaat, Ketua Lentera Sastra Banyuwangi, memecah diam. Wajahnya seperti sedang membaca kitab tua yang isinya retak di tengah.

“Pakem itu roh,” katanya, “tapi agar roh itu tidak membeku, ia harus disiram sentuhan religi. Ruh yang ditinggal nilai-nilai langit akan hanyut di sungai gemerlap yang membawa kita pada pamer tubuh dan goyangan tak layak.”

Diskusi itu bukan seminar. Ia seperti zikir diam-diam. Sebuah sembahyang tanpa sajadah. Hadir pula Fatah Yasin Nor, penyair yang menulis dari patahan sejarah, dan Ribut Kalembuan, budayawan yang biasa menyampaikan sindiran lewat parikan dan celetuk. Tapi sore itu, Ribut lebih banyak diam. Mungkin terlalu pedih untuk diucapkan.

KRT Ilham, lelaki abdi negara yang dikenal sebagai ahli keris dan pawang hujan dalam upacara Proklamasi di Ibu Kota Nusantara, hanya mengangguk dan berkata pendek,

“Dulu, hujan pun tahu malu saat hendak turun di waktu sakral. Tapi sekarang, manusia malah bersorak saat seni kehilangan pakaiannya.”

Sementara itu, Moh. Husen, penulis yang menjadikan tiap lembah dan gang kampung sebagai aksara hidup, mencatat. Entah esok catatan itu menjelma sajak atau esai pedih tentang zaman yang menertawakan dirinya sendiri.

Topik utama sore itu adalah pertunjukan seni yang belum lama ini digelar, dan menuai kehebohan karena menghadirkan atraksi yang menjurus ke pornografi. Tubuh yang dipamerkan di panggung bukan untuk memuliakan rasa, melainkan untuk dijual pada mata yang lapar dan mulut yang bersorak. Seni ditarik ke lembah murahan. Budaya Banyuwangi, yang semestinya harum oleh dupa dan kidung, justru berbau kosmetik murahan dan parfum panggung.

Tak ada nama yang disebut. Tak ada personal yang disalahkan. Yang mereka persoalkan adalah arah. Bahwa arah seni telah bergeser. Bahwa kompas budaya kehilangan utara. Bahwa “kreativitas” kini menjadi dalih untuk segala hal, termasuk yang menjatuhkan marwah dan mencoreng warisan luhur.

Sore merambat ke malam. Lampu minyak dinyalakan. Tak ada resolusi resmi. Tak ada notulensi. Tapi diskusi itu menyisakan bara. Mereka pulang dengan dada yang masih hangat oleh kopi dan kata. Budaya belum mati, pikir mereka. Selama masih ada yang resah. Selama masih ada yang berani bicara, meski panggungnya hanya bale bambu di tengah desa.

Dan Padepokan Jaenuri, di tengah sunyi Lemahbang Dewo, kembali menjadi altar. Tempat doa-doa kebudayaan dinaikkan. Dengan bahasa. Dengan cinta. Dengan harapan, bahwa anak cucu kita kelak tidak sekadar menonton tubuh, tapi merasakan ruh.

— Redaksi Lentera Budaya Banyuwangi

ISI Surakarta Siap Dirikan Prodi Seni di Banyuwangi, Jadi Embrio Universitas Seni Berbasis Budaya Lokal

Banyuwangi (Warta Blambangan) Suasana di Pelinggihan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi terasa hangat dan penuh semangat pada Jumat, 11 April 2025. Sekitar 60 seniman dan budayawan berkumpul dalam forum diskusi terbuka bersama Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Dr. I Nyoman Sukerna, S.Kar., M.Hum. Dalam pertemuan ini, sebuah gagasan besar mengemuka: pembukaan program studi baru ISI Surakarta di Banyuwangi yang direncanakan mulai berjalan September 2025.



Forum ini bukan sekadar diskusi biasa. Di dalamnya terpatri harapan besar: menjadikan Banyuwangi sebagai bagian dari jaringan perguruan tinggi seni negeri yang selama ini menjadi garda depan pelestarian budaya Indonesia. “Perguruan tinggi seni negeri bukan hanya tempat belajar, tetapi juga rumah besar pelindung budaya bangsa. Dan Banyuwangi sangat layak untuk menjadi bagian dari rumah ini,” ujar Dr. Sukerna dengan penuh keyakinan.


Dalam paparannya, Rektor ISI Surakarta mengumumkan rencana pendirian dua program studi baru, yakni Etno-Psikologi dan Pendidikan Seni Berbasis Kawasan Unggulan (PSBKU). Keduanya akan menjadi embrio bagi lahirnya perguruan tinggi seni negeri di Bumi Blambangan. Menariknya, konsep pembelajaran yang diusung tak hanya mengandalkan tenaga pengajar dari Solo, melainkan akan melibatkan kolaborasi erat dengan pelaku seni lokal, guru kesenian, dan para lulusan seni dari Banyuwangi.


“Kami percaya, tidak semua harus didatangkan dari Solo. Justru kekuatan lokal inilah yang menjadi nilai khas. Banyuwangi punya potensi besar, dan inilah saatnya kita membangunnya bersama,” terang Dr. Sukerna.


Kehadiran tokoh-tokoh seni Banyuwangi seperti Ketua Dewan Kesenian Belambangan Hasan Basri, budayawan Samsudin Adlawi, Aekanu Haryono, serta para penggiat Lentera Sastra Banyuwangi seperti Syafaat, Nurul Ludfia Rochmah, dan Nur Kholifah, menambah bobot forum ini. Seniman kawakan seperti Yon DD, Punjul Ismuwardoyo, dan Pramoe Soekarno juga turut hadir, menyambut penuh antusias wacana besar tersebut.


Dukungan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi melalui program “Banyuwangi Cerdas” turut diapresiasi oleh pihak ISI Surakarta. Program ini telah mengirimkan puluhan mahasiswa Banyuwangi untuk melanjutkan studi S2 di Solo, dan kini menjadi bagian penting dalam rencana pengembangan institusi seni di kampung halaman mereka.


Tak hanya berhenti pada pembukaan prodi, ISI Surakarta juga memperkenalkan jalur Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) sebagai bentuk penghargaan kepada pelaku seni yang telah lama berkarya namun belum memiliki jenjang pendidikan formal. “Ini bentuk keberpihakan pada para seniman yang selama ini belajar melalui pengalaman, bukan bangku kuliah,” tambah Dr. Sukerna.


