Pages

Tampilkan postingan dengan label Warta Inspirasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Warta Inspirasi. Tampilkan semua postingan

Teladani Pahlawanmu, Cintai Negerimu: Implementasi Nilai-Nilai Agama di Era Digital

 

Teladani Pahlawanmu, Cintai Negerimu: Implementasi Nilai-Nilai Agama di Era Digital

Oleh : Syafaat

             Setiap tanggal 10 November, bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan sebagai momen refleksi atas jasa-jasa para pahlawan yang berjuang untuk kemerdekaan. Dalam momentum ini, kita diingatkan kembali untuk meneladani nilai-nilai luhur yang telah mereka tunjukkan, seperti semangat, keberanian, kejujuran, dan kecintaan pada tanah air. Nilai-nilai ini tidak terlepas dari ajaran agama yang mengajarkan kita untuk hidup dengan penuh kebaikan dan ketakwaan. Melalui nilai-nilai agama, kita dapat membangun rasa cinta dan tanggung jawab terhadap negeri ini, sebagaimana yang dicontohkan para pahlawan.

   Dalam semua agama, cinta terhadap sesama dan terhadap tempat di mana kita hidup adalah hal yang sangat dijunjung tinggi. Agama mengajarkan kita untuk berlaku jujur, adil, dan bertanggung jawab, tidak hanya dalam urusan pribadi tetapi juga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai contoh, Islam menganjurkan sikap adil dan peduli terhadap lingkungan sekitar, yang juga berarti mencintai dan menjaga bangsa. Begitu pula agama-agama lain di Indonesia yang mengajarkan kasih sayang, gotong royong, dan hormat-menghormati.

     


 Keberanian dan keikhlasan adalah dua sifat yang melekat pada para pahlawan. Dalam ajaran agama, keberanian bukan hanya soal bertindak tanpa takut, tetapi juga tentang mengambil keputusan yang benar meskipun sulit. Keberanian untuk melawan ketidakadilan dan keikhlasan dalam berkorban adalah teladan yang telah dicontohkan oleh pahlawan kita, dan hal ini sejalan dengan nilai-nilai agama.

   Dengan meneladani semangat ini, kita diajak untuk menjadi individu yang berani menyuarakan kebenaran dan berkorban demi kepentingan bersama. Sebagai contoh, kita bisa menunjukkan keberanian dengan bersikap jujur di tempat kerja atau dalam kehidupan bermasyarakat, meskipun mungkin ada risiko atau tantangan yang harus dihadapi. Hal ini adalah bentuk nyata dari cinta terhadap negeri, karena melalui sikap yang berlandaskan agama ini, kita turut menjaga nama baik bangsa.

   Indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai suku, agama, dan budaya. Sikap toleransi dan gotong royong sangat penting untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Agama mengajarkan kita untuk hidup rukun dan saling menghormati, bahkan dengan mereka yang berbeda keyakinan. Prinsip ini sangat relevan di tengah keragaman Indonesia dan merupakan bentuk nyata dari kecintaan kita terhadap negeri.

   Para pahlawan berjuang tanpa memandang latar belakang suku atau agama, melainkan berjuang bersama untuk tujuan yang sama. Kita dapat meneladani sikap ini dengan membangun sikap toleran, menghargai perbedaan, dan saling membantu. Dalam kehidupan sehari-hari, gotong royong bisa diterapkan dalam berbagai bentuk, mulai dari kegiatan sosial di lingkungan hingga bekerja sama dalam menjaga kebersihan dan keamanan sekitar.

   Norma agama menuntun kita untuk menjauhi perilaku yang merusak, seperti korupsi, kebohongan, dan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum. Para pahlawan telah mempertaruhkan nyawa mereka demi Indonesia yang merdeka dan bebas dari segala bentuk penjajahan, termasuk penjajahan moral. Oleh karena itu, sebagai generasi penerus, kita harus menjauhkan diri dari tindakan-tindakan yang dapat merusak bangsa ini, seperti korupsi, perpecahan, dan pengabaian terhadap hak-hak orang lain.

Di era digital, konsep kepahlawanan mengalami pergeseran dari perjuangan fisik menuju perjuangan dalam bentuk lain, yaitu penyebaran kebaikan, menjaga persatuan, dan membentuk karakter masyarakat di dunia maya. Namun, era digital juga membawa tantangan tersendiri bagi jiwa kepahlawanan. Berikut adalah beberapa tantangan utama dalam mempertahankan semangat kepahlawanan di era digital, informasi mengalir sangat cepat dan mudah diakses oleh siapa saja. Di satu sisi, ini membuka kesempatan untuk menyebarkan kebaikan, namun di sisi lain juga membuat orang rentan terhadap misinformasi dan hoaks. Tantangan bagi mereka yang memiliki jiwa kepahlawanan adalah memastikan bahwa informasi yang disebarkan benar dan bermanfaat. Mereka harus memiliki tanggung jawab moral untuk tidak menyebarkan konten yang provokatif, berisi kebencian, atau yang dapat memecah belah masyarakat.

Dunia digital memungkinkan seseorang berkomentar atau berpendapat dengan anonim. Hal ini sering kali membuat orang merasa bebas menyebarkan kebencian atau menyinggung orang lain tanpa memikirkan dampaknya. Seorang yang berjiwa pahlawan di era digital harus berani mengambil sikap positif dengan mengutamakan etika dan kesantunan dalam berkomunikasi, meskipun berada di balik layar. Jiwa kepahlawanan menuntut adanya tanggung jawab, termasuk dalam menjaga kehormatan dan ketenangan dunia maya. banyak orang terjebak dalam budaya konsumtif dan obsesi untuk mendapatkan popularitas, sering kali dengan mengesampingkan nilai-nilai kebaikan. Banyak konten yang mengutamakan sensasi atau kontroversi agar cepat terkenal. Tantangan bagi jiwa kepahlawanan adalah tetap berpegang pada nilai kebaikan, bahkan jika itu tidak populer atau tidak mendapatkan banyak "likes." Seorang yang memiliki jiwa pahlawan akan lebih memilih untuk mempengaruhi orang lain melalui konten yang positif dan inspiratif, meskipun tidak mendapatkan popularitas yang instan.

Dunia digital sering kali menjadi arena perdebatan yang keras, penuh dengan ujaran kebencian, dan bahkan polarisasi di kalangan masyarakat. Isu-isu politik, agama, dan sosial sering kali menimbulkan perpecahan di antara masyarakat. Di sini, jiwa kepahlawanan diuji dengan kemampuan untuk tetap tenang, menyebarkan perdamaian, dan mendorong persatuan. Pahlawan digital harus bisa menjadi jembatan yang menyatukan perbedaan dan menghindari konflik yang merusak kerukunan. Interaksi di dunia digital sering kali terasa dangkal dan minim empati. Ketika seseorang hanya berkomunikasi melalui teks atau gambar, rasa kemanusiaan bisa berkurang, dan orang cenderung mengabaikan dampak emosional pada pihak lain. Tantangan bagi mereka yang memiliki jiwa pahlawan adalah menjaga empati dan kepedulian terhadap orang lain meskipun hanya berkomunikasi melalui layar. Mereka harus berusaha memahami perasaan orang lain, menghindari komentar negatif, dan lebih banyak menyebarkan dukungan serta inspirasi.

Di dunia maya, sering kali ada godaan untuk berbohong atau membuat informasi yang tidak sepenuhnya benar demi popularitas atau keuntungan pribadi. Jiwa kepahlawanan di era digital memerlukan komitmen kuat terhadap kejujuran dan integritas. Mereka yang memiliki jiwa pahlawan harus selalu mengutamakan kejujuran dalam setiap konten atau informasi yang disebarkan. Mereka perlu menjadi contoh bagi yang lain dalam menjaga etika, meskipun berada di dunia yang seolah-olah bebas dari tanggung jawab langsung. jiwa kepahlawanan tidak lagi diukur dari pengorbanan fisik di medan perang, melainkan dari kemampuan seseorang untuk menjaga integritas, menyebarkan kebaikan, dan melindungi persatuan di tengah arus digital yang tak terkendali. Mereka yang memiliki jiwa pahlawan adalah yang berani mengambil sikap positif, menjaga etika, dan menjadi pelopor dalam menyebarkan nilai-nilai kebaikan, meskipun harus melawan arus negatif yang kerap muncul di media online.

Dengan menjaga semangat kepahlawanan dalam dunia digital, generasi muda dapat membantu membangun masyarakat yang lebih sehat, cerdas, dan beradab, serta menjaga persatuan dan kesatuan bangsa di tengah era teknologi yang terus berkembang.

Upaya Pencegahan Perkawinan Anak

Jalan Panjang Lurus dan Rata: Pencegahan Perkawinan Anak

Oleh: Syafaat

 

Sering kali saya diajak berdiskusi, baik dalam forum resmi maupun secara santai, tentang pencegahan perkawinan anak. Biasanya, yang menjadi topik utama adalah perkawinan yang dicatatkan di lembaga resmi pemerintah. Diskusi ini tampaknya seperti perjalanan panjang yang lurus, mungkin tanpa ujung, dan berhenti tahap demi tahap, namun setiap langkah sangat berarti daripada tidak berusaha sama sekali.

 

Ada berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur atau memberikan batasan berbeda tentang usia dewasa. Setiap aturan ini memiliki latar belakang yang berbeda, sesuai konteks zaman dan kepentingannya. Namun, dalam hal ini kita sepakati bahwa definisi "anak" yang kita pakai adalah sesuai dengan Konvensi Hak Anak.

 

Menurut Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang masih berlaku di Indonesia, seseorang dianggap dewasa pada usia 21 tahun atau setelah menikah, meskipun belum mencapai usia tersebut. Dalam konteks hukum, usia ini menunjukkan seseorang memiliki kapasitas penuh untuk bertindak secara mandiri, seperti membuat perjanjian atau melakukan tindakan hukum lainnya tanpa izin wali atau orang tua. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau Wetboek van Strafrecht (WvS) juga mengacu pada ketentuan ini.

 

Dalam perkembangan hukum di Indonesia, konsep kedewasaan diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak yang menetapkan batas usia anak hingga 18 tahun. Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, perubahan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk dalam kandungan. Artinya, seseorang baru dianggap dewasa setelah mencapai usia 18 tahun atau lebih. Ketentuan ini memberikan hak perlindungan khusus bagi individu di bawah usia tersebut dalam hal pendidikan, kesehatan, keamanan, serta dari eksploitasi atau kekerasan.

