Selamat Datang di Warta Blambangan

Pages

Home » » Sore Ketika Hujan di Hutan Pinus

Sore Ketika Hujan di Hutan Pinus


*Sore Ketika Hujan di Hutan Pinus*


 


Pinus-pinus menjuntai tangannya perlahan, seolah ingin menyentuh langit sore yang sedang memudar. Sejak siang, matahari tak muncul. Barangkali ia sedang lelah menjadi pusat segalanya. Atau mungkin, ia ingin memberi ruang pada warna-warna lain untuk tumbuh tanpa bayangannya. Di antara batang-batang pinus yang diam, seekor burung kecil melintas cepat, melawan arah angin. Sungai kecil yang biasa dipakai rafting mengalir pelan, sesekali memantulkan bayang-bayang ranting yang melengkung seperti jemari patah.


Di sinilah kita berdiri.  Berjalan. Duduk. Tertawa sedikit. Diam agak lama. Lalu berjalan lagi. Kadang berpegangan tangan, kadang hanya saling memandang sambil tersenyum seperti dua anak kecil yang baru saja tahu bahwa hidup tidak sesederhana kata “iya” dan “tidak”.


Hutan pinus ini bukan Eropa. Bukan Swiss. Tapi barangkali tidak terlalu penting. Sebab kita tak sedang mengejar label, kita hanya sedang menyelami pelan-pelan rasa yang muncul tiba-tiba seperti bunga yang tumbuh di musim kemarau. Tidak seharusnya ia mekar, tapi kenyataan tidak selalu tunduk pada musim. Begitulah rasa ini, yang tiba-tiba tumbuh—tak tahu malu, tak tahu takut.


Kita duduk di sebuah batang pinus tumbang, basah sedikit. Tak apa. Ada matamu yang bening, menatapku seperti seseorang yang sedang mendengarkan lagu sedih di penghujung hujan. Gerimis turun. Pelan. Seolah ragu. Lalu hujan datang, membawa aroma tanah basah yang entah mengapa mengingatkanku pada rumah, masa kecil, dan suara ibu yang memanggil dari dapur. Tapi suara itu menjauh, dan yang tersisa hanya kamu.


"Aku suka caramu diam," kataku waktu itu.

"Kamu suka banyak hal aneh," jawabmu.

Dan kita tertawa. Bukan tawa keras, bukan tawa ringan. Tapi tawa yang lahir dari kenyataan bahwa kita sedang ada di antara ragu dan pasti, antara keinginan dan kenyataan.

Hujan mulai deras. Tapi kita belum mau pulang. Kita tahu tubuh bisa basah, tapi kita juga tahu tubuh akan kering. Tapi waktu? Ia tidak bisa kembali kering setelah diguyur hujan seperti ini. Kita punya satu sore ini, dan entah kapan lagi kita akan kembali ke tempat yang sama. Kita buka payung. Payung kecil, seperti cinta yang baru saja berani muncul ke permukaan setelah lama tersembunyi di bawah lapisan akal sehat.

Tepi sungai menjadi tempat kita bersandar. Air melintas seperti perasaan: kadang deras, kadang tenang. Suatu waktu, aku lupa bagaimana awalnya, aku mendekat. Matamu tak menolak. Dan saat bibirku menyentuh pipimu, detak jantungku seperti pelari maraton yang tiba-tiba disuruh berhenti. Tak tahu harus bagaimana, tapi tubuh mengikuti apa yang diyakini oleh hati: bahwa kamu adalah rumah dari semua lelahku.

Beberapa orang menyebut perasaan seperti itu birahi. Tapi kita tahu, itu hanya cara dunia menamai sesuatu yang tak bisa mereka pahami. Bagi kita, itu adalah bahasa tubuh yang diterjemahkan oleh rindu yang lama tertahan. Bukan soal keinginan untuk memiliki, tapi kebutuhan untuk menyatu. Sekaligus sadar bahwa kita bisa saja hanyut dalam hasrat, namun masih bisa menemukan jalan pulang ke dalam dada masing-masing.

"Apakah ini cinta?" tanyamu, pelan.

Aku menoleh. Di matamu ada kabut. Bukan karena embun, tapi karena pertanyaan itu sendiri.

"Cinta tak perlu ditanya," jawabku. "Ia datang seperti hujan sore ini. Tak bertanya, tak minta izin."

