Pages

Tampilkan postingan dengan label Antologi Puisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Antologi Puisi. Tampilkan semua postingan

Dunia Obah, Kata Bergelombang: Malam Sastra di Banyuwangi Bersama Tengsoe Tjahjono

Banyuwangi, ( Warta Blambangan) Kamis malam (29/5/25) — Angin berembus pelan di palinggihan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi. Bulan separuh wajahnya menengadah, menyaksikan kata-kata menari di udara. Dunia itu obah, dunia itu berubah. Seperti air yang tak mau diam, sastra pun mengalir, menggulung logika dan rasa dalam satu gelas wacana.

Malam itu, Dewan Kesenian Blambangan (DKB) memanggil para pencinta kata dan perenung makna. Di antara mereka, hadir sosok yang telah menakik kata menjadi senjata pemahaman—Dr. Tengsoe Tjahjono, sastrawan dan akademisi dari Universitas Brawijaya. Ia tak datang sebagai guru, melainkan penyala api kecil di tengah semesta yang gelap oleh repetisi. 

Didampingi oleh Syafaat, Ketua Lentera Sastra Banyuwangi, diskusi ini bukan sekadar ajang bertukar pikiran. Ia adalah perjamuan batin, tempat kenyataan dirajam oleh pertanyaan dan keindahan dibalut kesadaran. Tengsoe membuka perbincangan dengan metafora yang menghentak, “Di tangan ilmuwan, A menjadi A. Tapi di tangan penyair, A bisa menjadi A plus.”

Dan malam pun mulai menggigil oleh kehangatan makna.

Tak ada yang terlalu baku dalam diskusi ini. Kalimat-kalimat lahir seperti kabut di pagi hari—tak perlu padat, asal menyentuh. Tengsoe melemparkan sebuah renungan yang membuat banyak kepala mengangguk dalam diam. Menurutnya, penyair bukan tukang catat, tapi pemahat jiwa. “Tugas penyair bukan menduplikasi kenyataan, tapi memberi napas baru pada realita yang biasa-biasa saja,” katanya, seolah membelah langit kata yang selama ini stagnan dalam logika.

Ada pula mitos yang dibongkar malam itu. Bahwa sastrawan hidup dalam lapar, bahwa puisi hanya menyentuh angin. “Katanya sastrawan tidak bisa hidup dari sastra. Tapi lihatlah, banyak penyair yang justru hidup dari puisi. Mereka keliling dunia karena kata-katanya,” ucapnya lirih namun tajam, seperti mata pena yang menari di atas luka.

Ia mengajak semua, dari petani sampai nelayan, dari sopir sampai guru honorer, untuk menulis. Tak perlu rumit. Tak perlu jadi sastrawan dulu untuk mulai merangkai kalimat. Cukup sadari hidup sebagai teks yang menunggu dibaca, ditulis, dan diarsipkan.

Malam tak hanya berbicara tentang puisi dan manusia, tetapi juga tentang zaman yang kian lihai mencipta ilusi. Ketika pertanyaan soal AI meluncur ke udara, Tengsoe menjawab dengan senyum penuh arti. “AI itu cerdas. Tapi tidak bisa nakal. Dan justru kenakalan itulah yang melahirkan puisi,” katanya. Kalimat itu, seperti tamparan sekaligus pelukan untuk zaman digital yang kehilangan denyut rasa.

Baginya, puisi bukan sekadar teks. Ia adalah resonansi batin. Maka dari itu, ia mengingatkan agar hasil kerja mesin harus tetap melalui mata dan hati manusia. Sebab puisi, seperti juga cinta, tak bisa dirumuskan oleh algoritma.

“Orang yang menulis tapi tidak membaca, puisinya akan terasa hampa. Pengetahuannya sempit. Terlihat dari cara memilih kata dan membangun metafora,” lanjutnya. Di titik ini, sastra seolah bukan sekadar seni, tapi jalan hidup yang memerlukan asupan, olah rasa, dan napas panjang.


Tokoh dan Tekad, Imajinasi dan Sindiran

Hadir malam itu, para penjaga api kesenian Banyuwangi. Hasan Basri, Ayung Notonegoro, S.A.Wm Notodiharjo, dan Elvin Hendrata mengisi ruang dengan aura kreatif yang hangat. Dari Basecamp Karangrejo, Hakim Said datang membawa semangat nyeleneh tapi jujur. “Kita harus berani membayangkan masa depan: rumah, mobil, bahkan punya istri dua,” katanya sambil tertawa, membuat ruangan sejenak menjadi panggung lawak yang filosofis. 

Di balik canda itu, ada keseriusan yang kentara. Hakim Said menegaskan dukungannya pada geliat kesusastraan lokal. Rumah Kebangsaan, katanya, akan menjadi rumah bagi siapa pun yang mau menyulap realitas menjadi kemungkinan.

Hasan Basri, dengan suara datar namun dalam, menyentil kebiasaan lomba puisi di sekolah. “Puisi tidak seharusnya dilombakan. Tapi kenyataannya, justru dijadikan ajang kompetisi. Kita perlu rumusan baru agar ekspresi tidak dikekang format,” katanya. Ia menyinggung pentingnya membuat indikator baru untuk membaca puisi sebagai jiwa, bukan sebagai teknik.


Diskusi makin hangat ketika para peserta mulai berbagi. Seorang pemuda bertanya bagaimana caranya menjadikan obrolan di warung kopi atau tontonan televisi sebagai cerita pendek yang menggugah. Tengsoe menjawab pendek tapi menohok, “Menjadi penulis adalah menjadi pembaca yang baik. Entah itu membaca buku, membaca peristiwa, atau membaca manusia.”

Kalimat itu menggantung di udara. Seperti puisi yang tak selesai, atau mungkin sengaja dibiarkan terbuka agar siapa pun bisa mengisinya dengan tafsir masing-masing.

Sebagai penutup, beberapa peserta membacakan puisi. Tak ada panggung tinggi. Tak ada batas antara penonton dan pembaca. Hanya ada suara, dan kata-kata yang mengalir seperti sungai kecil di tengah kota yang kian berisik.

Ketua DKB menutup acara dengan catatan kecil: bahwa malam ini bukan akhir dari pertemuan, melainkan pembuka dari perjalanan panjang. Perjalanan menggali batin, menyulam lokalitas, dan menghidupkan kembali sastra sebagai denyut hidup Banyuwangi.

Dan ketika malam benar-benar turun, para penyair itu pun pulang. Tapi kata-kata mereka tetap tinggal, menggema di lorong-lorong kota, menunggu pembaca berikutnya untuk meraba dan menghidupkannya kembali.

Obahlah, dunia. Sebab kata akan selalu punya cara untuk menyusup ke dalam perubahan.

