Pages

Tampilkan postingan dengan label Puisi Lentera Sastra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Puisi Lentera Sastra. Tampilkan semua postingan

Wisata Baluran Banyuwangi

 Wisatawan Tidak Butuh Tahu Batas Administratif 

Saya ingin memulai tulisan ini dengan satu kalimat yang tidak bisa ditawar-tawar: Saya orang Banyuwangi. Bukan dari kabupaten sebelah. Titik.


Bukan karena saya tidak mencintai tetangga. Bukan karena saya tidak tahu etika bertamu. Tapi saya tahu betul batas-batas rumah saya. Dan saya tidak suka jika ruang tamu rumah saya, dipelintir-pelintir seperti pekarangan orang.



Ambil satu contoh: Baluran. Secara administratif, betul. Itu masuk Kabupaten Situbondo. Tapi orang Jakarta—atau turis manapun—tidak punya urusan dengan administrasi. Mereka tidak mengurus surat tanah, tidak mengajukan KTP, tidak mencalonkan diri sebagai lurah. Mereka hanya ingin liburan. Dan mereka datang ke mana? Ke Banyuwangi.


Mereka tidak peduli perbatasan. Mereka tahu kota kedatangan mereka. Tiket pesawatnya Banyuwangi. Tiket keretanya Banyuwangi. Hotel tempat mereka menginap: Banyuwangi. Tempat mereka mencari rawon: Banyuwangi. Tempat mereka beli oleh-oleh: Banyuwangi.


Lalu mereka tanya ke resepsionis hotel: “Mas, ada wisata alam yang bagus enggak di sekitar sini?”

Lalu resepsionis menjawab: “Coba ke Baluran, Pak. Tapi berangkatnya pagi ya, biar lihat bantengnya masih di padang rumput.”


Apa lantas wisatawan itu mengernyitkan dahi dan bertanya, “Lho, itu masih Banyuwangi atau sudah Situbondo, Mas?”


Tentu tidak.


Orang-orang Jakarta, atau Surabaya, atau Berlin, atau Kyoto, tidak berpikir seperti itu. Karena bagi mereka, destinasi tidak punya batas administratif. Sama halnya ketika orang Banyuwangi ke Malang. Mereka tidak bilang, “Hari ini saya ke Batu.” Mereka bilang, “Saya mau liburan ke Malang,” padahal mayoritas objek wisata yang dituju itu ada di Kota Batu. Sama halnya ketika kita ke Jogjakarta, kita bilang ingin ke Candi Borobudur. Padahal itu di Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Tapi kita tetap bilang, “Liburan ke Jogja.” Kenapa? Karena dari sanalah kita menginap. Di sanalah kita berhenti. Di sanalah kita membayar pajak hotel, beli bensin, makan gudeg, dan mencetak memori.


Lalu apakah salah jika Banyuwangi mengklaim bahwa Baluran adalah bagian dari pengalaman wisata Banyuwangi?


Jika orang datang ke Banyuwangi, menginap di Banyuwangi, menikmati sarapan pagi di Banyuwangi, lalu mengendarai mobil selama satu jam ke arah utara untuk menyaksikan padang savana dan kawanan banteng—apakah itu kesalahan administratif? Apakah Dinas Pariwisata Banyuwangi harus meminta maaf secara terbuka?


Saya kira tidak.


Banyuwangi bukan pencuri. Ia hanya kebagian rejeki dari sebuah keberadaan geografis yang ramah. Sama seperti tetangga sebelah, yang juga kadang menikmati limpahan tamu dari arah sebaliknya.


Dan lagi, Baluran bukan mal yang bisa dipagari. Ia taman nasional milik semua orang. Bahkan milik generasi mendatang. Apakah kita akan saling menuding hanya karena tamu yang lewat Banyuwangi mampir ke sana?


Saya teringat satu momen ketika seorang bule bertanya kepada saya di Bandara Blimbingsari, “Where is this savanna, I saw it in Lonely Planet. Is it in Banyuwangi or Situbondo?”


Saya jawab: “It’s in your heart. As long as you remember Banyuwangi, it doesn’t matter where the border is.”


Lalu dia tersenyum. Mungkin karena dia paham. Mungkin juga karena dia tidak peduli.


Sebab bagi wisatawan, yang penting bukan di mana letaknya, tapi ke mana perjalanannya. Dan banyak perjalanan yang bermula dari Banyuwangi. Banyak kenangan yang dilahirkan di sana.

Orang-orang itu tidak datang untuk mengurus batas. Mereka datang untuk pengalaman. Untuk cerita. Untuk menikmati. Mereka akan menginap di Banyuwangi, makan di Banyuwangi, berbelanja di Banyuwangi. Tiket kereta dan pesawat mereka bertuliskan: Banyuwangi. Tapi salah satu destinasi mereka: Baluran. Apakah itu sebuah pelanggaran?


Kalau iya, mungkin mulai sekarang, hotel-hotel di Banyuwangi harus menghapus Baluran dari peta wisata. Para pemandu wisata juga dilarang menyebutnya. Jangan bawa tamu ke sana. Biar aman. Biar tidak dianggap “mengklaim”. Supaya tetangga tidak salah paham. Biar mereka tenang, dan kita juga tidak dibilang serakah.


Tapi, saya bertanya dalam hati: benarkah ini soal wilayah? Atau justru soal gengsi?


Karena, kadang-kadang, yang paling keras soal batas justru bukan pejabat yang memikirkan pelayanan. Tapi orang-orang yang merasa daerahnya sedang “disepelekan”. Padahal, tidak ada niat seperti itu. Kami hanya menyebut apa yang nyata. Bahwa Baluran itu dekat dengan Banyuwangi. Bahkan sebagian besar wisatawan masuknya lewat Banyuwangi.


Saya tahu, ini bukan soal benar atau salah. Ini soal rasa. Tapi kalau perasaan bisa membuat kita mencoret potensi pariwisata bersama, maka yang rugi bukan hanya satu kabupaten. Yang rugi adalah kita semua.


Di dunia modern, batas bukan lagi untuk membatasi. Tapi untuk menjalin kerja sama. Kalau kita sibuk menegaskan: "ini bukan wilayahmu", kita sedang melupakan satu hal penting: wisatawan tidak datang membawa peta politik. Mereka hanya bawa kamera dan harapan.


Harapan untuk bisa mengingat Banyuwangi... bahkan kalau pun mereka sampai ke Baluran.


Jadi, jika ada yang bertanya apakah orang yang datang ke Banyuwangi lalu ingin ke Baluran itu melanggar batas administratif, saya akan jawab dengan satu kalimat:


Apakah cinta pernah mengenal batas administratif?

Launching Antologi Puisi "Ketika Kau, Dia, dan Aku Menjadi Kita" dalam Harjaba di Pendopo Sabha Swagata

 Banyuwangi (Warta Blambangan) Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani di Pendopo Sabha Swagata Banyuwangi, Jumat (22/12/2023)  melaunching buku antologi Puisi Ketika Kau Dia dan Aku menjadi Kita.

Ipuk menyampaikan bahwa Literasi sangat perlu untuk perkembangan pengembangan pendidikan, terutama Literasi Digital,  dengan adanya kegiatan seperti ini akan mendidik anak-anak untuk membuat konten digital baik tiktok, IG dan lain-lain.


"saya berharap buku iki lebih banyak dibaca dengan cara dimasukkan kedalam media digital" kata Amak.

Lebih lanjut Isteri Menpan RB Abdullah Azwar Anas ini menyampaikan terima kasih atas kado istimewa pada peringatan ke 252 Harjaba (Hari Jadi Banyuwangi), dan semoga buku ini bisa dijadikan oleh-oleh bagi siapa saja yang berkunjung ke Banyuwangi.

Kepada para penulis, Ipuk menyampaikan banyak terima kasih atas kontribusi yang telah diberikan dalam bentuk puisi.

Ipuk juga menulis sebuah puisi tentang perempuan-perempuan hebat dari Banyuwangi yang dimuat dalam buku tersebut.

"Ibu merupakan madrasah pertama bagi nak manusia" kata Ipuk.

Dalam kesempatan tersebut Ipuk membaca puisi yang ditulisnya.

Selain Ipuk, Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi Chaironi Hidayat yang juga menyumbangkan satu puisinya juga diberi kesempatan membaca puisi yang ditulisnya.


Roni menyampaikan bahwa kolaborasi dari beberapa komonitas sastra di Banyuwangi telah membangkitkan kembali dunia sastra Banyuwangi yang dari dulu sudah dikenal se Nusantara.

Beberapa penulis yang menyumbangkan karya puisinya selain Ipuk Fiestiandani dan Chaironi Hidayat, juga Ketua Komunitas Lentera Sastra Syafaat, Budayawan Samsudin Adlawi dan lain-lain.

Syafaat menyampaikan bahwa buku antologi ini merupakan tindak lanjut dari Lokakarya membaca dan menulis puisi dengan Narasumber Oktavianus Masheka dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI) yang dilaksanakan beberapa waktu yang lalu. (Team)

Sakit Bukan Halangan Bagi Siswa MTs Berpuisi di Liga Puisi 3

Banyuwangi (Warta Blambangan) siswa MTsN 1 Banyuwangi menjadi pusat perhatian di hari pertama Liga Puisi 3 Anak Merah Putih, Ahad (22/10/2023) di Jawa Pos Radar Banyuwangi. Dengan menggendong tangannya karena jatuh beberapa hari sebelum tampil, Nesya Yasmin Amelia tetap percaya diri dan tidak mengurangi ekspresi, begitupun dengan Muhammad Afa Naafi Zuhri, yang berangkat dari RSUD Blambangan dan setelah membaca puisi juga harus kembali ke RSUD.

"Tadi infusnya di copot oleh dokter dan diizinkan membaca puisi, setelahnya juga akan kembali ke RSUD dan mungkin infusnya akan dipasang lagi" Kata Budi  Orang tua Afa



Ketua komunitas Lentera Sastra yang hadir memberikan motivasi kepada anak-anak madrasah tersebut menyampaikan bahwa semangat anak-anak untuk tampil menjadi yang terbaik sangat luar biasa. Bahkan ketika mereka sakitpun tetap semangat untuk bertanding.

"berdasarkan data yang dirilis panitia, ada 75 peserta MTs dari 223 peserta tingkat SMP dan MTs yang mendaftar" kata Syafaat.

Menurut data yang disampaikan kepada peserta, terbanyak dari MTsN 12 Banyuwangi di Kecamatan Wongsorejo yang mendaftarkan 23 siswanya.


Dihari pertama Liga Puisi 3 nampak sangat meriah, beberapa peserta yang sebelumnya pernah juara di beberapa events, nampak hadir mengikuti acara tersebut, begitupun dengan beberapa pegiat sastra maupun budayawan juga hadir, seperti Aekanu Hariyono dari Killing Osing Banyuwangi6, serta Vieva yang karyanya juga merupakan salah satu pilihan yang dibaca peserta. (syaf)

MTsN 12 Banyuwangi Dartar 6 Peserta Baca Puisi.


Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 12 Banyuwangi di Kecamatan Wongsorejo mendaftarkan 6 peseta baca puisi Rahim Suci Bunda Sri Tanjung Rabu (19/10/2022).


Didampingi Ketua Komunitas Lentera Sastra Syafaat, dan Kepala Tata Usaha Ismaeati, serta Waka Kurikulum M.Umar, Kepala MTsN 12 Banyuwangi Herny Nilawati menyampaikan bahwa dari 6 peserta tersebut terdiri dari 2 peserta guru dan 4 peserta dari siswa.
"Peserta sudah kita persiapkan dengan pelatihan khusus yang insyaallah penampilannya tidak mengecewakan" ungkapnya.
Guru yang telah menulis 4 judul buku dan beberapa buku antologi tersebut menyampaikan bahwa Madrasahnya mengikuti lomba ini agar para guru dan siswa menambah wawasan dibidang sastra.
Ditempat terpisah Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi Dr. H. Moh. Amak Burhanudin memberikan apresiasi terhadap Kepala MTsN 12 Banyuwangi yang penuh semangat mendaftarkan sekaligus 6 peserta.