Guru Besar ISI Surakarta, Prof. Dr. Bambang Sunarto, S.Sen., M.Sn., turut menyuarakan harapannya. Ia membayangkan masa depan di mana Banyuwangi tak sekadar menjadi cabang atau tempat belajar sementara, melainkan tumbuh menjadi universitas seni yang mandiri dan berakar kuat pada nilai-nilai lokal. “Banyuwangi ini tanah yang subur untuk budaya. Tinggal kita garap dengan visi besar,” ungkapnya penuh optimisme.


Forum diakhiri dengan penekanan penting: bahwa pendirian kampus seni di Banyuwangi harus mencerminkan identitas lokal. “Ini bukan sekadar cabang, tapi tempat lahirnya pemikiran dan karya seni khas Blambangan. Mari kita cari nama yang benar-benar mewakili ruh Banyuwangi,” tutup Dr. Sukerna, menyulut semangat baru di hati para seniman yang hadir.


Sebuah langkah besar telah dimulai—dari Banyuwangi untuk Indonesia.

Tadarus Budaya Intelektual Muda Nahdlatul Ulama Banyuwangi

Banyuwangi (Warta Blambangan) Langit Banyuwangi berpendar jingga ketika beberapa pengurus Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Cabang Banyuwangi berkumpul di kediaman H. Mujiono. Senin itu, (24/03/2025), mereka tidak sekadar duduk berbincang, tetapi larut dalam kajian budaya yang mengalir seperti sungai yang membawa hikmah ke muaranya.

Di antara para hadirin, tampak Moh. Husen, seorang penulis yang telah melahirkan beberapa buku, dan Joko Purnomo, seorang pengacara yang juga aktif dalam berbagai organisasi. Keduanya datang bukan hanya untuk mendengarkan, tetapi untuk berbagi dan menyemai gagasan tentang kebudayaan dan tantangan zaman. 


Moh. Husen membuka diskusi dengan sebuah pertanyaan yang membuat ruangan hening sejenak. "Seberapa jauh kita mengenal budaya kita sendiri?" Ia lalu bercerita tentang pentingnya literasi bagi generasi muda NU. Menurutnya, tanpa menulis dan mendokumentasikan kebudayaan, warisan leluhur akan mudah pudar ditelan zaman.

"Budaya adalah identitas kita. Jika ingin tetap relevan dengan perkembangan zaman, kita harus mampu menuliskannya, mendokumentasikannya, dan memperkenalkannya ke generasi berikutnya," ucapnya penuh keyakinan.

Suasana semakin syahdu ketika Syafaat, pengurus ISNU yang juga Ketua Lentera Sastra Banyuwangi, mulai berbicara. Ia tidak sekadar membahas budaya Islam di Banyuwangi, tetapi juga mengingatkan sebuah fakta sejarah yang sering terlupakan.

"Tahukah kalian bahwa Shalawat Badar pertama kali dikumandangkan di bumi Blambangan ini?" tanyanya. Beberapa peserta tampak terkejut, sementara yang lain mengangguk pelan.

Syafaat melanjutkan, menjelaskan bagaimana lantunan shalawat itu pertama kali menggema di tanah Banyuwangi sebelum akhirnya menyebar luas ke seluruh Nusantara. Baginya, ini adalah bukti bahwa Banyuwangi tidak hanya kaya akan tradisi, tetapi juga menjadi bagian penting dalam sejarah Islam di Indonesia.

Di sudut ruangan, Joko Purnomo mengamati diskusi dengan saksama. Saat tiba gilirannya berbicara, ia menyoroti peran hukum dalam menjaga kelangsungan budaya dan tradisi yang diwariskan oleh para ulama dan leluhur.

"Banyak regulasi yang seharusnya berpihak pada kebudayaan, namun sering kali kurang diperjuangkan. Kita tidak bisa hanya berbicara soal budaya tanpa memastikan ada perlindungan hukum yang menjaganya dari ancaman globalisasi," katanya dengan nada tegas.

Malam semakin larut, tetapi semangat para peserta tak surut. Kajian budaya itu bukan hanya sekadar pertemuan, melainkan ruang refleksi tentang siapa mereka dan ke mana mereka akan melangkah.

Di halaman rumah H. Mujiono, angin berembus lembut, seakan membawa pesan dari masa lalu untuk terus dijaga. Dan di dalam ruangan, percakapan masih berlanjut, menyulam benang-benang pemikiran agar tidak putus di tengah arus zaman.

Ngrandu Sahur: Secangkir Kopi, Sejuta Gagasan

Banyuwangi (Warta Blambangan) Malam merambat menuju dini hari, ketika obrolan di sudut Kafe d'Copiz semakin hangat. Secangkir kopi mengepul di meja-meja kecil, menemani diskusi yang menggeliat di antara para jurnalis dan pegiat literasi Banyuwangi. Malam itu, Sabtu (01/03/2025), mereka berkumpul dalam acara "Ngrandu Sahur," sebuah forum santai yang menjelma menjadi ajang bertukar gagasan, merajut kolaborasi, dan meneguhkan komitmen terhadap dunia jurnalistik serta sastra. 


Di antara mereka, tampak Ricky Suliwan, Ketua Komunitas Jurnalis Jawa Timur (KJJT), yang duduk berdampingan dengan Syafaat, Ketua Lentera Sastra Banyuwangi. Moh Husen, penulis yang tak asing di dunia literasi, turut menyimak obrolan yang mengalir seperti aliran kopi dalam cangkir-cangkir mereka.

Syafaat, dengan nada santai namun penuh makna, menyampaikan pandangannya. “Ngopi bareng seperti ini sering kali memantik ide-ide baru. Kadang dari obrolan ringan, lahir gagasan besar yang bisa kita kembangkan,” ujarnya. Matanya berbinar, seakan membayangkan beragam ide yang siap dieksekusi setelah malam ini.

Ricky Suliwan mengangguk setuju. Baginya, sinergi antar komunitas adalah kunci dalam menghidupkan ekosistem jurnalistik dan literasi. "KJJT sudah beberapa kali berkolaborasi dengan Lentera Sastra, dan ke depan, kami ingin semakin mempererat kerja sama ini. Literasi bukan hanya soal tulisan, tapi juga gerakan," katanya.

Malam semakin larut, tetapi semangat mereka tak meredup. Di antara denting sendok yang menyentuh cangkir, di antara aroma kopi yang menguar di udara, mereka menyusun rencana. Ngrandu Sahur bukan sekadar bincang-bincang sahur biasa—ia adalah pijakan bagi masa depan literasi Banyuwangi.

