Lukisan Satu Trilyun Untuk Bangunan Madrasah
Oleh : Syafaat
Saya datang terlambat, dan keterlambatan itu justru menjadi pintu masuk bagi sebuah perenungan panjang tentang seni, iman, dan cara Tuhan bekerja melalui hal-hal yang tampak sepele. Malam itu, di Gedung Juang 45 Banyuwangi, saya berdiri dengan kaos dan celana jean, pakaian yang tidak pernah saya niatkan untuk menghadiri peristiwa seremonial, ketika seorang bupati menandatangani prasasti pembukaan pameran lukisan. Saya terkejut, bukan semata karena kehadiran orang nomor satu di Banyuwangi, melainkan karena kesadaran yang datang belakangan: barangkali memang begini cara rahmat bekerja, ia tidak selalu menunggu kesiapan kita, tidak pula menuntut busana yang pantas, tetapi hadir justru ketika kita lupa, lengah, dan tidak sedang mempersiapkan diri untuk terlihat baik.
Pameran itu telah dibuka sore hari. Saya lupa ada
undangan. Setelah pulang kerja, rumah dipenuhi kemenakan-kemenakan yang datang
dari luar kota. Banyuwangi menjadi rute wisata dadakan: pantai, jalanan senja,
tawa yang berjejal di dalam mobil, cerita-cerita kecil yang tidak ingin
ditunda. Kami pulang hampir pukul sembilan malam. Telepon berdering. Seorang
teman, ketua yayasan, guru madrasah swasta, suara yang terdengar agak tergesa.
“Mas, panjenengan harus ke Gedung Juang. Penting.” Saya berpikir acara sudah
selesai. Pembukaan biasanya tak sampai malam. Tapi kata “penting” itu seperti
ayat pendek yang memaksa dibaca ulang. Saya berangkat tanpa banyak tanya.
Di sanalah saya berdiri, menjadi saksi keterlambatan yang
berubah menjadi makna. Setelah prasasti ditandatangani, kami diajak
berkeliling. Seratus lima puluh enam, atau seratus lima puluh tujuh, karya
dipajang. Angka-angka menjadi relatif ketika berhadapan dengan niat. Para
pelukis datang bukan hanya dari Banyuwangi, tetapi dari berbagai wilayah di
Indonesia. Mereka membawa kanvas, warna, dan sesuatu yang lebih sunyi: harapan
agar seni tidak sekadar berhenti sebagai tontonan, melainkan menjelma menjadi
doa yang bisa disentuh.
Salah satu lukisan menyedot perhatian seperti magnet yang
bekerja perlahan. Wajah Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani, dilukis dengan
detail yang nyaris realis. Namun yang membuatnya tidak berhenti sebagai potret
kekuasaan adalah lapisan-lapisan lain yang menyertainya: motif, tekstur, penari
yang distilasi, lanskap yang menyatu, dan, ini yang paling menentukan, doa-doa
yang ditulis dalam bahasa Arab dan bahasa anak-anak. Doa itu ditulis oleh anak-anak
madrasah. Sebagian dari mereka siswa RA dan MI di Telemung, Kalipuro. Ketika
saya mendekat, lukisan itu berubah dari citra menjadi peristiwa batin. Dari
jauh, ia tampak seperti potret pemimpin. Dari dekat, ia adalah sekumpulan
permohonan kecil yang dititipkan kepada Tuhan melalui kanvas.
Harga lukisan itu disebutkan: satu triliun rupiah. Angka
yang membuat orang tertawa, mencibir, atau menganggapnya lelucon. Saya sendiri
sempat tertegun. Apakah realistis? Jika yang dihitung hanya cat, kanvas, dan
reputasi pelukis, tentu tidak. Tapi seni, seperti doa, jarang bisa diukur
dengan logika transaksi. Seorang teman berbisik, “Itu untuk mencari harga
tertinggi yang menarik.” Lalu ia menambahkan, seolah membacakan niat di balik
angka: hasil lelang akan diserahkan untuk perbaikan gedung madrasah di Desa
Telemung yang rusak parah, sekaligus membantu pembiayaan santrinya. Di titik
itu, satu triliun berhenti sebagai angka dan berubah menjadi simbol: tentang
sejauh apa kita berani memimpikan kebaikan.