Banyuwangi Festival Kembali Menggelar Banyuwangi Ethno Carnival: Ngelukat, Ziarah Rasa dan Warna

Banyuwangi (Warta Blambangan) Seperti ombak yang tak jemu mencumbu pasir, Banyuwangi Festival kembali menggulirkan gelombang pesonanya. Tahun ini, dari perut bumi yang menyimpan kisah dan kabut ritual, Banyuwangi Ethno Carnival (BEC) akan kembali melangkah di arak-arakan warna dan makna. Pada 12 Juli mendatang, kota ini bersiap menjadi panggung terbuka bagi “Ngelukat”, sebuah tafsir visual dari upacara pensucian jiwa masyarakat Osing.



Di bawah langit yang bersahabat, Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani menuturkan, “Kita mengangkat Ngelukat sebagai tema besar. Ia bukan sekadar ritus, melainkan lorong kultural yang menghubungkan manusia dengan kesadaran batinnya. Di tengah pengetatan anggaran, pariwisata harus tetap kita jaga. Karena dengannya, denyut ekonomi kita berdetak.”


Memang, tak sekadar perayaan rupa, B-Fest selalu menjadi napas panjang yang merawat napas kolektif daerah. Ia mengikat antara wisata, seni, dan identitas dalam satu tenun yang utuh. Dan tahun ini, dengan 42 agenda yang dikurasi ketat, B-Fest menambatkan fokusnya pada gelombang wisatawan—mereka yang datang bukan hanya untuk melihat, tetapi juga mengalami.


BEC, yang sejak lama menjadi suluh di kalender event nasional, hadir sebagai gerbang yang mengantar kita menyusuri keheningan sakral tradisi. Ratusan peserta akan menyeberangi jalan kota dalam parade sejauh satu kilometer—bukan sebagai penonton sejarah, melainkan pelukisnya. Kostum-kostum yang mereka kenakan bukan sekadar kain dan warna, tetapi doa yang dijahit dalam rupa, peluh yang dijalin menjadi busana.


“Banyak yang mendaftar,” ujar Plt Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Taufik Rohman. “Audisi kami bagi dalam empat zona. Setelah terpilih, mereka akan diasah melalui workshop bersama desainer, koreografer, dan pegiat seni budaya. Di situlah jiwa Ngelukat akan dihidupkan—dalam gerak, dalam detail, dalam getar.”


Antusiasme masyarakat pun menyeruak seperti kembang api di langit malam. Tak hanya karena pesonanya, tetapi karena BEC adalah ruang di mana warga bisa menulis ulang kisah leluhurnya dalam bahasa masa kini.


Ngelukat, dalam tema tahun ini, bukan hanya tentang air yang menyentuh tubuh. Ia adalah tentang manusia yang menepi dari kebisingan, lalu kembali dalam kesadaran baru—bersih, jernih, utuh. Dan Banyuwangi, seperti biasa, merayakannya bukan dengan diam, tapi dengan tarian, cahaya, dan ingatan yang menjelma rupa.


Seperti gumam lama yang tak pernah usang: “Siapa mencintai Banyuwangi, ia takkan pernah pulang dengan jiwa yang sama.” (**)


Banyuwangi, Tanah Seribu Wajah yang Dirindukan: Ribuan Wisatawan Serbu Kota di Ujung Timur Selama Libur Waisak

BANYUWANGI – Ada yang lebih hangat dari matahari pagi di pantai Pulau Merah. Ada yang lebih dalam dari laguna bening di Pulau Bedil. Banyuwangi, kota dengan detak jantung yang tenang namun penuh kejutan, kembali menjadi pelabuhan rindu bagi ribuan wisatawan selama libur panjang Hari Raya Waisak, Sabtu hingga Selasa, 10—13 Mei 2025.


Seperti melodi yang terus diputar, Banyuwangi tak pernah kehilangan pamornya. Dari pucuk-pucuk cemara Hutan De Djawatan yang bagai lorong dongeng, hingga kawah biru Ijen yang menyala sunyi di pelupuk malam, kabupaten ini seolah menyusun harmoni alam untuk siapa pun yang datang. Gunung dan laut menyatu dalam satu helai selendang, dijahit dengan keramahan yang tak dibuat-buat.



“Alhamdulillah, libur panjang kali ini menjadi berkah bagi Banyuwangi,” ujar Bupati Ipuk Fiestiandani dengan senyum yang sejuk, Minggu (11/5/2025). “Sebagian besar destinasi kami banjir pengunjung. Ini menunjukkan bahwa Banyuwangi masih menjadi cerita yang ingin terus dibaca, dikunjungi, dan dihidupi.”


Hotel-hotel penuh sesak, bukan oleh keramaian yang gaduh, tetapi oleh wisatawan yang membawa serta keinginan sederhana: menjauh dari rutinitas dan bersentuhan dengan keteduhan. Banyak dari mereka datang sejak Jumat, menjadikan kota ini seperti halaman buku yang dibuka bersamaan oleh banyak mata.


Salah satu halaman paling memesona dalam buku itu adalah Pulau Bedil, sebutir mutiara kecil di perairan Pancer, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran. Pulau ini tak lebih luas dari sejumput doa, tapi menyimpan keindahan seluas cakrawala. Laguna tenangnya mengajak tubuh untuk berenang dan pikiran untuk tenggelam dalam ketenteraman. Mereka yang menyelam di antara terumbu karang, menyaksikan biota laut menari dalam balutan cahaya, seperti puisi yang ditulis langsung oleh Tuhan.


Taufik Rohman, Plt. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, menyampaikan bahwa peningkatan pengunjung terjadi di hampir semua destinasi. Hutan De Djawatan mencatat 3.600 jiwa datang menyusuri pohon-pohon trembesi raksasa yang seperti hidup dalam dunia magis. Di kaki Gunung Ijen, 1.800 orang mendaki dengan napas yang tertahan oleh kagum. Pantai Grand Watudodol, Pulau Merah, Pantai Mustika, Cacalan—semuanya tak pernah sunyi, tapi tak pula gaduh. Seolah-olah wisatawan datang bukan hanya untuk menikmati, tapi untuk menyatu.


“Kunjungan meningkat tiga kali lipat dibanding hari biasa,” ucap Taufik. “Bahkan banyak homestay yang tidak lagi menerima tamu karena sudah penuh sejak awal akhir pekan.”


Banyuwangi, agaknya, bukan hanya destinasi. Ia adalah pengalaman yang tak bisa direkam hanya dengan kamera, melainkan dengan hati yang bersedia menepi. Ia bukan tempat untuk sekadar dikunjungi, melainkan untuk dikenang dalam waktu yang panjang.