Di luar, fajar mulai menyingsing, menyambut gagasan-gagasan yang siap lahir dan berkembang. (*)

Santri Pondok Pesantren Ad Dzikro Dibekali Ilmu Karya Tulis Ilmiah Al-Qur'an

Banyuwangi, (Warta Blambangan) Para santri Pondok Pesantren Ad Dzikro Banyuwangi mendapat kesempatan berharga untuk mendalami ilmu kepenulisan karya tulis ilmiah berbasis Al-Qur'an dalam sebuah diskusi yang menghadirkan tiga penulis ternama dari Banyuwangi. Acara ini digelar di lingkungan pesantren yang diasuh oleh Ir. K.H. Ir. Wahyudi, S.H., M.H. Kamis (22/02/2025).



Dalam diskusi tersebut, para santri mendapatkan pembekalan mengenai teknik menulis yang berfokus pada karya ilmiah dengan landasan dalil-dalil Al-Qur'an. Ir. Wahyudi menyampaikan bahwa karya tulis ilmiah yang dihasilkan oleh santri harus mampu menguraikan ayat-ayat Al-Qur'an secara tuntas dan sistematis, sehingga dapat menjadi kontribusi nyata bagi dunia akademik dan keislaman.


Sebagai bentuk pendampingan, hadir tiga orang penulis ternama Banyuwangi yang telah banyak menerbitkan buku untuk memberikan materi serta menguji karya tulis para santri. Mereka adalah Moh. Husen, seorang penulis sekaligus jurnalis yang aktif dalam dunia literasi; Ayung Notonegoro dari komunitas Pegon yang dikenal dengan karya-karya bertemakan budaya dan sastra; serta Syafaat, seorang ASN Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi yang juga menjabat sebagai Ketua Lentera Sastra Banyuwangi.


Moh. Husen dalam kesempatan ini menekankan pentingnya disiplin dalam menulis dan memahami metodologi penelitian berbasis Al-Qur'an. Sementara itu, Ayung Notonegoro mengajak para santri untuk mengembangkan kreativitas dalam merangkai ide-ide mereka ke dalam tulisan yang menarik namun tetap berbasis akademik. Syafaat menambahkan bahwa menulis bukan sekadar menuangkan gagasan, tetapi juga menjadi bagian dari syiar Islam yang harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab.


Diskusi ini diharapkan mampu meningkatkan kemampuan para santri dalam menulis karya ilmiah yang tidak hanya bernilai akademis tetapi juga memiliki kedalaman spiritual berdasarkan pemahaman yang benar terhadap Al-Qur'an. Dengan adanya bimbingan dari para penulis profesional, para santri diharapkan dapat menghasilkan karya-karya berkualitas yang dapat memberikan manfaat luas bagi umat.

Bedah Buku "Jejak Kritik" Moh. Husen, DKB Banyuwangi Hadirkan Tokoh Sastra dan Literasi

Banyuwangi (Warta Blambangan) Buku Jejak Kritik karya Moh. Husen mendapat perhatian luas dari berbagai kalangan di Banyuwangi. Setelah mendapat dukungan dari komunitas Lentera Sastra Banyuwangi, kini Dewan Kesenian Blambangan (DKB) akan menggelar acara bedah buku tersebut pada 21 Februari 2025 di Aula Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Banyuwangi.

Acara ini menghadirkan sejumlah tokoh penting di bidang literasi dan budaya, termasuk Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Banyuwangi, Drs. Zen Kostolani, M.Si. Sebagai moderator, Ketua Lentera Sastra Banyuwangi, Syafaat, akan memandu jalannya diskusi. 


Para pembedah buku merupakan tokoh-tokoh berpengaruh di dunia literasi Banyuwangi, di antaranya Ketua DKB Hasan Basri, Direktur Jawa Pos Radar Banyuwangi Samsudin Adlawi, serta Muttafaqurrohmah, anggota Komite Bahasa dan Sastra DKB sekaligus dosen di Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi.

Sebelumnya, pada 18 Februari 2025, Moh. Husen telah menyerahkan bukunya kepada Perpustakaan Daerah Kabupaten Banyuwangi. Buku tersebut diterima langsung oleh Fitrin Kuntartini, S.Sos., M.Si., pustakawan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Banyuwangi. Penyerahan ini menandai bahwa Jejak Kritik kini dapat diakses oleh masyarakat yang ingin mendalami kritik sastra dan wacana intelektual di Banyuwangi.

Sebagai kumpulan tulisan kritik sastra dan budaya, Jejak Kritik mencerminkan dinamika perkembangan seni dan sastra di Banyuwangi. Kehadirannya diharapkan menjadi referensi berharga bagi pecinta sastra dan akademisi dalam mengkaji literasi daerah.

Acara bedah buku ini diprediksi menjadi momen penting dalam perkembangan literasi dan apresiasi sastra di Banyuwangi. Diskusi yang berlangsung diharapkan dapat menginspirasi lebih banyak penulis dan akademisi untuk terus mengembangkan dunia sastra.

Dengan tingginya atensi terhadap Jejak Kritik, terbukti bahwa kritik sastra masih memiliki tempat di hati para pecinta literasi Banyuwangi. Buku ini diharapkan membuka wacana baru dalam memahami perkembangan sastra lokal serta memperkaya diskursus budaya di Indonesia.

MI Darun Najah II Banyuwangi Gelar Lomba Binaussholah: Sebuah Perjalanan Ibadah dalam Lirik dan Gerak

 

Banyuwangi (Warta Blambangan) Langit pagi menyapa dengan doa, suara adzan berbisik dalam sanubari. Di sudut madrasah, langkah-langkah kecil bergegas menuju cahaya. Sholat, tiang agama yang tegak, menjadi saksi bisu perjalanan suci. MI Darun Najah II Banyuwangi, tempat ilmu dan akhlak bertaut, menorehkan jejak dalam balutan lomba Binaussholah.

Rabu (05/02/2025), Masjid Darun Najah menjadi panggung kebersamaan. 247 siswi, dalam 35 kelompok kecil, merangkai gerakan dalam harmoni. Setiap bacaan terpatri, setiap rukuk menjadi bukti, setiap sujud menyentuh bumi dengan kepasrahan sejati. 


Firman-Nya dalam Surah Al-Ankabut ayat 45 mengalun pelan, “Sesungguhnya sholat itu akan mencegah dari perbuatan keji dan munkar.” Dalam sujud, ada ketundukan. Dalam doa, ada harapan. Dalam lomba ini, ada semangat meniti jalan kebaikan.