Pelukisnya, Mohammed Harahap, bukan nama yang asing. Ia
pelukis kawakan nasional yang berdomisili di Banyuwangi, telah menghasilkan
ribuan karya, dan sebagian besar telah berkelana ke tangan kolektor
mancanegara. Namun pada lukisan ini, ia seperti sengaja menanggalkan sebagian
ambisi estetik yang biasa dikejar pasar seni. Ia memilih berkolaborasi dengan
doa. Ia memilih menempatkan tangan anak-anak madrasah sebagai co-creator, bukan
sekadar objek belas kasihan. Di situ seni tidak lagi berdiri di atas pedestal
keindahan semata, melainkan menunduk, memberi ruang bagi suara yang sering kita
anggap terlalu kecil untuk didengar.
Saya teringat cerita kepala madrasah tsanawiyah yang juga
ketua yayasan di Kalipuro. Sehari sebelum malam itu, ia mengatakan bahwa pada
hari pertama, lukisan tersebut sudah ditawar seratus juta. Entah berapa
akhirnya akan laku. Angka itu, sekali lagi, bukan hal terpenting. Yang penting
adalah keberanian untuk memulai dari niat yang bersih: memajukan madrasah,
merawat pendidikan, dan mengembalikan kepercayaan publik bahwa sekolah agama
bukan sekadar alternatif, melainkan rumah bagi nilai-nilai yang semakin langka
di luar sana.
Tema pameran ini, Lereme Roso, seperti bisikan yang pelan
tapi menetap. Ia bukan sekadar judul, melainkan ajakan. Meredakan rasa.
Menengok ke dalam diri. Menjernihkan jiwa. Dalam bahasa religius, itu mirip
dengan muhasabah: sebuah latihan batin untuk mengukur jarak antara apa yang
kita pamerkan dan apa yang benar-benar kita imani. Gedung Juang 45, dengan
sejarahnya, menjadi ruang yang tepat. Di sana, seni bertemu dengan ingatan
kolektif. Di sana, doa-doa kecil dipertemukan dengan sejarah besar.
Saya bagian dari Dewan Kesenian Blambangan. Kami terbiasa
saling mendukung. Ketika satu komite menggelar kegiatan, yang lain hadir
sebagai penyangga. Saya di komite bahasa dan sastra. Dalam pameran lukisan,
kami sering diminta mengisi pembacaan puisi. Kata-kata menjadi jembatan antara
warna dan makna. Malam itu, saya tidak membaca puisi. Saya justru membaca diri
sendiri: tentang lupa, tentang datang terlambat, tentang bagaimana Tuhan kadang
menaruh kita di posisi yang tidak kita rencanakan agar kita belajar melihat
dengan cara yang baru.
Lukisan itu, jika dianalisis secara akademik, bisa
dimasukkan ke dalam aliran kontemporer realisme dengan sentuhan dekoratif.
Wajah digarap detail, proporsional, menyerupai aslinya. Latar dipenuhi motif,
penari gandrung yang distilasi, lanskap alam. Ada teknik layering yang kaya,
penggunaan titik-titik warna yang memberi tekstur pada hijab dan langit emas.
Emas itu memberi kesan sakral, seolah mengingatkan bahwa kekuasaan, jika ingin
bermakna, harus selalu dilingkari oleh cahaya yang tidak berasal dari dirinya
sendiri.
Kaligrafi di bagian atas lukisan, doa-doa keselamatan,
harapan agar amanah dijalankan dengan perlindungan Tuhan, menggeser pusat makna
dari figur ke niat. Teks Latin di bawahnya, “Mohon doa restunya… semoga selalu
dalam perlindungan… amanah… Aamiin”, membuat lukisan itu seperti surat terbuka
yang ditujukan kepada langit. Ini bukan sanjungan kosong kepada pemimpin,
melainkan pengingat bahwa jabatan adalah beban yang harus dipanggul dengan doa
banyak orang, termasuk doa anak-anak yang tidak punya apa-apa selain keyakinan.
Di titik inilah seni bertemu dengan sastra religi. Ia
tidak berteriak, tidak menggurui, tidak memaksa. Ia hanya menaruh kita di
hadapan pertanyaan yang sunyi: apa yang sebenarnya kita beli ketika membeli
sebuah karya seni? Apakah kita membeli keindahan, prestise, atau kesempatan
untuk terlibat dalam kebaikan yang lebih besar dari diri kita sendiri? Siapa
pun yang kelak membeli lukisan itu, jika memang ada, sesungguhnya tidak sedang
membeli potret seorang bupati. Ia membeli partisipasi dalam doa. Ia membeli
tanggung jawab moral untuk ikut menjaga sebuah madrasah agar tetap berdiri,
agar anak-anak di dalamnya tetap punya ruang untuk belajar mengeja iman dan pengetahuan.
