Selamat Datang di Warta Blambangan

Pages

Home » » Kabar dari Armuzna

Kabar dari Armuzna

Kabar dari Armuzna

Oleh: Petugas PPIH 2024


Sudah beberapa kali saya membaca kabar dari Armuzna—Arafah, Muzdalifah, dan Mina—dalam penyelenggaraan haji tahun ini. Setiap kali membaca, dada saya bergemuruh. Seperti aroma mesiu yang menggantung di udara, meletup-letup dalam kata, siap meledak dalam telunjuk jari. Tetapi saya tahan. Karena saya tahu, ini bukan hanya tentang pelayanan. Ini bukan sekadar soal logistik. Ini tentang kesabaran. Tentang mereka yang menggadaikan sebagian usia dan harta demi sebuah kata yang belum tentu bisa dibawa pulang: mabrur.

Banyak yang pesimis pelaksanaan haji berjalan lancar seperti tahun 2024, pemerintah kerajaan Saudi Arabia memangkas petugas haji Indonesia, mereka yakin dengan sistem baru tidak perlu petugas terlalu banyak dari Indonesia. Awalnya kita percaya sampai pada akhirnya serumit ini kenyataannya. 


Saya tahu, tidak mudah mengatur dua ratus ribu lebih jamaah Indonesia yang menyemut di tiga titik genting itu: Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Bahkan bagi negara sehebat manapun, mengatur kerumunan dalam waktu dan tempat yang serentak—tanpa chaos—adalah pertaruhan besar. Tapi tetap saja, kita tak bisa menganggap biasa bila ada yang rebah di tanah karena tidak kebagian tenda. Kita tak bisa menganggap lumrah bila jamaah lansia harus berjalan kaki lima kilometer lebih, bukan karena menjemput pahala, tapi karena tak ada kendaraan.

Katanya, tahun ini layanan lebih baik. Karena tak lagi bergantung pada satu syarikah—perusahaan penyedia layanan haji—tapi delapan. Delapan! Rasanya seperti menyambut demokrasi di padang pasir. Tapi pesta kadang hanya indah di spanduk. Kadang hanya hidup dalam slide presentasi di ruang rapat mentereng. Di lapangan? Jamaah Indonesia harus berebut tenda di Arafah. Harus mengalah dari sistem kafilah yang dibuat sepihak. Dibuat syarikah, bukan berdasarkan kloter. Maka pecahlah kelompok. Jamaah yang semestinya bersama pembimbing dan ketua kloternya, kini tercerai di bawah panji kafilah yang bahkan namanya sulit diucapkan.

Lalu siapa yang kenal siapa? Siapa yang tahu siapa yang stroke, siapa yang tak bisa bicara Arab, siapa yang kalau malam harus disuntik insulin?

Saya teringat wajah-wajah itu. Wajah bapak-bapak dari pelosok Aceh, ibu-ibu dari pedalaman Lombok, yang selama ini hanya tahu arti sabar dari ceramah ustaz. Kini, sabar itu mereka kunyah sendiri. Mereka telan dengan peluh, dengan kaki bengkak, dengan lutut gemetar. Bahkan sabar pun kadang kalah oleh dehidrasi.

Di Arafah, yang semestinya menjadi puncak refleksi spiritual, mereka justru sibuk mencari tempat merebahkan tubuh. Tidak untuk tidur, tapi untuk sekadar tak roboh. Padahal, al-hajju ‘Arafah, kata Nabi. Haji adalah Arafah. Ruhnya di sana. Tetapi bagaimana bisa ruh hadir, kalau tubuh harus berdiri semalaman? Bagaimana bisa khusyuk kalau kanan kiri penuh dengan wajah bingung yang bertanya, "Kita ini di mana?"

Saya mendengar orang bilang: pemerintah kita tak punya bargaining position terhadap Kerajaan Saudi Arabia. Lalu saya bertanya-tanya: bargaining yang mana? Mau minta tambahan kuota, toh tetap harus sabar menunggu giliran. Mau minta biaya ditekan, pemerintah Saudi juga punya logika bisnisnya sendiri. Mau ancam tidak kirim jamaah? Yang rugi malah rakyat kita sendiri. Ini bukan urusan kirim delegasi dagang yang bisa dibatalkan sepihak. Ini rukun Islam kelima—sakral. Ada darah, air mata, dan harapan seumur hidup yang digantungkan di sana.