Di madrasah ini, sholat bukan sekadar ritual. Sejak langkah pertama di kelas satu, mereka diajari dengan kasih. Bacaan demi bacaan, gerakan demi gerakan, semua menjadi rangkaian cahaya. Semester pertama, niat hingga salam. Semester kedua, gerakan yang terjalin dalam jamaah. Bukan sekadar lomba, tapi perjalanan menuju-Nya.

Kepala MI Darun Najah II menuturkan, “Untuk mengukur ketercapaian pembelajaran sholat dan meningkatkan kualitas sholat siswi, kami menggelar lomba ini setiap tahun. Peristiwa Isra’ dan Mi’raj menjadi pengingat akan amanah yang kita emban.”

Di antara barisan kecil, iqomah menggema, shaf tersusun rapi. Sementara, di sisi lain, suara adzan mengalun merdu dari bibir-bibir mungil. Wali murid pun terlibat, membimbing, mendampingi, berharap anak-anaknya menjadi cahaya yang menerangi zaman.

Gerakan yang serentak, bacaan yang syahdu, adab yang melekat. Semua dinilai dalam ketelitian. Ustadz Nasrudin dan Ustadz Umar Sandi, dua juri yang mengamati dengan cermat. Kelas satu, dengan sholat Maghrib. Kelas dua hingga enam, dengan sholat Subuh, doa qunut mengalun dalam khidmat.

Pemenang Lomba Binaussholah:

Kategori Kelas Bawah:

  • Juara 1: Nikel Ramadhani dkk (Kelas 1B)
  • Juara 2: Fakhira Aulia Ramadhani dkk (Kelas 3B)
  • Juara 3: Ananda Fatimatuzzahra Fakhruddin dkk (Kelas 3A)
  • Juara Harapan 1: Zaitun Izzati Salami dkk (Kelas 3B)
  • Juara Harapan 2: Lailatul Robbani Al-Qudsi dkk (Kelas 2B)

Kategori Kelas Atas:

  • Juara 1: Siti Rafiqotul Hasna dkk (Kelas 5)
  • Juara 2: Siti Rafidatul Hasna dkk (Kelas 5)
  • Juara 3: Raisya Rahmidiani dkk (Kelas 4B)
  • Juara Harapan 1: Aulia Izzatun Nisa Wardana dkk (Kelas 5)
  • Juara Harapan 2: Azzahra Rahma dkk (Kelas 6)

Langit senja memeluk mereka dalam doa. Hari itu bukan sekadar perlombaan, tapi sebuah langkah kecil menuju cahaya. Sebuah janji, bahwa sholat bukan hanya di atas panggung, tapi akan menjadi bagian tak terpisahkan dalam hidup mereka. MI Darun Najah II terus menanam, agar kelak menuai dalam keberkahan.


Kreasi Hantaran Kue di Pertemuan Rutin Dharma Wanita Persatuan

Banyuwangi (Warta Blambangan) Senin pagi, 17 Februari 2025, aula bawah Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi dipenuhi semangat para anggota Dharma Wanita Persatuan (DWP). Pertemuan rutin yang dihadiri seluruh unit DWP menjadi ajang berbagi ilmu dan pengalaman, kali ini dengan tema yang menggugah kreativitas: kreasi penyusunan kue kering untuk hantaran. 


Ketua DWP Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, Hj. Siti Qudsiyah Chaironi, S.Ag., menyampaikan pentingnya keterampilan ini dalam menambah nilai estetika dan daya tarik hantaran kue. "Kreasi ini dapat menambah keterampilan anggota dalam menyusun hantaran kue menjadi semakin menarik, terlebih sebulan lagi kita akan menyambut Idul Fitri," ujarnya dengan penuh semangat.

Dengan meja-meja yang dipenuhi berbagai jenis kue kering, para anggota dengan antusias menyusun dan menghias hantaran. Dari pemilihan warna hingga tata letak, semua diperhatikan dengan cermat. Setiap sentuhan tangan melahirkan keindahan yang tidak hanya sedap dipandang, tetapi juga bernilai jual tinggi. Warna-warni toples kue berpadu dengan pita-pita indah, membentuk kombinasi yang harmonis.

Pertemuan ini bukan sekadar ajang berbagi ilmu, tetapi juga wadah mempererat kebersamaan antaranggota. Gelak tawa dan canda menghiasi ruangan, menciptakan suasana penuh kehangatan. Setiap peserta berbagi tips dan trik, dari cara menyusun kue agar tampak lebih elegan hingga bagaimana memilih kemasan yang sesuai. 


Salah satu peserta, Ny. Rini, mengungkapkan rasa senangnya mengikuti kegiatan ini. "Saya merasa sangat terbantu dengan adanya pelatihan ini. Selain menambah keterampilan, saya juga jadi terinspirasi untuk membuat hantaran sendiri di rumah. Mungkin ini bisa menjadi ide usaha sampingan di masa mendatang," tuturnya.

Suasana semakin meriah ketika diadakan sesi tanya jawab dan diskusi. Beberapa anggota berbagi pengalaman tentang usaha kue kering yang telah mereka jalankan. Mereka berbagi rahasia dalam memilih bahan berkualitas, menjaga kerenyahan kue, serta strategi pemasaran yang efektif. Ilmu yang diberikan tidak hanya berhenti pada aspek estetika, tetapi juga membuka wawasan mengenai peluang bisnis yang menjanjikan.

Di penghujung acara, Ny. Chaironi Hidayat berharap keterampilan ini dapat terus dikembangkan dan diterapkan. "Semoga ibu-ibu semakin kreatif dan bisa menjadikan keterampilan ini sebagai peluang usaha," pungkasnya.

Banyuwangi pagi itu bukan hanya tentang pertemuan rutin, tetapi tentang perjalanan kreativitas, kebersamaan, dan semangat berbagi. Dengan tangan yang semakin terampil, para anggota DWP bersiap menyambut Idul Fitri dengan hantaran yang penuh cinta dan keindahan. Dari aula bawah Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, semangat berkarya terus mengalir, menginspirasi dan membawa manfaat bagi banyak orang.

Dokumen telah dibuat dengan judul "Kreasi Hantaran Dwp." Jika ada perubahan atau tambahan yang perlu dimasukkan, silakan beri tahu saya!

Malam Penuh Cahaya: Shalawat Menggema di Langit Dadapan

Banyuwangi (Warta Blambangan) Malam itu, langit Lapangan Dadapan berselimut ketenangan. Angin berembus pelan, membawa harum tanah yang masih menyimpan jejak siang. Di bawah gemerlap lampu-lampu yang menerangi panggung sederhana, ratusan orang duduk bersila, menunggu lantunan shalawat mengalun dari bibir-bibir yang haus akan keberkahan.

