Mendekat. Begitulah rasanya ketika melihat langkah Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani, hadir di tengah anak-anak Qur’ani pada Basecamp Kafilah Kabupaten Banyuwangi pada MTQ ke-31 di Jember, kehadirannya bukan hanya dianggap sebagai seorang pejabat tertinggi di Kabupaten Banyuwangi, namun lebih dari itu. Beliau datang dengan kasih dan cinta ibu terhadap anaknya.
Seorangnya pemimpin bisa saja memilih jarak. Bisa saja cukup menitip salam lewat pejabat, atau sekadar mengirim ucapan lewat layar telepon. Tapi kali ini, yang terjadi justru sebaliknya: ia mendekat, dan beliau hadir tanpa sekat, berbaur dengan anak-anak yang barusaja menyelesaikan babak yang menentukan pada ajang dua tahunan tersebut.
Kehadirannya bukan sekadar tanda tangan protokoler, melainkan sesuatu yang lebih sunyi dan dalam: perhatian. Di balik segala kesibukan seorang bupati, ia duduk bersama anak-anak kafilah Banyuwangi, seperti seorang ibu yang merunduk di tepi ranjang anaknya yang sedang demam. Ada ketenangan yang turun, ada rasa teduh yang membuat wajah-wajah remaja itu bersinar kembali kalimat yang ia ucapkan ketika melepas kafilah di aula Rempeg Jogopati masih diingat dan sederhana: “Jangan terbebani untuk menjadi juara.” Tetapi sederhana sering kali justru paling abadi, dalam kitab suci, kita belajar bahwa manusia hanya diminta untuk berikhtiar dengan sungguh-sungguh, menang atau kalah hanyalah amplop yang kita terima di ujung jalan. Isinya rahasia. Dan rahasia itu hanya Allah yang tahu.
Saya melihat, saat kalimat itu terlontar, sebagian beban di dada anak-anak Qur’ani yang berangkat ke Jember itu luruh perlahan. Mereka berangkat bukan lagi membawa ambisi, melainkan membawa doa, dan bukankah itu yang paling penting dari sebuah musabaqah? Bahwa Al-Qur’an bukan hanya dilombakan, melainkan dihidupkan. Dan ada anak-anak yang menangis karena belum beruntung. Ada yang air matanya jatuh karena meraih kemenangan. Dua-duanya sama-sama indah. Karena di hadapan Tuhan, air mata yang lahir dari kesungguhan tidak pernah sia-sia. Dan di sanalah, saya melihat kehadiran seorang pemimpin yang tidak datang dengan jarak kekuasaan, melainkan dengan jarak keibuan.
Beliau berkata, tidak ada yang pantas kecewa. Hasil apa pun, selama melalui proses yang jujur dan sungguh-sungguh, adalah hasil terbaik. Bukankah kita semua belajar hal yang sama dari kehidupan sehari-hari?. Kita bekerja keras, kita berdoa, lalu kita menyerahkan hasilnya pada takdir. Bila juara datang, itu anugerah. Bila kalah, itu pun anugerah, yakni anugerah berupa kesempatan untuk lebih dewasa.
Maka, MTQ bukan sekadar arena lomba. Ia adalah ruang perjumpaan manusia dengan firman Tuhan. Anak-anak itu melafalkan ayat, bukan hanya untuk dinilai, tetapi untuk menyirami hatinya sendiri. Dan seorang bupati yang mau hadir, yang mau mendengar, yang mau menghapus air mata anak-anaknya, sebetulnya sedang menunjukkan pada kita semua: bahwa membaca Al-Qur’an adalah perjalanan hati, bukan sekadar kompetisi.
Banyuwangi tidak pulang dengan tangan kosong. Ada yang masuk final dan juara pertama, ada yang masih harus menunggu giliran di tahun-tahun mendatang. Tetapi apa arti tangan kosong, bila dada mereka pulang dengan cahaya?
Saya kira, inilah yang akan terus diingat: seorang pemimpin yang mendekat, seorang ibu yang menenangkan, dan sebuah pesan yang akan terus bergema di hati anak-anak Qur’ani kita: jangan takut kalah, karena yang paling penting adalah bagaimana kita menjaga cahaya Al-Qur’an tetap menyala dalam dada.
Saya menyaksikan seorang anak laki-laki menunduk, bahunya bergetar, karena kalah tipis dari lawannya. Bupati menghampiri. Ia tidak berkata banyak, hanya menepuk bahu anak itu, seolah ingin mengatakan: “Kamu sudah sangat baik.” Saya kira, anak itu akan mengingat tepukan itu sepanjang hidupnya. Karena ada saat-saat tertentu, kekalahan tidak butuh banyak kata. Ia hanya butuh sentuhan kecil untuk membuatnya tidak runtuh. Seorang pemimpin, dalam hakikat yang lebih dalam, bukan hanya pengatur administrasi. Ia adalah teladan. Dan teladan itu tidak selalu hadir dalam bentuk keputusan besar, kadang ia hadir dalam hal-hal sederhana: duduk bersama, mendengar, menenangkan, menghapus air mata.
Dan saya percaya, di situlah nilai sejati MTQ. Ia bukan sekadar lomba. Ia adalah ruang perjumpaan manusia dengan firman Tuhan. Anak-anak itu membaca, menghafal, melantunkan, bukan hanya untuk dinilai juri, tetapi juga untuk menyirami jiwa mereka sendiri. Di ruang seperti itu, kehadiran seorang pemimpin yang mendekat bukan lagi sekadar urusan protokol. Ia berubah menjadi teladan bahwa firman Tuhan itu bukan sekadar diperlombakan, melainkan dihayati.
Banyuwangi memang tidak selalu membawa pulang piala tertinggi. Tetapi apa arti piala, bila yang pulang bukan cahaya? Ada semangat baru yang lahir. Ada keyakinan bahwa perjalanan masih panjang. Dan ada doa yang lebih ringan, karena dibawa dengan cinta, dengan kejujuran dan bukan ambisi.
Mungkin di sinilah letak indahnya sebuah musabaqah. Ia tidak berhenti di podium juara. Ia terus hidup dalam hati anak-anak yang berjanji untuk menjaga Al-Qur’an dalam keseharian mereka. Dan ketika seorang bupati hadir, bukan sebagai penguasa, melainkan sebagai seorang ibu, kita tahu bahwa ada yang lebih penting daripada kemenangan: ada cinta yang diturunkan bersama ayat-ayat suci.
Dan cinta itu, saya kira, akan bertahan lebih lama daripada piala.