 

Sementara itu, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menetapkan batas usia dewasa untuk perkawinan adalah 19 tahun, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Undang-undang ini mengatur bahwa calon mempelai minimal berusia 19 tahun untuk menikah, kecuali dengan dispensasi dari pengadilan. Dispensasi hanya diberikan dengan alasan yang kuat dan persyaratan tertentu, terutama bagi calon mempelai yang belum mencapai 21 tahun dan membutuhkan izin orang tua atau wali.

 

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, yang diubah oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013, seseorang dianggap dewasa pada usia 17 tahun atau setelah menikah. Ketentuan ini berkaitan dengan hak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), yang diberikan kepada individu berusia 17 tahun atau lebih atau yang sudah menikah. Dengan KTP, seseorang diakui sebagai penduduk dewasa dengan hak dan kewajiban administratif dalam urusan kependudukan.

Pembahasan tentang perkawinan anak sering kali hanya terfokus pada pelaksanaan perkawinan anak yang sudah memperoleh dispensasi dari pengadilan, atau menyalahkan pengadilan yang memberikan dispensasi tersebut. Persoalan perkawinan anak adalah tanggung jawab bersama yang harus dicegah bersama-sama. Lembaga yang memberikan izin perkawinan anak tentunya mempertimbangkan dampak dari keputusan mereka dan memilih jalan yang dianggap lebih baik.

 

Keterpaksaan perkawinan karena pergaulan yang tidak sesuai menjadi alasan utama terjadinya perkawinan anak. Meskipun dalam putusan pengadilan tidak disampaikan secara gamblang, hasil diskusi dengan petugas pengawasan dan pencatatan perkawinan menunjukkan bahwa ini adalah alasan utama terjadinya perkawinan anak.

 

Penolakan atau pelarangan perkawinan anak karena keterpaksaan akibat pergaulan yang tidak semestinya dikhawatirkan dapat memperburuk masalah. Bagi mereka yang sudah terlanjur salah pergaulan, mencegah hubungan yang hanya pantas dilakukan dalam pernikahan sangat sulit, terutama jika sudah ada konsekuensi yang sebenarnya tidak diharapkan. Sebagian besar dari mereka belum siap menghadapi konsekuensi tersebut, serta tidak menyadari dampak jangka panjang dari tindakan mereka.

 

Dalam salah satu diskusi, muncul cerita tentang siswa SMA yang menikah di bawah tangan untuk mencegah kehamilan sebelum usia cukup menurut undang-undang. Mereka bersepakat menunda memiliki anak hingga lulus sekolah atau usia cukup. Meskipun ini mengurangi pencatatan perkawinan anak, solusi ini tidak mendidik dan penuh risiko, sama halnya dengan cara-cara ekstrim pencegahan kehamilan bagi mereka yang belum menikah.

 

Kesadaran tentang risiko yang muncul saat melakukan perbuatan yang belum layak pada usia yang belum matang perlu ditanamkan terus-menerus. Pendidikan tentang hal ini sangat penting, terutama bagi mereka yang bersentuhan langsung dengan anak-anak sejak dini. Beberapa kasus terjadi karena mereka kurang memahami risiko akibat informasi yang kurang tepat tentang kesehatan reproduksi.

 

Dari diskusi kami dengan Forum Anak (FA) dan Duta Cegah Kawin Anak di beberapa lembaga pendidikan, terungkap bahwa anak-anak seringkali tidak menemukan tempat yang nyaman untuk mendapatkan informasi yang mereka butuhkan tentang perkembangan diri dan kepribadian mereka. Akibatnya, mereka mencari informasi dari media online atau teman sebaya yang mungkin tidak tepat, sehingga bisa terjerumus dalam kenikmatan sesaat yang sulit dihentikan.

 

Pencegahan perkawinan anak adalah tanggung jawab bersama yang harus dilakukan oleh semua pihak, terutama orang tua sebagai sandaran utama bagi anak-anak. Pencegahan bukan hanya tentang pengadilan yang mengeluarkan dispensasi atau pejabat yang menerbitkan surat-surat nikah, melainkan tentang membekali anak-anak dengan pemahaman tentang potensi diri dan batasan-batasan yang harus mereka pahami untuk menjaga diri mereka. Karena, pada akhirnya, yang paling dekat untuk menjaga diri adalah diri mereka sendiri.

 

Penguatan peran konselor sebaya secara profesional juga sangat penting. Anak-anak merasa lebih nyaman curhat dengan teman sebaya, tetapi ini tidak efektif jika konselor sebaya tidak menjalankan peran mereka dengan baik atau malah membocorkan rahasia curhat menjadi gosip. Maka, diperlukan lebih banyak pelatihan dan sosialisasi kepada anak-anak dan orang-orang yang langsung berinteraksi dengan mereka.

 

Syafaat ; Ketua Yayasan Lentera Sastra Banyuwangi

  

Buku Antologi Puisi Harjaba Sampai di Tangan Kepala Kemenag Banyuwangi

 Banyuwangi (Warta Blambangan) Dalam acara puncak milad (hari jadi) ke-3 Komunitas Lentera Sastra Banyuwangi, dihadiri oleh para penyair dan pecinta sastra Banyuwangi. Acara yang digelar di aula bawah Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi pada Jumat (15/12/2023) ini, menjadi sangat istimewa karena dihadiri oleh sastrawan nasional yang memberikan semangat dan inspirasi kepada para peserta.



Salah satu momen menarik dalam acara tersebut adalah ketika Chaironi Hidayat, yang juga sebagai Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, menerima sebuah souvenir yang sangat spesial.


Dia diberikan sebuah buku antologi puisi berjudul “Ketika Kau, Dia dan Aku menjadi Kita”, yang merupakan kado dari para penyair Banyuwangi, bertepatan dalam rangka perayaan Hari Jadi Banyuwangi (Harjaba) tahun ini.


Buku tersebut diserahkan oleh Mbak Vieva, salah satu penyair Banyuwangi yang hadir dalam acara tersebut. Saat penyerahan buku, ada juga Samsudin Adlawi,, dan Syafaat yang menjadi saksi dari momen manis ini.


Roni, panggilan akrab Chaironi Hidayat, menyampaikan rasa terima kasihnya kepada para penyair TISI dan komunitas Lentera Sastra Banyuwangi atas buku antologi puisi yang diberikan kepadanya. Dia mengungkapkan bahwa salah satu puisinya yang dimuat dalam buku tersebut berisi pengalaman perjalanan pertamanya, setelah dilantik menjadi Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi.


“Puisi ini saya tulis beberapa hari setelah saya berada di Banyuwangi. Ketua Lentera Sastra memintanya dan saya menerima tantangan tersebut dengan senang hati,” ujar Roni.


Sebelumnya, Ketua TISI, Oktavianus Masheka memberikan pelatihan kepada para penyair dan pecinta sastra Banyuwangi tentang cara menulis dan membaca puisi.


Acara puncak milad Ketiga Komunitas Lentera Sastra ini dinilai sukses dan menggambarkan semangat dan kecintaan masyarakat Banyuwangi terhadap sastra, sekaligus bukti nyata bahwa Banyuwangi kaya akan potensi sastra yang tidak kalah dengan daerah-daerah lain di Indonesia.

Haji Lansia Tahun 2023


Haji dan Panggilan Ilahi

Oleh : Syafaat


Mungkin orang dapat memprediksi, kapan akan mati, namun tidak ada yang tahu pasti hal itu kapan benar-benar terjadi, karena kematian merupakan salah satu rahasia Ilahi. Tidak sedikit orang yang berdoa atau menginginkan meninggal saat ibadah di tanah suci, namun juga sebagian besar dari mereka yang pada ahirnya keinginannya tidak terkabulkan. Kematian bukan hanya hak mereka yang lanjut usia, namun merupakan kewajiban bagi semua makhluk yang bernyawa, yang tidak mensyaratkan harus sudah tua. Kita tidak dapat melarang siapapun untuk berdoa meninggal dunia ketika melaksanakan Ibadah haji, meskipun sanak saudara selalu berdoa agar keluarganya dapat beribadah dan pulang dengan selamat, karena doa merupakan hak umat yang tidak dapat dikekang oleh siapa saja, proses pemulasaraan jenazah warga negara asing tidak sesederhana ketika meninggal di kampung halaman, identitas harus benar-benar teridentifikasi sebelum disemayamkan.

Pemakaman di Saudi Arabia memang tidak ada tulisan di batu nisan, namun nama-nama jenazah yang dikebumikan tersebut tercatat rapi, sehingga bukan hanya malaikat saja yang tahu tempat jenazah tersebut berada, penjaga makam juga mempunyai catatan rinci, dan biasanya keluarga yang ditinggalkan juga diberi catatan pada area makam, blok dan nomor berapa jenazah di kebumikan, sehingga keluarga dapat berziarah tepat diatas makam. Sebagian besar jamaah haji Indonesia yang meninggal di Makkah setelah di Sholatkan oleh jutaan umat di Masjidil Haram, disemayamkan di pemakaman Soraya, sekitar 4 Km dari Kota Makkah. Dalam pemakaman ini sudah disiapkan lubang-lubang untuk jenazah yang ditembok dengan bata merah dan di tutup dengan papan cor. Jenazah akan dimakamkan dalam lubang, diberi sedikit pasir dan di tutup kembali dengan papan cor. Satu lubang untuk satu jenazah.

Masjidil haram bukan hanya dilengkapi dengan pemancar FM yang dapat mendengarkan terjemah khutbah jumat dalam Bahasa Indonesia, kadang kita dapat berbagi headset dengan jamaah lain yang kebetulan lupa membawanya, pada lantai tiga juga disediakan scuter untuk melaksanakan Thawaf dengan jarak tempuh satu putaran sekitar satu kilometer dengan harga yang cukup terjangkau. Begitupun dengan lansia yang ingin didorong menggunakan kursi roda saat thawaf dan sai, Pemerintah Saudi Arabiya memberikan seragam khusus bagi mereka yang menyediakan jasa mendorong kursi roda, sehingga jamaah tidak akan khawatir di korupsi putaran thawaf dan sa’inya.