Malam  itu, 14 Februari 2025, menjadi malam yang tak hanya bermakna bagi insan pers, tetapi juga bagi siapa saja yang meyakini bahwa cahaya kebersamaan lebih terang dari sekadar kata-kata. Forum Komunikasi Wartawan Bersatu (FKWB) telah menyiapkan peringatan Hari Pers Nasional dengan cara berbeda. Bukan sekadar diskusi atau seminar, melainkan dengan shalawat—doa yang terangkai dalam irama, yang meluruhkan kesombongan, mendekatkan hati yang jauh. Dari sisi lapangan, Kapolsek Kabat, AKP Kusmin, berdiri tegap, mengawal jalannya acara dengan senyum tipis. 


Kapolres Banyuwangi, Kombes Pol Rama Samtama Putra, memotong tumpeng di Balai Desa Dadapan sebelum puncak acara, dengan penuh kebanggaan. Saat Kapolresta berbicara sebelum potong tumpeng, suaranya menghangatkan suasana.

“Saya berharap agar sinergi antara Polri dan insan media makin solid dan terjaga dengan baik. Dengan demikian, kita dapat bekerja sama untuk meningkatkan keamanan dan kenyamanan masyarakat.”

Kata-kata itu disambut anggukan, seolah menjadi janji tak terucap antara kepolisian dan insan pers. Janji untuk saling menguatkan, bukan hanya dalam berita, tetapi juga dalam kenyataan.

Lalu, saat kelompok hadrah Riyadhul Jannah mulai melantunkan shalawat di lapangan, waktu seakan melambat. Setiap suara, setiap tabuhan rebana, melayang ke langit, membangun jembatan tak kasat mata yang menghubungkan manusia dengan Sang Pencipta. Masyarakat yang hadir menutup mata, meresapi kedamaian yang jarang ditemukan di tengah hiruk-pikuk dunia.

Di antara mereka, seorang pria tersenyum samar. Syafaat, Ketua Lentera Sastra Banyuwangi, memandang Kapolsek Kusmin dengan mata yang menyimpan kenangan. Keduanya pernah duduk di bangku kuliah yang sama, bersama Wartawan Joko Wiyono yang Pada akhirnya menempuh jalan takdir yang berbeda, tapi malam itu, mereka bertemu kembali dalam satu frekuensi yang sama—cinta akan keadilan, kebenaran, dan persaudaraan.

“Ini bukan hanya tentang memperingati Hari Pers Nasional, tetapi juga tentang memperkuat tali persaudaraan,” katanya, nyaris seperti bisikan yang hanya didengar oleh mereka yang mengerti maknanya.

Sebelum shalawat berakhir, tumpeng dipotong sebagai tanda syukur. Doa mengalir, bukan hanya untuk pers yang lebih bermartabat, tetapi juga untuk negeri yang lebih damai.

Malam itu, Banyuwangi menjadi saksi bahwa shalawat, doa, dan kebersamaan adalah bahasa universal yang mampu menyatukan siapa saja. Bahwa cahaya yang lahir dari persatuan lebih terang daripada sekadar kilatan kamera atau sorot lampu panggung. Dan bahwa di balik berita, selalu ada hati yang bergetar—menuliskan kisah yang tak hanya hidup di lembaran koran, tetapi juga di sanubari mereka yang menyaksikannya.

Ngopi Senja di Omah Kopi Telemung: Inspirasi dari Kopi, Budaya, dan Sastra

 

BANYUWANGI (Warta Blambangan) – Suasana santai namun penuh inspirasi mewarnai diskusi sambil ngopi di Omah Kopi Desa Telemung pada Jumat (14/2/2025). Acara ini menjadi ajang bertukar gagasan tentang kopi, budaya, hingga perkembangan sastra dan teknologi.

Aekanu Haryono dari Kiling Osing Banyuwangi menuturkan bahwa kopi Banyuwangi memiliki citarasa khas yang tidak hanya menggugah selera tetapi juga menyimpan filosofi mendalam. Sementara itu, KRT Ilham, yang pada Agustus lalu dipercaya sebagai pawang hujan di Ibu Kota Nusantara (IKN), berbagi pandangannya tentang budaya Banyuwangi yang telah mendunia. 


Ketua Lentera Sastra Banyuwangi Syafaat, mengungkapkan harapannya agar acara seperti ini lebih sering diadakan. Menurutnya, suasana santai dan tidak formal justru mampu menghadirkan lebih banyak inspirasi dan gagasan segar.

Senada dengan itu, penyair Banyuwangi, Fatah Yasin Nor, turut menyinggung perkembangan sastra di era kecerdasan buatan (AI). Baginya, tantangan dan peluang AI dalam dunia sastra harus disikapi dengan bijak agar tidak menggeser nilai-nilai kreatifitas manusia.

Diskusi semakin hangat dengan kehadiran pemusik Ribut Kalembuan yang turut menghidupkan suasana.

Acara ini bukan hanya sekadar menikmati kopi, tetapi juga menjadi ruang bertukar wawasan dan merajut silaturahmi antarseniman dan pecinta budaya Banyuwangi.

Chaironi Hidayat: Inspirator Sastra Kementerian Agama

Banyuwangi - Dr. Chaironi Hidayat, Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, menerima anugerah Inspirator Sastra Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi dari Yayasan Lentera Sastra Banyuwangi. Penghargaan ini diberikan pada acara bedah buku Hebat Bersama Umat yang berlangsung meriah, sebagai bentuk apresiasi atas dedikasi dan kontribusinya dalam menginspirasi dunia sastra, khususnya di lingkungan Kementerian Agama Banyuwangi.



Chaironi yang baru genap setahun menjabat sebagai Kepala Kantor Kementerian Agama Banyuwangi telah menunjukkan peran besar dalam membangkitkan semangat literasi di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) dan siswa madrasah. Sosoknya yang lahir dari lingkungan pesantren memberikan nuansa religius dan mendalam dalam setiap karyanya.


Majalah sastra legendaris, Horison, yang sering dibacanya sejak muda menjadi salah satu sumber inspirasi. “Horison adalah petualangan jiwa yang memperkaya pikiran dan hati saya. Dari sana, saya belajar melihat dunia dan kehidupan melalui lensa yang berbeda," ungkap Chaironi saat memberikan sambutan.


