Pages

Tampilkan postingan dengan label Artikel Siswa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel Siswa. Tampilkan semua postingan

Kasih Ibu Ipuk Fiestiandani Kepada Generasi Qurani MTQ XXXI

Mendekat. Begitulah rasanya ketika melihat langkah Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani, hadir di tengah anak-anak Qur’ani pada Basecamp Kafilah Kabupaten Banyuwangi pada MTQ ke-31 di Jember, kehadirannya bukan hanya dianggap sebagai seorang pejabat tertinggi di Kabupaten Banyuwangi, namun lebih dari itu. Beliau datang dengan kasih dan cinta ibu terhadap anaknya.


Seorangnya pemimpin bisa saja memilih jarak. Bisa saja cukup menitip salam lewat pejabat, atau sekadar mengirim ucapan lewat layar telepon. Tapi kali ini, yang terjadi justru sebaliknya: ia mendekat, dan beliau hadir tanpa sekat, berbaur dengan anak-anak yang barusaja menyelesaikan babak yang menentukan pada ajang dua tahunan tersebut.

Kehadirannya bukan sekadar tanda tangan protokoler, melainkan sesuatu yang lebih sunyi dan dalam: perhatian. Di balik segala kesibukan seorang bupati, ia duduk bersama anak-anak kafilah Banyuwangi, seperti seorang ibu yang merunduk di tepi ranjang anaknya yang sedang demam. Ada ketenangan yang turun, ada rasa teduh yang membuat wajah-wajah remaja itu bersinar kembali kalimat yang ia ucapkan ketika melepas kafilah di aula Rempeg Jogopati masih diingat dan sederhana: “Jangan terbebani untuk menjadi juara.” Tetapi sederhana sering kali justru paling abadi, dalam kitab suci, kita belajar bahwa manusia hanya diminta untuk berikhtiar dengan sungguh-sungguh, menang atau kalah hanyalah amplop yang kita terima di ujung jalan. Isinya rahasia. Dan rahasia itu hanya Allah yang tahu.

Saya melihat, saat kalimat itu terlontar, sebagian beban di dada anak-anak Qur’ani yang berangkat ke Jember itu luruh perlahan. Mereka berangkat bukan lagi membawa ambisi, melainkan membawa doa, dan bukankah itu yang paling penting dari sebuah musabaqah? Bahwa Al-Qur’an bukan hanya dilombakan, melainkan dihidupkan. Dan ada anak-anak yang menangis karena belum beruntung. Ada yang air matanya jatuh karena meraih kemenangan. Dua-duanya sama-sama indah. Karena di hadapan Tuhan, air mata yang lahir dari kesungguhan tidak pernah sia-sia. Dan di sanalah, saya melihat kehadiran seorang pemimpin yang tidak datang dengan jarak kekuasaan, melainkan dengan jarak keibuan.

Beliau berkata, tidak ada yang pantas kecewa. Hasil apa pun, selama melalui proses yang jujur dan sungguh-sungguh, adalah hasil terbaik. Bukankah kita semua belajar hal yang sama dari kehidupan sehari-hari?. Kita bekerja keras, kita berdoa, lalu kita menyerahkan hasilnya pada takdir. Bila juara datang, itu anugerah. Bila kalah, itu pun anugerah, yakni anugerah berupa kesempatan untuk lebih dewasa. 


Maka, MTQ bukan sekadar arena lomba. Ia adalah ruang perjumpaan manusia dengan firman Tuhan. Anak-anak itu melafalkan ayat, bukan hanya untuk dinilai, tetapi untuk menyirami hatinya sendiri. Dan seorang bupati yang mau hadir, yang mau mendengar, yang mau menghapus air mata anak-anaknya, sebetulnya sedang menunjukkan pada kita semua: bahwa membaca Al-Qur’an adalah perjalanan hati, bukan sekadar kompetisi.

Banyuwangi tidak pulang dengan tangan kosong. Ada yang masuk final dan juara pertama, ada yang masih harus menunggu giliran di tahun-tahun mendatang. Tetapi apa arti tangan kosong, bila dada mereka pulang dengan cahaya?

Saya kira, inilah yang akan terus diingat: seorang pemimpin yang mendekat, seorang ibu yang menenangkan, dan sebuah pesan yang akan terus bergema di hati anak-anak Qur’ani kita: jangan takut kalah, karena yang paling penting adalah bagaimana kita menjaga cahaya Al-Qur’an tetap menyala dalam dada.

Saya menyaksikan seorang anak laki-laki menunduk, bahunya bergetar, karena kalah tipis dari lawannya. Bupati menghampiri. Ia tidak berkata banyak, hanya menepuk bahu anak itu, seolah ingin mengatakan: “Kamu sudah sangat baik.” Saya kira, anak itu akan mengingat tepukan itu sepanjang hidupnya. Karena ada saat-saat tertentu, kekalahan tidak butuh banyak kata. Ia hanya butuh sentuhan kecil untuk membuatnya tidak runtuh. Seorang pemimpin, dalam hakikat yang lebih dalam, bukan hanya pengatur administrasi. Ia adalah teladan. Dan teladan itu tidak selalu hadir dalam bentuk keputusan besar, kadang ia hadir dalam hal-hal sederhana: duduk bersama, mendengar, menenangkan, menghapus air mata.

Dan saya percaya, di situlah nilai sejati MTQ. Ia bukan sekadar lomba. Ia adalah ruang perjumpaan manusia dengan firman Tuhan. Anak-anak itu membaca, menghafal, melantunkan, bukan hanya untuk dinilai juri, tetapi juga untuk menyirami jiwa mereka sendiri. Di ruang seperti itu, kehadiran seorang pemimpin yang mendekat bukan lagi sekadar urusan protokol. Ia berubah menjadi teladan bahwa firman Tuhan itu bukan sekadar diperlombakan, melainkan dihayati.

Banyuwangi memang tidak selalu membawa pulang piala tertinggi. Tetapi apa arti piala, bila yang pulang bukan cahaya? Ada semangat baru yang lahir. Ada keyakinan bahwa perjalanan masih panjang. Dan ada doa yang lebih ringan, karena dibawa dengan cinta, dengan kejujuran dan bukan ambisi.

Mungkin di sinilah letak indahnya sebuah musabaqah. Ia tidak berhenti di podium juara. Ia terus hidup dalam hati anak-anak yang berjanji untuk menjaga Al-Qur’an dalam keseharian mereka. Dan ketika seorang bupati hadir, bukan sebagai penguasa, melainkan sebagai seorang ibu, kita tahu bahwa ada yang lebih penting daripada kemenangan: ada cinta yang diturunkan bersama ayat-ayat suci.

Dan cinta itu, saya kira, akan bertahan lebih lama daripada piala.

Bidadari Surga Qur'ani

Ada saat-saat tertentu dalam hidup yang membuat dada kita terasa lapang. Seperti ketika saya duduk di antara generasi cerdas Qur’an, mereka adalah Auline Alvira Syafa Azzahra, Anggun Dwi Wahyuni, dan Alwa Sakna Fuadiyah. Mereka masih remaja, masih duduk di kelas sebelas dan dua belas, dan satunya baru semester awal. Tapi apa yang mereka bawa di kepala dan hati membuat saya berpikir: betapa luasnya dunia anak-anak muda ini, betapa tenang sekaligus bergemuruh jalan yang sedang mereka tempuh.

Di Jember, pada Musabaqah Fahmil Qur’an (MFQ) tingkat provinsi Jawa Timur ke-XXXI, mereka berhasil menjadi yang terbaik. Kemenangan itu, tentu saja, bukan hanya kemenangan atas nama madrasahnya, tetapi juga untuk Banyuwangi. Kemenangan itu seperti sebuah pesan yang turun perlahan: bahwa ayat-ayat yang dijaga dengan cinta, yang diulang tanpa rasa lelah, akhirnya menjelma menjadi cahaya bagi siapa saja yang mau melihat. 


Saya menatap sang juru bicara, seorang remaja dengan hafalan tiga puluh juz. Bayangkan, tiga puluh juz di dalam jiwa seorang anak yang mungkin masih suka bercanda di sela-sela latihan. Bagaimana seorang anak seusia itu bisa membawa Al-Qur’an seutuhnya ke dalam hidupnya? Ada rahasia di sana, rahasia yang tidak terjangkau oleh hitungan jam belajar biasa. Rahasia itu bernama kesetiaan, kesungguhan, dan cinta yang tidak berpamrih.

Orang tua mereka, saya pikir, tentu sedang menahan bahagia yang nyaris tumpah. Apa lagi yang lebih indah selain menyaksikan anak-anak kita berjalan dengan bendera kalamullah di tangannya? Bersyukurlah mereka yang menjadi orang tua dari anak-anak cerdas ini. Sebab, tidak semua orang tua diberi anugerah untuk melihat buah hatinya menjadi lentera di jalan Qur’an.

Saya berdoa, semoga langkah mereka tidak berhenti di sini. Semoga di tingkat nasional mereka juga bisa menjadi yang terbaik. Tapi lebih dari sekadar piala atau gelar juara, saya ingin mereka tetap menjaga cahaya yang kini sudah menyala. Cahaya itu lebih penting daripada sekadar podium. Karena cahaya itu akan terus menemani, bahkan ketika perlombaan sudah selesai, ketika dunia semakin bising, ketika manusia makin sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri.