Di kota ini, laut tidak sekadar ombak. Gunung bukan sekadar pendakian. Dan liburan bukan sekadar pelarian. Banyuwangi, dalam libur Waisak kali ini, adalah rumah bagi ribuan jiwa yang ingin sejenak merasa pulang. (*)

79 Penyair Banyuwangi Hebat Bersama Umat

Banyuwangi (Warta Blambangan) 79 Penyair Banyuwangi dengan menerbitkan antologi puisi Hebat Bersama Umat yang diselenggarakan Yayasan Lentera Sastra, Hal ini disampaikan Syafaat Sabtu (31/08/2024). Uniknya 79 Penyair Banyuwangi tersebut dari kalangan berangkat dari siswa Madrasah Ibtidaiyah hingga Asisten Sekretaris Daerah.

Syafaat menyampaikan bahwa dari beberapa penyair yang mengirimkan puisinya untuk di kurasi, ada karya siswa kelas 6 MI Darunnajah 2 Banyuwangi yang lolos, disamping itu juga karya Asisten 1 Sekretaris Daerah Kabupaten Banyuwangi serta Beberapa pejabat Kementerian Agama.


Judul Hebat Bersama Umat diambil sebagai ruh Kementerian Agama sebagai bentuk sudut pandang puisi dalam Moderasi Beragama.

Adapun 79 Penyair Banyuwangi tersebut adalah 

*Selamat untuk para penulis Hebat Bersama Umat, produksi Lentera Sastra.*


1. Chaironi Hidayat

2. Amak Burhanudin

3. Syafaat

4. Yanuar M Bramudys

5. Viefa

6. Aries Papudi

7. Samsudin Adlawi

8. Hasan Basri

9. Nurul Ludfia Rochmah

10. Dimyati

11. Muhamad Iqbal Baraas

12. Fatah Yasin Noor

13. Yasin Alibi

14. Uswatun Hasanah

15. Herny Nilawati Rochmah

16. Lulu’ Anwariyah

17. Eny Susiani

18. Abd. Kadir Jailani

19. 

Achmad Nadzir

20. 

Adeliya Paramitha

21. 

Ainun Nihaya Iswoyo

22. 

Anggiek Aditya Pamungkas

23. 

Annisa Rizqi Hidayati

24. 

Asih Hofifah

25. 

Asri Melfi

26. 

Dalila

27. 

Dwi Fitriani

28. 

Dyah Dhomi Eko Wulandari

29. 

Erika Yuriana

30. 

Erna Yunita KH

31. 

Evita Naila Sa’adah

32. 

Faiz Abadi

33. 

Galang Areta Ghiffari

34. 

Ghanina Najmannufus

35. 

Hanik Setyowati

36. 

Haninnuril Ainiyah

37. 

Heliya Ihromi

38. 

Hizkal Achmad Dayan

39. Iltiqoul Jannati

40. Inge

41. Isti’adah

42. Istikomah

43. Izzah Afcarina Fillah

44. 

Khusnul Khotimah

45. Kinanti Bunga A

46. M.Junaidi Sy

47. M. Rafli Dipo Yudo Adi P

48. M.Felda W.

49. Moch Afan Zulkarnain

50. Muhamad Novi Yusuf

51. Muhammad Asyraf Pasya

52. Muhammad Atijani

53. Mujikan

54. Nadya Shafwah Mubin

55. Natasya

56. Nur khoirun Ilayya

57. Oktavia Anisatur Rohmah

58. Putri Retno Indah Nirmala

59. Bening Rahma Dani

60. Rizki Shofya

61. Rizmatun Nadhifah

62. Rosid Tamami

63. Safa Zahratul Mila

64. Sazkya Yuana Salsabila

65. Sherly Nur Laili

66. Siti Barisah

67. Siti Ismawiyah

68. Siti Rohmatin Nazilah

69. Sri Endah Zulaikahtul Kharimah

70. Sri W

71. St. Muanifah

72. Sugeng Maryono

73. Sulistyowati

74. Titim Matus Solichah

75. Tri Khasanah

76. Triyuli Eka Riyatin

77. Wiwit Nurul Hasanah

78. Zemi Syaipulina

79. Zulfa Allailiyah


Banyuwangi, 29 Agustus 2024


DKB Banyuwangi Umumkan hasil Kurasi Peserta Jambore Sastra Asia Tenggara 2024

Bayuwangi (Warta Blambangan) Dewan Kesenian Belambangan (DKB) Banyuwangi, Jumat (30/08/2024) mengumumkan penyair 200 yang lolos kurasi Jambore Sastra Asia Tenggara, para penyair yang lolos ini bukan hanya dari Pulau Jawa ataupun Indonesia, tetapi juga dari Negeri Jiran Malaysia, dan Singapura. 


Para penyair yang lolos kurasi ini juga akan hadir dalam galadiner yang akan diselenggarakan di Pendopo Sabha Swagata Banyuwangi Oktober mendatang, para penyair ini bersaing ketat dengan ratusan penyair lainnya dalam meramu puisi dengan tema Ijen Purba.