Madrasah, dalam konteks ini, bukan sekadar lembaga
pendidikan. Ia adalah simpul kepercayaan. Di tengah dunia yang kian bising oleh
standar keberhasilan material, banyak orang tua memilih madrasah karena di sana
pendidikan agama mendapat porsi yang lebih besar. Mereka berharap anak-anaknya
tidak hanya pandai menghitung, tetapi juga tahu bagaimana cara bersyukur. Tidak
hanya mahir membaca, tetapi juga peka terhadap penderitaan orang lain. Lukisan
itu, dengan segala kontroversi harganya, justru mengafirmasi harapan itu: bahwa
seni bisa menjadi sarana dakwah yang halus, yang tidak menyebut-nyebut surga
dan neraka, tetapi menghadirkan keduanya dalam bentuk tanggung jawab sosial.
Saya pulang malam itu dengan kepala penuh. Keterlambatan
saya ternyata bukan kesalahan, melainkan metode. Saya datang tanpa ekspektasi,
dan karena itu saya pulang dengan pertanyaan yang lebih jujur. Tentang posisi
seni dalam hidup beragama. Tentang bagaimana kita memaknai angka-angka
fantastis di tengah kebutuhan yang nyata. Tentang cara kita memandang pemimpin:
apakah sebagai objek puja, atau sebagai amanah yang harus terus didoakan.
Peristiwa ini sederhana. Di puncaknya: sebuah pameran
seni rutin tahunan, Banyuwangi Art Exhibition, yang digelar Dewan Kesenian
Blambangan, menampilkan ratusan karya seniman lokal dan nasional. Di bawahnya:
sebuah lukisan potret bupati dengan harga yang mengundang perdebatan. Lebih ke
bawah lagi: niat untuk mendonasikan hasil penjualan bagi renovasi madrasah. Dan
di dasar yang paling lebar, yang sering luput kita lihat: doa-doa anak madrasah,
kepercayaan masyarakat pada pendidikan agama, dan keyakinan bahwa kebaikan
kadang perlu jalan yang tidak biasa agar bisa sampai.
Jika seni hanya berhenti sebagai estetika, ia mudah
dilupakan. Jika agama hanya berhenti sebagai slogan, ia mudah diperdebatkan.
Tetapi ketika keduanya bertemu dalam tindakan yang konkret, membantu madrasah,
merawat pendidikan, mengajak kita menengok ke dalam diri, di sanalah sastra
menemukan bentuknya yang paling jujur. Ia tidak mengklaim kebenaran, tetapi
mengundang kita untuk ikut merawatnya.
Saya ingat kembali pakaian saya malam itu: kaos dan
celana jean. Tidak pantas untuk seremoni, kata sebagian orang. Tapi barangkali
justru itulah pelajaran kecilnya. Bahwa Tuhan tidak terlalu sibuk menilai
penampilan kita ketika kita datang membawa niat untuk memahami. Bahwa
keterlambatan bisa menjadi berkah jika ia membuka pintu kesadaran. Dan bahwa
sebuah lukisan, betapapun mahal atau kontroversial harganya, bisa menjadi
sajadah panjang tempat banyak doa dititipkan, asal kita mau mendekat dan
membaca dengan hati yang tidak tergesa.
Pada akhirnya, saya tidak pulang membawa foto bersama
bupati, tidak pula membawa katalog pameran dengan tanda tangan pelukis. Saya
pulang membawa rasa: lereme roso, meredakan rasa. Rasa kagum, rasa heran, rasa
percaya bahwa di Banyuwangi, di gedung tua bernama Juang 45, seni, agama, dan
kemanusiaan sempat duduk bersama, saling menyimak, tanpa perlu saling
mengalahkan. Dan mungkin, di situlah makna paling religius dari sebuah pameran:
bukan pada apa yang dipajang di dinding, melainkan pada apa yang diam-diam
tumbuh di dalam dada.
Penulis Ketua Lensa Banyuwangi

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar