Pages

Tampilkan postingan dengan label Puisi Esai. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Puisi Esai. Tampilkan semua postingan

KETIKA KEKUASAAN BERJUMPA PUISI DAN DATA


KETIKA KEKUASAAN BERJUMPA PUISI DAN DATA


(Wawancara Denny JA, dengan Media Berbahasa Rusia, setelah di Brazil diumumkan terpilih sebagai salah satu nominasi penerima penghargaan Sastra BRICS, Eurasia Today, 23 Oktober 2025)


1️⃣ Apa harapan Anda kini, ketika nama Anda telah masuk dalam nominasi Penghargaan Sastra BRICS?


Saya berharap penghargaan ini menjadi lebih dari sekadar pengakuan. 


Ia menjadi jembatan antarjiwa manusia.


BRICS bukan hanya persekutuan ekonomi,

melainkan pertemuan peradaban-peradaban besar

yang sedang menulis ulang masa depan dunia.


Saya ingin Indonesia berdiri bukan sebagai penonton,

melainkan sebagai bangsa penyair, 

yang membawa suara hati dan nurani Asia Tenggara

ke dalam percakapan global tentang kemanusiaan.


-000-


2️⃣ Bagaimana Anda menilai peran penghargaan ini sebagai jembatan budaya antarnegara BRICS dan sebagai wadah dialog sastra?


Sastra adalah diplomasi yang paling hening, namun paling dalam.


Penghargaan BRICS bukan hanya menerjemahkan bahasa,

tetapi juga menerjemahkan empati.


Ia memungkinkan bangsa-bangsa berbicara

melalui luka dan mimpi mereka.


Perannya adalah mengingatkan kita bahwa

kekuatan sejati BRICS tidak terletak pada angka GDP,

tetapi pada imajinasi kolektif yang menyatukan manusia.


-000-


3️⃣ Adakah tema atau perspektif unik yang dapat ditawarkan sastra Indonesia kepada dunia?


Indonesia menawarkan perpaduan antara spiritualitas dan perjuangan.

Sastra kami bernafas dari abu kolonialisme

dan harum keberagaman.


Dari mistisisme Bali hingga keberanian Papua,

kami menulis tentang harmoni di tengah luka,

tentang cinta di dalam absurditas.


Ini sebuah cermin di mana dunia dapat menemukan kembali

jiwanya yang retak.


-000-


4️⃣ Nilai-nilai tradisional apa, menurut Anda, yang menyatukan Indonesia dengan negara-negara BRICS lainnya?


Di antara negara-negara BRICS, mengalir satu sungai moral yang sama.


Itu keyakinan bahwa kebersamaan lebih penting daripada diri sendiri.


Apapun namanya—ubuntu, samaj, guanxi, atau solidariedade


Di Indonesia kami menyebutnya gotong royong:

sebuah keyakinan bahwa kemanusiaan hanya dapat bertahan

melalui kebersamaan.


Kita disatukan bukan oleh ideologi atau darah,

tetapi oleh rasa sakit dan harapan bersama

dari dunia Selatan.


-000-


5️⃣ Anda dikenal sebagai pencipta dan pengembang genre puisi esai di Indonesia. Bagaimana dan mengapa Anda memadukan puisi dengan esai?


Puisi esai adalah kisah nyata yang difiksikan,

agar bisa disampaikan dengan lebih bebas

dan menyentuh hati lebih dalam.


Catatan kaki dalam puisi esai adalah rahim tempat puisi itu lahir.

Di sanalah fakta hidup bersemayam—

kebenaran yang dapat ditelusuri melalui sumber-sumber nyata.


Puisi menyentuh hati,

sementara esai menerangi pikiran.

Ketika keduanya bersatu,

lahirlah bahasa yang dapat menyembuhkan sekaligus menggugat.


Saya menciptakan puisi esai sebagai jembatan

antara keindahan dan nalar, antara air mata dan argumen,

karena zaman kita menuntut bukan hanya emosi,

tetapi kesadaran yang bersayap mimpi.


Agar puisi esai dipahami pembaca, anda dapat publikasi salah satu contohnya di akhir wawancara.


-000-


6️⃣ Apa kekuatan utama puisi esai dibandingkan puisi tradisional?


Puisi esai merekam peristiwa nyata yang menyentuh sisi kemanusiaan.


Nilainya bukan hanya pada keindahan bentuk,

tetapi juga kebenaran peristiwa utama.


Kisahnya bersumber dari kehidupan yang sesungguhnya,

menjadikan seni sebagai saksi sejarah.


Melalui narasi puitis,

ia mengubah kenyataan menjadi empati—

mengajarkan bahwa keindahan dapat berdampingan

dengan denyut kebenaran.


Puisi tradisional sering berakhir pada rasa;

puisi esai menuntun menuju kesadaran.

Ia mengubah emosi menjadi pencerahan,

memberi kebenaran tubuh yang liris.


Dalam puisi esai,

keindahan menjadi analisis,

dan fakta menjadi puisi—

sebuah seni di mana bukti bernyanyi

dan kesadaran menjadi pengalaman estetis.


-000-


7️⃣ Bagaimana peran Anda sebagai penulis, konsultan politik, peneliti, dan tokoh publik saling memengaruhi satu sama lain?


Setiap peran adalah cermin dari satu pencarian yang sama: memahami manusia.


Politik mengajarkan strategi,

penelitian menumbuhkan keraguan,

dan sastra menyembuhkan jiwa.


Ketiganya menyadarkan saya bahwa

kekuasaan tanpa puisi melahirkan tirani,

sementara puisi tanpa data hanyalah hiasan.


Saya hidup di persimpangan tempat kebenaran bertemu empati,

dan nalar bertemu seni.


-000-


8️⃣ Hambatan apa yang dihadapi para penulis Asia saat memasuki panggung sastra internasional?


Bahasa memang penghalang pertama, namun bukan yang paling berat.


Rintangan yang lebih dalam adalah imajinasi dunia yang masih berpusat pada Barat.


Penulis Asia harus menerjemahkan bukan hanya kata, tetapi cara pandang.


Kita harus membuktikan bahwa Asia bukan sekadar latar eksotis, melainkan melodi utama kesadaran dunia

yang kini tengah bangkit.


-000-


9️⃣ Apakah Anda pribadi telah mempromosikan karya Anda di luar Indonesia?


Karya-karya puisi esai saya

telah tampil di berbagai festival Asia Tenggara

dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.


Sudah empat kali digelar Festival Puisi Esai tingkat ASEAN.

Jika saya meraih Penghargaan Sastra BRICS, itu akan menjadi titik awal yang baru:

bukan hanya untuk memperluas karya saya,

tetapi juga memperkenalkan penghargaan ini

ke kancah global yang lebih luas.


Namun, lebih dari sekadar promosi, tujuan saya adalah membangun gerakan—Gerakan Puisi Esai— agar dunia melihat bahwa Indonesia

tidak sekadar menulis puisi,

tetapi ikut memberi aksen sejarah sastra dunia.


-000-


🔟 Jika Penghargaan Sastra BRICS membentuk platform untuk mendukung para penulis—dalam penerjemahan, promosi, atau internasionalisasi—apa aspek paling berharga menurut Anda?


Hadiah terbesar bukanlah dana, melainkan ekosistem empati.


Bayangkan sebuah lembaga

yang menerjemahkan bukan hanya kata,

tetapi seluruh dunia.


Yang menghubungkan editor lintas keyakinan,

residensi lintas benua,

dan kurator lintas bahasa.


Platform semacam itu akan menyatukan kemanusiaan

bukan melalui kekuasaan,

tetapi melalui imajinasi.


-000-


(Media ini juga mempublikasikan puisi esai Denny JA, seperti di bawah ini)


Mereka Yang Terbuang di Tahun 60-an (1)


“AYAH, SEMOGA ABU JASADMU SAMPAI DI PANTAI INDONESIA"


Denny JA


(Di tahun 2024, seorang gadis melempar abu jasad ayahnya ke laut, sesuai wasiat sang ayah. Meski tubuhnya tak diizinkan pulang akibat prahara politik tahun 1960-an, ia berharap abu jasadnya mencapai pantai Indonesia, tanah kelahirannya.)