Beberapa hari setelah resmi bertugas di Banyuwangi pada akhir 2023, Chaironi menuangkan kesan perdananya dalam sebuah puisi berjudul Di Sini Tempatku. Puisi ini mengisahkan perjalanan mutasinya dari Besuki ke Banyuwangi, melewati kemacetan lalu lintas dan tantangan baru yang menanti. Puisi tersebut dimuat dalam antologi bersama berjudul Ketika Kau, Dia, dan Aku Menjadi Kita, yang diterbitkan untuk memperingati Hari Jadi Banyuwangi (Harjaba) ke-252 pada tahun 2023.


Puisi Di Sini Tempatku tidak hanya menjadi refleksi perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan batin. Melalui bait-baitnya, Chaironi menggambarkan proses adaptasi, perjuangan, dan harapan untuk terus berkontribusi bagi masyarakat Banyuwangi.


Karyanya yang lain, dua puisi berjudul Tuhan, Aku Malu dan Meng-IT-kan Hidup, menjadi sorotan utama pada acara bedah buku tersebut. Samsudin Adlawi, Ketua Majelis Kehormatan Dewan Kesenian Belambangan, mengupas kedua puisi ini dengan penuh antusias.


Puisi Meng-IT-kan Hidup menggunakan bahasa kekinian yang relevan dengan era digital. Melalui metafora cerdas, Chaironi mengaitkan kehidupan manusia dengan teknologi informasi, mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana teknologi seharusnya menjadi alat, bukan tujuan.


"Puisi ini memiliki nilai tersendiri karena mampu mengemas isu modern dengan bahasa yang ringan namun sarat makna," kata Samsudin. Ia juga memuji kemampuan Chaironi dalam merangkai kata yang khas dan bermakna.


Ketua Yayasan Lentera Sastra Banyuwangi, Syafaat, turut mengapresiasi puisi ini. "Ada kalimat-kalimat khas dalam Meng-IT-kan Hidup yang memaksa pembaca untuk berhenti sejenak, merenungkan hakikat hidup di tengah derasnya arus digitalisasi. Ini karya yang sangat relevan untuk generasi sekarang," ujar Syafaat.



Chaironi tidak hanya dikenal sebagai birokrat yang tegas dan berdedikasi, tetapi juga sebagai figur yang peduli pada pengembangan sastra dan literasi. Melalui berbagai kegiatan di Kementerian Agama Banyuwangi, ia mendorong ASN dan siswa madrasah untuk mencintai literasi.


“Literasi adalah pintu menuju kebijaksanaan. Dengan membaca dan menulis, kita tidak hanya memahami dunia, tetapi juga diri kita sendiri,” ujar Chaironi dalam salah satu kesempatan.


Komitmennya tercermin dalam berbagai program yang digagasnya, termasuk pelatihan menulis untuk siswa madrasah dan ASN. Ia juga menginisiasi pembuatan ruang baca di kantor Kementerian Agama Banyuwangi, tempat ASN bisa membaca berbagai buku sastra, agama, dan pengetahuan umum.



Penghargaan Inspirator Sastra Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi menjadi bukti nyata atas kontribusi Chaironi dalam dunia sastra di Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi. Yayasan Lentera Sastra Banyuwangi menganggap bahwa sosoknya adalah inspirasi bagi banyak pihak, khususnya dalam memadukan nilai-nilai agama dengan kreativitas sastra.


“Chaironi adalah contoh bagaimana seorang pemimpin mampu menggerakkan perubahan tidak hanya melalui kebijakan, tetapi juga melalui karya dan inspirasi. Ia membawa semangat baru di Banyuwangi, khususnya di lingkungan Kementerian Agama,” ujar Syafaat.



Melalui puisi nya, Chaironi Hidayat tidak hanya menjadi pemimpin birokrasi, tetapi juga inspirasi sastra yang mampu menyentuh hati banyak orang. Dengan segala upaya yang telah ia lakukan, Banyuwangi patut berbangga memiliki sosok seperti Dr. Chaironi Hidayat.

Lentera Sastra Jalin Kerja Sama dengan Kelompok Masyarakat Berkah: Bedah Buku "Hebat Bersama Umat" di Mila Cafe

Banyuwangi, (Warta Blambangan) Lentera Sastra, sebuah komunitas sastra yang berkomitmen untuk memperkuat literasi dan kebudayaan di Banyuwangi, kembali menunjukkan dedikasinya dalam mempererat harmoni sosial di ujung timur Pulau Jawa. Bertempat di Mila Cafe, Lentera Sastra menjalin kerja sama strategis dengan Kelompok Masyarakat Berkah, yang bertujuan untuk mempromosikan nilai-nilai moderasi beragama dan kerukunan sosial melalui literasi.



Puncak dari kolaborasi ini adalah acara bedah buku antologi puisi "Hebat Bersama Umat", yang akan diadakan dalam waktu dekat. Buku ini merupakan kumpulan puisi yang menggambarkan keragaman etnis, budaya, dan agama di Banyuwangi, serta bagaimana harmoni dan toleransi menjadi kunci kehidupan masyarakatnya. Acara ini juga melibatkan narasumber terkemuka dari berbagai institusi, termasuk Dewan Kesenian Belambangan, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Banyuwangi, serta Universitas KH Mukhtar Syafaat, Blok Agung.


Dalam pertemuan yang berlangsung di Mila Cafe pada Rabu pagi, Ketua Panitia Bedah Buku Lentera Sastra, Uswatun Hasanah, menyampaikan bahwa kerja sama dengan Kelompok Masyarakat Berkah merupakan langkah penting dalam memperkuat literasi di Banyuwangi.


“Melalui bedah buku ini, yang akan dihelat bukan ini kami ingin menunjukkan bahwa sastra dapat menjadi sarana yang efektif untuk menyampaikan pesan-pesan toleransi dan moderasi beragama. Banyuwangi sebagai daerah yang dihuni oleh berbagai etnis dan agama, membutuhkan ruang dialog yang terbuka dan konstruktif, dan sastra adalah salah satu jalannya,” ujar Uswatun Hasanah.


Perwakilan Kelompok Masyarakat Berkah, Bajuri, turut menyampaikan antusiasmenya terhadap kolaborasi ini. Menurutnya, moderasi beragama bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga komunitas-komunitas masyarakat yang peduli terhadap keberagaman.


“Kami percaya bahwa kolaborasi ini akan memberikan dampak positif bagi masyarakat Banyuwangi, khususnya dalam membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya kerukunan. Buku Hebat Bersama Umat menjadi medium yang tepat untuk memperkenalkan nilai-nilai tersebut,” kata Bajuri.


