Ada saat-saat tertentu dalam hidup yang membuat dada kita terasa lapang. Seperti ketika saya duduk di antara generasi cerdas Qur’an, mereka adalah Auline Alvira Syafa Azzahra, Anggun Dwi Wahyuni, dan Alwa Sakna Fuadiyah. Mereka masih remaja, masih duduk di kelas sebelas dan dua belas, dan satunya baru semester awal. Tapi apa yang mereka bawa di kepala dan hati membuat saya berpikir: betapa luasnya dunia anak-anak muda ini, betapa tenang sekaligus bergemuruh jalan yang sedang mereka tempuh.
Di Jember, pada Musabaqah Fahmil Qur’an (MFQ) tingkat provinsi Jawa Timur ke-XXXI, mereka berhasil menjadi yang terbaik. Kemenangan itu, tentu saja, bukan hanya kemenangan atas nama madrasahnya, tetapi juga untuk Banyuwangi. Kemenangan itu seperti sebuah pesan yang turun perlahan: bahwa ayat-ayat yang dijaga dengan cinta, yang diulang tanpa rasa lelah, akhirnya menjelma menjadi cahaya bagi siapa saja yang mau melihat.
Saya menatap sang juru bicara, seorang remaja dengan hafalan tiga puluh juz. Bayangkan, tiga puluh juz di dalam jiwa seorang anak yang mungkin masih suka bercanda di sela-sela latihan. Bagaimana seorang anak seusia itu bisa membawa Al-Qur’an seutuhnya ke dalam hidupnya? Ada rahasia di sana, rahasia yang tidak terjangkau oleh hitungan jam belajar biasa. Rahasia itu bernama kesetiaan, kesungguhan, dan cinta yang tidak berpamrih.
Orang tua mereka, saya pikir, tentu sedang menahan bahagia yang nyaris tumpah. Apa lagi yang lebih indah selain menyaksikan anak-anak kita berjalan dengan bendera kalamullah di tangannya? Bersyukurlah mereka yang menjadi orang tua dari anak-anak cerdas ini. Sebab, tidak semua orang tua diberi anugerah untuk melihat buah hatinya menjadi lentera di jalan Qur’an.
Saya berdoa, semoga langkah mereka tidak berhenti di sini. Semoga di tingkat nasional mereka juga bisa menjadi yang terbaik. Tapi lebih dari sekadar piala atau gelar juara, saya ingin mereka tetap menjaga cahaya yang kini sudah menyala. Cahaya itu lebih penting daripada sekadar podium. Karena cahaya itu akan terus menemani, bahkan ketika perlombaan sudah selesai, ketika dunia semakin bising, ketika manusia makin sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri.
Dan di tengah semua itu, tiga remaja ini mengajarkan saya sesuatu: bahwa Qur’an bukan hanya kitab untuk dibaca. Qur’an adalah jalan panjang yang, bila kita ikuti dengan cinta, akan membawa kita pulang dengan tenang.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar