Selamat Datang di Warta Blambangan

Pages

Home » , , , » Wisata Baluran Banyuwangi

Wisata Baluran Banyuwangi

 Wisatawan Tidak Butuh Tahu Batas Administratif 

Saya ingin memulai tulisan ini dengan satu kalimat yang tidak bisa ditawar-tawar: Saya orang Banyuwangi. Bukan dari kabupaten sebelah. Titik.


Bukan karena saya tidak mencintai tetangga. Bukan karena saya tidak tahu etika bertamu. Tapi saya tahu betul batas-batas rumah saya. Dan saya tidak suka jika ruang tamu rumah saya, dipelintir-pelintir seperti pekarangan orang.



Ambil satu contoh: Baluran. Secara administratif, betul. Itu masuk Kabupaten Situbondo. Tapi orang Jakarta—atau turis manapun—tidak punya urusan dengan administrasi. Mereka tidak mengurus surat tanah, tidak mengajukan KTP, tidak mencalonkan diri sebagai lurah. Mereka hanya ingin liburan. Dan mereka datang ke mana? Ke Banyuwangi.


Mereka tidak peduli perbatasan. Mereka tahu kota kedatangan mereka. Tiket pesawatnya Banyuwangi. Tiket keretanya Banyuwangi. Hotel tempat mereka menginap: Banyuwangi. Tempat mereka mencari rawon: Banyuwangi. Tempat mereka beli oleh-oleh: Banyuwangi.


Lalu mereka tanya ke resepsionis hotel: “Mas, ada wisata alam yang bagus enggak di sekitar sini?”

Lalu resepsionis menjawab: “Coba ke Baluran, Pak. Tapi berangkatnya pagi ya, biar lihat bantengnya masih di padang rumput.”


Apa lantas wisatawan itu mengernyitkan dahi dan bertanya, “Lho, itu masih Banyuwangi atau sudah Situbondo, Mas?”


Tentu tidak.


Orang-orang Jakarta, atau Surabaya, atau Berlin, atau Kyoto, tidak berpikir seperti itu. Karena bagi mereka, destinasi tidak punya batas administratif. Sama halnya ketika orang Banyuwangi ke Malang. Mereka tidak bilang, “Hari ini saya ke Batu.” Mereka bilang, “Saya mau liburan ke Malang,” padahal mayoritas objek wisata yang dituju itu ada di Kota Batu. Sama halnya ketika kita ke Jogjakarta, kita bilang ingin ke Candi Borobudur. Padahal itu di Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Tapi kita tetap bilang, “Liburan ke Jogja.” Kenapa? Karena dari sanalah kita menginap. Di sanalah kita berhenti. Di sanalah kita membayar pajak hotel, beli bensin, makan gudeg, dan mencetak memori.


Lalu apakah salah jika Banyuwangi mengklaim bahwa Baluran adalah bagian dari pengalaman wisata Banyuwangi?


Jika orang datang ke Banyuwangi, menginap di Banyuwangi, menikmati sarapan pagi di Banyuwangi, lalu mengendarai mobil selama satu jam ke arah utara untuk menyaksikan padang savana dan kawanan banteng—apakah itu kesalahan administratif? Apakah Dinas Pariwisata Banyuwangi harus meminta maaf secara terbuka?


Saya kira tidak.


Banyuwangi bukan pencuri. Ia hanya kebagian rejeki dari sebuah keberadaan geografis yang ramah. Sama seperti tetangga sebelah, yang juga kadang menikmati limpahan tamu dari arah sebaliknya.


Dan lagi, Baluran bukan mal yang bisa dipagari. Ia taman nasional milik semua orang. Bahkan milik generasi mendatang. Apakah kita akan saling menuding hanya karena tamu yang lewat Banyuwangi mampir ke sana?


Saya teringat satu momen ketika seorang bule bertanya kepada saya di Bandara Blimbingsari, “Where is this savanna, I saw it in Lonely Planet. Is it in Banyuwangi or Situbondo?”


Saya jawab: “It’s in your heart. As long as you remember Banyuwangi, it doesn’t matter where the border is.”


Lalu dia tersenyum. Mungkin karena dia paham. Mungkin juga karena dia tidak peduli.


Sebab bagi wisatawan, yang penting bukan di mana letaknya, tapi ke mana perjalanannya. Dan banyak perjalanan yang bermula dari Banyuwangi. Banyak kenangan yang dilahirkan di sana.

Orang-orang itu tidak datang untuk mengurus batas. Mereka datang untuk pengalaman. Untuk cerita. Untuk menikmati. Mereka akan menginap di Banyuwangi, makan di Banyuwangi, berbelanja di Banyuwangi. Tiket kereta dan pesawat mereka bertuliskan: Banyuwangi. Tapi salah satu destinasi mereka: Baluran. Apakah itu sebuah pelanggaran?


Kalau iya, mungkin mulai sekarang, hotel-hotel di Banyuwangi harus menghapus Baluran dari peta wisata. Para pemandu wisata juga dilarang menyebutnya. Jangan bawa tamu ke sana. Biar aman. Biar tidak dianggap “mengklaim”. Supaya tetangga tidak salah paham. Biar mereka tenang, dan kita juga tidak dibilang serakah.


Tapi, saya bertanya dalam hati: benarkah ini soal wilayah? Atau justru soal gengsi?


Karena, kadang-kadang, yang paling keras soal batas justru bukan pejabat yang memikirkan pelayanan. Tapi orang-orang yang merasa daerahnya sedang “disepelekan”. Padahal, tidak ada niat seperti itu. Kami hanya menyebut apa yang nyata. Bahwa Baluran itu dekat dengan Banyuwangi. Bahkan sebagian besar wisatawan masuknya lewat Banyuwangi.


Saya tahu, ini bukan soal benar atau salah. Ini soal rasa. Tapi kalau perasaan bisa membuat kita mencoret potensi pariwisata bersama, maka yang rugi bukan hanya satu kabupaten. Yang rugi adalah kita semua.


Di dunia modern, batas bukan lagi untuk membatasi. Tapi untuk menjalin kerja sama. Kalau kita sibuk menegaskan: "ini bukan wilayahmu", kita sedang melupakan satu hal penting: wisatawan tidak datang membawa peta politik. Mereka hanya bawa kamera dan harapan.


Harapan untuk bisa mengingat Banyuwangi... bahkan kalau pun mereka sampai ke Baluran.


Jadi, jika ada yang bertanya apakah orang yang datang ke Banyuwangi lalu ingin ke Baluran itu melanggar batas administratif, saya akan jawab dengan satu kalimat:


Apakah cinta pernah mengenal batas administratif?

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar

 
Support : Copyright © 2020. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Modifiksi Template Warta Blambangan
Proudly powered by Syafaat Masuk Blog