Berikut nama-nama LOLOS KURASI 


1. Abd. Sarno Arbara

(Magetan Jatim)- Rindu 

Tanah, Batu dan Airmu


2. Abdillah Danny (Mojokerto)- Muhriyono


3. Abdul Halim (Kab Bangkalan)- Cinta Segi Empat Kaldera


4. Achmad Nadzir (Banyuwangi)- Dalam Kekapan Belerang Purba


5. Adziah Abd Aziz (Perak Malaysia)- Ijen Purba: Tanah, Air dan Batu


6. Aguk Wahyu Nuryadi (Banyuwangi)- Akik Batu Tarikan


7. Agus Takariyanto (Banyuwangi)- Membaca Batu - Mengigau Batu


8. Agus Widiey (Yogyakarta)- Di Puncak Ijen


9. Ahmad Zuawii (Melaka, Malaysia)- Orang Kecil di Kaki Ijen


10. Akmal Rahman Hanif (Banyuwangi)- Anatomi Tubuh Purba


11. Ali Satriefendi (Bekasi)- Ijen, Lewat Tengah Malam


12. Alif Firdaus Rosyidin (Banyuwangi)- Rinonce Kaldera Ijen Purba


13. Alif Raung Fidaus (Bondowoso)- Apa Kabar Ijen?


14. Alina Sukesi (Madiun)- Ijen Purba


15. Ameliyah Shafa (Sumenep)- Di Sela Kabut Purba


16. Aminatul Hasanah (Sumenep)- Indahnya Menyelimuti Kata 


17. Aminuddin S Gadi (Sumba, Nusa Tenggara Timur)- Ziarah Rindu di Tanah Gandrung


18. Ananda Fairus D.L (Jember)- Sebongkah Tawa Ijen Mengiringi Seranting Nyawa


19. Anindyabarata (Yogyakarta)- Ijen Purba


20. Antariksawan Jusuf (Tangerang Selatan)- Katakanlah Hai Ijen


21. Anto Narasoma (Palembang)- Cintaku Pada Kaldera Kosong, 


22. April Artison (Klungkung Bali)- Di Kaki Gunung Ijen Jejakku Abadi


23. Arfian Rizky Pratama (Kediri)- Kenangan Kemah Sastra


24. Ari Basuki (Daerah Istimewa Yogyakarta)- Kawah Ijen Dini Hari


25. Arif Haiqal Roslan (Selangor, Malaysia)- Izinkan Aku Tuhan


26. Arif W (Gunung Kidul Yogyakarta)- Di Stasiun Kalisetail


27. Azizah Mds (Kedah Malaysia)- Banyuwangi


28. Bagus Likurnianto (Banjarnegara, Jawa Tengah)- Kawah Ijen, Biru Api Cinta Menyala di Dada Mereka


29. Baharuddin Amir (Barru, Sulawesi Selatan)- Riwayat Tanah


30. Bambang Kariyawan Ys (Riau)- Cerita-cerita Edelweis


31. Bambang Widiatmoko (Bekasi)- Gandrung Kawah Ijen


32. Barupawati Utamaju Baharum (Kuala Lumpur-Malaysia)- Bicara Sukma Lembah Ijen 


33. Budi Setiawan (Buset) (Purworejo)- Ijen yang Tekun Sendiri


34. Chiesetiawati (Kuningan, Jawa Barat)- Doa dari Rongga Dada


35. Chris Triwarseno (Semarang)- Sebuah Pertanyaan Purba


36. Christiya Dewi Eka (Bekasi)- Janji pada Pukul Waktu Ijen


37. Citra Sasmita (Bali)- Menyusur Garis Leluhur


38. Cura Lara_Erli Norafiza Abu Hafiz (Johor Malaysia)- Manusia, Cinta, dan Kawah Ijen


39. Daviatul Umam (Sumenep)- Melankolia Idjen Purba


40. Dayangku Mastura (Sabah, Malaysia)- Gunung, Tanah


41. Denok Ayu Uni Aisandi (Bekasi)- Kawah Ijen: Jiwa Kokoh, Cantik dan Tabah


42. Denting Kemuning (Surabaya)- Lelaki Pemanggul Beban di Lembah Ijen


43. Devika Nur Baity (Banyuwangi)- Garis Waktu Biru


44. Dicky Firmanzah (Surabaya)- Tanah, Air, Batu dan Kamu


45. Dr Muhammad Khairuddin Lim Tanjong (Malim Malaysia)- Setia dan Berani


46. Dr. Dil Froz Jan (Selangor Malaysia)- Kota Tepi Sungai


47. Dr. Roziah Ramli (Malaysia)- Aku Tidak Mahu Bermimpi Lagi


48. Dwi S Wibowo (Bali)- Ijen Batukaru


49. Dwi Tirta (Bondowoso)- Pemandangan Tak Terlupakan


50. Dyah Dhomi Eko Wulandari (Banyuwangi)- Lontar Ijen Purba


51. Edi S Febri (Batang, Jawa Tengah)- Kawah Ijen Melukis Kenangan


52. Eko Wahyu Pratama (Banyuwangi)- Wisarga


53. Elsa Fatimatus (Jember)- Memori ijen


54. Emi Suy (Jakarta)- Perjalanan Menempuh Ijen Purba


55. Endut Ahadiat (Padang)- Kawah Ijen dan Topeng Konah


56. Erna Winarsih Wiyono (Bogor)- Kidung Ijen


57. Estu Puji Handayani (Bondowoso Jawa Timur)- Tanah-Mu, Air-Mu, dan Batu-Mu


58. Faidi Rizal Alief (Sumenep)- Tanah, Air, Batu, dan Puisi yang Baru Tumbuh


59. Fatah Yasin Noor (Banyuwangi)- Senja Itu, Paltuding


60. Ferdi Afrar (Sidoarjo, Jawa Timur)- Kopi dan Kaldera, Wengi Geni


61. Fileski Walidha Tanjung  (Madiun)- Larung Luka


62. Firman Wally (Ambon)- Menjejaki Purba


63. Gatot Hariyanto (Banyuwangi)- Ijen Purba Menggugat


64. Gimien Artekjursi (Banyuwangi)- Pesona Ijen: Sampai Kapan Bertahan?


65. Gurit Asmara Ruci (Tulungagung)- Menafsir Ulang Isyarat Purba Ijen


66. Hairul Izuan Mohd Bidin (Kuala Lumpur)- Menggenggam Sekepal Belerang


67. Hanifah Dwi Hermawati (Bondowoso)- Hamparan Sajadah Kaldera Ijen


68. Hanom Ibrahim Lubis- Silir Angin dan Deru Ijen Banyuwangi


69. Hardjani, S.S. (Banyuwangi, Jatim)- Ijen


70. Haryatie AB Rahman (Kelantan Malaysia)- Tanah yang Indah


71. Helmy Khan (Sumenep, Madura)- Tubuh Penambang Lembah Ijen


72. Herny Nilawati (Banyuwangi)- Singgasana Barong Ider Bumi


73. I Nyoman Wirata (Denpasar)- Edelweiss Api Biru di Mata Kameramu

 