Di tempat lain, mungkin di negara-negara empat musim, cinta perlu aturan. Perlu status. Perlu janji. Tapi di sini, di sudut Banyuwangi ini, cinta cukup berjalan berdua di bawah hujan, menyeduh kopi yang tak terlalu manis, lalu bercerita tentang masa lalu yang tidak terlalu menyakitkan dan masa depan yang tak perlu dipaksakan.

Di hadapan hutan pinus, kita belajar bahwa cinta bisa hadir dalam diam. Dalam pelan. Dalam sederhana.

Senja mendekat. Kabut mulai turun dari atas bukit. Tapi kita belum juga beranjak. Rasanya kita sedang menunda sesuatu yang sulit dihadapi: pulang. Sebab pulang berarti kembali ke dunia di mana kita harus berpura-pura. Pura-pura tidak jatuh cinta. Pura-pura tidak rindu. Pura-pura tidak ingin menyebut nama satu sama lain setiap saat.

Aku tahu besok kamu akan kembali ke kota. Kembali jadi orang penting yang banyak rapat. Aku juga tahu, aku akan kembali ke meja kerja, menatap layar, mengetik sesuatu yang tidak membuat jantungku berdegup seperti ketika menyentuh pipimu tadi. Dunia menunggu kita kembali. Tapi dunia tidak tahu bahwa sore ini, di tengah hujan dan pinus, ada dua manusia yang sedang belajar untuk ikhlas.

"Aku ingin berhenti waktu," katamu.

"Kalau waktu berhenti, kita akan kehilangan kenangan," jawabku.

"Kenangan bisa menyakitkan," balasmu.

"Tapi tanpanya, kita tak akan pernah tahu bahwa kita pernah bahagia."

Di tengah percakapan itu, aku menyadari bahwa cinta tidak butuh definisi. Ia hanya perlu dihidupi. Diselami. Dirayakan. Bahkan jika suatu hari ia harus pergi, setidaknya ia pernah ada. Seperti hujan sore ini yang barangkali akan berhenti, tapi aromanya akan tinggal di jaket kita sampai esok hari.

Dan kamu, tetap duduk di sana. Menatapku. Seolah-olah kamu tahu bahwa aku tak akan pernah bisa melupakan sorot matamu yang sendu. Kita bukan siapa-siapa. Tapi bagi semesta kecil di hutan pinus ini, kita adalah sepasang manusia yang sedang menulis puisi dengan tubuh dan perasaan. Dan puisi itu tidak perlu dibacakan. Ia cukup hidup di antara gerimis dan napas yang kita hembuskan bersama.

Kita bukan benar-benar di Swiss. Tapi siapa bilang cinta hanya bisa tumbuh di negeri bersalju? Di lereng Banyuwangi ini, cinta bisa tumbuh dari payung kecil, dari tangan yang saling menggenggam, dari pelukan pelan yang tak ingin terburu-buru.

Kita tahu, dunia tak selalu adil. Kita juga tahu, waktu tak bisa diajak kompromi. Tapi selama kita masih bisa menatap langit yang sama, selama payung ini masih bisa menutupi dua orang, dan selama senyummu masih bisa memantul di mataku, maka aku akan percaya bahwa cinta tidak pernah salah alamat.

Malam datang. Hujan reda. Kita mulai berjalan turun. Pelan. Meninggalkan aroma pinus dan suara air yang mengalir seperti lagu lama yang baru saja didengar ulang. Dan dalam hati, aku tahu: tak peduli ke mana kaki melangkah nanti, aku pernah punya satu sore yang membuatku merasa utuh.

Di tengah dunia yang kerap membuat manusia merasa kehilangan, kita telah menemukan diri kita sendiri—di balik payung kecil itu, di bawah pinus yang menjuntai tangan ke langit, di tepi sungai kecil yang menyimpan bisik-bisik rahasia.

Dan semua itu, terjadi bukan di Swiss. Tapi di salah satu puncak kecil di Banyuwangi, yang oleh sebagian orang disebut biasa saja. Tapi bagi kita, ia adalah tempat di mana cinta akhirnya berani menyebut dirinya sendiri: hadir.

Songgon, 18-05-2025

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar

 
Support : Copyright © 2020. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Modifiksi Template Warta Blambangan
Proudly powered by Syafaat Masuk Blog