Selamat Datang di Warta Blambangan

Pages

Home » » Reformasi PPDB: Jangan Hanya Ganti Nama, Tapi Ganti Paradigma

Reformasi PPDB: Jangan Hanya Ganti Nama, Tapi Ganti Paradigma

 Reformasi PPDB: Jangan Hanya Ganti Nama, Tapi Ganti Paradigma

Oleh: Dr. Emi Hidayati

Dosen Fakultas Dakwah UNIIB & Ketua Yayasan Pendidikan Muslimat (YPM) NU Banyuwangi


Setiap awal tahun ajaran, kita disuguhi kegelisahan yang sama: Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Di antara harapan besar orang tua dan semangat anak-anak untuk melanjutkan jenjang pendidikan, terselip kekhawatiran akan sistem yang rumit, ketentuan yang membingungkan, dan kenyataan yang sering kali tidak berpihak pada prinsip keadilan.



Tahun 2025 ini, pemerintah menerbitkan Permendikdasmen Nomor 3 Tahun 2025 yang mengubah istilah “zonasi” menjadi “domisili” dalam sistem PPDB, yang kini diberi nama baru: Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB). Sontak, publik bertanya-tanya: apakah ini sekadar penghalusan istilah untuk menenangkan kegelisahan tahunan, atau betul-betul cerminan niat untuk merombak sistem secara substansial?


Perubahan istilah ini tentu menarik dicermati. Bila “zonasi” dahulu cenderung dipahami sebagai batasan geografis administratif yang kaku, “domisili” mengisyaratkan pendekatan yang lebih lentur—setidaknya secara semantik. Namun dalam dunia kebijakan publik, perubahan terminologi hanya akan menjadi kosmetik jika tidak disertai reformasi struktural. Kita tidak sedang bermain kata. Yang dipertaruhkan adalah nasib ribuan anak yang tengah mencari tempat tumbuhnya, dan masa depan pendidikan bangsa secara lebih luas.


Zonasi—yang digagas awalnya untuk memeratakan akses pendidikan—sebenarnya lahir dari semangat yang baik: keadilan. Dalam perspektif filsuf politik John Rawls, sistem pendidikan seharusnya berpihak pada mereka yang paling rentan dan paling sedikit mendapatkan kesempatan. Itulah “Justice as Fairness”. Maka, perubahan ke sistem domisili hanya relevan jika mampu menanggalkan praktik eksklusivitas, dan benar-benar menjadi jembatan bagi akses pendidikan yang lebih merata.


Namun sayangnya, baik sistem zonasi maupun domisili hingga kini belum menyentuh akar masalah pendidikan: kesenjangan kualitas antar sekolah, ketimpangan distribusi guru, dan kurangnya infrastruktur pendidikan di daerah-daerah pinggiran. Banyak siswa yang tinggal berjarak beberapa ratus meter dari sekolah justru tertolak, hanya karena sistem digital tidak mampu membaca konteks sosial spasial secara mikro. Ini adalah contoh nyata dari bagaimana teknologi gagal ketika tidak dibarengi dengan sensitivitas sosial.


Sebagai pendidik dan penggiat lembaga pendidikan akar rumput, saya sering menyaksikan langsung keresahan ini. Ketika pendidikan berubah menjadi urusan administrasi tahunan yang penuh ketegangan, kita kehilangan ruhnya. Pendidikan bukanlah seleksi birokratis, tetapi proses pemanusiaan. Paulo Freire menyebut pendidikan sebagai praksis kebebasan, bukan sekadar pengisian formulir daring.


Demikian pula, inklusivitas yang menjadi jargon sistem PPDB belum menyentuh ranah praksis yang nyata. Padahal, pendidikan inklusif adalah mandat global sejak Deklarasi Salamanca 1994. Mel Ainscow, pakar pendidikan inklusif, menekankan bahwa inklusi bukan sekadar tentang tempat, tapi tentang sikap dan budaya. Menempatkan semua anak dalam ruang kelas yang sama tidak cukup, jika sekolah tidak merayakan keberagaman dan menghargai setiap perbedaan sebagai potensi, bukan hambatan.