Ketua Komunitas Lentera Sastra Syafaat menyampaikan bahwa Herny Nilawati merupakan salah satu anggota Komunitas Lentera Sastra yang aktif menulis.
"Buku puisinya yang pernah ditulis Bu Herny Nilawati cukup bagua dan dapat menambah Khasanah sastra di Banyuwangi" ungkapnya.
Lebih lanjut Syafaat menyampaikan bahwa Lentera Sastra akan menyiapkan dengan matang anggota yang mengikuti lomba ini.(Syaf)

Melawan Dingin

 Melawan Dingin

by. Viefa


Terperangah

Wajah gagah senyum beku pongah

Ketergantungan

Menengadah menutup rapat tangan 

Melawan dingin

Menggumpal senyum di sudut bibir

Pada patah ruang makin rengat

Tanpa bicara sudah tersekat

Oh dingin angin membawa ingin

Sampaikan kemelut batin 


tawapagi@Viefa

Mangir, 070721

KALAU BUKAN SEKARANG

 KALAU BUKAN SEKARANG

oleh : Faiz Abadi

Bangun

Bangunlah sekarang

Mumpung masih ada waktu

Sebelum jasad kita

Terbujur disana

Sering sebut apa disini

Itulah kan tersebut disana

Rindukan apa disini

Jumpai harapan disana

Namun benda milik kita sirna

Seiring dengan musnahnya raga kita

Masihkah terus kita turuti

Hasrat raga sementara

Kelak takkan temani lagi

Sebut terus menerus Dia

Biarlah jadi candu

SETELAH PUNCAK KEPUASAN

 SETELAH PUNCAK KEPUASAN

oleh ; Faiz Abadi

Sengaja lewati segala.kenikmatan

Bahkan nyaris terbius pesona

Tanpa terasa hari sudah senja

Sebagian rambut penuh uban

Badan pun membungkuk

Seperti terikat plasenta kembali

Orang tua memendam ari-ari di teras rumah

Mimpi-mimpi menggiring tampak tiap-tiap purnama

Ternyata benar

Semua punya mata hati

Hanya.saja

Pil-pil haram

Minuman memabukkan

Sering membutakannya

Beruntung segala insan di muka bumi

Pada segenap petualangan kenikmatan

Siapapun masih bisa kembali

Asalkan sambil membaca alam, kitab tertulis, tersirat, tersurat

Lalu hati bisa bicara

Juga menulis kalam

Terkadang sang mualaf lebih menderu berlari

Merasa kehilangan kesempatan berpuluh tahun

Menangis sesal 

Kini berlari dalam bukiit tertinggi

Rahasia ajaib hati

Sedangkan mereka alpa

Sedari kecil beragama

Seperti ibu-bapaknya

Kemana-mana merasa sempurna

Hanya menerima dogma-dogma

Sebenarnya hampa

Terimalah sebagai apa

Terlahir sebagai umat siapa

Bahkan seperti.baginda Ayub sekalipun

Menerima segala

Dengan lapang dada

Tersungkur dalam syukur

Alhamdulillah 'ala kulli hal

Pengembaraan pun berakhir

Setelah tasbih, tahmif, tahlil, takbir

Bukanlah lagi manusia biasa

Ketika itu jadilah khalifah

Membawa tentram alam semesta

Bahkan setiap hari bersenandung kidung sholawat

Dalam puncak perjalanan

Lenyaplah kebesaran manusia

Lalu mengatakan

Tuhan memang berkuasa

Maha tak terhingga

Seperti satu dibagi nol

Dan nol itu adalah kita

Untuk Cinta

 *Untuk Cinta*

oleh : Fatah Yasin Nor


Tak perlu lama

Untuk mencintaimu

Dari hari demi hari

Terus menggumpal

Membentuk biru

Seperti warna langit

Hiasan kapas putih

Mega-mega berarak pelan

Di tepi pantai


Tapi entah sejak kapan

Aku mencintaimu

Naik turun ke tangga gelap

Sampai hapal di tingkat berapa

Ada segumpal sunyi

Lama duduk di situ

Seperti menampung kesedihan

Atau warna senja yang meredup

Dan cinta adalah


Rumah panggung kayu jati

Menyimpan masa kanakku

Hanya takjub untuk sembunyi

Dari suara-suara pecah

Dari kayu bakar dan asap

Dan belumbang

Ibu yang pandai memasak


3062021

TITIAN MENUJU KESEMPURNAAN

 TITIAN MENUJU KESEMPURNAAN

oleh : Faiz Abadi


Kita bukan melukis di atas air

Namun membasuh muka di dada 

Penuh debu karena telah tertipu

Kita terus bercermin

Namun bukan pada kaca