Kita negara dengan jumlah jamaah haji dan umrah terbesar, betul. Tapi jangan lupa, ibadah ini bukan konser Coldplay yang bisa digeser ke stadion lain kalau panitia tak cocok dengan harga sewa venue. Makkah itu satu. Ka'bah itu satu. Tak bisa diduplikat, tak bisa digeser. Bargaining macam apa yang bisa dilakukan kalau kita sendiri tidak punya alternatif spiritual yang setara? Kalau pun ada yang merasa harus menggugat Saudi soal pelayanan, silakan, tapi jangan membawa nama jutaan orang yang sejak kecil mengaji dengan air mata demi satu impian: bisa menunaikan ibadah haji atau setidaknya umroh sebelum mati.


Saya dua kali menjadi ketua kloter. Dua kali saya melihat dari dekat bagaimana ruwetnya mengatur manusia dalam ibadah massal terbesar di dunia ini. Tapi saya belum pernah melihat yang seperti tahun ini. Bahkan tahun 2017, saat suhu di Tanah Suci menyentuh 48 derajat dan enam orang jamaah saya wafat dalam satu kloter, rasanya tidak serumit ini. Waktu itu, yang jadi musuh adalah panas dan penyakit bawaan. Sekarang, musuhnya adalah sistem. Bukan kurang niat. Tapi bingung. Bingung karena segala sesuatu yang sudah kita rancang di tanah air, bubar di Mekah. Karena di sana, kita bukan lagi tuan atas jamaah kita sendiri.

Para petugas pun jadi seperti sekam basah. Terbakar pelan tapi tak menyala. Mereka tak bisa memindahkan jamaah ke tenda yang lebih aman. Tak bisa memaksa bus untuk datang. Bahkan kadang tak tahu siapa sebenarnya jamaahnya. Karena bisa jadi, jamaah yang mereka temui di tenda itu bukan berasal dari kloternya. Tapi disatukan dalam kafilah yang tak memberi ruang untuk keakraban, apalagi pendampingan.

Saya membaca satu laporan dari Muzdalifah yang membuat saya diam cukup lama. Katanya, hanya 13 bus yang tersedia. Padahal semestinya 20. Maka yang kuat, berjalan. Yang lemah, menangis. Yang bingung, tersesat.

Muzdalifah memang tidak dirancang untuk nyaman. Tapi setidaknya, jangan sampai membuat para lansia berjalan tanpa tahu arah. Jangan sampai ibadah ini menjadi trauma.

Seorang petugas menulis: "Saya hanya bisa menangis diam-diam melihat jamaah yang saya bimbing berjalan dalam gelap, di antara bisikan tak tentu arah. Kami tak bisa mengarahkan. Karena kami pun bukan siapa-siapa dalam sistem kafilah."

Tahun lalu, saya berjaga di Mina. Masalahnya hanya satu waktu itu: tenda kami terlalu dekat dengan masjid milik jamaah luar negeri. Maka, banyak yang masuk sembarangan. Karena tenda Indonesia bersih dan nyaman, mereka ingin menumpang tidur. Saya terpaksa jadi satpam dadakan. Mengusir mereka satu-satu. Bukan karena tak ingin berbagi, tapi karena ruang untuk jamaah kita pun terbatas.

Tahun ini, tenda seperti itu tak lagi digunakan. Masuk area tenda harus pakai kartu Nusuk. Sistem baru yang katanya akan memperbaiki penataan. Tapi tetap saja: sistem yang baik tidak menjamin hasil yang baik, kalau eksekusinya semrawut.

Saya membayangkan wajah almarhum Pak Ruslan, jamaah saya dulu yang wafat beberapa jam sebelum wukuf. Betapa dia sangat ingin sampai ke Arafah. Bahkan ketika setelah sholat subuh berjamaah, dia masih bertanya, “Saya masih boleh ikut wukuf, kan?” Ia seperti anak kecil yang menanti hari ulang tahun. Tapi tak sempat meniup lilin. Tuhan memanggilnya lebih dulu.

Saya membayangkan wajah salah satu Ibu dari Banyuwangi yang pernah berkata, “Kalau saya meninggal di Mina, tolong sampaikan ke anak saya, saya bahagia.”