-000-


“Pergilah, Ayah...  

biarlah laut membawa engkau kembali.  

Wahai samudra, ibu yang bergelombang,  

bawa abu jasad Ayahku ke pantai Indonesia,  

ke tanah tempat ia dilahirkan.”


Air matanya jatuh,  

bercampur dengan ombak.  

Rina, anak gadis Baskara, berdiri  

di tepi kapal,  

menggenggam abu jasad Ayah,  

yang terbungkus kain putih.


Gelombang menjauh membawa abu jasad Ayah.  

Anak gadis itu menjadi burung,  

terbang menemani abu.


Ini wasiat terakhir Baskara:  

“Jika aku tak bisa dikubur di Indonesia,  

biarkan abuku yang pulang,  

dihempas laut hingga berlabuh  

di pantai negeriku.”


Indonesia tempat ia dilahirkan,  

tapi ia dilarang dikubur di sana.  

Seumur hidup,  

Baskara terasing.


Tahun 1965, di Beijing,  

Baskara masih muda,  

23 tahun, penuh harapan.


Ia dikirim Bung Karno  

untuk belajar.  

Ilmu pertanian,  

sebagai bekal masa depan  

untuk tanah airnya. (1)


Namun takdir berkata lain.  

Gerakan 30 September pecah.  

Baskara terjebak di negeri orang.  

Paspor ditahan.  

Hak kewarganegaraan dicabut.  

Ia bukan lagi orang Indonesia,  

meski darahnya,  

meski cintanya,  

masih melekat pada negeri itu.


"Kenapa mereka mengambil hakku?"  

Baskara sering bertanya.  

Namun tak ada jawab.  

Ia terasing di negeri orang.  

Tak bisa kembali.


Teman-temannya yang pulang,  

hilang tanpa kabar.  

Ia juga mendengar,  

jika pulang, ia segera dipenjara dan disiksa.


Dan ayahnya,  

dituduh Soekarnois,  

kiri, komunis, hilang entah di mana.  

Padahal Ayah hanya petani sederhana.


Ia hanya mendengar sayup-sayup,  

Ayah dibunuh di satu tempat.


Hidup di Beijing,  

Baskara menjadi pohon tanpa akar.  

Tubuhnya gentayangan di negeri asing.  

Tapi jiwanya tertinggal di Indonesia.


Tujuh tahun lamanya,  

menunggu tanpa harapan.  

Negara yang dikira akan menjemput  

malah membuangnya.


Tak tahan menjadi warga tanpa negara,  

Baskara pun menjadi warga Swedia.


Tahun 2015,  

Baskara pulang,  

menjenguk ibu,  

juga mencari Ayah yang tak kunjung pulang.


Namun, ia dideportasi.  

Dituduh berniat bangkitkan komunisme.


Di masa tua,  

duduk di beranda rumah,  

di Swedia,  

angin menyanyikan lagu keroncong,  

yang sering didengarnya saat kecil,  

ketika ia digendong ibu.


Langit di atas rumah,  

di Swedia,  

memancarkan masa silam.  

Terbentang sepetak sawah.  

Sebagai bocah,  

dirinya berlari di sana,  

disiram hujan gerimis.  

Ia tertawa lepas,  

bersama ibu dan Ayah.


Baskara rindu kampung halaman.  

Ia rindu Indonesia.


Kini, ombak memeluk abu jasad Baskara.  

Mungkin, suatu hari,  

angin akan membawanya ke pantai,  

ke tanah air yang selalu ia rindukan. ***


Jakarta, 15 September 2024


CATATAN


(1) Kisah ini terinspirasi dan dikembangkan dengan fiksi tambahan, dari kehidupan eksil 1965, Tom Iljas, yang terpisah dari tanah airnya akibat perubahan politik.  


https://news.detik.com/x/detail/spotlight/20231002/Eksil-1965-Diusir-daripada-Rezim-Soeharto/

Sore Ketika Hujan di Hutan Pinus


*Sore Ketika Hujan di Hutan Pinus*


 


Pinus-pinus menjuntai tangannya perlahan, seolah ingin menyentuh langit sore yang sedang memudar. Sejak siang, matahari tak muncul. Barangkali ia sedang lelah menjadi pusat segalanya. Atau mungkin, ia ingin memberi ruang pada warna-warna lain untuk tumbuh tanpa bayangannya. Di antara batang-batang pinus yang diam, seekor burung kecil melintas cepat, melawan arah angin. Sungai kecil yang biasa dipakai rafting mengalir pelan, sesekali memantulkan bayang-bayang ranting yang melengkung seperti jemari patah.