Dan di tengah semua itu, tiga remaja ini mengajarkan saya sesuatu: bahwa Qur’an bukan hanya kitab untuk dibaca. Qur’an adalah jalan panjang yang, bila kita ikuti dengan cinta, akan membawa kita pulang dengan tenang.

80 Tahun Merdeka: Jejak Doa dan Darah

 80 Tahun Merdeka: Jejak Doa dan Darah

Kita memperingati 80 tahun Indonesia merdeka. Delapan puluh tahun bukan sekadar angka. Itu adalah jejak, tanda, dan doa yang menjadi nyata. Bangsa ini telah berani berkata: “Kami merdeka.” Tapi merdeka bukan hanya bendera yang dikibarkan, bukan hanya lagu yang dinyanyikan, bukan hanya seremonial yang hias hari-hari. Merdeka adalah darah yang tumpah, nyawa yang dipertaruhkan, iman yang diuji, dan hati yang tetap teguh.


Delapan puluh tahun yang lalu, para pemuda di negeri ini bergerak dengan mata terbuka lebar. Mereka tidak menunggu izin dari yang tua, meski menghormati mereka yang dianggap bijak—orang-orang seperti Soekarno, yang ketika itu ragu menyatakan kemerdekaan. Jepang, yang menaklukkan Indonesia setelah Belanda, belum menyerahkan apa pun. Jika Jepang memberi, itu berarti kembalinya Belanda. Maka para pemuda, cerdas dan penuh intuisi sejarah, bergerak. Mereka menculik Soekarno dan Hatta, mendesak mereka untuk membacakan teks proklamasi.

Ini yang penting. Proklamasi bukanlah inisiatif pribadi. Tidak lahir dari egosentrisme pemimpin atau ambisi golongan. Itu lahir dari kolektif, dari jiwa bangsa, dari keinginan rakyat yang tak sabar menunggu janji asing. Soekarno dan Hatta hanya menjadi medium. Mereka membacakan atas nama bangsa. Setiap kata, setiap kalimat, adalah doa yang terpatri dalam darah generasi 45. Bukan sekadar ritual, bukan sekadar teks sejarah. Itu adalah tindakan iman terhadap tanah, terhadap masa depan, terhadap Tuhan yang Maha Melihat.

Hari ini, 80 tahun kemudian, peringatan itu tidak hanya diwarnai lomba-lomba bernuansa nasional. Ada juga pertunjukan yang kadang jauh dari sejarah, dasar, atau fakta. Banyak yang muncul entah dari mana, tanpa referensi, tanpa rasa hormat pada akar. Tapi itulah kenyataan. Kemerdekaan bukan hanya tentang kesempurnaan. Ia hidup dalam pluralitas, dalam ketidaksempurnaan, dalam keragaman yang kadang menyakitkan mata nurani.

Bulan Agustus selalu membawa paradoks. Di satu sisi, kita merayakan, mengenang, menghormati. Di sisi lain, di beberapa tempat, ada yang turun ke jalan menuntut keadilan—naiknya pajak bumi dan bangunan, ketidakadilan ekonomi, suara rakyat yang tak terdengar. Tepat di bulan kemerdekaan, ketika kita seharusnya menengok sejarah, ada demonstrasi, ada protes, ada tanda bahwa merdeka itu bukan sekadar kata. Merdeka itu tanggung jawab, yang harus dipertahankan, dijaga, dan dihidupi.

Kita berbeda dari banyak negara tetangga. Di beberapa wilayah lain, kemerdekaan datang dari tangan mereka yang pernah menjajah, atau dari penduduk baru yang mengusir penduduk lama. Di Indonesia, merdeka datang dari perjuangan rakyat asli. Dari darah yang mengalir, dari nyawa yang jatuh, dari hati yang berani. Pahlawan-pahlawan kita, mereka yang mengusir penjajah, bukan orang yang hidup nyaman. Mereka buruh, petani, rakyat kecil, yang ekonominya pas-pasan. Mereka mempertaruhkan nyawa bukan demi nama, bukan demi pujian, bukan demi sejarah di buku-buku, tetapi demi iman bahwa tanah ini pantas untuk mereka, untuk anak cucu mereka, untuk bangsa yang kelak akan mengenang.

Dan kemudian muncul pertanyaan yang tak pernah lekang oleh waktu: apakah anak cucu para pejuang kini lebih makmur daripada mereka yang hidup menikmati kemerdekaan? Atau justru mereka yang merdeka lahir dari perjuangan, hidup sederhana, tapi jiwanya kaya akan doa, iman, dan kesadaran sejarah? Ketika Belanda kembali menguasai negeri ini, sebagian ikut Belanda. Ketika merdeka, mereka beramai-ramai mendukung. Berbeda dengan rakyat asli, yang hidup dan mati di sini, yang tumpah darahnya melekat di bumi ini, berakar dalam sejarah, dalam darah, dalam iman yang tak pernah luntur.

Merdeka bukan sekadar simbol. Ia adalah tanggung jawab. Ia adalah doa yang diwujudkan dalam tindakan. Ia adalah kesadaran bahwa tanah ini suci, bahwa hidup ini singkat, dan bahwa kita bagian dari sejarah yang lebih besar dari diri kita sendiri. 80 tahun merdeka adalah 80 tahun doa yang dijawab dengan pengorbanan.

Para pemuda 45 bergerak bukan karena ambisi politik semata. Mereka bergerak karena iman, karena keinginan untuk melihat bangsa merdeka. Mereka berani menantang waktu, menantang ketakutan, menantang orang tua, menantang sejarah. Mereka tahu: kemerdekaan tidak datang begitu saja. Ia harus diambil, diperjuangkan, dikawal dengan nyawa, hati, dan doa.

Hari ini, kita mengingat mereka. Kita menatap lomba, pertunjukan, dan demonstrasi dengan mata yang berbeda. Bukan untuk menghakimi, bukan untuk menilai, tapi untuk merenung. Kemerdekaan bukan hadiah. Ia bukan objek yang bisa dipamerkan. Ia adalah amanah, tanggung jawab, dan doa yang terus hidup dalam tiap jiwa.

Kita perlu menyadari: kemerdekaan itu bukan hanya soal politik, bukan hanya soal ekonomi, bukan hanya soal tanah dan bangunan. Merdeka adalah soal hati, soal iman, soal kesadaran akan asal-usul kita, soal pengorbanan yang pernah diberikan dan harus kita jaga. Dalam setiap lomba, dalam setiap upacara, dalam setiap protes, ada satu pertanyaan: apakah kita masih mampu menjaga doa yang 80 tahun lalu lahir dari darah dan nyawa?

Banyak orang lupa. Mereka melihat merdeka sebagai hak, sebagai fasilitas, sebagai kesempatan untuk mencari keuntungan semata. Tapi kemerdekaan itu lebih dari itu. Ia adalah tanggung jawab moral dan spiritual. Ia adalah kewajiban untuk hidup dalam kesadaran sejarah, untuk menghormati pengorbanan, untuk menumbuhkan keadilan, dan untuk membangun bangsa yang tak hanya merdeka secara politik tapi juga merdeka dalam hati dan iman.

Di antara paradoks dan pluralitas ini, ada hikmah yang tetap sama: generasi 45 tidak menunggu. Mereka bergerak, menculik Soekarno-Hatta, menulis teks proklamasi, membacakan kata demi kata atas nama bangsa. Mereka tahu, kemerdekaan itu tidak menunggu persetujuan penjajah, tidak menunggu pengakuan asing, tidak menunggu kemapanan. Kemerdekaan adalah tindakan iman, keberanian yang lahir dari hati, dan doa yang diwujudkan dalam darah.

Hari ini, generasi kita dihadapkan pada pertanyaan serupa. Bagaimana kita menjaga kemerdekaan? Apakah hanya dengan upacara dan lomba? Apakah dengan protes dan tuntutan saja? Atau dengan kesadaran bahwa merdeka berarti hidup dengan tanggung jawab, hidup dengan doa, hidup dengan iman bahwa tanah ini bukan sekadar milik kita, tetapi amanah yang diwariskan oleh darah, nyawa, dan doa para pejuang?

Maka bulan ini, ketika kita menatap lomba-lomba dan demonstrasi, biarlah kita merenung. Biarlah kita menatap sejarah dengan mata hati. 80 tahun merdeka adalah 80 tahun doa, 80 tahun pengorbanan, 80 tahun tanggung jawab yang harus kita jalani. Dan kita, generasi sekarang, adalah penjaga doa itu.

Kita merdeka bukan karena kita lebih kuat, bukan karena kita lebih kaya, bukan karena kita lebih pintar. Kita merdeka karena ada hati yang berani, iman yang teguh, dan doa yang dijawab dengan pengorbanan. Itulah yang harus kita ingat. Itulah yang harus kita jaga.

80 tahun merdeka adalah 80 tahun kesadaran bahwa kemerdekaan itu adalah amanah. Amanah untuk hidup dengan kesadaran sejarah, amanah untuk menghormati darah dan doa, amanah untuk membangun bangsa yang adil dan beriman. Generasi 45 telah menulis sejarah dengan darah dan nyawa mereka. Kita menulis sejarah dengan tindakan, dengan hati, dengan doa yang tidak kalah pentingnya.

Dan akhirnya, kemerdekaan adalah pengingat. Pengingat bahwa hidup ini singkat, tanah ini suci, dan doa itu nyata. Bahwa kita bagian dari sejarah yang lebih besar dari diri sendiri. Bahwa 80 tahun merdeka bukan sekadar perayaan, tetapi panggilan untuk tetap hidup dalam iman, dalam kesadaran, dan dalam tanggung jawab.

Maka, ketika kita mengibarkan bendera, ketika kita menyanyikan lagu kebangsaan, ketika kita menatap lomba, pertunjukan, atau demonstrasi, biarlah hati kita sadar: 80 tahun merdeka adalah 80 tahun doa dan darah, dan kita adalah penjaganya.


Kolaborasi yang Tak Selesai di Tenda Pramuka

Kolaborasi yang Tak Selesai di Tenda Pramuka

Oleh: Syafaat

Di antara segala peringatan yang kerap datang tiap tahun, Hari Pramuka selalu punya aroma tanah basah. Mungkin karena ia tak lahir dari rapat-rapat di gedung dingin ber-AC, tapi dari lapangan, dari bau seragam cokelat yang terkena keringat, dari api unggun yang memantulkan wajah-wajah muda penuh janji. 


Tema tahun ini—Kolaborasi untuk Membangun Ketahanan Bangsa—bagi sebagian orang mungkin hanya kalimat yang dibaca sekilas, seperti slogan di spanduk yang digantungkan di pinggir jalan. Tapi bagi mereka yang pernah berjanji di hadapan api dan bendera, kata-kata itu seperti doa yang harus dibayar lunas oleh hidup. Kolaborasi, dalam bahasa agama, adalah persekutuan amal. Ada hadits yang mengatakan bahwa Allah akan selalu menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya. Dan bukankah itu yang sejak dulu dikerjakan oleh Pramuka? Menolong bukan karena disuruh, tapi karena itu watak. Menolong bukan karena ada kamera, tapi karena itu bagian dari napas.

Saya pernah bertemu seorang mantan Pramuka di sebuah pondok kecil di pesisir. Rambutnya memutih, matanya redup, tapi sikapnya masih tegak seperti waktu muda. Katanya, yang paling ia ingat dari masa Pramuka bukanlah lomba-lomba atau perkemahan, tapi kalimat dalam Tri Satya: Menolong sesama hidup dan mempersiapkan diri membangun masyarakat. Ia mengucapkannya sambil menatap jauh ke kiblat, seolah kalimat itu bukan sekadar janji organisasi, tapi syahadat kedua yang ia ikrarkan di dunia.

Logo tahun ini menampilkan angka 64 yang dibentuk pita, tunas kelapa, dan fleur de lys. Saya melihatnya seperti doa yang sedang mengalir: tidak kaku, tidak terputus, bergerak dari bumi menuju langit. Dalam Al-Qur’an, ada ayat yang menyebut bahwa siapa saja yang berpegang teguh pada tali Allah, ia tidak akan pernah tersesat. Barangkali, pita yang mengalir itu adalah tali—tali yang tak sekadar mengikat antaranggota, tapi juga mengikat manusia kepada Tuhannya. Ketahanan bangsa, kata tema itu. Sebagian orang mengartikan ketahanan sebagai kekuatan fisik atau ekonomi. Tapi saya percaya, ketahanan sejati ada di hati yang tahu arah. Bangsa yang hatinya busuk, meski gedungnya menjulang, akan runtuh dalam sekali guncang. Pramuka, dalam sisi yang religius, sedang membangun benteng yang tak terlihat: benteng kejujuran, benteng kesetiaan, benteng keikhlasan.

Kadang saya bertanya-tanya, apakah generasi yang datang nanti akan mengerti makna Tri Satya dan Dasa Darma seperti para pendahulu? Apakah mereka akan melihatnya sebagai janji yang sakral atau hanya tugas hafalan sebelum lomba? Tapi mungkin kekhawatiran ini tak perlu dibesarkan. Karena seperti api unggun, meski bara tampak redup, ada percikan kecil yang siap menyala kembali jika angin datang dari arah yang tepat. Dan bukankah angin itu sudah bergerak? Ia datang dari setiap anak yang berani berkata “demi kehormatanku” sambil menatap lurus ke masa depan. Ia datang dari setiap kakak pembina yang melatih dengan sabar tanpa berharap tanda jasa. Ia datang dari setiap kerja sama kecil di lapangan yang tak pernah masuk berita. Kolaborasi yang menembus langit bukanlah rapat-rapat megah atau pidato panjang di panggung. Ia adalah tangan yang membantu mendirikan tenda di tengah hujan, bahu yang memanggul beras untuk dapur umum, atau mata yang tak lelah mengawasi kawan yang hampir pingsan di perjalanan. Dan semua itu, jika dilakukan dengan niat lurus, akan tercatat sebagai amal yang kelak menolong di hari ketika manusia mencari naungan. Mungkin itulah yang dimaksud ketahanan bangsa—bukan sekadar kuat di darat, laut, atau udara, tapi kuat di hadapan Tuhan.

Malam ini, ketika saya menulis, hujan turun perlahan di luar jendela. Saya teringat suara api unggun di perkemahan terakhir yang saya hadiri—suara kayu yang retak, bau asap yang melekat di pakaian berhari-hari. Ada sesuatu yang sederhana namun tak tergantikan di sana: kebersamaan yang tidak diikat oleh kepentingan, tapi oleh rasa bahwa kita saling membutuhkan. Barangkali, di situlah inti dari semua perayaan ini—tema, logo, janji, dan segala simbol hanyalah cara untuk mengingatkan kita pada hal yang tak pernah boleh hilang: bahwa kita hidup bukan hanya untuk diri sendiri.

Ketahanan bangsa, jika dilihat dari ketinggian doa, bukanlah perkara siapa yang paling kuat, tapi siapa yang paling setia menjaga yang lemah. Dan dalam hal itu, Pramuka telah lama memberi contoh—bahwa mengikat simpul di tali bukan hanya keterampilan teknis, tapi pelajaran tentang bagaimana kita mengikat hati satu sama lain. Jika kelak bangsa ini terguncang, saya membayangkan akan ada barisan yang berdiri paling depan, mengenakan seragam cokelat, dengan mata yang jernih, tangan yang siap bekerja, dan hati yang tahu arah. Barisan itu akan melangkah, bukan karena diperintah, tapi karena sudah berjanji pada Tuhan, pada negara, dan pada sesama manusia.

Dan mungkin, pada hari itu, kita akan mengerti bahwa kolaborasi yang menembus langit tidak pernah benar-benar berakhir—ia hanya berganti wajah, dari satu generasi ke generasi berikutnya, sambil membawa cahaya yang sama.


Wajahku di Depan Scanner, Hati di Peron Kenangan

"Wajahku di Depan Scanner, Hati di Peron Kenangan"

oleh : Syafaat

Stasiun Gubeng, dalam perjalanan kereta menuju diri sendiri.

Sudah lama saya tidak naik kereta api. Terlampau lama. Barangkali lebih lama dari yang diizinkan oleh kalender dan kalender gantung di warung sebelah. Aroma gerbong seperti sudah lama hilang dari ingatan: bau besi tua yang bergesek diam-diam, karat hujan yang tak tuntas dibilas matahari, dan desah napas penumpang yang bercampur antara rindu, letih, dan urusan rumah tangga yang tak sempat diselesaikan. Semua itu seakan lenyap, tergilas oleh roda kehidupan yang berputar pada titik yang sama: rumah, pekerjaan, layar gawai, dan tidur yang tak nyenyak. Hari ini, tiba-tiba saya kembali menjadi penumpang. Bukan penonton kereta yang melintas dari balik pagar stasiun, bukan juga pendengar siulan roda besi yang mengiris pagi dari kejauhan. Hari ini, saya benar-benar naik kereta api.


Dan betapa banyak yang telah berubah. Bahkan sejak langkah pertama saya menjejak lobi stasiun, perubahan itu telah menyapa—dingin, efisien, dan nyaris tanpa sapa.

Dulu, kita menyerahkan KTP. Sebuah kebiasaan sederhana yang terasa manusiawi. Ada senyum petugas, ada percakapan ringan, kadang bercanda soal nama atau asal kota. Tapi kini, tak ada lagi pertanyaan, “KTP-nya, Pak?” yang pelan dan sopan. Wajah saya menjadi tiket. Tiket digital yang disetor pada mesin. Saya berdiri di depan scanner, memandang layar seakan bercermin, tapi tak bisa melihat pantulan jiwa. Cahaya dari layar dingin seperti musim yang lupa caranya menghangatkan. Saya menatap wajah saya sendiri—yang telah lebih tua dari yang saya ingat.

Ada kerutan yang tak saya kenali. Ada sembab lelah yang rupanya selama ini tinggal diam di bawah kelopak. Seperti bertemu orang asing yang ternyata tinggal di rumah kita sendiri. Ya, ini wajah saya. Wajah yang disetor. Wajah yang dikenali oleh mesin, tapi entah apakah masih dikenali oleh diri sendiri.

Naik kereta hari ini bukan lagi soal berangkat. Tapi soal diperiksa. Divalidasi. Disetujui oleh sistem yang tak bisa dititipi perasaan. Tidak bisa kita ajak kompromi kalau kita telat satu menit, atau jika wajah kita kurang tidur. Ia hanya tahu satu hal: cocok atau tidak. Bip. Cocok. Pintu terbuka.