Dan kini, saya membayangkan wajah-wajah seperti mereka, berada dalam tenda yang terlalu sempit, dalam padang yang terlalu bising. Mereka menanti bis yang tak datang, petugas yang tak muncul, dan kabar yang tak pernah pasti.

Tapi inilah haji. Kadang kita datang dengan rencana, lalu Tuhan hadir dengan kejutan. Dan kejutan itu kadang berbentuk kekacauan. Tapi kekacauan yang penuh hikmah, bagi mereka yang mampu menahan geram dan tidak mengutuk takdir.

Saya membaca satu pesan dari teman lama, Ustaz Izuddin. Katanya, kalau di Mina sekarang situasinya sulit, itu sebenarnya bagus. Bagus untuk menghayati bagaimana Nabi Muhammad dan keluarganya di tanah Mina pernah diboikot oleh Quraisy selama tiga tahun. Hanya makan dedaunan, sampai Khadijah wafat. Sampai Abu Thalib wafat.

"Sungguh besar hikmahnya kalau kita sekarang di tanah Mina, ada situasi sulit. Tapi sungguh tak sesulit Kanjeng Nabi Muhammad dan keluarganya."

Saya diam. Kalimat itu menampar saya yang barusan ingin menulis tajam. Saya yang barusan hendak mencaci sistem, mencela layanan, mengutuk ketidaksiapan, mendadak tenang. Mendadak seperti ditarik kembali oleh sejarah. Ini memang bukan salah Pemerintah Indonesia, kerajaan Saudi Arabia inginnya juga lebih baik, terapi ini sistem baru yang tahap pertama 

Mina memang bukan tempat untuk tidur nyenyak. Ia adalah tempat kita belajar tentang keikhlasan. Tempat Nabi melemparkan tiga batu pada simbol keangkuhan dan kesombongan. Maka wajarlah kalau di sana, ego kita harus dilebur. Amarah kita harus diredam.

Izuddin menutup pesannya: “Kanjeng Nabi pasti tersenyum bangga melihat umatnya datang dari Muncar, ribuan kilometer, di tengah kesulitan tetap sabar, di tengah keterbatasan masih ikhlas berbagi.”

Saya seperti melihat wajah Nabi itu. Tersenyum di tengah ribuan tenda. Melihat umatnya yang renta, yang tak tahu arah, tapi masih bisa menyuapi temannya yang lemah. Masih bisa merelakan air minumnya bagi yang haus. Masih bisa berkata, “Bismillah,” meski kaki bengkak dan tubuh lelah.

Tahun ini, haji memang seperti korek yang kehilangan gas. Ia menggesek banyak harapan, tapi apinya tidak menyala. Karena sistem keburu dingin. Karena logistik keburu beku.

Tapi dari setiap kebingungan itu, saya percaya: Tuhan sedang menata ulang cara kita beribadah. Mungkin Dia ingin menunjukkan bahwa terlalu banyak manajemen justru bisa menutupi makna. Terlalu banyak layar bisa mengaburkan wajah-Nya.

Haji bukanlah event. Ia bukanlah festival. Ia bukanlah birokrasi yang dilipat dalam folder rapi. Haji adalah perjalanan yang mestinya kembali ke esensi: tentang labbayk, tentang jawaban. Tentang kesiapan untuk menyambut panggilan-Nya, meski dalam letih, meski dalam sepi, meski dalam salah arah.

Dan kepada para jamaah yang berjalan kaki dari Muzdalifah ke Mina malam itu, saya ingin berkata: kalian bukan korban. Kalian adalah teladan. Teladan tentang sabar, tentang ridha, tentang makna mabrur yang sesungguhnya.

Saya ingin sekali menulis ini dengan penuh amarah. Tapi saya belajar dari para lansia itu. Yang berjalan pelan, tapi tak mengutuk. Yang duduk di trotoar, tapi tetap tersenyum.

Maka saya hanya ingin menutup dengan satu kalimat:

Kalau Mina hari ini membuatmu menangis, semoga Arafah kemarin telah membuatmu mencintai Allah lebih dalam.

Dan semoga, walau hanya satu malam di Muzdalifah, engkau telah meletakkan dunia di bawah batu yang engkau kumpulkan sendiri.

Allāhumma shalli ‘alā Sayyidinā Muhammad wa ‘alā āli Sayyidinā Muhammad.


Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar

 
Support : Copyright © 2020. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Modifiksi Template Warta Blambangan
Proudly powered by Syafaat Masuk Blog