Ribuan CCTV dipasang di Masjidil Haram, yang memudahkan mengontrol pergerakan jamaah haji. Dengan CCTV ini juga lebih mudah untuk mencari jamaah yang tersesat, karena dengan biometrik yang telah dilakukan, kamera akan lebih mudah mendeteksi keberadaan seseorang. Sehingga tidak berlebihan jika para petugas menghimbau kepada jamaah haji Indonesia untuk kembali ke Masjid ketika mereka tersesat dan tidak tahu jalan ke pemondokan. Menuju Masjid merupakan pilihan logis, karena jamaah bisa memanjatkan doa dengan lebih khusuk, kemungkinan bertemu dengan jamaah dalam satu kloter maupun petugas semakin besar, dan yang lebih penting lebih mudah terdeteksi dengan kamera, terkecuali jika jamaah tersesat di lorong atau jalan dibawah masjid yang sebagian merupakan jalan raya yang dilewati kendaraan umum. Meskipun itu bukan pintu kemana saja milik dora emon, tidak sedikit jamaah yang tersesat ketika mencoba keluar dari Masjidil Haram melalui lorong tersebut.

Ada ruangan khusus di kantor Daker yang berisi beberapa layar yang terhubung dengan ribuan CCTV yang ketika dimasukkan nomor pasport akan dapat mendeteksi dimana sang pemilik pasport berada, dulu saya sempat nggak percaya dengan tehnologi yang biasa kita lihat dalam film Hollywood ini, namun ternyata hal ini merupakan kenyataan tehnologi kekinian yang nampak keren ini mungkin di negara kita belum ada.

Pembatasan pemberangkatan Jamaah Haji karena pandemi covid-19 mengakibatkan banyaknya jamaah haji lansia di tahun 2023, ketika tidak ada lagi pembatasan usia pemberangkatan jamaah haji dari pemerintah Saudi Arabia, terlebih dengan tidak adanya percepatan pemberangkatan bagi pendamping jamaah lansia tersebut dari keluarganya. Meskipun telah disiapkan petugas khusus untuk menangani lansia, namun mereka tidak dapat menjaga 24 jam, terutama ketika berada di pemondokan, karenanya solidaritas antar jamaah sangat diperlukan dalam pelaksanaan ibadah haji, saling membantu diantara jamaah dalam satu regu maupun rombongan.

Pelaksanaan Ibadah haji bagi para lansia sebetulnya simpel saja, selain Thawaf dan Sa’i yang dapat menggunakan jasa mendorong kursi roda, ketika melontah jumroh (ula, Wustho dan Aqobah) yang dalam bahasa inggris tertulis Smalll Jamarat, Midle Jamarot and Big Jamarot, para lansia dapat meminta bantuan kepada jamaah yang lebih muda atau kepada para petugas secara gratis. Petugas ini biasanya membawa banyak kerikil dan daftar jjamaah haji yang nitip melontar jumroh.

Suhu tinggi di negeri para nabi tersebut mengakibatkan orang-orang Indonesia yang biasa menikmati semilir sepoi angin, harus merasakan udara panas meskipun di malam hari. Bukan hanya dehidrasi yang menghantui, namun juga mengakibatkan demensia atau sedikit lupa terutama para lansia. Hal-hal tersebut merupakan kondisi lumrah bagi mereka yang mendekati udzur, terlebih yang malas menyemprotkan air dari botol semprotan yang bisanya dibagikan di embarkasi. Tidak banyak yang dapat dilakukan ketika mendapati lansia seperti ini selain menyarankan untuk lebih banyak beristirahat dan mendapatkan asupan gizi yang cukup, karena tua yang mengakibatkan berkurangnya daya ingat merupakan gejala alami yang dialami manusia.

Tidak perlu kekhawatiran tinggi bagi keluarga yang melepaskan orang tuanya yang lansia melaksanakan Ibadah Haji tahun ini, semuanya akan baik-baik saja sesuai takdir semesta. Banyaknya lansia bagi petugas haji merupakan ladang untuk mengais pahala. Karena kemabruran haji bagi para petugas tidak ditentukan dari banyaknya ibadah sunnah di masjid yang dilakukannya, namun dari seberapa besar yang dilakukan dalam melayani jamaahnya..

Selamat menjalankan Ibadah Haji, semoga mabrur.

 

*Penulis ASN Kementerian Agama Kab. Banyuwangi.

PERGI KARENA PANGGILAN TUGAS, KEMBALI KARENA TAUTAN CINTA

 PERGI KARENA PANGGILAN TUGAS, KEMBALI KARENA TAUTAN CINTA

Tetesan Pena: IGB Sudharma


Minggu pagi aku duduk sendiri tiada yang menemani, aku memandang jauh ke depan, sunyi hampa tiada bertepi. Cuaca dingin mencekam diiringi hujan rintik tiada berhenti. Anganku melayang jauh, teringat Istriku yang selalu setia menemani kemanapun aku pergi. Kini ia telah pergi menghadap Allahu Illahi Robbi, tinggalkan aku sendiri yang hidup serasa mati. Ia, wanita yang mencintaiku setulus hati laksana katanta suci, terlahir dari ibu Banyuwangi asli, sedang ayah keturunan Turki.

Perkenalanku dengannya saat aku mengambil cuti. Bersama saudara angkatku Victor Misantono setelah kami bertugas tempur di Timor Timur pada bulan Oktober 1975. Saat itu kami datang ke Komdis Kepolisian Benculuk untuk menandatangani surat cuti. Bersamaan dengan itu, datang seorang wanita dengan membawa sepiring mangga lengkap dengan bumbunya, Sungguh mempesona dan membuai pandangan para anggota polisi. Ia menebar senyum yang sangat menawan dengan lesung pipit kedua pipinya mendekat kepadaku. Betapa jelas kumelihat dada montok, pinggang ramping serta bibirnya yang basah merah merekah. Terlihat sangat alami, membuatku dan saudara angkatku menghampiri dan mengajaknya berkenalan.

“Victor Misantono,” saudara angkatku memperkenalkan diri terlebih dahulu

“Nanung.” Jawabnya singkat

Lantas aku memperkenalkan diri dengan nama samaran “Boni Arta” 

Dia tertawa mendengar ucapanku, sambil berkata “Dharmo itu! Boni Arta katanya mas… Mas!”ucapnya seraya memainkan matanya yang berbinar.

“Loh kok tahu namaku?” tanyaku padanya, namun dia hanya diam tidak menjawab pertanyaanku. Sambil tersenyum dia melangkah pulang.

Karena penasaran, aku pun mengikutinya sampai rumahnya. Dari pintu pagar, aku kembali menanyakan perihal dia yang mengetahui namaku. Dia menjawab sambil tersenyum “Mas, di Benculuk ini bahkan sampai Srono dan Purwoharjo. Siapa yang tidak kenal dengan sampean mas? Bahkan sampean ini idola para gadis di sini!”

“Termasuk kamu?” Saudara angkatku menyeletuk menanggapi jawaban Nanung

Nanung terdiam sejenak sebelum membalas ucapan Victor “Apalah artinya saya mas, yang hanya seorang janda…” ucapnya lirih sembari mempersilahkan kami menikmati teh dan kudapan.

Setelah cukup lama kami berbincang-bincang aku dan Victor pamit undur diri dan berjanji akan kembali lagi apabila diperbolehkan. Untungnya Nanung memperbolehkan kami apabila ingin berkunjung lagi.

Sampai di rumah, kami langsung makan siang dan istirahat. Sore harinya aku kedatangan tamu dari Siliragung Bapak Abdillah bersama Putrinya Sulistiyowati. Bapak Abdillah adalah mantan anak buah ayah saya di Komdis Kepolisian Siliragung, sedangkan putrinya adalah teman bermain adikku Hariati saat masih kecil dahulu. Kami mengobrol sampai larut malam, hingga ibuku mengatakan untuk istirahat tidur dan melanjutkan ceritanya pada esok hari.

Keesokan harinya setelah sarapan pagi, ibuku bertanya “Kapan kamu sowan ke pusara ayahmu?”

Aku lantas bertanya “Hari apa sekarang Bu?”

“Hari kamis,” jawab ibuku

“Kalau begitu Hari Minggu saja aku ke sana bersama Kak Putu dan Kak Kade.” 

Kami mengobrol lagi sampai jam 10 siang, hingga akhirnya pak Dilah –demikian panggilan akrabku kepada Pak Abdillah dan putrinya pulang.

Setelah makan siang, Ibuku bertanya bagaimana pendapatku tentang Sulis. 

“Cantik, semua pilihan-pilihan Ibu cantik. Tapi bukan tipeku, termasuk mangde Bali. Aku mencari istri yang seperti dia bu, orang yang meninggalkanku untuk menikah dengan laki-laki lain. Sifat yang seperti dia yang bisa menasehati dan memberikan masukan-masukan dalam tugasku, jadi nggak sekedar cantik saja ..”

Belum selesai ucapanku, ibu menyela dan berkata “Lha mereka kan sudah bisa ngah mereka rata-rata tamatan SMP bahkan ada yang sudah tamatan SMEA, masak sih tidak bisa?”

“Tapi mereka masih bau kencur bu, hanya bisa bermanja dan tidak bisa diajak hidup prihatin. Apalagi hidup di Kupang,” jelasku

Ibuku hanya diam dan berlalu masuk ke dalam kamar.

Pada keesokan harinya setelah aku dan Victor mandi, kami berdua menuju Masjid Jami’ Benculuk untuk Sholat Jumatan. Oleh salah satu Takmir aku diminta untuk duduk di shaf depan, sejajar dengan khatib.  Kebetulan saat itu yang menjadi Khatib dan Imam Sholat adalah Ayah Nanung, H.Sanusi.Setelah selesai Sholat Jum’at, kami diajak mampir ke rumahnya, kami berdua pun mengikutinya.

Setelah sampai, seisi rumah terkejut dengan kedatangan kami. Nanung dan Ibunya salim kepada Ayahnya. Aku salim kepada Ibunya Nanung dan diikuti dengan Victor. Nanung menyalamiku sambil mencium punggung tanganku, sedangkan dengan Victor dia hanya berjabat tangan biasa. Hal itu membuat Victor sedikit tidak enak hati dan berkata dalam bahasa Jawa “Ngah, aku nggak dicium tangane koyok awakmu?!”

“Lupa kali Vic” aku menanggapinya dengan singkat, mendengar ucapanku Victor menggerutu dalam diamnya.

Kami disuguhi teh panas dan pisang goreng sambil mengobrol. Setelah cukup lama, kami pamit untuk pulang.

Sampai di rumah Ibuku langsung bertanya “Dari mana saja kalian?”

“Dari rumah teman,” jawabku

“Ini ada Telegram dari Kupang!” Ibuku berkata sambil menunjukkan padaku.

Setelah kuambil dan kubaca, ternyata isinya adalah perintah untuk kembali ke Pangkalan bagi anggota yang sedang cuti, karena ada panggilan tugas kedua dari Pangkupur. Akupun langsung menelepon penjagaan Brimob melalui telepon rumah, kebetulan komandan jaganya Mas Kardi, kakak angkatku. Dia sangat senang mendengar telepon dariku, dia bertanya tentang pernikahanku dan kujawab “Batal mas. Nanti saja ceritanya waktu aku sampai di Kupang. Aku mau tanya tentang Telegram ini lho...”

Belum selesai kalimatku, Mas Kardi langsung menjawab “Bener dik, kita diberi persiapan dua minggu, jadi masih ada waktu 10 hari. Jika dik Dharma datang cepat, bisa menyesuaikan diri dengan anak buah yang akan dik Dharma pimpin”

“Baik mas, Insya Allah” jawabku sebelum mengakhiri panggilan telepon.

Pada hari Minggu, sebelum ke Pusara Ayah, aku dan Victor bertamu di rumah Nanung untuk berpamitan sekaligus menyampaikan isi hatiku padanya.

“Besok Senin aku kembali ke Mako Brimob Kupang Nung, kemarin dapat telegram perintah untuk segera kembali ke Pangkalan!” ucapku

“Kok mendadak Mas?” tanyanya yang tak percaya.

“Inilah Prajurit, apabila ada panggilan tugas, dalam keadaan apapun kami harus siap pakai.” aku menjawab pertanyaannya “Nah, sekarang aku ingin bertanya. Kalau seandainya kamu jadi Istri Prajurit bagaimana? Sanggup nggak?” aku balik bertanya padanya, memancing reaksinya.

“Siapa sih yang mau denganku mas?” ada raut getir di wajahnya

Belum sempat aku menanggapi, Victor lebih dulu menjawab “Aku mau, Dharma juga mau, tinggal pilih saja mbak”

“Ah masa sih mas? Sampean jangan bikin hati saya bertanya-tanya?" Nanung menanggapi ucapan Victor

“Benar kata Victor, tapi ada syaratnya” 

“Apa mas?” dia bertanya padaku

“Jadi Istri Prajurit itu harus bisa hidup sederhana, tabah, sabar dan jujur. Kenapa kami disebut Prajurit, karena kata Prajurit sendiri berasal dari kata Prasojo, Jujur dan Irit” jawabku

“Omah genteng tak saponi mas. abot enteng tak lakoni!” jawabannya membuatku sedikit tersenyum menangkap sinyal lampu kuning. “Tapi bener sampean ngomong gini mas? Sejujurnya saya masih nggak percaya. Saya kan janda, kenapa mas milih saya?” dia bertanya

“Memang kenapa kalau janda? Jujur, akau juga sudah tidak perjaka karena pernah diperkosa dua gadis saat aku mabuk di pesta perkawinan teman. Kalau nggak percaya, tanya saja Victor” aku menjawab sambil menunjuk Victor.

Setelah itu kami berbincang-bincang sedikit lama sebelum undur diri untuk pulang. Setelah dari rumah Nanung, kami pergi ke pusara ayah di pekuburan Hindu yang ada di Kelurahan Karangrejo Banyuwangi kota.Aku sangat bangga dengan ayahku yang telah mengajariku beladiri pencak silat mulai kecil.Hingga aku menjadi dewasa dan menjadi pribadi yang tegap,tangguh dan percaya diri. Beliaupun menasehatiku agar selalu santun pada siapapun, mengalah, selalu berbuat kebaikan, kendati kita sendiri dalam kekurangan.Cari teman sebanyak-banyaknya,tapi apabila ada musuh juga yang datang pantang untuk dihindari, pakai prinsip 3 ngah: ngalah, ngalih, ngamuk. Cukup lama kami berdua di pusara sebelum akhirnya pulang ke rumah untuk persiapan kembali ke Markas.

Saat aku sedang membereskan barang yang akan kubawa, kakak sulungku bertanya “Besok naik apa ke Surabaya?”

Aku menoleh Victor dan menjawab “Naik Bus mas, besok nginep dulu satu malam lalu berangkat ke Kupang”

“Jadi kamu hari Senin nggak langsung berangkat ke Kupang, tapi nginap dulu?”

“Iya mas” jawabku

Kakak sulungku terlihat sedikit berfikir “Apa gini saja. Kamu malam ini langsung ku antar ke Bandara?”

“Pakai mobil siapa mas?” tanyaku

“Gampang sudah, biar aku yang atur, kalian hanya perlu siap-siap. Setelah maghrib kita berangkat” jawab kakak sulungku

“Oke mas, jadi berangkatnya habis maghrib ya?” pertanyaanku hanya diangguki olehnya.

Setelah Sholat Maghrib di Musholla Al-Markam kami berpamitan kepada Ibuku.  Ibuku ingatkanku agar tidak pernah meninggalkan sholat wajib 5 waktu dan berdoa setiap akan melaksanakan kegiatan. Seperti adat kebiasaan jika aku akan berangkat tugas, aku  memposisikan diriku tidur terlentang di depan pintu lalu dilangkahi 3 kali oleh ibuku. Selanjutnya aku bangun dan mencium kaki Ibuku melengkapi restu dan doanya.. 

Sejenak kemudian, kakakkupun tiba. Aku dan Victor berpamitan kepada tetangga yang sudah terlihat ramai menunggu di depan, Tidak ketinggalan beberapa gadis anak tetanggaku yang ngefans padaku. Mereka terlihat cantik-cantik memang, namun bagiku mereka masihlah anak kecil yang bau kencur dan kuanggap sebagai adiku saja.

Tepat pukul 18.30 WIB, kami berangkat. Sampai di Bandara Surabaya pada pukul 03.45 WIB. Meski langit masih gelap, bandara terlihat sangat sibuk. Kakakku memberiku tiket pesawat Merpati. Setelah menimbang barang bawaan kami, resi dan tiket diberikan kepadaku. Kami bertiga sempat berbincang di café Bandara hingga mendengar panggilan untuk masuk ke ruang tunggu. Aku berpamitan pada kakak dan Victor. Kemudian Victor diantar kakakku ke Terminal Bis Wonokromo untuk pulang ke Malang.

Pukul 06.00 WIB pesawat Merpati berangkat dan transit di Bandara Ngurah Rai selama 15 menit. Tiba di Bandara Eltari Kupang pukul 07.00, aku langsung mencarter Bemo roda empat untuk pulang ke Pangkalan Brimob Pasir Panjang. Kedatanganku disambut rekan-rekan dengan penuh Sukacita. Namun, komandan Kompi dan ayah angkatku kecewa karena aku tidak membawa istri sesuai izin cutiku. Setelah kuceritakan kepada mereka kronologi batalnya pernikahan, baru mereka nampak puas dan tidak lagi pasang wajah kecewa.

Setelah istirahat dua hari, satuan tugas pun dibentuk dengan sandi komando. Aku mendapat tugas sebagai Dam Pos We Massa membawahi dua regu yang notabene mereka adalah seniorku. Di medan tempur hal ini bisa saja terjadi sesuai dengan kemampuan personel  atau individu dalam mengatur atau menata penyerangan dan pertahanan. Komandan Kompi sangat percaya padaku, mengingat pada tahun 1975 aku berhasil mengharumkan nama Kompi 34 BS Kupang. Hingga aku dijuluki sebagai Rambo oleh kawan maupun lawan.

Sehari sebelum keberangkatan aku menelpon ibu dan kakak dari penjagaan untuk mohon doa dan Restu. Pada Nanung, aku meminta padanya untuk selalu mendoakanku, karena dalam tugas tempur mati hidup seseorang ada di tangan Sang Maha Pencipta.

“Besok pagi kami akan berangkat dengan kekuatan 1 Kompi, ditambah satu Batalyon 743. Jadi aku berharap Jangan lupa berdoa untuk keselamatan kami semua!” ucapku pada Nanung

Dia menjawab “Aku selalu mendoakanmu Mas. Apapun yang terjadi aku tetap menunggumu karena aku sangat mencintai dan menyayangimu. Saat pertama kali Mas Dharma menyatakan cinta padaku aku tak dapat tidur semalaman, Aku selalu ingat wajahmu yang tampan dan penuh kharisma. Pantas sampeyan dikejar-kejar oleh wanita di Banyuwangi Selatan!”

“Sudah jangan banyak memuji, yang perlu kamu lakukan adalah berdoa terus dan apabila ada jodoh pasti aku kembali dan akan menikahimu” jawabku

“Aamin Allahumma Aamiin!” sebutnya

Aku pun menyudahi pembicaraan karena waktu berkumpul kembali untuk pembagian amunisi dan granat tangan.

Keesokan harinya, kami berkumpul di lapangan Makorem yang sebelumnya diisi dengan acara pelepasan dari para keluarga anggota Brimob yang sudah menikah menambah harunya suasana. Kami berangkat lewat darat, melewati Soe, Kefamenano dan tiba di Atambua menjelang sore. Dan diterima oleh DAMKOTIS, Dandim dan Kapolres. Setelah mendapat pengarahan sebentar kami pun beristirahat untuk persiapan berangkat ke medan tempur sesuai tugas masing-masing. 

Keesokan harinya menjelang subuh, kami berangkat ke We Massa dengan mobil Reo milik DAMKOTIS. Tiba di We Massa pukul 12.30 kami pun beristirahat sebentar untuk makan siang. Setelah itu aku mengajak DANRU 1,2 untuk melihat Medan yang ada. We Massa terletak di pinggir laut yang berbatasan dengan Australia, hutannya cukup lebat dengan aneka burung dan monyet. Sekembalinya kami di pos aku memerintahkan untuk membersihkan pos yang sebelumnya dihuni oleh pasukan TNI dan tidak lupa memerintahkan membuat parit perlindungan di depan pos, serta menyusun balok kayu di depan pos sebagai pertahanan. Karena batu tidak ada di We Massa.

Tiga hari bekerja sekuat tenaga hingga pos tersebut menjadi pos yang tangguh untuk menahan setiap serangan lawan. Sebulan aku bertugas di We Massa tidak ada gangguan yang berarti hingga akhirnya dipindahkan ke pos Nunhura karena di wilayah tersebut selalu diganggu oleh sisa-sisa Fretilin. Aku dijemput oleh anggota Kodim lalu dibawa ke Makodim. Kemudian keesokan harinya berangkat ke Nunhura lewat Haekesak. Di Haekesak aku dijemput oleh tiga orang teman dari pos Nunhura dengan kuda, karena mobil tidak bisa menyeberangi perbatasan Haekesak. Komandan Pos Nunhura adalah Bapak Kamilus Baly.

Di Pos Nunhura aku tidak merasa asing karena saat penyerangan benteng Balibo, kita harus membungkam pos Nunhura yang dulu dijaga oleh lima belas orang Tropas. Setelah sehari istirahat, malam harinya aku mulai melaksanakan patroli bersama 5 orang anggota. Namun, hasilnya nihil. Satu bulan lamanya Aku bertugas di pos Nunhura, hingga akhirnya ditarik kembali ke posku Atambua untuk kembali ke Marko Brimob Kupang untuk melatih dan memberikan pembekalan kepada Brimob baru sejumlah 35 orang di tamatan Dodik Lasikode Kupang selama 2 minggu.

Pada kesempatan ini aku bisa berkomunikasi dengan Nanung lewat telepon penjagaan Brimob Apabila ada waktu luang, Dia sangat senang mendengar kabar berita ini. Namun Ia juga bercerita bahwa saat ini dia sedang mengalami godaan dan ejekan oleh orang-orang di Benculuk karena mendapatkan cinta saya.

“Siapa Mereka Nung?” tanyaku

“Orang-orang yang suka dengan sampeyan Mas, mereka mengatakan kalau saya mendapatkan cinta sampeyan karena santet pelet!” Jlentrehnya.

“Sabar saja nung, itu ujian bagimu sebelum menjadi Ibu Bhayangkari. Toh cinta kita tambah bersemi dalam hati, dan kita sendiri juga yang merasakan. Biarlah orang ngomong apa yang penting aku tetap sayang padamu!” ucapku menenangkannya

Dia menjawab,” Iya Mas, aku pegang janjimu.”

Setelah kurasa cukup perbincangan kami aku menyudahi telepon karena waktu latihan segera dimulai kembali.

Setelah selesai pelatihan dan pembekalan maka latihan pun ditutup oleh DANKI 34 BS Brimob dengan penyematan baret dan roda Brimob di saku kiri, acara tersebut berlokasi di Pantai Gembira Loka Pasir Panjang.

Perjuangan memang membutuhkan tidak hanya pengorbanan tenaga, harta dan nyawa. tetapi hati dan fikiran pun kami korbankan sebagai prajurit. Di tahun 1975 itu pula, aku mendengar kabar ibu yang kucintai pergi untuk selama-lamanya. Sebagai prajurit harus kuat dan tegar dalam berbagai kondisi. Sesama teman lah kami saling menguatkan.

Sampai pada masa situasi bisa lebih terkendali, aku pun kembali mengajukan cuti nikah dan hal tersebut disetujui oleh DANKI, serta para petinggi kompi. Sehari sebelum berangkat ke Jawa aku dipanggil oleh DANKI untuk menghadap ke kantornya, ternyata di kantor sudah berkumpul para petinggi kompi seperti WADANKI, Perwira OP, PAMIN dan para DANTON. Mereka sangat berharap aku dapat mengakhiri masa lajang dan tidak lupa pula mereka memberikan sumbangan uang sebesar 1 juta hasil patungan mereka. Hal tersebut membuatku terharu sampai meneteskan air mata atas kebaikan mereka. Karena menurutku baru kali ini terjadi di Kompi 34 BS Brimob Kupang anggota cuti dibantu oleh para petinggi kompi.

Aku berangkat menggunakan kapal P. Singkep yang berlayar selama 6 hari dan bersandar di dermaga Gudang Garam Surabaya. Setibanya di darat aku langsung menyewa taksi Menuju Stasiun bus Wonokromo dan mencari bus jurusan Jember. Saat tiba di Jember aku kembali mencari bus jurusan Banyuwangi. Tiba di Benculuk hari sudah mulai gelap dan kedatanganku tidak diketahui oleh tetanggaku.

Keesokan harinya, aku menyekar ke pusara ibu di Benculuk.  Kubacakan Surat Yasin sampai sepuas hatiku memandang pusara ibuku. Selanjutnya aku pamit mohon izin untuk menikahi pujaan hatiku. Sore harinya aku memanggil kedua kakakku untuk membicarakan rencana pernikahanku sesuai surat cuti yang kubawa. Pada awalnya kedua kakakku tidak menyetujuinya dengan berbagai alasan. Akhirnya setelah kukatakan bila aku tidak akan menikah seumur hidup jika tidak dengan Nanung, barulah kedua kakaku menyetujui.

Persiapan lamaran pun dilakukan, hingga akhirnya hari yang kutunggu pun tiba. Aku baru tahu nama panjangnya Nung yakni Siti Nuroniyah. Nung atau Nanung hanyalah nama panggilan saja. 

Aku dan Nung menikah dengan acara yang sangat sederhana namun terasa sakral. Hanya mengundang beberapa keluarga dari kedua belah pihak, aparat desa dan aparat kecamatan serta tetangga sekitar rumah Nung. Sehari setelah pernikahan, Nanung yang saat ini sudah menjadi istriku mengajak untuk berangkat ke Kupang. Dia berkata tidak kuat dengan sindiran orang-orang. Kukatakan padanya “Kan ada aku,” Sambil menggoda dengan senyuman. 

“Tapi sampeyan kan nggak dengar dan nggak tahu, sudahlah mas bawa aku kemanapun Mas pergi!” katanya sambil merajuk

Akhirnya aku sanggupi permintaannya. Kami pamit kepada kedua kakakku dan adik-adikku. Malam itu, kami berdua langsung berangkat ke Surabaya dengan bus malam.

Kami tiba di Surabaya saat pagi hari dan kami pun menginap di Losmen Singaraja di daerah Bongkaran. Setelah menginap dua hari di losmen tersebut, kami berdua pun mendapatkan informasi dari pemilik losmen bahwa ada sebuah kapal  Ratu Rosali milik Pastoran Katolik yang akan berangkat besok pagi ke Kupang. Aku pun bergegas ke Perak untuk mengecek kebenarannya. Ternyata benar informasi tersebut aku pun membeli tiket dan langsung naik kapal pada sore harinya. Pada keesokan harinya setelah pembersihan kepabean selesai, kapal pun berangkat menuju Kupang.

Enam hari kami berlayar hingga akhirnya tiba di Pelabuhan Teunau Kupang. Begitu aku menginjakkan kaki di Tenau, aku langsung berdoa “Ya Allah Ya Rob, Rahmatilah keluarga kecil kami di Pulau Timor ini, mudahkan urusan kami dan bahagiakan dengan Rahmat dan Nikmat-Mu Ya Rob, Tuhan Yang Maha Suci Aamiin!”

Setelah itu aku mencari taksi untuk berangkat ke Kesatrian Brimob Pasir Panjang Kupang. Kedatangan kami membuat geger seluruh penghuni asrama.Mereka semua tua muda datang menyambut kami. Setelah berbincang sebentar aku berpamit ke barak untuk beristirahat. Setiba di kamarku, adik angkatku Kadek Urip Dana telah membukakan pintu untuk kami sambil mengucapkan “Silakan masuk dan selamat berbahagi!.” Istriku terkejut melihat rumah tetap terjaga dan bersih.

Setelah beristirahat seharian kami pun mandi untuk membeli makan di luar bersama Kadek. Dari sinilah awal aku membangun rumah tangga kecilku bersama istriku yang selalu setia mendampingi dalam suka dan duka. Hari-hari kami lalui bersama penuh dengan aroma cinta kasih hingga tiba suatu saat aku pulang dari tugas jaga di KOMDAK XVII NTT, kudapati Istriku tidur pulas  masih lengkap dengan seragam Bhayangkarinya.Mungkin ia kelelahan setelah seharian mendampingi istri komandan kompi rapat di Makodim Kupang. Kudekati dirinya, kulihat wajahnya cantik nan anggun bagaikan Dewi Ratih diselimuti pangestu para dewata, lalu kucium keningnya. Dia terperanjat bangun merapikan seragam bhayangkari seraya membenahi rambutnya.

Kubisiki kata indah di telinganya “Kau manis belahan hati sayangku!” 

Dia memeluk dan menciumku sambil berkata “Aku bahagia bersamamu Mas!”

Saat itu hari berganti, aku mempunyai tekad untuk mengajukan pindah ke Bali untuk dapat membahagiakannya. Walaupun seluruh anggota Kompi Brimob Kupang merasa kecewa apabila kutinggalkan. Tapi ini merupakan satu keputusan yang pasti untuk membahagiakan keluarga kecilku.   

                      



***

Di atas sajadah panjang di senja sawarwulu di Perumahan Garuda Bonyolangu dalam keheningan khusuk menghadap Illahi Robbi, kumohonkan doa untuk istriku yang tersenyum damai di singgasanaNya.Ya, dua tahun lalu kami dipisahkan dengan wanita dari 4 buah hatiku karena pandemic corona yang melanda dunia. Benar dipisahkan setelah kami berdua diisolasi di Balai Diklat Licin, istri dibantarkan ambulance ke RSI Fatimah untuk ditangani intensif. Tak sampai 17 jam ada telepon dari anakku untuk ikhlas ibunya menghadap Illahi Robbi lebih dulu. Kian sedih ditinggal wanita baik yang menemani perjalanan hidupku, karena aku tak bisa turut serta mengantarkan ke peristirahatan terakhir. Namun amanahku untuk menempatkan pusara kekasih hatiku Nung, di bawah pohon kamboja yang rindang serta ada lokasi untuk aku bersanding sehidup semati dengannya.


Banyuwangi, April 2023


Mengapa di Mesir tidak ada Polemik hisab-rukyah dan tidak ada perbedaan Hari Raya?