Banyuwangi, yang terletak di ujung timur Pulau Jawa, dikenal sebagai miniatur Indonesia karena keragaman etnis, budaya, dan agamanya. Kabupaten ini menjadi rumah bagi komunitas Osing sebagai penduduk asli, serta suku Jawa, Madura, Bali, Arab, Mandar dan Tionghoa yang hidup berdampingan. Keberagaman ini tercermin dalam beragam seni dan budaya yang tumbuh subur, mulai dari tari Gandrung, ritual Seblang, hingga seni barong yang merupakan warisan budaya yang kaya.


Namun, keberagaman tersebut juga menghadirkan tantangan tersendiri dalam menjaga harmoni sosial. Oleh karena itu, Lentera Sastra dan Kelompok Masyarakat Berkah melihat perlunya upaya yang terus-menerus untuk membangun dialog lintas budaya dan agama.


Antologi puisi "Hebat Bersama Umat" yang akan dibedah dalam acara tersebut, merupakan karya kolektif dari para penyair lokal Banyuwangi. Buku ini menampilkan puisi-puisi yang merefleksikan kehidupan sehari-hari masyarakat dalam menghadapi tantangan keberagaman.


Beberapa puisi dalam antologi ini, adalah karya penyair yang pernah meraih predikat Sastratama, puisi dalam antologi ini menggambarkan bagaimana masyarakat Banyuwangi mampu hidup rukun meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda.


Acara bedah buku ini diharapkan menjadi katalisator untuk memperkuat literasi di Banyuwangi, sekaligus memperkuat nilai-nilai kerukunan yang sudah lama menjadi fondasi kehidupan masyarakatnya. Dalam sesi diskusi yang direncanakan, peserta akan diajak untuk berdialog dan berbagi pengalaman tentang bagaimana keberagaman dapat menjadi kekuatan, bukan sumber konflik.


Selain itu, Lentera Sastra dan Kelompok Masyarakat Berkah juga berencana untuk mendistribusikan buku Hebat Bersama Umat ke sekolah-sekolah dan komunitas-komunitas literasi di Banyuwangi.


“Kami ingin buku ini tidak hanya dibaca, tetapi juga menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk terus menjaga dan memperkuat kerukunan di tengah keberagaman,” ujar Bajuri.


Pertemuan antara Lentera Sastra dan Kelompok Masyarakat Berkah di Mila Cafe bukan hanya sekadar acara formal, tetapi juga menjadi simbol kolaborasi lintas komunitas yang peduli terhadap masa depan Banyuwangi. Melalui bedah buku "Hebat Bersama Umat", kedua komunitas ini berupaya menguatkan harmoni sosial dan membangun Banyuwangi sebagai daerah yang tidak hanya kaya akan budaya, tetapi juga kaya akan nilai-nilai kemanusiaan.


Dengan langkah ini, diharapkan Banyuwangi dapat terus menjadi contoh daerah yang mampu menjaga harmoni dalam keberagaman, dan sastra menjadi jembatan yang mempererat ikatan sosial di tengah masyarakat yang heterogen.


Pameran Lukisan “Banyu Kening” di Gedung Juang Resmi Dibuka

Banyuwangi (Warta Blambangan) Pameran lukisan bertajuk “Banyu Kening” resmi dibuka pada Sabtu, 30 November 2024, di Gedung Juang Banyuwangi. Acara ini dibuka oleh Bupati Banyuwangi yang diwakili oleh Asisten Perekonomian dan Pembangunan Sekretariat Kabupaten Banyuwangi  Dwi Yanto. Pameran ini menghadirkan puluhan karya seniman lokal yang memadukan keindahan alam Banyuwangi dengan sentuhan estetika yang unik dan penuh makna.


Dalam sambutannya, Asisten sekda  mengungkapkan apresiasinya terhadap kreativitas para seniman yang terlibat. Menurutnya, pameran ini bukan hanya menjadi ajang untuk menampilkan karya seni, tetapi juga sebagai ruang bagi para pelukis lokal untuk mengekspresikan kecintaan mereka terhadap budaya dan alam Banyuwangi.



“Kami berharap pameran ini dapat menjadi wadah yang mempertemukan para seniman dengan masyarakat luas, sehingga seni lukis di Banyuwangi terus berkembang dan mendapatkan tempat yang layak di hati masyarakat,” ujarnya.

Ruangan Gedung Juang yang bersejarah itu dipenuhi dengan berbagai karya lukisan dari pelukis-pelukis Banyuwangi. Setiap sudut ruang pamer memancarkan kekayaan kreativitas yang tak terbatas, mulai dari lukisan dengan tema alam, kehidupan masyarakat, hingga interpretasi artistik tentang budaya Banyuwangi.


Pameran yang digelar oleh Dewan Kesenian Belambangan ini akan berlangsung selama tujuh hari ke depan. Selain menampilkan karya para seniman profesional, pameran ini juga memberikan kesempatan bagi generasi muda untuk unjuk bakat.

Salah satu momen yang menarik perhatian dalam pameran ini adalah keikutsertaan karya dari dua siswa kelas VII SMP Negeri di Banyuwangi. Lukisan mereka mendapat apresiasi khusus dari para pengunjung, termasuk seniman senior yang hadir dalam acara tersebut.


Afida Rizky Putri Arofi, salah satu siswa kelas VII, merasa bangga karena salah satu karyanya terpilih untuk dipamerkan. Afida yang baru pertama kali mengikuti pameran seni merasa terharu atas apresiasi yang diterima karyanya dari pengunjung dan juga pejabat yang hadir.


“Ini pengalaman pertama saya mengikuti pameran. Saya sangat senang dan tidak menyangka lukisan saya bisa mendapat apresiasi dari banyak orang. Ini menjadi motivasi bagi saya untuk terus belajar dan berkarya,” ujar Afida dengan wajah berseri-seri.



Afida menuturkan bahwa lukisan yang ia buat terinspirasi dari keindahan budaya Indonesia, Ia berharap, melalui karyanya, para pengunjung dapat merasakan keindahan dan ketenangan yang ia tuangkan dalam lukisan tersebut.

Mewakili Ketua Dewan Kesenian Belambangan (DKB) Slamet Hariyanto atau biasa dipanggil Kang Momo menyampaikan bahwa pameran ini merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap seni rupa di Banyuwangi.


“Kami ingin seni rupa tidak hanya dinikmati oleh kalangan tertentu, tetapi bisa diakses oleh semua kalangan, termasuk pelajar. Dengan begitu, kita bisa melahirkan generasi muda yang tidak hanya mencintai seni, tetapi juga mampu berkontribusi dalam perkembangan seni di Banyuwangi,” kata Momo.


Pameran “Banyu Kening” ini diharapkan dapat menarik lebih banyak pengunjung selama tujuh hari ke depan dan menjadi momentum bagi para seniman lokal untuk semakin dikenal di kancah nasional maupun internasional.