Dan masuklah saya, sebagai data. Namun saya rindu. Rindu suara peluit panjang dari kepala stasiun. Suara yang mengandung restu, seperti doa yang melengking dalam sunyi. Rindu kopel yang berdentum saat menyambung gerbong—dentum yang menggetarkan lantai stasiun dan hati penumpang. Dentum itu seperti berkata: "Bersiaplah, kita akan bergerak, kita akan pergi." Kini, semuanya terlalu halus. Terlalu senyap. Seakan-akan perjalanan adalah bisnis sunyi yang harus rapi dan steril.

Dalam gerbong ekonomi zaman dahulu, kami bukan hanya penumpang. Kami kawan seperjalanan. Ada yang menyuapi anaknya, ada yang menawarkan buah, ada yang bercerita tentang ladangnya, tentang mantan pacarnya, tentang nasib yang tertunda. Sekarang, semua larut dalam layar. Dalam dunia yang tak bersuara. Gawai menggantikan manusia. Telinga sibuk mendengar musik, tapi hati dibiarkan diam. Seperti dunia ini jadi panggung bisu. Semua bicara, tapi tak ada yang berbicara.


Dan di tengah keasingan itulah, saya justru menemukan pertemuan. Bukan dengan orang lain, tapi dengan diri saya sendiri. Di layar scanner tadi, saya berjumpa dengan wajah yang telah saya lupakan. Saya sadar, selama ini saya hidup dalam lari—lari dari bayangan sendiri. Tapi tak ada yang bisa lari dari kamera wajah. Wajah saya disimpan sistem, tapi hati saya tak bisa disimpan siapa-siapa.

Suara dari pengeras kabin mengingatkan agar tak salah naik kereta. “Berangkat dari stasiun yang sama, tapi tujuan bisa berbeda,” katanya. Kalimat itu biasa saja, tapi di telinga saya, ia seperti peringatan hidup. Kita mungkin lahir dari tempat yang sama, tumbuh bersama, tapi siapa tahu kita sedang berjalan ke arah yang saling menjauh. Bahkan satu gerbong pun beda kelas, beda tempat duduk, beda tarif. Seperti hidup yang diam-diam mengajari kita: kebersamaan itu rapuh, bisa putus oleh angka.

Kereta bergerak. Perlahan. Saya menatap jendela. Di sana, sawah dan kampung melesat mundur, seperti ingatan yang tidak bisa kita tahan. Bayangan saya terpampang di kaca—kabur, bergerak, lalu hilang. Tapi rasa di dada tetap tinggal. Wajah saya sudah terekam sistem. Tapi cerita saya tidak. Dan mungkin itu yang membuat saya menulis ini.

Dalam gerbong yang nyaman dan sunyi ini, saya tahu: saya masih manusia. Walau dipindai, walau dilacak, walau duduk dalam sistem yang mengatur hingga napas terakhir, saya masih bisa merasa. Masih bisa menyesal, masih bisa rindu, masih bisa menulis. Menulis dengan jari yang dulu biasa memegang karcis karton kecil warna merah muda. Kini tak ada lagi karcis itu. Tapi kenangan masih tertempel di ujung jemari.

Inilah perjalanan. Dulu, kita memulai dengan tas berisi baju dan bekal dari rumah. Kini, kita membawa diri dan data. Tapi selama kita masih bisa mengenang, masih bisa menyapa masa lalu dengan mata berkaca-kaca, maka kita belum sepenuhnya hilang. Kita belum selesai sebagai manusia.

Dan dalam selfie yang tidak pernah diunggah ini—saya ingin mengingat satu hal: bahwa ada saat di mana saya pernah menatap wajah saya sendiri, bukan untuk dinilai orang lain, tapi untuk mengakui bahwa saya pernah hidup. Pernah bepergian. Pernah menjadi seseorang yang ingin pulang.


Stasiun Gubeng, 19-06-2025

Idul Fitri, Perayaan Keagamaan yang Ramah Anak

 Idul Fitri, Perayaan Keagamaan yang Ramah Anak

Oleh: Dr, Emi Hidayati,S.Pd,M.Si ( Dosen, Ketua YPM NU Kabupaten Banyuwangi dan ketua Bid. Pemberdayaan Perempuan Keluarga dan Anak MUI Kab. Banyuwangi )

Idul Fitri selalu menjadi puncak kegembiraan umat Muslim setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa Ramadan. Perayaan ini tidak hanya sarat dengan makna spiritual, tetapi juga kental dengan nuansa sosial dan budaya. Sejak gema takbir, tahmid, tasbih dan tahlil dikumandangkan. Berlangsungnya tradisi saling memaafkan, kehadiran hidangan lebaran warisan leluhur, hingga berkumpulnya keluarga besar—semua menciptakan atmosfer yang khas dan hangat. Namun, di tengah hiruk-pikuk ini, ada satu kelompok yang kerap dilupakan dalam perayaan ini yaitu anak-anak. Sering kali, kehadiran mereka hanya menjadi pelengkap suasana—dipakaikan baju baru, diajak keliling rumah keluarga, diberi angpau, tetapi tidak benar-benar dilibatkan dalam makna dan proses perayaan itu sendiri. Padahal, sebagaimana ditegaskan oleh Jean Piaget dalam teori tahapan perkembangan kognitifnya, anak-anak pada usia sekolah dasar sudah mampu memahami konsep moral dan nilai sosial melalui pengalaman konkret, termasuk perayaan keagamaan seperti Idul Fitri (Piaget, 1952). Sayangnya, khutbah Idul Fitri dan tausiyah-tausiyah nya nyaris selalu diarahkan untuk orang dewasa, dengan tema-tema moralitas, ekonomi, atau politik yang tidak menyentuh kehidupan anak-anak. 


 Idul Fitri adalah momen yang sangat potensial untuk mendekatkan anak-anak pada nilai-nilai luhur Islam yaitu kasih sayang, pengampunan, kepedulian, serta pentingnya menjaga hubungan baik dengan keluarga dan sesama. Dalam khazanah Islam sendiri, Nabi Muhammad SAW sangat memperhatikan kondisi psikologis dan spiritual anak. Riwayat menunjukkan bahwa beliau sering menyapa anak-anak, mendengarkan mereka, bahkan dalam peristiwa-peristiwa penting keagamaan (al-Bukhari, Shahih al-Bukhari). Hal ini menunjukkan bahwa perayaan keagamaan seharusnya menjadi ruang yang inklusif bagi seluruh anggota umat, termasuk anak-anak. Merayakan Idul Fitri dengan pendekatan ramah anak berarti menciptakan ruang yang aman, hangat, dan menyenangkan bagi anak-anak. Tidak cukup hanya dengan memberi mereka hadiah, melainkan juga memperhatikan perasaan, kebutuhan, dan suara mereka. Banyak anak merasa tidak nyaman ketika dipaksa bersalaman dengan orang dewasa yang tidak mereka kenal, atau dicecar pertanyaan-pertanyaan yang terlalu personal seperti “kapan disunat?”, “ranking berapa?”, atau “sudah hafal juz 30 belum?”. Ini dapat memicu kecemasan sosial sebagaimana dijelaskan oleh Erik Erikson dalam tahap perkembangan psikososial, di mana anak-anak sangat sensitif terhadap penerimaan sosial dan penghargaan diri (Erikson, 1963).

Seringkali terjadi kekerasan terhadap anak justru di momen Idul Fitri. Bentuknya bisa berupa kekerasan verbal, fisik, hingga perlakuan diskriminatif yang membuat anak merasa tersisih. Dalam laporan tahunan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kasus kekerasan terhadap anak di ranah keluarga dan lembaga keagamaan masih cukup tinggi, bahkan meningkat saat momentum liburan atau hari besar. Maka, perayaan Idul Fitri seharusnya menjadi ruang korektif untuk memutus siklus tersebut dan meneguhkan komitmen perlindungan anak sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.


Dalam banyak tradisi keagamaan dan kebudayaan, anak-anak kerap diposisikan sebagai pihak yang pasif, yang hanya mengikuti instruksi dan agenda yang telah disusun oleh orang dewasa. Pandangan ini perlu ditinjau ulang. Dalam kajian sosiologi anak, seperti yang dikemukakan oleh Allison James, Chris Jenks, dan Alan Prout, anak bukan hanya obyek yang dibentuk, tetapi juga social actors yang memiliki agensi dalam membentuk makna dan relasi sosial mereka (James et al., 1998). Melibatkan anak-anak dalam persiapan lebaran—seperti membuat ketupat, membersihkan rumah, menyusun daftar kunjungan, hingga memilih menu makanan—adalah bentuk pengakuan terhadap kapasitas mereka. Anak-anak akan merasa dihargai jika diberikan kesempatan untuk mengambil peran, bukan sekadar menjadi “pengikut” dalam tradisi orang dewasa. Ini juga sejalan dengan konsep individualisation of childhood dari Brannen dan O’Brien, yang menekankan pentingnya pengakuan atas identitas dan suara anak dalam kehidupan keluarga dan sosial (Brannen & O’Brien, 1995).