74. Ibna Asnawi (Sumenep)- Telaga Ijen


75. Ika Permata Hati (Temanggung)- Penambang Belerang dari Tanah Blambangan


76. Ilhamdi Sulaiman (Medan)- Bunga-bunga Api


77. Imam Akhbar (Medan)- Ijen Purba Mengurai Kisah


78. Imam Budiman  (Jakarta)- Membaca Manakib Ijen Purba


79. Ina Herdiyana (Sumenep)- Menuju Kawahmu


80. Indrayanto (Medan)- Kontemplasi di Puncak Ijen Purba


81. Indri Yuswandari (Blitar Jatim)- Tanah Napas, Batu Jiwa


82. Irawan Sandhya Wiraatmaja (Tangerang)- Di Sungai Kalipahit


83. Irna Novia Damayanti (Purbalingga)- Memotret Kawah Ijen


84. Isbedy Stiawan Zs (Lampung)- Cahaya Candi


85. Ita Puspita Sari (Sumenep, Madura)- Neurotisme


86. Izzatul Hikmah (Sumenep)- Ijen dan Sepertiga Malam dalam 

Diksiku


87. Jesika Putri Dwiandini (DKI Jakarta)- Amarah Sang Ijen Purba


88. Juli Prasetya (Banyumas)- Membaca Abad Kekosongan Ijen Purba


89. Kasdi Kelanis (Sragen)- Kata Temanku


90. Kasmawati Yakub (Jeneponto, Sulsel)- Hutan Cadas Hitam


91. Kathirina Susanna Tati (Malaysia)- Keagungan Pencipta Langit dan Bumi, Keindahan Abadi, Harmoni yang Sempurna


92. Khairul Umam (Sumenep)- Ijen dan Misteri yang Terus Berdengung


93. Khalil Satta Èlman (Yogyakarta)- Kaldera


94. Khurin In Noviarani (Gresik, Jawa Timur)- Tak Lekang Waktu


95. Kurnia Effendi (Jakarta)- Amsal Kesendirian


96. Lailah Nurdiana (Yogyakarta)- Kaldera Ijen Purba


97. Leenda Madya (Semarang)- Menggali Harapan di Kawah Sunyi


98. Litalia Putri (Banyuwangi)- Litani Puan Blambangan


99. Lutpi Aulia (Sukabumi)- Tanah Jejak Erupsi


100. M Anton Sulistyo (Jakarta)- Kawah Wurung, Pemandu Wisata


101. M Firdaus Rahmatullah (Jombang)- Patokan


102. M. Syahrul Shobirin (Banyuwangi)- Bebatuan Bercerita


103. Mahendra (Bali)- Blues Ijen, Batu Gunung


104. Masriyah Misni (Selangor)- Sekras Batu Jalanan


105. Matroni Muserang (Madura)- Ijen, Tanah Kekasih


106. Merawati May (Mukomuko, Bengkulu)- Surat Cintamu, Ijen, Ddi Atas Black Lava Ijen


107. Mh. Dzulkarnain (Sumenep, Madura)- Montase Tubuh Ijen


108. Michael Djayadi (Yogyakarta)- Hikayat Plalangan


109. Moh. Ghufron Cholid (Sampang)- Subuh di Ijen


110. Mohamad Saleeh Rahamad (Perak Malaysia)- Lelaki-lelaki Perkasa Banyuwangi


111. Mohammad Saroni (Mojokerto)- Serpihan Surga


112. Mohd Rosli Bakir (Pontian, Johor, Malaysia)- Lembah Ijen: Tanah, Air dan Batu


113. Momo (Banyuwangi)- Kau yang Berdiri Di saana


114. Muda Wijaya (Karangasem)- Lelaki Tuna Rungu dan Aku yang Menari di Kawah Ijen


115. Muhammad Lutfi (Pati)- Wajah Ijen


116. Muhammad Sheva (Yogyakarta)- Blues untuk Orang-orang Tambang


117. Muhammad Syamsa (Boyolali)- Biru Purba


118. Muhsyanur (Wajo, Sulsel)- Refleksi Ijen: Dialektika Eksistensi


119. Mulyadi J. Amalik (Kota Surabaya)- Ijen dan Gusti Mahacinta


120. Mundzir (Madura)- Semua tentang Dirimu


121. Mustain Romli (Probolinggo)- Ijen dan Sejarah Cinta


122. Muzayyana (Bondowoso)- Lelaki Tuna Rungu dan Aku yang menari di Kawah Ijen


123. Nabilatul Mu'tabarah (Sumenep, Jatim)- Kehangatan Surga di Ijen


124. Nanang Suryana (Bogor)- Anatomi Ijen


125. Nani Asiani (Banyuwangi)- Batu dan Para Nestapa


126. Neneng Hendriyani (Bogor)- Di Lereng Ijen Aku Berdiri


127. Neng Lilis Nuraeni (Subang, Jawa Barat)- Ijen dan Kenangan di Saku Bajumu


128. Nor Faizah (Sumenep)- Deskripsi Virtual Lewat Mata


129. Norasmah Binti Mounojij Noor (Negeri Sembilan)- Keranjang Usang


130. Nuhbatul Fakhiroh Maulidia (Banyuwangi)- Kaldera 


131. Nunung (Banyuwangi)- Tapak Tangan Bumi Osing


132. Nur Komar (Jepara)- Jejak-Jejak Tanah Tua


133. Joni Hendri Tapung (Kampar, Riau)- Batu-batu yang Timpa Air


134. Othman Bin Suhot (Singapura)- "Ijen Purba" Tanah, Air, Angin


135. Qudwatul Imamah (Sumenep)- Kawah Ijen dan Segala Cintanya


136. Ratih Ayu Puspitasari (Surakarta, Jawa Tengah)- Hikayat Alam Kasmaran


137. Rayhanun Jannah (Aceh Utara)-  Ijen: Si Lanang Desa


138. Rezqie M. A. Atmanegara  (Hulu Sungai Tengah, Kalteng)- Api Biru di Belahan Dada Ijen


139. Riami (Malang)- Lagu Mars Ojek Troli Kawah Ijen


140. Ridwan (Sukabumi)- Sesajen Ijen


141. Rini Intama (Tangerang)- Ijen


142. Rissa Churria (Banyuwangi)- Bumi Osing Tanah Kelahiran


143. Romi Sastra (Jakarta)- Perjalanan ke Kaldera Purba


144. Roslina (Sumatera Barat)- Ijen Purba Cinta dan Takdir


145. Roso Titi Sarkoro (Temanggung)- Membaca Banyuwangi


146. Rouzil Armiza (Negeri Sembilan Malaysia)- Gunung Ijen: Pesona Api Biru


147. Rusdi El Umar (Sumenep)- Ijen Berkelopak Rindu


148. Safiratul Khairoh (Sumenep)- Paras Ijen