Ada pada diri

Bernama nurani

Kita dahaga tapi bukan kehendaki air

Haus tentang suatu kerinduan

Mimpi-mimpi kedamaian abadi

Datang ketika NamaMu kusebut

Tapi sering timbul tenggelam pada danau talas

Saat si kecil merengek minta roti 

Seharian dapur belum mengepul

Saat kekasih minta terbang ke angkasa

Sedangkan rumah kita belantara hutan

Kadang harus berpindah ke kota

Sedangkan hutan telah berubah aroma amis

Dengus liar

Membuat batu pertapaan terbakar

Mana mungkin bicara keabadian

Tanpa melalui kefanaan

Menyebut keAgungan-Mu

Seperti memintal kain sutra tercabik-cabik

Karena kita terlahir bukan sebagai kekasih yang hilang

Melainkan pengembara

Menuju sempurna sebenarnya semua tahu

Sebenarnya semua menyadari itu

Harus temukan titian misteri

Siapapun bisa terjatuh

Terbenam di dasar penyesalan kekal

Bagaimana tidak ladang subur telah kering kerontang

Benih-benih telah menjadi perih

Topeng-topeng dari tembikar

Dibakar sendiri 

Menutup muka-muka semu

LANJUTKAN

 LANJUTKAN

oleh : Faiz Abadi

Mari tengoklah pagi selalu ceria

Mentari tak pernah lelah

Pancarkan sinarnya

Mengapa harus harus berlama-lama angankan segelas kopi

Ayo segera berangkat

Ke tempat indah terdekat

Sambil dendangkan

Lagu-lagu usum layangan

Kenangkan masa kecil kecil yang bahagia

NDARU

 NDARU

oleh : Faiz Abadi

Cahaya itu datang ketika terlelap dalam tidur

Untukmu Mas karebet

Untuk Danang Sutawijaya

Untukmu siapa saja pada garda terdepan

Keris Nogososro, Setan Kober, Rompi onto kusumo menyaksikan

Begitu pula diri kita

Hanyalah orang biasa

Tetapi saat sekutu membakar Surabaya

Kita akan hadir

Merah putih tetaplah harus berkibar

NKRI adalah darah merah dan putih

Dinasti politik sejak dari dulu

Joko Tingkir adalah titisan Majapahit

Danang Sutawijaya meneruskan kejayaan bangsa lewat Mataram

Dinasti politik sejak dari dulu

Politik dinasti adalah wahyu keprabon milineal

Tak mengapa istri sekalipun 

Meneruskan kejayaan

Ini soal demokrasi

Trik politik, intrik, korporasi hak siapa saja

Sejak Majapahit, Demak, Pajajaran luruh dalam kurun waktu

Sebenarnya kita sama

Titisan darah mereka

Buat apa turun di jalan

Demo mengganggu roda ekonomi

Berapa juta orang kalian rugikan

Apalagi harus ada kematian sia-sia

Tutuplah cerita tentang darah yang tumpah

Apalagi harus meledakkan diri

Hingga kini tak berarti

Malah cibiran bertubi-tubi

Phobia dimana-mana

Karena nyawa tak berdosa lenyap begitu saja

Di Bali, di tempat -tempat ibadah

Adakah kebenaran tersampaikan

Harus dengan paksaan

Itu karena tidak mengenal

Ndaru

Sejak dari dulu

Saksikan saja

Koak Garuda selamanya di angkasa

Kibarkan bendera

Bhineka tunggal ika

Ndaru adalah wahyu keprabon

Jika bukan untukmu

Biarlah

Kelak akan tiba waktunya

Jangan ada lagi pertumpahan darah

Mei 2020

 Mei 2020

oleh : Unu Masnun

Palu takdir sudah terketuk

Siap berkelana meniti waktu 

Alur sudah terbuka 

Ruang hari membuka jalan 

Siapa melewati nya 

Dan bukan jalan di belakang 

Yang berusaha selalu diintip 


Membentang cakrawala 

Menyambut kabut yang mulai terkikis

Arah cahaya memancar

Pendarnya sudah menyelusup

Dari balik himpitan masa

Angin 

Angan

Ingin

Menjelma pelangi 🌈


Kebaman, Juni 2021

BERSUJUD

 BERSUJUD

oleh :Faiz Abadi

Kala terikat tali plasenta

Sembilan bulan  bersujud dalam kegelapan rahim

Nutrisi dari sari pati alam semesta

Lewat perut seorang ibu

Namun setelah berpuluh tahun berada di sini

Masih saja terselip keengganan hati tersujud

Begitu terpaksa

Sebelum sakit berpanjangan.