Di sinilah kita berdiri.  Berjalan. Duduk. Tertawa sedikit. Diam agak lama. Lalu berjalan lagi. Kadang berpegangan tangan, kadang hanya saling memandang sambil tersenyum seperti dua anak kecil yang baru saja tahu bahwa hidup tidak sesederhana kata “iya” dan “tidak”.


Hutan pinus ini bukan Eropa. Bukan Swiss. Tapi barangkali tidak terlalu penting. Sebab kita tak sedang mengejar label, kita hanya sedang menyelami pelan-pelan rasa yang muncul tiba-tiba seperti bunga yang tumbuh di musim kemarau. Tidak seharusnya ia mekar, tapi kenyataan tidak selalu tunduk pada musim. Begitulah rasa ini, yang tiba-tiba tumbuh—tak tahu malu, tak tahu takut.


Kita duduk di sebuah batang pinus tumbang, basah sedikit. Tak apa. Ada matamu yang bening, menatapku seperti seseorang yang sedang mendengarkan lagu sedih di penghujung hujan. Gerimis turun. Pelan. Seolah ragu. Lalu hujan datang, membawa aroma tanah basah yang entah mengapa mengingatkanku pada rumah, masa kecil, dan suara ibu yang memanggil dari dapur. Tapi suara itu menjauh, dan yang tersisa hanya kamu.


"Aku suka caramu diam," kataku waktu itu.

"Kamu suka banyak hal aneh," jawabmu.

Dan kita tertawa. Bukan tawa keras, bukan tawa ringan. Tapi tawa yang lahir dari kenyataan bahwa kita sedang ada di antara ragu dan pasti, antara keinginan dan kenyataan.

Hujan mulai deras. Tapi kita belum mau pulang. Kita tahu tubuh bisa basah, tapi kita juga tahu tubuh akan kering. Tapi waktu? Ia tidak bisa kembali kering setelah diguyur hujan seperti ini. Kita punya satu sore ini, dan entah kapan lagi kita akan kembali ke tempat yang sama. Kita buka payung. Payung kecil, seperti cinta yang baru saja berani muncul ke permukaan setelah lama tersembunyi di bawah lapisan akal sehat.

Tepi sungai menjadi tempat kita bersandar. Air melintas seperti perasaan: kadang deras, kadang tenang. Suatu waktu, aku lupa bagaimana awalnya, aku mendekat. Matamu tak menolak. Dan saat bibirku menyentuh pipimu, detak jantungku seperti pelari maraton yang tiba-tiba disuruh berhenti. Tak tahu harus bagaimana, tapi tubuh mengikuti apa yang diyakini oleh hati: bahwa kamu adalah rumah dari semua lelahku.

Beberapa orang menyebut perasaan seperti itu birahi. Tapi kita tahu, itu hanya cara dunia menamai sesuatu yang tak bisa mereka pahami. Bagi kita, itu adalah bahasa tubuh yang diterjemahkan oleh rindu yang lama tertahan. Bukan soal keinginan untuk memiliki, tapi kebutuhan untuk menyatu. Sekaligus sadar bahwa kita bisa saja hanyut dalam hasrat, namun masih bisa menemukan jalan pulang ke dalam dada masing-masing.

"Apakah ini cinta?" tanyamu, pelan.

Aku menoleh. Di matamu ada kabut. Bukan karena embun, tapi karena pertanyaan itu sendiri.

"Cinta tak perlu ditanya," jawabku. "Ia datang seperti hujan sore ini. Tak bertanya, tak minta izin."