Secara normatif, pendekatan ini didukung kuat oleh Konvensi Hak Anak PBB (1989), khususnya Pasal 12 yang menyatakan bahwa setiap anak memiliki hak untuk menyampaikan pandangan mereka dalam semua hal yang menyangkut mereka, dan pandangan tersebut harus dipertimbangkan dengan serius sesuai usia dan kematangannya. Namun, seperti yang dikritisi oleh Patrick Mizen, implementasi kebijakan anak seringkali terjebak dalam logika ekonomi dan kontrol sosial orang dewasa, alih-alih menjawab kebutuhan autentik anak (Mizen, 2004). Idul Fitri bisa menjadi arena transformatif untuk menempatkan anak-anak sebagai subjek yang aktif. Praktik seperti berdiskusi bersama anak tentang makna perayaan, membiarkan mereka merancang agenda kunjungan keluarga, atau memberi mereka ruang untuk mengekspresikan perasaan melalui cara yang mereka sukai—menggambar, bermain peran, atau membuat video singkat—bisa menjadi langkah sederhana yang berdampak besar.

Dengan pendekatan seperti ini, Idul Fitri tidak lagi menjadi perayaan yang hanya diwariskan, tetapi juga dipilih dan dihayati bersama anak-anak sebagai bagian dari proses pembentukan identitas spiritual dan sosial mereka. Karena sejatinya, kembali ke fitrah bukan hanya soal hubungan vertikal kepada Tuhan, tetapi juga hubungan horizontal kepada sesama manusia—termasuk menghormati anak sebagai manusia utuh dengan hak dan martabatnya. Perayaan yang ramah anak adalah perayaan yang berpihak pada masa depan: generasi yang tumbuh dalam cinta, penghargaan, dan pengalaman spiritual yang menyenangkan.

Selamat merayakan idul fitri, apresiasi setinggi-tingginya patut disampaikan kepada setiap keluarga, orang tua, pemuka agama, masyarakat di kampug- kampung halaman, dan semua pihak yang dengan penuh kesadaran telah menjadikan Idul Fitri sebagai momentum pendidikan yang bermakna bagi anak-anak. Melalui keteladanan, kasih sayang, dan bimbingan yang bijaksana, mereka bersedia mengantar anak-anak menuju gerbang kesalehan individu dan sosial—menumbuhkan nilai syukur, kebersamaan, serta kepedulian terhadap sesama. Idul Fitri yang ramah anak bukan sekadar tradisi, tetapi cerminan komitmen kita dalam membangun generasi yang berakhlak mulia. Perayaan yang ramah anak adalah perayaan yang berpihak pada masa depan generasi yang tumbuh dalam cinta, penghargaan, dan pengalaman spiritual yang menyenangkan. Dan siap menjadi penerus yang bertanggung jawab. Semoga semangat ini terus hidup dan menjadi warisan berharga bagi masa depan. 

Taqabbalallahu minna wa minkum, mohon maaf lahir dan 

batin!


Perjalanan Muslim Level Lima

 

Perjalanan Muslim Level Lima

Oleh : Syafaat

 


Menjadi muslim yang dapat menjalankan semua rukun Islam merupakan impian umat Islam di seluruh dunia, namun tidak semua orang diberi kesempatan untuk menjalankan semua rukun Islam tersebut, karena dua rukun Islam paling akhir diperuntukkan bagi mereka yang mempunyai kelebihan harta, dan tidak diwajibkan bagi mereka yang tidak diberi kelongggaran harta yang cukup, baik zakat yang merupakan rukun Islam keempat maupun rukun Islam ke lima yang hanya dapat dilakukan di Kota Makkah pada hari tertentu saja.

Perjalanan Ibadah haji yang hanya dapat dilakukan satu tahun sekali menjadi dambaan setiap orang, sehingga antrian pendaftaran haji semakin hari semakin lama hingga puluhan tahun, bahkan tidak sedikit yang sudah mendaftarkan sebagai Jamaah Haji (istilah yang dipakai dala undang-undang bagi mereka yang sudah daftar haji), namun tidak ada kesempatan melaksanakan Ibadah haji karena terburu tutup usia. Begitupun sebaliknya, banyak yang mempunyai harta berlimpah, namun bellum ada kelonggaran hati dan pikiran untuk menunaikan ibadah haji dengan berbgai alasan yang ada pada diri mereka.

Perjalanan haji yang mulai pendaftaran membutuhkan waktu yang panjang dan berbagai liku tersebut membuat perjalanan haji bukan sekedar perjalanan ibadah biasa, yang waktunya bisa kita atur menurut kelonggaran kita, namun kitalah yang harus menyesuaikan diri dengan waktu dan tempat yang tersedia, sehingga kita harus dapat berbagi dengan sesama jamaah yang juga mempunyai kepentingan yang sama dengan kita untuk melaksanakan ibadah haji dengan sempurna.

Setiap jamaah haji inin sempurna dalam melaksanakan ibadah haji, sehingga meskipun pemerintah telah menjadwalkan manasik haji hingga delapan kalu sebelum keberangkatan, banyak jamaah yang nmerasa kurang dan harus menambah dengan biaya mandiri melalui KBIHU (Kelompok Bimbingan Ibadah haji dan Umroh) yang bukan hanya memberikan tambahan bimbingan manasik, namun juga menawarkan Wisata Religi selama di tanah suci, sehingga meskipun dengan tambahan biaya, para jamaah tidak perlu mencari biro perjalanan wisata sendiri selama di saudi. Hal ini berbeda dengaan jamaah Non KBIHU yang ketika mereka ingin melakukan wisata selama musim haji, mereka harus pergi sendiri atau dibantu oleh para petugas mencarikan kendaraan (dengan biaya mandiri).

Seandainya dibawatkan sebuah game, perjalanan haji merupakan Game level lima yang diatasnya sudah tidak ada level lagi, dan seharusnya bagi gamer yang telah melewati level lima ini telah haval dengan level-level diatasnya, melaksanakan setiap hari level pertama hingga level keempat tersebut, karena level lima merupakan level puncak dan level istimewa yang tidak semua orang diberi kesempatan untuk melaksanakannya.

Perjalanan haji bukan hanya dilihat daari dimensi religi secara sempit, namun ada dimensi sosial yang membutuhkaan pencernaan religi lebih luas, terlebih dengan pelaaksanaan perhajian yang lebih lama masa penantian daripada masa pelaksanaan. Terlebih dengan inden lebih dari sepuluh tahun untuk dapat melaksanakannya, bahkan semakin tahun semakin lama saja masa tunggu untuk dapatnya berangkat haji, yang sistim antrian ini tidak dapat di kompromikan untuk jamaah haji reguler, dan dikecualikan bagi yang me ngambil quota petugas.

Dimensi sosial dalam pelaksanaan ibadah haji nampak nyata bukan hanya ketika para jamaah yang bergabung dalam satu klotertelah betangkat ke tanah suci, namun dimulai sejak para jamaah haji tersebut berada di tanah air, sejak pendaftaran hingga melengkapi segala bentuk dokumen yang bisa saja mereka termakan para calo yang memanfaatkan situasi dari para jamaah yang belum pernah bepergian ke luar negeri.

Dimensi sosuial nampak nyata dalam ppelaksanaan perhajian, para jamaah dalam satu kloter dipimpin oleh ketua kloter dan petugas kloter sebagai pimpinan utama dalam kloter, yang kemudian para jamaah ini dibagi lagi dengan kelompok lebih kecil dalam rombongan yang terdiri dari beberapa regu. Kekompakan komponen kloter ini sangat menentukan keberhasilan ibadah haji dalam merasakan kenyamanan melaksanakan ibadah, karenanya sedikit saja mereka bermasalah, akan menimbulkan rasa kurang nyaman yang harus ditanggung oleh para jamaah.

Kegaduhan Elit dan Frustasi Sosial

 Kegaduhan Elit dan Frustasi Sosial 

Oleh ; Dr. Emi Hidayati S.pd,. M.Si


Konfik kepentingan di dalam tubuh organisasi sosial ke”ummatan”saat ini menjadi isu hangat dan tranding topik, terutama dalam pusaran persaingan politik dan  kepentingan suksesi. Konflik ini melibatkan berbagai faktor yang memengaruhi dinamika internal sebuah organisasi, mengganggu  stabilitas dan integritas organisasi. Konflik kepentingan dapat muncul dalam berbagai konteks, mulai dari pemilihan pemimpin hingga penetapan kebijakan organisasi. Dalam banyak kasus, persaingan politik menjadi pemicu utama konflik ini. Sebagai contoh, kandidat yang bersaing untuk posisi kepemimpinan menggunakan berbagai strategi, termasuk manipulasi politik, memicu pertentangan dengan kepentingan banyak pihak atau individu dalam organisasi  lalu menciptakan gesekan  dan perpecahan.

Hampir di setiap perhelatan suksesi, Kita bersama telah berulangkali menyaksikan betapa para elit organisasi sosial ikut-ikutan begitu sibuk membincang segala bentuk  ketegangan antar politisi, kalkulasi koalisi, migrasi politisi ke partai sebelah, tawar-menawar kekuatan berkuasa dan oposisi, manuver saling serang antar elit, tentang hasil poling popularitas calon pimpinan daerah. Sangat disayangkan kegaduhan yang sengaja diciptakan oleh elit organisasi sosial  yang menguasai media di balik beban kebutuhan dasar masyarakat yang nyaris tak tertangani dengan serius. 

Hiruk pikuk yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan urusan masyarakat, tidak menyentuh permasalahan ummat yang substansial.  Permasalahan  beban angka putus sekolah, angka kesakitan, pengangguran terbuka, kekerasan pada anak , kesehatan lingkungan, bentrokan pemuda, kerentanan pelaku UMKM yang terlilit rentenir ) . Meskipun terkadang para elit merespon masalah – masalah  krusial tersebut , tak jarang sekedar menabur citra sesaat, menampakkan eksistensi diri dan mendulang popularitas.