 Mengapa di Mesir tidak ada Polemik hisab-rukyah dan tidak ada perbedaan Hari Raya?

_________________

Catatan: KH Abdul Ghofur Maimoen 



Menjaga Kebersamaan Lebih Penting Ketimbang Pendapat Pribadi


Di Al Azhar Mesir, saya bertemu dengan sejumlah guru yang mengesankan. Salah satunya adalah Syekh Prof. Dr. Musa Syāhīn Lāsyīn. Ia adalah guru besar di bidang Hadis. Di antara karyanya yang populer adalah Fatḥ al Mun’īm fī Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim dan Al Manhal al Ḥadīṡ fī Syarḥ Aḥādīṡ al Bukhāriyy. Penampilannya bersahaja, ramah, dan terbuka saat memberi kuliah. 


Pagi itu adalah awal Ramadhan. Saya ke kampus dan masuk di ruang perkuliahannya. Ia bertanya kepada santri-santrinya, kapan memulai puasa Ramadhan. Tentu saja kami memulai puasa di hari itu. Tak ada tradisi berbeda memulai puasa di sini. Semua seragam, sesuai dengan pengumuman Pemerintah. Hal yang tak saya duga, tiba-tiba ia menyampaikan bahwa menurutnya puasa Ramadhan seharusnya dimulai kemaren sesuai perhitungan hisab. Ia tampak lebih menyetujui metode hisab ketimbang rukyah. Akan tetapi, Pemerintah mengumumkan puasa hari ini, dan ia lebih memilih mengikutinya ketimbang mempertahankan pendapat pribadinya.[1]


Sikapnya ini ia sampaikan juga dalam karnya, Fatḥ al Mun’īm fī Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim. Dalam karyanya ini, setelah menyampaikan argumentasinya yang tampak sangat jelas membela metode hisab ia mengakhirnya dengan statemen bahwa pada akhirnya masyarakat diharuskan mengikuti keputusan hakim (pemerintah). Hakim yang (kelak akan) mempertanggung jawabkan ijtihad dan keputusannya di hadapan Allah. Selain yang melihat hilal dan pengguna hisab harus mengikuti pemerintah.[2]


Sepertinya, Indonesia membutuhkan banyak tokoh seperti beliau. Harapan banyak masyarakat agar kita memiliki lebaran yang sama, Ramadhan yang sama dan Idul Adha yang sama saya kira sangat besar. Rasanya itu hanya bisa terwujud jika tokoh-tokohnya memiliki kerendahan hati bahwa ijtihadnya bukanlah kebenaran mutlak yang harus dipertahankan mati-matian meski harus mengorbankan kebersamaan umat yang tentu saja jauh lebih penting. 


Mahasiswa Indonesia di Mesir beragam latar-belakangnya. Mungkin kebanyakan mereka berafiliasi pada organisasi-organisasi besar di Nusantara. Selama di Mesir, tak pernah saya mendengar ada friksi hisab-rukyah. Apapun keputusan Pemerintah diikuti oleh semuanya. Tak ada yang mempersoalkan metode yang digunakannya. Sama halnya dengan jamaah haji Indonesia saat berada di Arab Saudi. Semua—dengan latar belakangnya yang sangat beragam—juga patuh menjalankan keputusan Pemerintah Saudi dalam penentuan wukuf di Arafah. Secara sederhana dapat kita pahami, bahwa mereka sebetulnya meyakini bahwa keputusan yang diambil oleh Pemerintah Mesir dan Pemerintah Saudi dapat dibenarkan dan sah diikuti, meski mungkin tidak sama dengan pendapat pribadi sebagian mahasiswa dan jamaah haji. Tampaknya, pendapat pribadi saat di luar negeri tidak tersemai dalam tanah yang subur sehingga tidak muncul. 


Syekh Yusuf Al Qardhawi dalam bukunya, Aṣ Ṣaḥwah al Islāmiyyah baina al Ikhtilāf al Masyrū’ wa at Tafarruq al Mażmūm, membagi perbedaan pendapat ke dalam dua kategori. Pertama perbedaan pendapat dengan latar belakang khuluqiyyah, latar belakang akhlak. Kedua perbedaan pendapat dengan latar belakang fikriyyah, murni sudut pandang pemikiran. Perbedaan pertama sangat tercela. Ia lahir dari kesombongan, membanggakan diri, fanatik terhadap tokoh atau kelompok dan organisasi tertentu. Untuk menghindarinya sangat dibutuhkan kerendahan hati. Sementara perbedaan kedua lahir dari berbagai sudut pandang, kecenderungan berpikir dan orientasi diri.  Semoga perbedaan yang terjadi selama ini murni perbedaan fikriyyah, bukah khuluqiyyah.[3]


Mohon maaf, sekedar menyampaikan harapan-harapan. Semoga tidak semakin menambah kekeruhan.  


Wallāhu a’lam bi aṣ ṣawāb.


[1] Mencoba mengingat-ingat memori masa lalu. Wallāhu a’lam. 

[2] Lihat: Fatḥ al Mun’īm fī Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim, jilid 4, hal. 507.

وأولاً وأخيراً الناس ملزمون بحكم الحاكم، والحاكم مسئول أمام الله عن اجتهاده وحكمه، فإن استقر عنده صحة شهادة الشاهد المثبت حكم بثبوت الهلال وإن نفاه أهل الحساب، وإن استقر عنده صحة إثبات الحساب لوجود الهلال حكم بثبوته وإن نفاه المتراءون. والأمر في استقرار النفي عنده كذلك. وحكم الحاكم واجب الطاعة في حق غير الرائي وفي حق غير الحاسب باتفاق العلماء، أما الرائي والحاسب فيلزمان بالعمل بعلمهما. والله أعلم.

[3] Aṣ Ṣaḥwah al Islāmiyyah baina al Ikhtilāf al Masyrū’ wa at Tafarruq al Mażmūm, hal. 12—13 


Nuṣūṣ Al Akhyār adalah karya KH. Maimoen Zubair yang berisi teks-teks dari ulama-ulama terbaik dengan berbagai komentar dari beliau. 


Salah satu komentarnya adalah bahwa menyatukan umat Islam dalam puasa, idul fitri dan syiar-syiar lainnya adalah tuntutan abadi. Minimal harus  ada upaya serius untuk menyatukan umat Islam dalam satu wilayah. Dalam satu wilayah sebagian umat puasa hari Kamis karena beranggapan telah masuk Ramadhan, dan sebagian lainnya masih berbuka karena beranggapan masih berada di bulan Sya'ban, adalah kenyataan yang tak boleh diterima. Kemudian di akhir Ramadhan, sebagian masih puasa dan sebagian lainnya telah berlebaran. Ini juga kondisi yang tak boleh diterima. Salah satu kesepakatan ulama adalah bahwa keputusan hakim atau waliyyul amri menghapus perbedaan pendapat.

Anniversary Lentera Sastra di Mina Elang Buana.

Banyuwangi (Warta Blambangan) Aekanu Hariyono, Ketua Komunitas Kiling Osing Banyuwangi, memberikan apresiasi terhadap kehadiran Lentera Sastra di Bumi Blambangan, hal ini disampaikan Guide International tersebut dalam Parade Sastra, 77 Puisi dan Bercerita dengan tema "menyulut semangat literasi bersama lentera Sastra" di RM Mina Elang Buana Srono, Rabu (28/12/22). 


Pensiunan PNS Dinas Pariwisata yang pernah lama mengabdi sebagai guru tersebut menyampaikan bahwa menumbuhkan semangat literasi sejak dini sangat penting agar terbiasa untuk membaca dan menganalisa, terlebih dengan berbagai macam budaya lokal yang tumbuh dan berkembang ditengah membanjirnya budaya interlokal yang belum tentu sesuai dengan budaya bangsa. 


Sebagai orang yang lama bergelud dibidang budaya, Aekanu tidak riskan untuk menularkan pengalamannya kepada komunitas Lentera Sastra.

"saya sering ke luar negeri, dan selalu saya promosikan tentang seni dan budaya Banyuwangi" ungkapnya.

Aekanu juga menyampaikan bahwa untuk menumbuhkan jiwa literasi tidak harus dengan biaya mahal, terlebih dengan dunia yang mudah. 


Guide yang sering dipercaya mendampingi para pejabat ketika berkunjung ke Banyuwangi tersebut juga memberikan Apresiasi terhadap Dr. Moh Amak Burhanudin yang membacakan puisi karyanya dalam acara tersebut. 


Sementara itu Ketua Lentera Sastra Syafaat menyampaikan bahwa sebenarnya Komunitas ini sudah lama ada, namun sebagai pertanda Kelahirannya dipilih waktu ketika launching buku yang ditulis bersama dan disiarkan secara Live melalui Banyuwangi 1 TV pada Desember 2020.


Ditanya tentang arti Lentera Sastra, Syafaat menyampaikan bahwa Komunitas ini tadinya menggunakan kata yang diambil dari jearifan lokal.

"Lentera dalam Bahasa Osing adalah Tekempik, dan kita ambil dengan akronim Terminal Literasi Pegawai Kementerian Agama" ungkapnya. (syaf)

Saya (bukan) Seorang Guru

 Saya (bukan) Seorang Guru

Oleh : Syafaat

 

Ketika saya diminta untuk menjadi narasumber kelas menulis bagi Wakil Kepala Madrasah bidang Hubungan Masyarakat dan Guru Bahasa Indonesia, yang saya pikirkan adalah apa yang harus saya sampaikan kepada mereka yang seharusnya lebih berpengalaman di bidang kehumasan dan tata cara menulis. Sedangkan saya sendiri (secara resmi) belum pernah menjabat humas juga belum pernah (benar-benar) menjadi guru di sekolah.

Dalam setiap pelatihan yang saya dilibatkan didalamnya, saya sering menyampaikan tentang ketidakmampuan saya di bidang ini, karenanya saya lebih memilih saling berdiskusi dan saling memberi informasi, setidaknya dengan metode ini, kekurangan saya sedikit tertutupi, ketidakmampuan saya tidak banyak diketahui. Dan yang lebih penting adalah saya mendapatkan banyak pengalaman karenanya.