149. Sahar Bin Misron (Kualalumpur)- Kawah


150. Sahbuddin dg. Palabbi (Jakarta)- Penggali Asa di Tanah Nirwana


151. Saiful Bahri (Sumenep, Madura, Jawa Timur)- Kabut Waktu


152. Salimah binti Shamsuddin (Lenggeng, Negeri Sembilan, Malaysia)- Impikan Hangat dan Pesona Alam Kaldera Ijen Purba


153. Salamet Wahedi (Sumenep)- Jendela Hujan


154. Samsudin Adlawi (Banyuwangi)-  Api Surga


155. Ibnu Din Assingkiri (Pulau Pinang Malaysia)- Aturan yang Sangat Indah


156. Sapta Arif (Ponorogo)- Perkabungan Kencana Wungu


157. Sausan Al Ward (Riau)- Batu Tertegun


158. Selendang Sulaiman (Jakarta)- Setetes Air Pemecah Batu


159. Setiyo Bardono (Depok)- Setinggi Apapun Mendaki


160. Shield Sahran (Malaysia)- Sebagian Dariku


161. Sindah Laili Nurjanah (Kediri)- Puisiku Letupan Ijen Purba


162. Siti Khalifatur Rahma (Sumenep)- Riwayat Api Bermata Biru


163. Soekosoroeeee (Purworejo)- Menerka Makna Api Biru


164. Sri Lestari (Banyuwangi)- Menyisir Laku Tanah Ijen


165. Sri Utami (Jember)- Tekad


166. St Muanifah (Banyuwangi)- Sudut Kecil Kawah Ijen


167. Sugik Muhammad Sahar (Pamekasan, Madura)- Napak Tilas di Semenanjung Blambangan


168. Suhandayana (Surabaya)- Diorama Niskala Ijen Purba


169. Sukardi Wahyudi (Kukar Kaltim)- Bumi Ibu kepada Air


170. Sukron Hidayat (Bondowoso)- Kalipait: Bongkahan Cinta Nenek Moyang


171. Sultan Musa (Samarinda)- Sempuri Ijen Purba


172. Sunyoto Sutyono (Jember)- Silhuet Kehidupan di Ijen


173. Supali Kasim (Indramayu)- Di Puncak Pendakian


174. Sus S. Hardjono (Sragen)- Kawah Ijen Menyala


175. Suyitno Ethex (Mojokerto)- Puncak Ijen Dini Hari


176. Syafaat (Banyuwangi)- Pendar Lembah Ijen


177. Syafaruddin Marpaung (Tanjungbalai)- Langkah di Tanah Belerang Ijen


178. Syafia Asy Syafaqoh P.S (Bondowoso)- Simfoni Magis Api Biru


179. Tata Irawati (Kutai Kartanegara)- Sang Giri Ijen nan Elok


180. Tatan Daniel (Jakarta)- Di Jalan Menuju Ijen


181. Tengsoe Tjahjono (Malang)- Dolmen


182. Tirta Baiti (Banyuwangi)- Bencana Berujung Pesona


183. Tjahjono Widarmanto (Ngawi)- Rahasia Batu


184. Tri Wulaning Purnami (Sidoarjo Jawa Timur)- Bianglala Ijen Purba, Derap Ijen Purba


185. Tria Achiria (Banten)- Di Ceruk-Ceruk Dinding Kaldera Ijen Purba


186. Tutut Kismiati (Sidoarjo)- Sebagai Batu


187. Udi Utama (Depok)- Banyuwangi Memanggil


188. Uleceny (Sumbawa)- Debu dan Gerimis, Api pada Senjaku


189. Umie Maisarah (Selangor, Malaysia)- Warisan Dunia


190. Uswatun Hasanah (Banyuwangi)- Lembah Ijen, Harga Tetes Peluh Penambang


191. Vironika Sri Wahyuningsih (Tangerang, Banten)- Kaldera dan Ibu Bumi


192. Vito Prasetyo (Malang)- Lanskap Ijen Purba


193. Wahyu Rizki Kurnaini (Banyuwangi)- Kemuning Berpijar Biru


194. Warits Rovi (Sumenep)- Ijen yang Tiada Dua


195. Willy Ana (Depok)- Kabut Ijen


196. Yeti Chotimah, M.Arts (Banyuwangi)- Hikayat Kelahiran


197. Yuliani Kumudaswari (Yogyakarta)- Abadi, Kaldera Bercerabut


198. Zabidi Yakub (Lampung)- Saat Angin Sedang Birahi


199. Zahwa Jihan Soraya (Banyuwangi)- Surat Tirtaganda


200. Zickyn Chan (Mojokerto)- Gunung Ijen Purba



Jumat, 30 Agustus 2024

Kurator:

Wayan Jengki Sunarta

Mahwi Air Tawar

Mutia Sukma

Siswi MI Darunnajah 2 Berangkat Liga Puisi Dari Rumah Sakit

Banyuwangi (Warta Blambangan) Empat hari berada di rumah sakit tidak menyurutkan niat Naila Taqiyyah untuk mengikuti Liga Puisi 3 Anak Merah Putih Selasa (24/10/2023) di Jawa Pos Radar Banyuwangi.


Naila masuk Rumah sakit Yasmin sabtu setelah mengikuti latihan baca puisi bersama teman temannya. Tepatnya untuk menjadi yang terbaik dalam Liga Puisi 3 mengalahkan sakit tipus yang dialaminya. Meskipun oleh guru dan pelatih disarankan untuk tidak ikut jika tidak kuat, namun tekat Naila mampu menghalau rasa sakitnya.


Kepala MI Darun Najah II  Majidatul Himmah sempat kaget ketika Neula hadir di Radar Banyuwangi, karena tidak ad konfirmasi sebelumnya jika peserta didiknya itu mampu hadir di Liga Puisi.

"peserta berangkat dari madrasah, sedangkan Naila yang baru kelas 2 berangkat langsung dari rumah sakit" kata Majid.


Lebih lanjut Majid menyampaikan bahwa peserta dari MI Darunnajah II rutin melakukan latihan dengan pelatih dari Sanggar Merah Putih 45 maupun komunitas Lentera Sastra, pada latihan terahir mereka tampil dengan disaksikan para orang tua masing-masing.

Majid menyampaikan bahwa tujuan utama mengajak para siswa mengikuti Liga Puisi 3 untuk menumbuhkan sikap berani pada siswanya, hal ini sangat penting untuk membentuk karakter yang kuat pada peserta didik.