Bagaimana memahami fenomena konflik kepentingan dalam tubuh organisasi sosial  ?  ini adalah peran yang dimainkan oleh faktor politik, etika, dan kelembagaan. Memotret pemikiran Douglas North (1990) dan Merton (1996), bahwa konflik kepentingan sering kali muncul dalam konteks persaingan politik untuk mendapatkan kekuasaan atau kontrol atas suksesi kepemimpinan. Persaingan ini dapat mencakup berbagai taktik manipulatif, di mana elite organisasi menggunakan kekuasaan dan pengaruh mereka untuk memanipulasi proses pengambilan keputusan atau mengendalikan hasil-hasil politik sesuai dengan kepentingan mereka sendiri.

Manipulasi politik ini tidak hanya memengaruhi dinamika internal organisasi, tetapi juga berdampak pada prinsip-prinsip etika yang menjadi dasar integritas organisasi. etika memainkan peran penting untuk mengatur perilaku dalam organisasi sosial. manipulasi politik sering kali berujung pada penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran norma-norma   dalam organisasi. Contoh konkret dari penyalahgunaan ini termasuk  kong-kalikong, nepotisme, korupsi, atau diskriminasi ( peminggiran ), serta mengabaikan mekanisme permufakatan. yang dapat merapuhkan khidmad organisasi. 

Peran kelembagaan sedang tertantang  oleh konflik kepentingan pada organisasi sosial . Kelembagaan merujuk pada struktur, prosedur, dan aturan yang ditetapkan dalam sebuah organisasi atau sistem sosial untuk mengatur perilaku individu dan kelompok, serta untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Kelembagaan dapat mencakup hukum, kebijakan, norma-norma sosial, dan praktik-praktik yang terbentuk dari waktu ke waktu dan memberikan kerangka kerja bagi interaksi sosial. kelembagaan bertindak sebagai pengatur dan penjaga etika, menerapkan aturan dan prosedur yang adil untuk menangani konflik internal dan eksternal. Dalam posisi ini kehadiran komite penjaga komitmen dibutuhkan.

Ketika organisasi terlibat dalam konflik internal yang dipicu oleh persaingan politik atau penyalahgunaan kekuasaan. Salah satu implikasinya adalah penurunan kualitas layanan yang diberikan kepada masyarakat., fokus mereka cenderung bergeser dari misi utamanya yaitu memberikan layanan yang berkualitas kepada ummat. terutama dalam bidang layanan dasar seperti  pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat.  Mengatasi konflik kepentingan dan mencegah implikasi buruk yang mungkin timbul, penting bagi organisasi sosial dengan mengutamakan transparansi, akuntabilitas, dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip etika. Sebagaiman prinsip-prinsip dan pesan moral yang titipkan oleh para ‘alim “ Tashorruful iimam ‘ala ro’iyyah manuutun bil maslahah “.

 







Berpuisi Melunakkan Suara Hati

 Berpuisi Melunakkan Suara Hati

Oleh : Syafaat

Menulis puisi merupakan sarana untuk mengungkapkan ide, gagasan, kritik, emosi, hingga nasihat akan berbagai aspek kehidupan sekitar, mengasah kemampuan berpikir kritis dan empati terhadap lingkungan. Menuangkan pemikiran dan perasaan terhadap kehidupan ke dalam puisi juga memperteguh sisi kemanusiaan, hal ini menjadi motivasi terkuat dalam diri seseorang untuk berani menyuarakan kebenaran. 



Dengan melatih diri menulis puisi akan melatih pengendalian emosi dalam kata, dengan mengingat setiap diksi dalam penulisan puisi merupakan kalimat terpilih yang mengedepankan kelembutan kata dan kalimat penuh makna, sehingga dalam bertindak dan bertutur kata juga akan terbiasa dengan kalimat yang teratur dan terukur. Kepadatan kalimat dalam puisi dapat dijadikan  gambaran dari sebuah kejadian maupun ungkapan yang dijabarkan dengan banyak kalimat.
Para penerus bangsa yang berakhlakul karimah yang dihasilkan dari pendidikan  di Madrasah merupakan asset masa depan bagi pembangunan, karenanya latihan sastra yang dilakukan dengan terus mengembangkan literasi sangat penting agar di kemudian hari para remaja ini dapat menyampaikan ide dan gagasan dalam bentuk kalimat tertulis yang dapa dibaca dengan bahasa indah, padat dan menawan, karena pembiasaan dengan kalimat sastra yang dikembangkannya.
Insan satuan pendidikan dilingkungan Kementerian Agama merupakan insan tumpuan harapan umat dalam menjawab tantangan zaman di era globalisasi yang penuh dengan godaan dekadensi moral, generasi instan dan lain-lain, karenanya madrasah memnberikan aslternatif pembelajaran dengan karakter keagamaan yang kuat yang diharapkan para alumninya dapat menjadi generasi hebat yanbg menjunjung tinggi niai-nilai akhlakul karimah.
Pembiasan penulisan sastra dalam bentuk puisi harus tetap dikembangkan, baik secara antologi maupun secara individu. Hal ini bertujuan agar penulis terbiasa dalam pengendalian emosi, meluapkannya dengan kalimat indah tanpa harus menyinggung dan menyakiti siapapun.
Puisi sederhana yang ditulis para siswa ini merupakan gambaran nyata pikiran dan perasaan yang mereka alami, diksi sederhana yang disampaikan telah sesuai dengan perkembangan emosi yang ada pada diri, yang bentuk tulisan puisinya akan mengikuti perkembangan emosi dari para penulisnya. Bisa jadi puisi yang mereka tulis akan bermakna berbeda dengan perkemnbangan waktu dan kondisi lingkungan yang berbeda, karenanya kita biarkan puisi-puisis menapaki jalan takdirnya.
Salam sastra
Ketua Lentera Sastra


Serumpun Bintang Ujung Timur Banyuwangi

 Serumpun Bintang Ujung Timur Banyuwangi

Oleh : Syafaat
Dengan mengasah kemampuan menulis sangat bermanfaat bagi perkembangan menapaki kehidupan masa depan, hal ini mengingat hampir tidak ada pekerjaan yang tidak membutuhkan tulisan. Dengan penguasan cara penulisan yang baik dan mudah di fahami tersebut akan memudahkan untuk berkomunikasi, karena dengan bahasa tulisan pesan yang dimaksud akan mudah di fahami. 


Sebuah tulisan yang baik adalah jika orang yang membaca judul dari cerita tersebut tertarik untuk membacanya, dan ketika membaca paragraf pertama dari tulisan yang disajikan, pembaca tidak melewatkan kata demi kata daripadanya, terus saja membaca yang membawa rasa penasaran untuk terus membaca pada paragraf berikutnya, hingga tuntas semua kata dan kalimat dalam tulisan tersebut semuanya terbaca.
Siswa penulis buku ini merupakan siswa yang sangat istimewa dengan tulisan-tulisannya. Pada saatnya nanti mereka akan membacanya kembali, mengingat-ingat hasil dari karya yang telah ditulisnya, menjadi kenangan indah saat menapaki masa pendidikan di bangku madrasah, yang mungkin ketika para penulis ini menjadi dewasa, bisa jadi mereka menjadi seorang pendidik yang dapat memberikan motivasi kepada para peserta didiknya untuk menulis sebagaimana para penulis ini diajari menulis oleh para fasilitatornya.
Saya membaca satu demi satu karya fiksi remaja yang ditulis oleh para remaja ini, meskipun tidak terlalu liar, imajinasi yang mereka bangun dalam menulis cerita pendek sudah sangat cukup lumayan. Kalimatnya telah mempu membawa para pembacanya untuk tidak jenuh membaca baris demi baris untuk mengikuti alur cerita. Beberapa cerpen juga tidak mudah di tebak endingnya, membuat sang pembaca penasaran dengan alur cerita.
Sengaja saya memberi judul dengan kalimat Serumpun Bintang Ujung Timur Banyuwangi, bukan ujung Pulau Jawa, dengan mengingat para siswa dari Kecamatan Muncar ini merupakan Madrasah yang wilayah Kecamatannya berbatasan dengan teluk pangpang,yang di sebelah timurnya sudah tidak ada lagi wilayah Kecamatan lainnya di provinsi Jawa Timur. Karenanya dari judul tersebut saya berharap para penulis dalam buku ini menjadi pelopor penulis fiksi remaja.
Para penulis dari madrasah pertama yang menerbitkan buku dari siswanya ini memang anak-anak terpilih yang sangat eman jika kemampuan mereka hanya berhenti disini saja, hal ini dengan mengingat kemampuan menulis sangat penting bagi pengembangan keilmuan yang sedang dilakoninya, terlebih dalam penulisan fiksi yang membutuhkan imajinasi yang kuat agar cerita yang di tulisnya terlihat nyata.
Semoga para penulis ini dapat mengembangkan kemampuan yang dimilikinya, sehingga dapat membawa nama baik Banyuwangi di kancah Nasional hingga internasional.
Salam sastra
Ketua Lentera Sastra

Agent of Modernizations

 Agent of Modernizations

Oleh : Syafaat

Sengaja saya memungut satu istilah yang ada pada salah satu esai yang ada pada buku ini, karena bagi saya kalimat ini sangat menarik untuk sedikit dikupas meskipun tidak dengan tuntas, karena modernisasi merupakan sebuah keadaan yang terus- menerus berubah sesuai dengan perkembangan perubahan. Dan para penulis dalam buku ini merupakan anak-anak hebat byang akan membawa perubahan besar bagi bangsa Indonesia pada masanya nanti dengan tetap memegang akhlakul karimah sebagai salah satu inti pendidikan di madrasah. 