Bagi masyarakat Banyuwangi, pameran ini menjadi kesempatan untuk menyaksikan langsung karya-karya seni yang menggambarkan kekayaan budaya dan alam daerah mereka, serta mendukung perkembangan seni rupa lokal.


Artificial Intelligence (AI) dan Masa Depan Sastra


 Artificial Intelligence (AI) dan Masa Depan Sastra

Dwi Pranoto


**Yang bukan-penyair tidak ambil bagian**  
*(Chairil Anwar)*

Ketika membaca topik sarasehan "Artificial Intelligence (AI) dan Masa Depan Sastra" dari Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT), kepala saya dipenuhi pertanyaan: Apa hubungan antara AI dan masa depan sastra? Mengapa AI menjadi isu dalam sastra? Seberapa besar pengaruh AI dalam membentuk karya sastra di masa depan? Apakah AI akan mempengaruhi status dan posisi kepengarangan? Jika AI memegang peran penting dalam menentukan bentuk sastra dan posisi kepengarangan, maka bentuk karya sastra serta status kepengarangan mungkin mengalami perubahan signifikan—bahkan bisa hilang. Topik ini memunculkan kecemasan tersirat.

Perubahan yang berpotensi terjadi di masa depan sering kali memicu kecemasan. Selain ketidakpastian akan perubahan apa yang akan datang, perubahan umumnya dianggap sebagai hilangnya sesuatu yang telah kita miliki saat ini, sebagian atau seluruhnya. Ketika Thoth memperkenalkan tulisan sebagai pengganti ingatan kepada Thamus, ia menanggapinya dengan skeptis, menganggap tulisan hanya sebagai alat pemulih ingatan yang dapat melemahkan memori biologis. Seperti kecemasan Thamus terhadap tulisan, kita kini cemas bahwa AI, yang mampu meniru karakteristik bahasa dan narasi manusia, dapat menggantikan peran penyair.

**Inovasi Teknologi sebagai Pemicu Badai Schumpeter**

Teori "Badai Schumpeter" atau *Creative Destruction* menjelaskan bahwa inovasi teknologi menciptakan perubahan besar dalam ekonomi. Perubahan struktural dan fungsional dalam pasar sering kali membuat elemen-elemen lama menjadi usang. Contohnya adalah layanan streaming yang mengubah cara kita mengakses musik dan berita, sehingga industri rekaman dan penerbitan tradisional meredup. Lebih jauh ke belakang, penemuan mesin cetak oleh Gutenberg mengubah cara produksi dan distribusi tulisan, membuka jalan bagi genre baru seperti novel, dan memperluas batas-batas kepengarangan.

Pada masa kini, teknologi internet memfasilitasi simultanitas ruang-waktu dan komodifikasi informasi, memicu munculnya gagasan seni baru yang mengaburkan batas antara seni dan bukan seni. Seni kearsipan, misalnya, menggunakan narasi kesejarahan yang ada pada benda-benda untuk menciptakan narasi baru melalui interpretasi kreatif. Seni kearsipan ini menunjukkan bagaimana inovasi teknologi tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi, tetapi juga mengubah praktik dan prinsip seni.

**Badai AI dalam Ekosistem Sastra**

Perkembangan teknologi informasi yang pesat telah melahirkan model bahasa raya seperti AI, yang dapat memproses data teks global dan menumbuhkan teks baru berdasarkan pola kebahasaan yang dilatihkan. Contohnya adalah ChatGPT, yang mampu menghasilkan teks informatif maupun kreatif meski masih formulaik. Kemampuan analitis AI yang didasarkan pada pola data memungkinkan analisis yang akurat, namun AI belum mampu sepenuhnya mengimitasi kemampuan kreatif manusia.

Teori Pembacaan Jauh (Distant Reading) oleh Franco Moretti adalah contoh pemanfaatan AI dalam sastra, di mana korpus sastra dianalisis komputasional untuk menggambarkan hubungan antar-karakter atau antar-karya sastra. Proses ini menggantikan pembacaan tradisional dengan input data yang diproses oleh AI. Jika pembacaan dan analisis dilakukan oleh AI, lantas siapa yang berhak atas hasil penelitian ini? Masalah kepemilikan hak intelektual akan semakin rumit jika AI menjadi mitra dalam penciptaan karya sastra.

Kemampuan AI yang terus berkembang menimbulkan ancaman nyata dalam ekosistem sastra. Beberapa posisi pekerjaan, seperti proofreader dan editor, berada dalam risiko tereliminasi. Di sisi lain, kemampuan AI meniru kerja kreatif manusia telah memunculkan konsep yang menantang Antroposentrisme (Anthropocentrism). Dalam konteks ini, buku "Penyair sebagai Mesin" oleh Martin Suryajaya memperkenalkan gagasan bahwa manusia dan mesin AI bisa duduk setara dalam penciptaan karya kreatif, melalui konsep 'rakitan kognitif'.

**Konsekuensi 'Rakitan Kognitif' dalam Sastra**

Konsep 'rakitan kognitif' menyetarakan manusia dan mesin AI, namun dengan mengorbankan sensibilitas manusia. Sensibilitas yang menjadi landasan pengalaman estetik, dan yang selama ini membedakan seni dengan non-seni, mulai tergerus. Ini bisa mengarah pada penghapusan batas antara sastra tinggi dan rendah, serta antara sastra dan bukan sastra. Jika AI membawa demokratisasi sastra, itu mungkin setara dengan tirani anonimitas kolektif. Kesetaraan dalam sastra seharusnya bukan sekadar pengakuan hak, melainkan upaya memisahkan kemanusiaan dari kecenderungan hewani.

**Masa Depan Sastra dalam Bayang-Bayang AI**

Badai Schumpeter yang dipicu oleh teknologi AI sudah mulai dirasakan di ekosistem sastra. Posisi-posisi seperti proofreader dan editor menjadi rentan. Jika AI mengambil peran signifikan dalam penciptaan kreatif, pertanyaan tentang authorship dan hak intelektual akan semakin mendesak. Model Pembacaan Jauh menunjukkan kemungkinan membaca tanpa membaca, yang dapat menggeser relasi antara *word* dan *thing* menjadi antara *word* dan *code*. Teknologi AI yang mampu berperan dalam penulisan kreatif mendorong munculnya gagasan kesetaraan manusia dan AI yang bisa menghilangkan spesifisitas sastra.

---

 
Copyright © 2013. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Template Modify by Blogger Tutorial
Proudly powered by Blogger