Lontar Yusuf

 Fatah Yasin Noor

*Lontar Yusuf* 


Pagi tadi aku sedih

Setelah menyimak seorang pakar

Mengulik Lontar Yusuf

Yang ternyata penuh narasi

Masih menjadi misteri

Karena suka samadi

Yang tak sekadar narasi

Tapi mengandung kearifan hidup

Nenek moyang kita di dekat sini

Disini, di tanah Blambangan ini

Menyebut Sang Kekasih 

Lewat tembang yang merayap

Mengetuk hati insani 


Hidup ratusan tahun yang lalu

Sayup-sayup terdengar lagi walau

Tidak asli lagi

Bahasanya tak kita kenali 

Tapi rasanya tak tertandingi 


Di latar belakang itu aku tahu

Ada tangan kuasa yang mengubah

Perlahan berubah sekaligus

tak berubah

Ketika nenekku menulis surat

Dengan hurup Pegon

Di selembar kertas buram

Mengasapi relung hati

Tak diajarkan di sekolah lagi

Tak disadari berganti hurup latin  

Tiba-tiba bicara revolusi industri

Jauh lebih kuat dari

ketakutanku pada hantu-hantu 


Rabu Pungkasan, 6 Oktober 2021

29 Safar 1443 H

Sumur Tua

 Fatah Yasin Nor

Sumur Tua


Jangan menungguku

Berjalanlah terus di garis

Batas antara harapan dan impian


Di sini telah kuhirup

Wangi kembang kopi dan

Uap cascala dalam seduhan angin


Sebab menjelang senja nanti

Siapa tahu berkelebat

Latifa tanpa BeHa


Rambut basah habis keramas

Dari sumur tua yang tak pernah kering

Membuat gerimis dalam hatiku


28/08/2021

SENAPELAN DAN WAJAHMU

 Nurul Ludfia Rochmah

SENAPELAN DAN WAJAHMU


Bergegas melaju dalam keramaian 

Menelusuri masa silam dan mengingat kisah

Dari sini sejarah bermula

Kampung Bandar memberi jalan semesta

Memberi gelora adat Melayu 

Menggambari  langit Melayu

Bergegas mencari wajahmu 

dalam riuh Senapelan

Menjelajah tempat yang amat jelas di pikiran

Nanti ketika waktu meminjamkan kendaraan

Dan kesempatan memberi jalan

Tak lama akan kuangkut semua perbekalan 

dan juga perasaan

Mungkin dari Senapelan, sejarah baru dimulakan

Ketika dulu ia simpang lintas perdagangan

Lada, damar, kayu, gambir, dan rotan

Menjadi pekan saudagar tanah Minang

Hulu sungai Siak, wajah Senapelan berbiak

Aku membaca, bandar menjadi Pekanbaru

Kini atau entah nanti jadi jalan rindu

Setelah itu di simpang jalan

Jembatan Siak satu, aku mengeja nama

Entah Senapelan atau kampung dalam

Entah kenangan atau wajah yang terus kugenggam

MENARI

 Faiz Abadi

MENARI

Ku lihat batas langit

Sejauh batas panda gan

Malam semakin jahanam

Ketika kulumat rasa disemak belukar

Seolah pasrah namun menantang

Kau tiba-tiba pandangi rembulan

Debur ombak serakah

Memuncrat basahi bibir merekah

Jangan lanjutkan kisah 

Tubuh rebah bangkit

Tangan memeluk diri

Benarkah rindu harus serakah

Kangkangi lembah sakral

Demi tarian sesaat

Tenggelam sesat tanpa martabat

Baiklah ku peluk erat saja

Walau langkahi norma

Kupeluk hangat

Tepiskan gelora

Kutulis lunas

Entah mengapa

Angker malam lenyap seketika

Musik alam seperti terbenam

Tanganku hanya menari

Lalu membelai rambutmu

Kunikmati seperti sejumput kopi

Seperti bidak-bidak di kedai Catur

Ku korbankan demi gengsi

Menang

Tarianku tak lagi gamang

Enam jam sudah cukup

Bergulat rasa

Bergoyang tanpa irama pasti

Rinduku tambah merdeka

Sepi itu, Entahlah Apa Namanya

 Sepi itu, Entahlah Apa Namanya

By. Viefa


Sepi itu terus menggoda

Aku ingin berlalu saja

Mencari sisa-sisa rahasia yang dianugerahkan untuk semesta

Sepi ini terus melanda

Aku ingin menampik semua

Mistik suara menyusup gending purba

Oh angin mengering

Dimanakah kau sandarkan sisa suaraku yang pernah ku titipkan

Sepi itu bercerita

Riang di balik kaca hanya mampu kutangkap sementara

Selebihnya aku hanya mendengar redup celoteh makin sirna


Banyuwangi, 270821

#healing@viefa

PERJALANAN SETELAH PERSAKSIAN

 Faiz Abadi

PERJALANAN SETELAH PERSAKSIAN 

Aku lahir dan besar di kaki ijen

Spiritualku diantara auman macan jawa, desis ular kobra, ditengah belantara

Sebelum kabar dari sembilan kekasih dari langit samawi

Gigitan berbisa, cakaran raja rimba takkan terasa

Tawa peri, kuntilanak, genderuwo, pocong, raja siluman

Hanya seperti musik pengantar tidur

Belum lagi bertahun menyatu dalam debur ombak plengkung

Hening dalam auro Purwo

Beranikah datang hanya orasi

Basi seperti janji pepesan kosong

Namun ketika yang datang Syeh maulana isyak

Akupun terisak 

Jinakkan kobaran membara

Langitku tunduk pada langitnya

Tanpa harus kehilangan muka

Datanglah semua

Disini miniatur bhineka tunggal ika

Segala suku

Juga segala puncak ilmu hutan-hutan pertapa

Wahai dengarlah

Lahirmu bukan biasa saja

Apakah mungkin sayu wiwit hadir dengan kecengengan

Sedangkan laki-laki kompeni terkebiri

Apakah mungkin Prabu Tawang Alun gegerkan puncak Raung

Hanya dengan tekad munajat sekedarnya

Hingga Sang Maha perkasa limpahkan Gagahnya

Macan putih tunduk

Menjadi tunggangan 

Begitu pula ketika Buyut Wongsokaryo murka

Sabda lumatkan kesombongan 

Pada Agustus ini para syuhada tetap berharap 

Lanjutkan persaksian dengan pengorbanan

Lare osing takkan terjunggal 

Kecuali sesaat 

Menghela nafas

Kemudian kembali kibarkan

Kobarkan dilangit Belambangan

Raga bumi pertiwi dari ujung timur Jawa

SUDAHI MALAM INI

 Faiz Abadi

SUDAHI MALAM INI

Istirahatlah

Sudahi malam ini

Lupakan kita pernah ada

Lupakan singgah disini

Awalnya begitu berat tinggalkan

Lenyapkan impian, sisa harapan

Hentikan malam seolah esok tiada

Karena belum tentu milik kita

Membungkuklah dalam tawadhu

Sejak matahari tinggalkan senja

Sisakan angan dalam satu nafas

Selesaikan segera

Lebih baik meniada sebelum ditiadakan

Namun apalagi pagi datang

Berarti masih diberi kesempatan

Cangkulkan tangan tanami petak-petak kesempatan

Seolah diberikan nyawa selamanya

Tapi masih seandainya

Selesaikan dulu mimpi malam ini

Bersamakah Dia?