Sebuah catatan menarik ketika sebuah masalah dikupas oleh pelaku masalahitu sendiri, sehingga secara emosi mereka benar-benar memahami apa yang mereka inginkan. Karena meskipun orang dewasa pernah menjadi seorang remaja, tetapi dengan masa yang berbeda, sehingga berbeda juga dalam menguraikan masalah, karena mereka mengalami masa remaja ketika kita sudah dewasa, dan kita mengalami masa remaja ketika anak-anak ini belum ada.
Dengan belajar menjadi seorang penulis, para remaja ini patut mendapat apresiasi yang luar biasa, karena mereka menyadari bahwa sebuah ide dan gagasan akan menguap ditelan angina ketika tidak ada jejak dalam uraian kata dan kalimat yang dapat dibaca oleh orang lain, terlebih jika dalam bentuk tulisan, maka akan lebih banyak orang yang akan membaca dan memberikan umpan-balik dari tulisan yang mereka sampaikan. Hal ini sangat penting untuk peningkatan kemampuan remaja sebagai penerus generasi dan estafet kepemimpinan yang wajib diserahkan kepada mereka jika saatnya tiba.
Cita dan angan tersirat tergambar dari opini yang mereka sampaikan, meskipun belum tentu meraka menyadari bahwa yang mereka tuliskan merupakan gambaran dari pikiran dan angan yang terpendam. Dan dari esai yang mereka sampaikan sangat jelas bahwa jika dilakukan secara berkesinambungan, para penulis remaja ini merupakan calon pemimpin masa depan gemilang yang akan membawa banyak perubahan, karena dari beberapa fakta sejarah menunjukkan bahwa para pemimpin hebat mempunyai tinggalan dalam bentuk catatan yang dapat dibaca oleh generasi berikutnya, baik sejarah tentang dirinya maupun ide dan gagasan dari pemimpin tersebut.
Madrasah sebagai salah satu tempat untuk pengembangan ilmu pengetahuan dengan karakter keagamaan yang kuat, bukan hanya mendidik siswa dengan akhlak keislaman, tetapi juga membekali dengan berbagai keunggulan yang salah satu keunggulannya adalah madrasah literasi yang membentuk karakter literat, sehingga tidak mudah menerima issu, berita maupun pengetahuan yang kurang jelas sumbernya. Hal ini merupakan salah satu keunggulan madrasah di Kabupaten Banyuwangi yang bukan hanya mendidik siswa untuk menjadi pembaca, tetapi juga membiasakan mereka menjadi penulis yang bertanggung jawab.
Semoga para penulis ini terus mengembangkan bakat menulis, hingga menjadi penuli hebat pada masanya, baik tulisan fiksi maupun non fiksi dengan membawa misi jiwa keagamaan dalam setiap tulisannya.
Salam Literasi
Ketua Lentera sastra

Peringatan 100 Tahun NU Berdiri Dirayakan di Bumi Shalawat Badar,

 Banyuwangi (Warta Blambangan) Ketua PBNU Sambut Kehadiran Presiden RI dengan Kesenian Islam Nusantara Lare Osing.


Terlihat Ketua Umum PBNU Gus Yahya dan Mbak Yeni serta jajaran keluar dari Bandara Blimbingsari pagi ini dengan pesawat komersial dari Jakarta. Di dampingi PCNU Banyuwangi, Gus Makki dan Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani Azwar Anas dan jajaran pejabat Pemkab.
 



Diketahui bahwa peringatan seabad Nahdlatul Ulama diselenggarakan di Stadion Diponegoro yang akan dihadiri pula oleh Presiden RI Ir. H. Joko Widodo Senin 9 Januari 2023.

Bakal marak perhelatan 100 tahun Ormas Islam terbesar di Nusantara ini di Bumi Shalawat Badar Banyuwangi.


Seluruh potensi sumber daya yang dipunyai oleh NU Banyuwangi dikerahkan optimal.
Kehadiran Presiden RI Jokowi, akan dipameri dengan tampilan Tradisi Islam Nusantara dalam rangka. Ratusan penari bakal menyajikan penampilan itu.

Sebanyak 800 peserta, terdiri dari 300 penerbang hadrah, 100 penari profesional, 200 peserta dari Pagar Nusa, dan 200 anggota Banser, ujar Samsuddin Adlaw8i selaku penanggung jawab panggung.


Ini adalah event kolosal yang melibatkan ratusan orang,” ujar Stage Manager Festival Tradisi Islam Nusantara, yang juga ketua Dewan Kesenian Blambangan itu kepada awak media. (Team)

Pemetaan Susulan Wawasan Kebangsaan dan Pemahaman Keagamaan

Lima orang penyuluh Agama Islam non PNS Kabupaten Banyuwangi mengikuti Pemetaan Susulan Wawasan Kebangsaan dan Pemahaman Keagamaan di ruang Meeting Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, Kamis (03/11/2022).



Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi Dr. Moh. Amak Burhanudin melalui Kasi Bimas Islam H. Mastur menyampaikan bahwa Pemetaan ini sangat penting dilakukan untuk penyuluh Agama Islam.
"Peserta Pemetaan adalah mereka yang berhalangan ketika pelaksanaan pemetaan dua hari sebelumnya" ungkapnya.

Salah satu peserta dari KUA Kecamatan Glagah Aisyah menyampaikan bahwa dirinya berhalangan mengikuti pemetaan karena jatuh dan terkilir.
"Alhamdulillah sudah baikan dan dapat mengikuti pemetaan susulan meskipun harus diantar" ungkapnya.

Salah satu petugas lokasi dari seksi Bimas Islam Syafaat menyampaikan bahwa sebagaimana juknis yang diatur dalam kepdirjen Bimas Islam nomor 889 tahun 2022,  bahwa pengambilan data online serentak se Indonesia tanggal 1 November 2022, sedangkan susulan dilakukan tanggal 3 November 2022.

Analisa Hasil Pelaksanaan Pemetaan akan dilaksanakan tanggal 4 sampai dengan 6 November 2022.
"Kita tunggu saja hasilnya dan saya yakin tidak ada yang mengecewakan" ungkapnya.

Lebih lanjut Syafaat menyampaikan bahwa dari 200 peserta dari unsur Penyuluh Agama Islam non PNS, 8 diantaranya belum keluar SK penyuluhnya. (syaf)

PERJALANAN SETELAH PERSAKSIAN

 Faiz Abadi

PERJALANAN SETELAH PERSAKSIAN 

Aku lahir dan besar di kaki ijen

Spiritualku diantara auman macan jawa, desis ular kobra, ditengah belantara

Sebelum kabar dari sembilan kekasih dari langit samawi

Gigitan berbisa, cakaran raja rimba takkan terasa

Tawa peri, kuntilanak, genderuwo, pocong, raja siluman

Hanya seperti musik pengantar tidur

Belum lagi bertahun menyatu dalam debur ombak plengkung

Hening dalam auro Purwo

Beranikah datang hanya orasi

Basi seperti janji pepesan kosong

Namun ketika yang datang Syeh maulana isyak

Akupun terisak 

Jinakkan kobaran membara

Langitku tunduk pada langitnya

Tanpa harus kehilangan muka

Datanglah semua

Disini miniatur bhineka tunggal ika

Segala suku

Juga segala puncak ilmu hutan-hutan pertapa

Wahai dengarlah

Lahirmu bukan biasa saja

Apakah mungkin sayu wiwit hadir dengan kecengengan

Sedangkan laki-laki kompeni terkebiri

Apakah mungkin Prabu Tawang Alun gegerkan puncak Raung

Hanya dengan tekad munajat sekedarnya

Hingga Sang Maha perkasa limpahkan Gagahnya

Macan putih tunduk

Menjadi tunggangan 

Begitu pula ketika Buyut Wongsokaryo murka

Sabda lumatkan kesombongan 

Pada Agustus ini para syuhada tetap berharap 

Lanjutkan persaksian dengan pengorbanan

Lare osing takkan terjunggal 

Kecuali sesaat 

Menghela nafas

Kemudian kembali kibarkan

Kobarkan dilangit Belambangan

Raga bumi pertiwi dari ujung timur Jawa

MENYEMAI RINDU PADA SUNYI

 Faiz Abadi

MENYEMAI RINDU PADA SUNYI

Ketika malam datang hatipun lengang

Seperti melewati tebing-tebing tinggi

Melintasi hutan belantara

Berteriak ditengah gulungan ombak samudra

Melihat jurang dalam menganga

Berenang dalam kawah ijen 

Melintasi puncak gunung 

Dudiuk bersila di atas nyiur melambai

Berbaring di atas bebatuan sungai paling deras

Lalu rindu tersemaikan begitu saja

Pada segenap kesunyian

Jiwapun mengembara

Mencari asal muasal cinta sebenatnya

Setelah tercampakkan pada birahi binal

Menari di atas gelimang emas permata

Tertawa-tawa di atas singgasana

Terperosok pada segenap candu

Terbenam pada rasa memiliki

Enggan kehilangan

Kemudian terbelenggu dengan fatamorgana

Cinta sejati membara di ujung bibir malam temaram

Hati bernyanyi ketika usia menjelang senja

Tertambat pada daun-daun kering

Dahan ranting patah

Pohon tumbang karena tua

Sejak di dalam rahim ibu

Cinta itu telah diikrarkan

Tetapi meranggas ketika alpa dan lupa

Belum terlambat sebelum sekarat

Pada kidung di kesunyian taburkan kembali

Sambat Dalam Puisi*

 Fatah Yasin Nor

*Sambat Dalam Puisi*


Malam tampak lesu kekurangan angin. Maut seperti mengintai di balik pintu. Kengerian merambat diam-diam lewat aliran darah. Kegelisahan yang sulit dijelaskan. Perasaan mencekam sampai ke jantung. Seperti bendungan jebol. Gempa bumi dalam tubuhku. Doa istighfar terus dipanjatkan. Tak tahu kenapa aku dilahirkan. Merasakan nggeliyeng yang mencemaskan. Bukan mengingkari nikmat. Karena ajaib kita masih bernapas sampai detik ini. Ajaib ada waktu yang menentukan usia. Kebingungan dan ketidaktahuan. Kenyataan berjalan absurd dalam kegaiban. Mungkin besok mereda dengan sendirinya. Tiba terjaga dari tidur. Getarannya yang sampai ke sini. Kesedihan datang dari luka. Sakit datang dari penyakit. Seseorang sakit di rumah saja. Di pulau mana aku memerih?