Saya menyadari kekurangan saya tersebut, dan saya sangat bersenanghati jika diberi kesempatan untuk tampil di depan mereka yang menurut saya mempunyai banyak pengalaman tersebut, karena saya akan banyak mendapatkan ilmu dari pengalamannya. Seperti dalam sebuah pelatihan yang dilaksanakan Lentera Sastra dengan peserta para guru tersebut, saya tidak memberikan materi apa-apa kepada mereka, karena memang pengetahuan saya di bidang ini tidaklah sebanyak mereka, dan sebaliknya saya mendapatkan banyak ilmu dan pengalaman dari para peserta.

Bagi saya yang merasa kekurangan ilmu di bidang karya tulis, metode diskusi ini sangat efektif di lakukan agar saya bisa menulis dengan baik, agar peserta juga menyadari kemampuannya, bahwa mereka sebenarnya sudah mampu dan bisa menulis, terlebih bagi para guru yang setiap hari akan muncul banyak ide dari pengalaman mengajar, dari pengalaman berinteraksi dengan para siswa dari berbagai latar belakang strata sosial. 

 Biasanya saya memberikan materi yang akan saya sampaikan sehari sebelum pelaksanaan pelatihan, dengan maksud agar para peserta memahami alur yang akan kita diskusikan dalam pelatihan, dan seringkali saya tidak dapat menjelaskan dengan benar-benar jelas dari materi saya sendiri, karena beberapa materi tersebut saya dapatkan melalui internet yang saya sendiri juga belum benar-benar memahami, namun tetap saja saya sampaikan dengan mengingat setiap materi harus ada alur yang jelas agar benar-benar dapat di pahami.

Setiap pelatihan menulis yang saya ikuti, selalu sama yang peserta tayakan, yakni harus memulai darimana mereka menulis, dan itu juga yang seringkali saya berbeda dalam menjawabnya, karena saya belum pernah mendapat teori tentang darimana yang baik kita menulis sebuah berita maupun opini, karena ketika saya menulis sebuah artikel ataupun opini, saya membiarkan pikiran saya liar menulis apapun yang saat itu ingin saya tulis, saya tidak pernah membatasi ide-ide tersebut untuk berhenti pada satu titik saja, saya hanya berpedoman bahwa dalam opini, cerpen maupun puisi minimal ada permasalahan, pembahasan dan hasil ahir, meskipun dengan bahasa yang berbeda.

Seringkali penulis pemula tidak dapat menulis ide yang sudah ada di kepala dalam karya, mereka berhenti dalam beberapa paragraf saja, dan tidak dapat meneruskan syahwat yang sebenarnya sudah tertangkap mata, merasuki pikiran dan siap dituangkan dalam dalam selembar karya, seringkali ide yang akan di tulis dalam berlembar-lembar karya tersebut tidak kunjung terselesaikan, dan itu juga yang yang seringkali menjerat saya ketika sedang menulis. Beberapa kali saya berganti tema dalam menulis artikel, berbeda antara angan-angan sebelum menulis dengan fakta tulisan.

Seringkali saya memberikan umpan balik kepada peserta tentang sesuatu yang sebenarnya saya sendiri tidak memahaminya, karena saya yakin para peserta ini sebenarnya telah memahaminya tanpa mereka sadari, para peserta sebenarnya mempunyai potensi pada diri yang dapat di eksploitasi. Saya tidak akan bercerita bagaimana dulu saya juga ragu untuk menyampaikan kata cinta untuk sang pujaan hati, hingga beberapa waktu lamanya saya juga tidak menyampaikannya dengan kalimat cinta, namun sang pujaan hati dapat memahaminya meskipun dengan bahasa yang berbeda, karena sebuah ungkapan tidak harus dengan bahasa yang sama.

Dalam sebuah berita, sudah diketahui bersama bahwa ada sarat yang harus di penuhi yakni unsur 5W 1H yang urutanya tidak harus sama, yang dimulainya dapat darimana saja, baik dari What, Who, When, Why, Where, dan How. Asalkan menarik dan benar untuk dibaca, karena berita harus benar-benar nyata, dan itu merupakan hal yang dasar dan mudah untuk dilakukan. Saya sering memberikan saran agar ketika menulis dimulai dengan menulis berita, kemudian menulis artikel, cerita fiksi dan lain sebagainya, karena ide fiksi berasal dari dunia nyata.

Beberapa kali pelatihan menulis artikel, saya mengajak peserta untuk menuliskan artikel pada saat itu juga, dan beberapa kali saya lakukan, tingkat keberhasilannya lebih tinggi ketika dilakukan terhadap anak-anak dan remaja  daripada orang dewasa. yang lebih sering melakukan plagiasi terhadap karya orang lain. Saya pernah diminta untuk memberikan pelatiham menulis pentigraf untuk siswa kelas lima dan enam, baru kecut dan apek siswa  yang tak sengaja menyengat hidung tak menyurutkanku untuk memberi motivasi kepada mereka untuk menulis, dan faktanya mereka dapat menulis pentigraf tanpa plagiasi, bahasanya masih sangat polos yang ketika saya susia mereka belum dapat memunculkan karya seperti mereka.

 

Banyuwangi, November 2022

Salam Lentera Sastra

KH. Ali Mansur, Kepala Kantor Kemenag Kab. Banyuwangi Penggubah Shalawat Badar

 

KH. Ali Mansur, Kepala Kantor Kemenag Kab. Banyuwangi Penggubah Shalawat Badar

Oleh : Syafaat


Raden Muchamad (RM) Ali Mansur, lahir di Jember, Jawa Timut pada 4 Ramadhan 1340 H atau 23 Maret 1921 M. Beliau merupakan putra dari pasangan KH. Manshur bin KH. M. Shiddiq Jember dengan Shofiyah binti KH. Basyar dari Tuban, KH. Ali bin Manshur termasuk dalam keluarga besar as-Shiddiqi. Kakeknya yang bernama KH. M. Shiddiq (Jember), adalah seorang ulama yang menurunkan ulama-ulama besar seperti KH. A. QusyairiKH. Ahmad ShiddiqKH. Mahfuzh Shiddiq, KH. A. Hamid Wijaya, KH. Abdul Hamid (Mbah Hamid Pasuruan), KH. Yusuf Muhammad, dan lain sebagainya. Beliau masih keturunan Mbah Sambu Lasem (Pangeran sayyid M. Syihabuddin Digdoningrat) bin sayyid M. Hasyim bin Sayyid Abdurrahman Basyaiban (Sultan Mangkunegara III). Dari jalur kakek, nasab Kiai Ali Manshur menyambung ke Pangeran Sayyid M Shihabuddin Digdoningrat atau Mbah Sambu Lasem bin Sayyid M Hasyim bin Sayyid Abdurrahman Basyaiban atau Sultan Mangkunegara III. Karena itulah KH Abruddahman Wahid alias Gus Dur menyebut Kiai Ali Manshur dengan habib, panggilan khusus untuk keturunan Rasulullah

Masa kecil KH M. Ali Mansur dihabiskan di Tuban. Setelah tamat belajar di MI Makam Agung Tuban, beliau mondok di beberapa pesantren besar, antara Pesantren Termas Pacitan,Pesantren di Lasem (asuhan Mbah Makshum), lalu Pesantren Lirboyo Kediri hingga Pesantren Tebuireng Jombang. Di Lirboyo ini, beliau kelihatan bakatnya dalam penguasaan ilmu ‘arudh dan qowafi (dasar-dasar ilmu membuat syair berbahasa arab).

Setelah menamatkan pendidikannya di beberapa pesantren dan AMS (setingkat SMA), KH. Ali mansur pada tahun 1945 nmenjadi guru Madrasah Salafiah,kemudian menjadi anggota Dewan Pimpinan Pemuda, Wakil Ketua GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia), Kepala Staf Umum Barisan Sabil Komandan DPM Instruksi Pertahanan Rakyat6, anggota DPRDS Kabupaten Tuban dan pembentuk pasukan mujahidin, dan menjadi kepala staf penerangan MPHS Jawa Timur

Mengutip dari konstituante.net, sejak tahun 1950 beliat menjadi Pegawai Negeri Sipil dilingkungan Kementerian Agama, beberapa jabatan yang pernah di embannya di Jawa Timur antara lain : menjadi klerk Kepala (Pemegang Kas) KAD Besuki, yang dijabatnya selama lenih kurang satu sahun, pada tahun 1951 sampai 1952 menjadi Propandis kl I Kantor Penerangan Agama Provinsi Jawa Timur.

Pada tahun 1952 hingga tahun 1954 beliau dipindahkan dan menjabat sebaga Kepala KUA ( Kantor Urusan Agama) di Kabupaten Sumba Provinsi nusa Tenggara. Beliau juga masih aktif di organisasi menjadi konsul NU Nusa Tenggara yang dijabat sejak tahun 1954 hingga tahun 1956. Di jajaran Kementerian Agama, pda kurun waktu tersebut beliau manjabat sebagai Kepala Bahagian Politik dan Aliran Agama pada Kantor Kementerian Agama Provinsi Nusa Tenggara, kemudian pindah ke Provinsi Jawa timur dalam jabatan yang sama.

Sejak Tanggal 9 November 1956 bersama beberapa ulama seperti KH. As’ad Samsul Arifin dari Sukorejo Banyuputih Situbondo serta KH. Harun dari Tukangkayu Banyuwangi, beliau diangkat sebagai annggota konstutuante mewakili Nahdlatul Ulama Nusa Tenggara yang dijabat hingga dibubarkannya Dewan konstituante oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5 juli 1959. Dewan Konstituante hasil pemilu 1955 dilantik presiden Sukarno di Bandung, 10 November 1956 dengan tugas utama menyusun konstitusi baru bagi Republik Indonesia. Sebelumnya di Indonesia diberlakukan UUD 1945 (1945-1949), Konstitusi RIS 1949 (1949-1950), lalu UUD Sementara yang sejak 1950. Selama sidang Konstituante, hampir semua materi pokok sebenarnya berhasil diselesaikan melalui musyawarah. Semua kubu menyetujui bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Bendera Merah Putih, Bahasa Nasional Indonesia, Lagu kebangsaan Indonesia Raya, Lembaga-Iembaga kenegaraan, Azas dasar hukum lain-lain. Namun, ketika membicarakan Dasar Negara (4 November 1959) perbedaan tajam muncul dalam tiga konfigurasi usulan ideologi : Islam, Pancasila, dan Sosial Ekonomi. Kubu Islam didukung Masyumi (112 suara), NU (91), PSII (16), Perti (7) dan 4 partai kecil dengan total 230 suara. Kubu Pancasila didukung PNI (116), PKI dan faksi Republik Proklamasi (80), Parkindo (16), Partai Katolik (10), PSI (10), IPKI (8) dan beberapa partai kecil lain, dengan total 273 suara. Sementara kubu Sosial Ekonomi yang ingin mengembangkan sosialisme hanya didukung Partai Buruh (5), Partai Murba (4), dan Acoma/ Angkatan Comunis Muda (1).