Lalu sadar tak punya kuasa

Mengapa tidak sejak dari kecil benar-benar sujud

Walau terselip sesal

Tak mengapa

Lebih baik terlambat 

Syukuri nikmat bisa bertaubat

Kembali benar-benar bersujud

Hidup dan mati karena Mu

Ambillah bukan milikku

Bila perlu semuanya

SANG OPOSAN

 SANG OPOSAN

oleh : Faiz Abadi

Dengan berat hati berdiri di luar barisan 

Semua berkata "Ya"

Sekedar berkata "periksa lagi"

Bukan karena benci

Tetapi justru cinta pada negeri

Masih teringat tragedi di jembatan Semanggi

Berapa nyawa anak-anak bangsa terbunuh begitu saja

Tiga puluh tahun semua berkata sama

Berbuat sama

Semua uneg-uneg tersekat di kerongkongan

Hingga seolah menjadi api dalam sekam

Awalnya sebesar jerawat

Lalu menjadi bisul

Meletus menimbulkan bekas luka

Keputusan sulit

Harus dilakukan

Demi sebuah keseimbangan 

Sebagaimana harmoni ion positif dan ion negatif

Bercumbu dalam gerak semesta

Menjadi atom bergerak terus agar seimbang

Berdiri di tengah geliat kata

Antara iya dan tidak

Seperti tidak punya kawan

Tidak mengapa 

Karena hati nurani bercermin pada ketuhanan

Bukan pada keinginan-keinginan manusia 

Terkadang lalai

Apabila semua diam

Saat waktunya mengingatkan

Oposan pilihan  sulit

Tapi tetap berdiri tegak walau jauh dari nyaman

Hanya butuh keberanian bicara

Juga terpaksa bicara

Tak pernah terlupakan pula

Tiga setengah abad dalam kungkungan penjajah 

Kini pun seharusnya 

Semakin merdeka

Tinggalkan keraguan berkata benar

MEMBODOH

 MEMBODOH

oleh : Faiz Abadi

Terkadang harus bertapa di tepi hutan

Taktik gerilya demi perang pemikiran

Kala berbeda tertembak kata idealis

Kejujuran disebut kuno

Tawaran kebaikan dianggap pantangan

Suatu saat bisa terjadi

Karena medan peperangan bukan hanya soal senjata

Apabila kelemahan tidak menimbulkan belas kasihan

Ratapan mengiba terbunuh belati tega

Martabat berdiri di ujung tanduk bully

Apakah artinya teriakan demi suatu kebenaran

Bak sayur tanpa garam

Jika harus berjalan sendirian

Buang ide-ide cerdas

Sepanjang menurut diri saja

Katakan parade 'Iya'