Kamis 22072021

Silat Lidah

 Fatah Yasin Noor


*Silat Lidah*



Aku menulis dengan tangan kosong. Angin berpedang sunyi ingin menetak cinta dalam hatiku. Menyisir dari pinggir langsung memotong ke tengah sepi. Kuterapkan jurus malam mencuri jambu merah. Dan lihatlah, dingin membeku di lemari es. Bergoyang saat tanganku melayangkan tinta hitam ke jantung hatimu. Mendengar erangan lembut air dari kran yang kurang rapat ditutup. Silat lidahku telah memakan banyak korban. Tak hanya menumbangkan pendekar syair berdarah jingga. Seperti mendapat firasat engkaulah satu-satunya musuh tangguh yang sering menyamar. Seperti angin ribut meruntuhkan sunyi. Anak bajang dalam matamu kupinjam. Untuk menggiring sepi, menebas sunyi, dalam puisi. 


Rabu, 14072021

PANCARONA MASA REMAJA

 

PANCARONA MASA REMAJA

oleh : Ana Luftiah Karomah

Masa remaja merupakan masa yang penuh dengan rasa keingintahuan. Keingin tahuan ini  dapat menyebakan remaja termotivasi dalam mencari jati dirinya. Bagi orang yang mencari jati diri, tentu saja mereka akan melakukan apa saja yang membuat mereka tertarik dan mencoba hal-hal yang membuat mereka puas dalam memenuhi keingintahuannya.

Rasa ingin tahu pada remaja juga merupakan bagian dari usaha untuk menjadi bermakna, tidak hanya untuk dirinya tapi juga untuk orang disekitarnya. Maka dari itu lingkungan sekitar juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan keprbadian remaja dalam hal pembentukan keberanian, kejujuran, kemandirian, budi pekerti, dan sebagainya. Apalagi di era globalisasi ini pengaruh lingkungan jauh lebih terasa karena para remaja lebih mudah mengakses informasi.

Kecanggihan teknologi dan kemudahan berkomunikasi serta tersedianya beragam fasilitas justru membuat para remaja mempunyai kebebasan yang melewati batas. Remaja mudah mengakses beragam informasi yang menyesatkan dan tidak sesuai dengan norma sosial yang berlaku, serta langsung menirunya karena menganggap hal tersebut membuat mereka lebih hebat. Banyak orang tua yang memberikan akses internet tanpa menyadari dampaknya terhadap anak sehingga akan sulit menghindari pergaulan bebas.

Dalam hal ini, peran orang tua tentu sangat dibutuhkan dalam menghadapi masa peralihan menuju dewasa, terlebih saat mengalami kegagalan yang mampu menyurutkan semangat mereka, pada saat itu pula orang tua menjadi pendorong untuk menanamkan kekuatan dan rasa percaya diri dalam menghadapi masalah. Menjadi panutan suri tauladan, baik dalam menjalankan norma yang berlaku umum di masyarakat maupun dalam menjalankan aturan keagamaan dan norma-norma lain dalam masyarakat. Orang tua memiliki multi peran, mereka bisa sebagai pengawas, teman, dan juga sebagai penasehat.

Kurangnya kasih sayang dan perhatian dari orang tua dapat membuat mereka mencari jati diri ditempat lain dan dalam kondisi yang seperti inilah remaja mudah terjerumus dalam pergaulan bebas. Fenomena yang sering terjadi dikalangan remaja ini tak memiliki batasan hingga menimbulkan beragam dampak negative, dan seringkali muncul perilaku yang menyimpang sehingga melewati batas norma dan tanggung jawab.

Banyak tindakan tidak terpuji yang acapkali dilakukan para remaja hanya untuk menarik perhatian orang tua.  Seperti membolos, tawuran antar pelajar, merokok, aksi balap liar, dan bahkan seringkali melakukan aksi bullying secara sadar.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata pergaulan memiliki makna menjalin pertemanan dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan kata bebas berarti lepas atau tidak terikat. Jadi dapat disimpulkan pergaulan bebas adalah jalinan pertemanan yang bersifat lepas atau tidak terikat.

Untuk menghindarinya tentu kita harus mengenali ciri cirinya terlebih dahulu. Apa sajakah ciri ciri pergaulan bebas? Dikutip dari situs kementrian pendidikan dan kebudayaan (kemendikbud) ciri ciri pergaulan bebas sebagai berikut:

1.    Memiliki rasa ingin tahu yang berlebihan pada hal-hal  yang bersifat negatif. Contohnya penggunaan narkotika.

2.    Melakukan tindakan konsumtif terhadap  barang yang kurang penting.

3.    Kecanduan menonton konten pornografi, bahkan melakukan seks bebas.

4.    Mengonsumsi alkohol dan minuman keras.

5.    Mudah mengalami kegelisahan, tidak sabar, emosional, selalu ingin melawan, atau rasa malas.

Pergaulan bebas juga mengacu pada pertemanan yang tidak sehat, bahkan teman tersebut mungkin termasuk kategori toxid friend. Biasanya dalam pertemanan yang tidak sehat mereka berperilaku seperti boss dan sering memanfaatkan orang lain. Selalu mengatur dan memutuskan sepihak tanpa mau mendengarkan pendapat satu sama lain. Teman yang seperti ini akan membuat kita seolah-olah tidak mempunyai kendali terhadap diri sendiri. Toxid friend mudah menyalahkan orang lain dan bahkan selalu mengungkit-ungkit kesalahan yang telah berlalu sehingga menganggap orang lain tampak tidak berharga. Jika kita selalu menuruti kemauan mereka, maka toxid friend semakin merasa menang dan tak menghargai keputusan, bahkan mengkritik setiap perbedaan yang terjadi tanpa mau mengintropeksi diri. Terkadang mereka kerap cemburu terhadap kesuksesan atau keberhasilan orang lain dalam menggapai mimpi. Toxid friend akan senang jika melihat yang lain susah dan susah jika yang lain senang. Pertemanan semacam ini akan menjadi virus yang menyebabkan gejala stres fisik, seperti tekanan darah tinggi, depresi, dan kecemasan. Jika kita memiliki circle pertemanan seperti ini hendaklah kita membatasi diri dengan imun yang kuat sehingga tidak mudah terpengaruh oleh virus yang sedemikian berbahaya.

Ikatan secara emosional dalam kelompok pertemanan dapat mendatangkan  berbagai pengaruh besar bagi individu maupun kelompok. Seseorang akan merasa puas jika kesan yang ditampilkan tidak jauh berbeda dari kesan yang diberikan lingkungannya. Banyak kasus remaja yang terjerumus dalam kenakalan remaja hanya karena ikut-ikutan atau sekedar ingin diakui.

Teman yang baik akan selalu menemani dalam keadaan senang maupun susah, saling tertawa bahkan menangis bersama, menjaga satu sama lain, dan saling support dalam menggapai kesuksesan. Pertemanan yang sehat tidak akan membatasi lingkaran sosial kita.


Para remaja harus pintar dalam memilih pergaulan yang baik agar bisa memberikan dampak positif, remaja harus perkuat diri dengan pengetahuan agama dengan baik sehingga akan tertanam moral yang kokoh dan tidak akan mudah terjerumus dalam pergaulan bebas, memperbaiki cara pandang berpikir tentang memiliki rencana masa depan yang baik dan menyenangkan, bersikap optimis dan percaya diri sehingga bisa menghargai diri sendiri, sibukkan diri dengan kegiatan-kegiatan yang dapat memberikan dampak positif yang bermanfaat untuk diri dan lingkungan.

Semua hal tersebut tidak bisa dilakukan hanya dari satu sisi saja, atau dilakukan sendiri oleh anak tanpa dukungan dari orang tua dan lingkungannya. Anak, orang tua, dan lingkungan merupakan komponen yag tidak dapat dipisahkan satu sama lain pada masa remaja dalam menggapai masa depan yang cerah.

*Penulis adalah Siswa MTsN 12 Banyuwangi

 

 
Copyright © 2013. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Template Modify by Blogger Tutorial
Proudly powered by Blogger