Di tempat lain, mungkin di negara-negara empat musim, cinta perlu aturan. Perlu status. Perlu janji. Tapi di sini, di sudut Banyuwangi ini, cinta cukup berjalan berdua di bawah hujan, menyeduh kopi yang tak terlalu manis, lalu bercerita tentang masa lalu yang tidak terlalu menyakitkan dan masa depan yang tak perlu dipaksakan.

Di hadapan hutan pinus, kita belajar bahwa cinta bisa hadir dalam diam. Dalam pelan. Dalam sederhana.

Senja mendekat. Kabut mulai turun dari atas bukit. Tapi kita belum juga beranjak. Rasanya kita sedang menunda sesuatu yang sulit dihadapi: pulang. Sebab pulang berarti kembali ke dunia di mana kita harus berpura-pura. Pura-pura tidak jatuh cinta. Pura-pura tidak rindu. Pura-pura tidak ingin menyebut nama satu sama lain setiap saat.

Aku tahu besok kamu akan kembali ke kota. Kembali jadi orang penting yang banyak rapat. Aku juga tahu, aku akan kembali ke meja kerja, menatap layar, mengetik sesuatu yang tidak membuat jantungku berdegup seperti ketika menyentuh pipimu tadi. Dunia menunggu kita kembali. Tapi dunia tidak tahu bahwa sore ini, di tengah hujan dan pinus, ada dua manusia yang sedang belajar untuk ikhlas.

"Aku ingin berhenti waktu," katamu.

"Kalau waktu berhenti, kita akan kehilangan kenangan," jawabku.

"Kenangan bisa menyakitkan," balasmu.

"Tapi tanpanya, kita tak akan pernah tahu bahwa kita pernah bahagia."

Di tengah percakapan itu, aku menyadari bahwa cinta tidak butuh definisi. Ia hanya perlu dihidupi. Diselami. Dirayakan. Bahkan jika suatu hari ia harus pergi, setidaknya ia pernah ada. Seperti hujan sore ini yang barangkali akan berhenti, tapi aromanya akan tinggal di jaket kita sampai esok hari.

Dan kamu, tetap duduk di sana. Menatapku. Seolah-olah kamu tahu bahwa aku tak akan pernah bisa melupakan sorot matamu yang sendu. Kita bukan siapa-siapa. Tapi bagi semesta kecil di hutan pinus ini, kita adalah sepasang manusia yang sedang menulis puisi dengan tubuh dan perasaan. Dan puisi itu tidak perlu dibacakan. Ia cukup hidup di antara gerimis dan napas yang kita hembuskan bersama.

Kita bukan benar-benar di Swiss. Tapi siapa bilang cinta hanya bisa tumbuh di negeri bersalju? Di lereng Banyuwangi ini, cinta bisa tumbuh dari payung kecil, dari tangan yang saling menggenggam, dari pelukan pelan yang tak ingin terburu-buru.

Kita tahu, dunia tak selalu adil. Kita juga tahu, waktu tak bisa diajak kompromi. Tapi selama kita masih bisa menatap langit yang sama, selama payung ini masih bisa menutupi dua orang, dan selama senyummu masih bisa memantul di mataku, maka aku akan percaya bahwa cinta tidak pernah salah alamat.

Malam datang. Hujan reda. Kita mulai berjalan turun. Pelan. Meninggalkan aroma pinus dan suara air yang mengalir seperti lagu lama yang baru saja didengar ulang. Dan dalam hati, aku tahu: tak peduli ke mana kaki melangkah nanti, aku pernah punya satu sore yang membuatku merasa utuh.

Di tengah dunia yang kerap membuat manusia merasa kehilangan, kita telah menemukan diri kita sendiri—di balik payung kecil itu, di bawah pinus yang menjuntai tangan ke langit, di tepi sungai kecil yang menyimpan bisik-bisik rahasia.

Dan semua itu, terjadi bukan di Swiss. Tapi di salah satu puncak kecil di Banyuwangi, yang oleh sebagian orang disebut biasa saja. Tapi bagi kita, ia adalah tempat di mana cinta akhirnya berani menyebut dirinya sendiri: hadir.

Songgon, 18-05-2025

 
Copyright © 2013. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Template Modify by Blogger Tutorial
Proudly powered by Blogger