Dengan proporsi jalur domisili mencapai 80% untuk SD dan 50% untuk SMP dan SMA, pemerintah sebenarnya sedang menggarisbawahi pentingnya akses berbasis tempat tinggal. Ini patut diapresiasi sebagai upaya afirmatif. Tapi sekali lagi, tanpa pemerataan kualitas dan dukungan nyata bagi sekolah-sekolah di pinggiran, kebijakan ini akan berujung pada keadilan prosedural, bukan keadilan substantif. Hasilnya: sekolah favorit tetap favorit, dan sekolah marjinal tetap dibiarkan berjuang sendiri dengan keterbatasan.


Perlu dipahami bahwa sistem penerimaan siswa juga sangat erat kaitannya dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dalam hal ini, Angka Partisipasi Kasar (APK) bisa menjadi indikator keberhasilan atau kegagalan kebijakan PPDB. Bila sistem tidak menjangkau anak-anak di daerah terpencil, bagaimana kita bisa bicara tentang pembangunan manusia yang holistik?


Dalam konteks ini, saya melihat pemerintah daerah memiliki peran yang amat strategis. Mereka tidak boleh hanya menjadi eksekutor kebijakan pusat. Pemerintah daerah harus aktif dalam memetakan daya tampung sekolah, persebaran guru, dan kesiapan infrastruktur di wilayah masing-masing. Mereka harus mampu membaca kebutuhan riil masyarakat, dan menjadi penerjemah konteks lokal dalam kebijakan nasional.


Kepala sekolah pun harus diberi ruang otonomi untuk berinovasi dan menyesuaikan pendekatan pembelajaran dengan kondisi sosial di lingkungannya. Tidak semua sekolah memiliki latar yang sama, dan tidak semua siswa datang dengan modal yang setara. Maka prinsip keadilan dan inklusivitas harus menjadi roh dalam setiap keputusan kepala sekolah.


Kita juga tidak bisa mengabaikan peran kampus dan perguruan tinggi. Sudah saatnya institusi pendidikan tinggi menjelma menjadi aktor perubahan sosial, bukan hanya menara gading akademik. Tri Dharma Perguruan Tinggi—pendidikan, penelitian, dan pengabdian—harus menjadi landasan bagi keterlibatan aktif kampus dalam merumuskan kebijakan publik. Melalui riset-riset berbasis bukti, pendidikan kritis, dan pengabdian yang menyentuh akar masalah masyarakat, perguruan tinggi bisa menjadi pendorong reformasi pendidikan dari hulu ke hilir.


Saya yakin, pendidikan yang ideal bukanlah pendidikan yang seragam, melainkan pendidikan yang memberi ruang bagi keberagaman untuk tumbuh. Amartya Sen pernah mengatakan bahwa pembangunan adalah perluasan kapabilitas manusia. Maka, sistem PPDB harus menjadi pintu bagi setiap anak untuk menemukan kemampuannya, bukan pagar pembatas yang menyingkirkan mereka dari kesempatan.


Pendidikan bukan tentang siapa cepat dia dapat, atau siapa punya akses dia menang. Pendidikan adalah tentang siapa pun bisa bertumbuh, sejauh kita menyediakan tanah yang subur dan air yang cukup bagi benih itu tumbuh menjadi pohon kehidupan.


Maka, reformasi PPDB bukan sekadar mengganti “zonasi” dengan “domisili”. Yang harus kita ganti adalah paradigma kita tentang pendidikan itu sendiri. Paradigma bahwa setiap anak berhak mendapatkan kesempatan terbaik untuk belajar, bertumbuh, dan bermakna sebagai manusia seutuhnya.***


Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar

 
Support : Copyright © 2020. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Modifiksi Template Warta Blambangan
Proudly powered by Syafaat Masuk Blog