LEPASKAN JARING-JARING SUTERA

 Faiz Abadi

LEPASKAN JARING-JARING SUTERA

Begitu halus menjerat

Tak terasa usia hampir sekarat

NamaNya sering hanya lewat

Tanpa suluk apa bisa

Atau titipkan pada sholawat

Atau bermunajad bersama para kekasihNya

Pada belantara tanpa petunjuk jalan tak bisa

Sedangkan kuda-kuda jalang terus meradang

Sang penggoda telah ikrarkan diri

Segenap pintu dimasuki

Hingga sebanyak-banyak manusia kelak ikuti

Tebarkan jaring selembut sutra

Banyak tak melihat

Bahkan sampai akhir hayat dikandung badan

Lihat utusan Musa malu pada khidir

Utusan Ayub tak lelah didekap derita

Utusan Sulaiman tak lengkah

Dipeluk singgasana berbalut emas permata

Semua adalah jaring sutra bagi yang alpa

Lalu terperdaya

Tak terasa berhari-hari berenang dalam mimpi

Semu terus sepanjang waktu

Ketika waktu tinggal setarik nafas

Menangis telah terlambat

Sia-siakan amanat 

Ayo lepaskan kepakkan sayap 

Kibarkan bendera 

Hingga sukma merdeka

Lepaskan dari kukungan belenggu nikmat sesaat

Lewat tujuh pintu penyesat

Selebrasi Praja 28

 *Selebrasi Praja 28*

Derap gegap langkahmu pagi ini

Adalah perjuangan panjang yang kau lalui

Janganlah langkahmu terhenti

Karena ini baru mulai

Air mataku berderai

Ketika tanganmu tegap melambai


Hatiku selalu bersamamu

Dalam setiap derap langkamu

Sejak dalam rahim ibumu

Hingga ke peraduan terahirku


Perjuangan belumlah tuntas

Selebrasi hanyalah batas

Mendapatkan janji seutas

Bumi pertiwi memanggilmu bergegas

Kami telah rela melepas


Wahai para praja

Yang keluar dari lembah para kesatria

Aku tak sempat menghamburkan raga

Menyambutmu dengan segera

Percayalah, batinku tersiksa

Diantara rasa bahagia


03082021

DALAM NAFAS TERBATAS

 Faiz Abadi

DALAM NAFAS TERBATAS

Tunggu apa lagi

Satukan pikiran satukan jiwa

Sebut nama hingga tinggal rasa

Sirnalah dalam fana

Barulah kenal diri sendiri

Terbukalah rahasia adaNya

Lenyaplah mimpi puas dunia

Lenyaplah kelezatan terkadang menyesatkan

Lewati syariat

Jalani tarekat

Tenggelamlah dalam hakekat

Puncak makrifat biarlah datang atas kehendakNya

Tunggu apalagi

Haruskah disadari

Saat kain kafan menghampiri

Tiada lagi kesempatan

Padahal jalan-jalan telah ditunjukkan

Namun tetap saja

Angan-angan ikuti hati berbolak balik

Ikuti siang-malam

Pagi pun selalu hampa

Sang kekasihNya ada dimana-mana

Tuntunkan jalan menuju kesempurnaan

Tinggal mau atau tetap putus harapan

Ilusi terus bernyanyi dalam lorong lingkaran hampa

Hentikan ....

Masih ada waktu 

Bercermin pada semesta

Apalagi wabah tak juga berhenti

Masihkan merasa

Hidup atas mau sendiri

TANGIS BAYIKU

 Abdullah Fauzi

TANGIS BAYIKU

tiga hari lalu

Ibu bayi ini mati

Karena kekurangan darah saat melahirkan

Ayahnya tak bisa pulang

Komunikasipun hilang

Malam ini

Persediaan susu kaleng habis

Lengking tangis haus tak mampu kuredam

Kucoba dendangkan ninabobo

Iapun diam

Matanya memejam

Tapi bibir mungilnya masih merintih

Aku coba ikut pejamkan mata

Tapi laparku membuat mata terus terjaga

:lalu bagaimana dengan bayiku?

Kugendong ia dengan selendang Juwono

Kugayuh becak telusuri jalan kota

dengan harap ada iba 

menghampiriku

Tapi tidak

Jalanan sepi

Jalanan gelap

Jalanan banyak yang di tutup

Jalanan dijaga

Semilir angin menggugah tangis bayiku

Melengking penuhi kematian hati siapa saja

Bwi 100721

Lapar di sepertiga malam*❤️

 Puji

*Lapar di sepertiga malam*❤️


Jam dinding di gubuk ku

Detaknya memburu

Gulitaku terganggu

Oleh getarannya


Aghh

Wes meh subuh

Jare wes sepertiga malam

Namun hamparan selimut ini

Lebih ingin kunikmati


Batinku perang

Antara memelukmu

Atau bercengkerama

Dengan sang pemberi

Kehidupan ini..


Satu...

Dua...

Tiga...

Empat...

Asmara kita

Nafas kita

Tergeletak di ujung ranjang nestapa


Aku lapar

Di sepertiga malam

Tuhan imbuhkan

Dahaga Iman

Dalam untaian pinta


Hingga muadzin di mushola mengumandangkan

Suara panggilan adzan

Aku masih lapar

Dalam sajadah panjang

Hingga genangan tak tersisa 


Aghh, Tuhan

Sepertiga malam

Hampir hilang

Tapi lapar ku

Belum terkabarkan

Kenyangnya kapan...


_pak, saya lapar_

😭

LUMATLAH WADAH TELANJANGKU

 Faiz Abadi

LUMATLAH WADAH TELANJANGKU

Telah terbuka dada lebar

Namun kau lewat tanpa menyapa

Nyanyi dalam perih

Seperti buih dikulum lidah samudra

Ku sebutkan nama

Hingga hilang dalam hampa

Tinggalah jembatan rasa

Setelah melewati titian fatamorgana

Berenang-renang dalam harapan

Bercampur noda cinta dunia

Rasa ini tidak pernah mati

Menembus jasad 

Terbang di antara ruang-ruang kosong

Lidah-lidah menjulur pernah memperdaya 

Tersungkur sebentar pada lautan fitnah

Telah ku buang segala rasa gamang

Jasadku telah berbungkus kafan dunia

Lalu garang ku hempaskan ke bumi

Tak lagi menyeringai

Pada manusia-manusia hina papa

Telah telanjang segenap wadah jiwa

Jangan hanya terima sekejab

Sabarku sudah merasuk ke dalam darah daging

Kegelapan  sama sekali tak menakutkan

Terbenam dalam mimpi

Terkadang pudar lewati air selokan

Namun kemarilah

Jangan pernah lepas peluk kasihmu

Di sini pada lubuk rasa paling dalam

Kemudian terus terbawa melintasi lima penjuru alam

Dari sebelum bertapa pada rahim ibu

Berhenti pada upacara perhitungan di Padang  Mahsyar

BUDAK DI DEPAN BIDAK

 Faiz Abadi

BUDAK DI DEPAN BIDAK

Hari terus menapak senja

Bidak-bidak catur terus terhempas

Kemenangan sang raja adalah segalanya

Seperti juga dirimu

Jika mabuk kepayang saat betkuasa

Tangisan derita nyanyi menyebalkan

Derita kekalahan adalah gelak tawa

Ha...ha...ha...

Angkuh adalah batu karang

Rapuh terhempas kesana kemari

Menari dalam senyum pahit

Kau tahu

Semua tahu

Ha...ha...ha

Biarkan memelas

Mana mungkin peduli

Ha...ha..ha..

Skak mat dia tertunduk malu

Siapa menyuruh kalah

Bukankah nasib si lemah seperti bidak-bidak jadi budak

Ha...ha...ha...

Sejak dulu tangan kurus menggapai-nggapai

Wajah-wajah pongah terus menginjaknya

Dasar nasib orang-orang selalu kalah

Nasibpun sama Jadi budak seperti bidak-bidak

Ha...ha...ha...

Tapi terkadang hati kecil bertanya

Penyiksaan oleh derita

Pantaskah hanya dimiliki mereka

Kemiskinan dan kekalahan adalah bahan perundungan...

Ha....ha...ha...

Tertawalah sepuasnya

Tapi ingatlah kau pun pasti mati

Tertikam sombong sendiri

 
Copyright © 2013. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Template Modify by Blogger Tutorial
Proudly powered by Blogger