Apalah daya

Anggaplah membodoh saja

BERKIBARLAH NAMA MU

 BERKIBARLAH NAMA MU

oleh : Faiz Abadi

Berkibarlah namaMu dalam hati seluruh penduduk negeri

Tak terpisahkan dalam setiap derap langkah

Tak terputus dari segenap gerak kehidupan

Tak terlepas dari derap-derap roda pembangunan

Segenap pembangunan fisik

Segenap pembangunan pemikiran bangsa

Segenap pembangunan mental spiritual bangsa

Segenap persatuan kesatuan hati penduduk negeri

Selalu terkait dan terikat harmoni ketetapan serta hukum-hukum tuhan

Berkibarlah keAgungan namaMu

TERBANGLAH SEBELUM HINGGAP

 TERBANGLAH SEBELUM HINGGAP

oleh ; Faiz Abadi

Manakala jiwa telah memandang jasad

Lebih banyak ungkap penyesalan

Syariat jasmani mengapa terus diperdebatkan

Hingga ego lebih besar dari kepala

Hasrat hati terkubur di meja panas

Mana mungkin makrifat 

Hakekat lentera pada hati selalu padam

Setelah puas mendengkur tidur

Masihkah lampu menyala terang

Sedang nelangsa terus mendera

Tatkala nama tuhan tak bersemayam

Apakah hingga tubuh hancur binasa

Takkan bisa terjawab

Semua nyanyi rindu sebenarnya

Menari

Menarilah hingga petang hari

Tetapi tarian itu bernama harmoni semesta

Setelah itu marilah terbang 

Jangan hentikan sebelum sholawat belum bersemayam

Terus berlari genggam sari Al Ikhlas

Yakinlah kelak Firman akan Hinggap

Sebelum terbit fajar tinggalkan subuh

Matahari bersama bulan tetap setia pada perhitungan

BENARKAH HAM

 BENARKAH HAM

oleh : Faiz Abadi

Kita dengar teriakan nyaring

Dari tuan pemilik veto

Atas tragedi pelanggaran

Namun bila mereka sekutu

Kalian berikan veto perlindungan

Apa bedanya dengan diskriminasi

Si kecil terjepit di tengah ketiak

Terinjak di telapak saat berteriak

Tutup mata ketika tragedi kemanusiaan melanda 

Tutup telinga padahal warga juga ;menjadi korban di Gaza

Rachel Aliene Corrie terkubur bersama angan perdamaian

Negeri kelahiran sudah tak berarti lagi

Suara tuhan telah hinggap

Pada kepak sayap nurani

Terbang bersama kebebasan jiwa

Tinggalkan jasad-jasad penuh diplomasi

Di balik kepentingan-kepentingan bertopeng

Tuan-tuan besar pemilik veto

Segenap tragedi timbulkan kematian

Setiap kematian wariskan dendam

Apakah masih bicarakan HAM

BERIKAN BUKAN MILIKMU

 BERIKAN BUKAN MILIKMU

oleh : Faiz Abadi

Segeralah kembalikan 

Semua bukan milikmu

Apabila petang datang membayang

Gelisah datang mendera

Teringat kala pagi hingga senja

Sekujur badan tersia-sia

Hingga jiwa sangat lapar

Sedangkan tubuh terlalu kenyang

Tak peduli berbagi pada kelaparan sekitarnya

Kadang terlalu sedikit

Untuk disebut dermawan

Terjebak pada hasrat sifat

Sedangkan pemilik sifat terlupakan

Masihkah terbiarkan nurani kehausan

Setelah petang hilang

Bergantian lahir raga baru

Ibu baru melahirkan raga baru

Ayah baru titipkan warna baru

Alangkah rasa memiliki sangat menyiksa

Menghimpit dada ketika harus kembali

Apalagi harta tersisa berjalan sia

Kadang saling bunuh antar saudara

Terkadang anak-anak baru juga lupa

Siapa pemilik sebenarnya

Mengapa tidak lebih cerdas dari sang mualaf

Nol kan semuanya

Berikan segenap harta benda

Pada segenap ladang jariyah

Tempat-tempat ibadah

Tempat-tempat menuntut ilmu

Tempat-tempat kebaikan

Di mana pemilik sifat terus di Agung kan

CEMBURU TAK BERUJUNG

 CEMBURU TAK BERUJUNG

Oleh : Faiz Abadi

Cemburu menyelinap begitu saja

Pada raga- raga di sekitar

Bahkan terlalu membakar hati

Ketika rasa iri datang

Ketika hasad menghampiri

Hasutpun mulai tebarkan kata-kata

Hinggap kesana kemari

Hingga tempat terendah 

Dibakar api cemburu

Padahal hanya pada jasmani tidak sama

Mengapa bila warna tidak sama

Mungkin terlihat lebih mengkilap

Mestinya semua mengerti

Mereka terkadang membandingkan juga

Sehingga juga cemburu

Terkadang terlalu bangga 

Lahirlah diskriminasi warna

Bahkan membunuh lainnya

Seperti pembantaian Yahudi oleh Hitler

Lahirkan dendam berkepanjangan

Di tanah perebutan terus membara

Dunia pun terbelah

Terbakar rasa empati

Lahirlah simpati-simpati untuk ketidak adilan

Sedangkan cemburu terus memburu

Dirikan pemukiman baru

Terus merampas tanah tersisa

Diklaim milik nenek moyangnya

Tak pedulikan nyawa anak bahkan sang bunda

 
Copyright © 2013. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Template Modify by Blogger Tutorial
Proudly powered by Blogger