Setelah dibubarkannya konstituante, KH. Ali Mansur kembali masuk ke jajaran Kementerian Agama dan menjabat sebagai Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, yang saat itu berkantor di Masjid Baiturrahman Banyuwangi,hingga akhirnya pindah ke Jalan jaksa Agung Suprapto yang sekarang bagunannya telah di bongkar dan ditempati gedung KUA Kecamatan Banyuwangi.

Disamping menjabat sebagai Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi. KH. Ali Mansur juga menjabat sebagai Ketua PCNU (Pimpinan Cabang nahdlatul Ulama) Banyuwangi, yang pada masanya pergolakan politik di ujung timur pulau jawa ini tak ubahnya sebagaimana perpolitikan di tanahair pada waktu itu, kekuatan PKI dengan ideologi komunisnya nyaris menguasai semua sendi sosial politik di masyarakat, begitu juga dengan seni dan Budaya.

Dalam berbagai rapat umum yang dilakukan PKI selalu menggunakan seni dan budaya lokal serta lagu-lagu yang sudah merakyat, seperti gandrung dan lain-lain, karenanya nahdlatul Ulama pada saat itu juga sepakat menggunakan seni tari berupa seni Hadrah Kuntulan untuk menarik simpati masyarakat di Kabupaten Banyuwangi, terutama di acara acara pengajian dan lain-lain. Penggunaan seni hadrah kuntuan ini tadinya juga terjadi tari8k ulur dikalangan ulama Banyuwangi, hal ini dikarnakan adanya perempuan yang ikut menari dalam atraksi tersebut yang dianggap dapat mengundang maksiat, tetapi dengan berbagai pertimbangan maka tari kuntulan ini dapat diterima.  

  Pada tahun 60-an merupakan masa gegap gempita perpolitikan di Indonesia, pergolakan politik ditingkat atas tersebut juga berdampak pada politik di Kabupaten Banyuwagi, perbedaan ideologi politik antara NU dan Pki pada akhirnya juga menjadi akar persaingan yang ketat, kedua belah kubu menggunakan berbagai cara untuk mempengaruhi massa, begitupun dengan penggunaan seni dan budaya.

Partai komunis Indonesia menggunakan lagu genjer genjer yang digubah oleh Muhammad Arif yang juga pencipta lagu dari Banyuwangi, lagu yang diciptakan pada masa penjajahan jepang tersebut sedikit diubah lirikknya yang disesuaikan dengan kepentingan mereka, sehingga pada masa itu lagu genjer genjer identik dengan Paartai Komunis.

Kaum santri (modernis maupun tradisionalis) hakekatnya memang memiliki tujuan bersama pada otentisitas Islam, meskipun dengan Era rejim Nasasom, posisi politik PKI berada di atas angin, baik akibat jumlah pendukungnya yang terus meningkat, maupun karena trend dukungan penguasa yang juga membesar. Namun realitas itu ternyata tidak meruntuhkan, tetapi sebaliknya justru memperkuat, mentalitas kaum Santri. Bahkan, berbekal pentahbisan dari para ulama habaib untuk menjadikan Shalawat Badar sebagai sarana pembangun militansi kaum

Era rejim Nasasom, posisi politik PKI berada di atas angin, baik akibat jumlah pendukungnya yang terus meningkat, maupun karena trend dukungan penguasa yang juga membesar. Namun realitas itu ternyata tidak meruntuhkan, tetapi sebaliknya justru memperkuat, mentalitas kaum Santri. Bahkan, berbekal pentahbisan dari para ulama habaib untuk menjadikan Shalawat Badar sebagai sarana pembangun militansi kaum Santri, hasilnya adalah : kepercayaan diri kaum Santri langsung terakumulasi dalam menghadapi berbagai agitasi dari simpatisan PKI.

Dalam pentas politik nasional PKI sebenarnya sering melontarkan propaganda sebagai tidak anti agama, bersahabat, dan menghormati kebebasan beragama. Mereka hanya membela rakyat untuk melawan kapitalisme – imperialisme. Untuk membuktikan klaim ini PKI bahkan melibatkan beberapa tokoh Islam dalam organisasi, seperti K.H. Misbah dan K.H. Ahmad Dasuki Siroj. Namun, terutama pada level lokal nyatanya PKI melalui berbagai underbownya tetap memusuhi agama di banyak lini, seperti: (1). Lekra melakukan penghinaan agama. Mereka melabeli Santri dengan nuansa menghina, sebagai: Kaum Sarungan atau Kaum Bancik. Bancik adalah batu berjajar untuk pijakan dari tempat wudlu ke masjid atau ke gotakan (kamar) Santri di pesantren. Lekra berhasil menguasai berbagai kesenian rakyat, seperti Ludruk, Ketoprak, Reyog dan lain-lain. Badan Koordinasi Ketoprak Seluruh Indonesia (Bakoksi) yang berafiliasi ke Lekra, berkeliling memainkan lakon menghina agama dan tokoh agama, seperti: Matine Gusti Allah: Matinya Tuhan”, “Gusti Allah Manten: Tuhan Kawin”, Malaikat Kimpol : Malaikat Bersenggama”, Gusti Allah ngunduh Mantu : Tuhan Menjemput Menantu”. (2). Pemuda Rakyat dan Gerwani melakukan kekerasan terhadap tokoh-tokoh agama, seperti banyak terjadi di Jawa Timur. Pesantren Lirboyo Kediri misalnya, selalu dalam tekanan penduduk Lirboyo yang banyak menjadi pendudukung PKI. (3). Barisan Tani Indonesia (BTI) melakukan penyerobotan tanah. Kelambanan pemerintah dalam melaksanakan UU Pokok Agraria (UUPA) yang sudah disahkan tahun 1960, dimanfaatkan pendukung PKI untuk menjalankan agendanya sendiri guna mencari simpati massa. Mereka melakukan aksi sepihak dengan dalih melaksanakan landreform seperti diamanatkan UUPA, dengan sasaran utama tanah erfpacht (tanah milik negara), tanah desa, dan tanah milik tuan tanah yang tinggal di luar daerah tersebut (absentee landlord).

Dikisahkan dalam berbagai media bahwa Shalawat Badar tercipta untuk mengimbangi lagi Genjer-genjer yang digunakan PKI untuk menggalang massa, KH. Mas Mansur yang kebetulan berdinas sebagai Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, sebuah daerah yang kaya akan seni dan budaya, menginspirasi beliau yang juga genar dengan sastra, membuat karya seni sastra yang dapat digunakan bukan hanya mengumpulkan massa, tetapi menjadi penyemangat dalam perjuangan. Beliau teringat tentang alunan Shalawat Al barjanzi yang kelahirannya juga sebagai penyemangat umat Islam dalam menghadapi perang salib. Maka Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi itu terinspirasi dengan semangat Mujahid Badar yang dengan jumlah yang tidak seimbang, tetapi dapat mengalahkan prajurit kafir Quraish.

Pada malam hari KH Ali Mansur bermimpi melihat para prajurit bersorban hijau yang diyakini setelah ditanyakan kepada Habib Hadi Al-Haddar sebagai prajurit mujahid dalam perang badar, yakni perang terbesar yang pernah dialami umat Islam di zaman Nabi Muhammad SAW, karena dalam perang ini Mujahid Islam hanya berjumpah 300 orang, harus menghadapi Prajurit Kafir Quraish sejumlah 1.000 orang dengan persenjataan yang lebih lengkap, namun pada akhirnya kaum Muslimin dapat mengalahkannya. Pada malam ketika KH. Ali Mansur bermimpi tentang prajurit Muslim dalam perang Badar, Isteri Beliau juga bermimpi ditemui Rasulullah SAW.

Lebih mengherankan lagi pada keesokan harinya banyak tetangga di rumah kontrakan beliau di Kelurahan Tukangkayu yang datang sambil membawa beras, daging, dan barang barang lain sebagaimana barang yang dibawa ketika orang melakukan hajatan, para tetangga tersebut memasaknya dan merasa bahwa KH Ali Mansur akan kedatangan banyak tamu. Dan benar saja, menjelang matahari terbit, serombongan Habib berjubah putih hijai yang dipimpin Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi dari Kwitang Jakarta datang, Habib Ali merupakan habib yang sangat dihormati oleh keluarganya,  dan KH Ali Mansur bersyukur “Alhamdulillah”, dan setelah berbincang agak lama, terutama membahas issu politik saat itu, terutama perkembangan PKI yang terus ndodro (Istilah Bung Karno), Habib Ali Al-Habsyi menanyakan topik lainyang tanpa diduga oleh Kh Ali, “Ya Akhi, mana syair yang ente buat kemarin?” tanyanya

“tolong anda bacakan dan lagukan di hadapan kami” ungkat Habib Ali al_Habsyi kemudian, tentu saja Kyai Ali mansur kaget, sebab ternyata Habib Ali tahu apa yang dikerjakannya semalam, segera saja Kh Ali mansur Shiddiq mengambil kertas yang berisi catatan syair Shalawat Badar hasil gubahannya semalam, lalu melagukannya dihadapan rombongan Habib Ali al-Habsyi. Dan sejak itulah Shalawat Badar dijadikan sebagai syair menyemangat dalam menghadapi pengaruh komunis di Indonesia.

Peran KH (RM) Ali Mansur Shiddiq bukan hanya menggubah Shalawat badar saja, tetapi juga sangat berperan dalam kancah perpolitikan lokal di Kabupaten Banyuwangi, hal ini dilakukan dengan mengingat peran beliau yang bukan hanya menjabat sebagai Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, tetapi juga sebagai Ketua Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama yang saat itu juga merupakan Partai Polirtik.

 
Copyright © 2013. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Template Modify by Blogger Tutorial
Proudly powered by Blogger