Pages

Tampilkan postingan dengan label Folklor Khasanah Nusantara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Folklor Khasanah Nusantara. Tampilkan semua postingan

Endhog-Endhogan: Tradisi Transgenerasional Warga Banyuwangi dalam Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW

BANYUWANGI (Warta Blambangan) Menapaki bulan Rabiul Awwal dalam kalender Hijriyah, seluruh sudut Banyuwangi diramaikan oleh gelombang tradisi endhog-endhogan, suatu praktik ritual budaya yang menempatkan telur sebagai simbol persembahan dan kecintaan umat kepada Nabi Muhammad SAW. Praktik ini, yang telah diwariskan secara lintas generasi, merupakan bentuk integrasi religiositas dengan estetika sosial budaya lokal.

Dalam pelaksanaannya, telur rebus dihias dengan bunga kertas, lalu ditancapkan pada batang pohon pisang yang turut dihias, yang dikenal dengan istilah jodhang. Struktur ini selanjutnya diarak mengelilingi kampung atau ditempatkan di masjid, diiringi oleh pembacaan selawat, barzanji, zikir, dan doa kolektif—sebuah perpaduan antara ekspresi spiritual dan performativitas kultural.

Salah satu manifestasi paling menonjol dari tradisi ini dapat diamati di Desa Kembiritan, Kecamatan Genteng, pada Jumat (5/9/2025). Ribuan warga tumpah ruah dalam pawai endhog-endhogan sejauh 2,2 kilometer, dari Masjid Baiturrahman menuju Kantor Desa Kembiritan, sambil menampilkan beragam jodhang telur hias yang diperkaya iringan rebana dan lantunan selawat. 


Dilepas oleh Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani, pawai ini menghadirkan kreasi atraktif dengan nuansa islami yang kental. Ornamen megah seperti replika Ka’bah, perahu tumpeng berisi telur, pohon kurma, hingga unta dan penunggangnya, memperkaya visualisasi simbolik. Warga juga menampilkan plakat dengan nama Nabi Muhammad SAW, para sahabat, dan keluarganya, menegaskan dimensi naratif sejarah yang dikontekstualisasikan dalam ekspresi kultural kontemporer.

“Endhog-endhogan bukan sekadar festival yang penuh kemeriahan visual, melainkan representasi cinta dan penghormatan kita kepada Nabi Muhammad SAW,” ujar Bupati Ipuk. Ia menekankan pentingnya nilai kebersamaan, gotong royong, dan keguyuban dalam menjaga keberlangsungan tradisi ini, sekaligus menegaskan harapan agar masyarakat yang berpartisipasi mendapat syafaat Rasulullah SAW.

Salah satu atraksi yang paling mencuri perhatian adalah replika perahu tumpeng raksasa berisi 1.500–2.000 telur hias, karya warga Dusun Krajan Dua. Struktur ini memiliki panjang 6–7 meter dan dibangun secara kolaboratif oleh 30–40 orang selama seminggu penuh. “Ini dilakukan secara swadaya, menghabiskan biaya sekitar Rp7 juta, dengan pengerjaan pagi, sore, dan malam, sebagai wujud partisipasi kami dalam menyemarakkan Festival Endhog-endhogan,” jelas koordinator warga, Taufiq Hidayat.

Menurut Guntur, Ketua Takmir Masjid Baiturrahman dan panitia festival, tradisi tahun ini menampilkan kemeriahan yang lebih signifikan dibandingkan periode sebelumnya. Sebanyak 221 kreasi dari tujuh dusun di Kembiritan dipamerkan, menegaskan dinamika kreatifitas kolektif masyarakat dalam merepresentasikan nilai budaya yang telah berusia turun-temurun.

“Alhamdulillah, setiap tahun tradisi ini kian berkembang, dan Endhog-endhogan Kembiritan selama dua tahun terakhir telah resmi masuk kalender Banyuwangi Festival (B-Fest),” ungkap Guntur. Festival diikuti lebih dari 1.000 peserta dan berlanjut dengan pembacaan dzikir maulid serta pengajian umum di Masjid Baiturrahman. Guntur menambahkan bahwa kegiatan ini diawali dengan gerakan membaca 1.000 selawat sejak awal Rabiul Awal, tepatnya 25 Agustus lalu, sebagai pembuka ritus spiritual yang berkesinambungan.

Tradisi endhog-endhogan, dengan segala simbolisme dan praktiknya, menjadi saksi hidup bagaimana komunitas lokal Banyuwangi mampu memadukan religiositas, estetika, dan kearifan sosial dalam suatu praktik budaya yang berkelanjutan.


Kebo-Keboan Alasmalang: Ketika Sawah Menjadi Panggung, dan Doa Menjelma Tanduk di Kepala

BANYUWANGI (Warta Blambangan) Ritual Adat Kebo-Keboan yang digelar di Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, Banyuwangi, kembali menyedot perhatian ribuan mata dan batin, Minggu, 6 Juli 2025. Tradisi yang lekat dengan doa para petani ini digelar tiap bulan Suro, sebagai warisan tak tertulis dari tanah yang tak pernah ingkar musim.

Desa menjadi gemuruh. Teriakan, tabuhan, bau dupa, dan tanah basah menjadi satu dalam peristiwa budaya yang makin matang dalam konsep dan penyajian. Warga dari berbagai dusun, bukan hanya dari Krajan seperti biasanya, kini bersatu sebagai pelaku, menjadikan ritual ini lebih guyup dan penuh semangat kolektif.


“Ini bukan hanya pertunjukan. Ini adalah syukur kami atas rezeki dari langit dan bumi, sekaligus doa agar panen mendatang tak dihantam hama dan bencana,” ujar Abdul Munir, Kepala Desa Alasmalang, sambil menyeka peluh yang menyatu dengan aroma dupa di udara.

Kebo-Keboan adalah laku spiritual yang ditampilkan dengan cara tubuh petani yang dirias menjadi kerbau. Mereka mengenakan tanduk, menggenggam bajak, lalu memainkan ulang seluruh rangkaian bercocok tanam: membajak, menanam, dan mengairi sawah, seolah tanah sedang dibaca ulang dengan bahasa tubuh dan niat.

Di sela ritus itu, muncul sosok Dewi Sri—diperankan oleh seorang perempuan muda berbalut kebaya hijau padi. Ia turun dari panggung bambu, melangkah pelan di antara para ‘kerbau’, membawa beras dan benih. Di tangannya, tumbuh-tumbuhan menjadi persembahan dan harapan. Saat ia mulai menaburkan bibit ke arah para petani, penonton bersorak dan terlibat dalam fragmen interaktif—sebuah pengejaran simbolik terhadap berkah.

“Penampilan tahun ini lebih tertata, lebih menyentuh,” ucap Yulia Saraswati, seorang wisatawan dari Jakarta yang hadir bersama anaknya. “Saya merasa ikut berdoa, ikut merasa menjadi bagian dari cerita.”

Ritual ini bukan hanya memanggil kenangan agraris masa lalu, tapi juga menampar realitas modern yang kerap lupa darimana makanan berasal. Sawah yang menjadi panggung Kebo-Keboan bukanlah properti seni, melainkan tanah sungguhan yang dilalui cangkul sehari-hari.

Pemerintah desa pun menyatakan komitmen kuat mendukung kelestarian tradisi ini. Bagi mereka, Kebo-Keboan bukan sekadar warisan. Ia adalah identitas, akar dari wajah Banyuwangi yang rukun dan spiritual.

“Kami ingin ritual ini tetap hidup. Tetap punya napas. Tetap punya ruang di hati anak-anak muda,” tutup Abdul Munir.

Dan sore itu, ketika mentari tergelincir dan debu kembali mengendap, para pelaku Kebo-Keboan kembali menjadi manusia. Tapi jejak tanduk yang tertinggal di tanah basah—itulah jejak doa yang tak pernah lenyap.

SUB-43 Dijadwalkan Pulang 26 Juni, Penundaan Akibat Konflik Wilayah Udara Timur Tengah

Jeddah  (Warta Blambangan) Jemaah haji asal Banyuwangi yang tergabung dalam Kloter SUB-43 Debarkasi Surabaya masih berada di Jeddah, Arab Saudi, dan dijadwalkan pulang ke Tanah Air pada Kamis dini hari, 26 Juni 2025, pukul 00.01 WAS, menggunakan penerbangan Saudia Airlines SV 5302.

Penundaan kepulangan kloter ini sempat terjadi menyusul situasi geopolitik di Timur Tengah, khususnya meningkatnya ketegangan antara Iran dan Israel yang berdampak langsung pada pengalihan sejumlah jalur penerbangan. Salah satu dampaknya adalah penutupan Bandara Internasional Muskat di Oman, yang selama ini menjadi rute lintas untuk penerbangan haji Debarkasi Surabaya.

Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Banyuwangi, Dr. Chaironi Hidayat, dalam keterangannya menjelaskan bahwa Kloter SUB-43 dijadwalkan pulang sesuai rencana semula setelah koordinasi intensif dilakukan antara Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi, PPIH Debarkasi Surabaya, dan pihak maskapai.

> “Penerbangan SUB-43 telah dijadwalkan ulang secara aman dan profesional. Kementerian Agama bersama PPIH terus melakukan koordinasi agar pemulangan berjalan tanpa gangguan teknis maupun keamanan,” terang Chaironi.v


Selama masa tunggu, para jemaah SUB-43 diinapkan di Hotel Wow dan White Diamond, dua hotel transit yang telah diverifikasi kelayakannya oleh otoritas Arab Saudi. Seluruh kebutuhan dasar jemaah dipastikan terpenuhi, mulai dari akomodasi, konsumsi, layanan kesehatan, hingga bimbingan ibadah.

Kepala Daerah Kerja Bandara, Abdul Basir, menyampaikan bahwa skema layanan darurat diterapkan untuk menjaga kondisi fisik dan mental jemaah selama masa tunggu yang tak terduga tersebut.

> “Kami mengedepankan prinsip kehati-hatian dan pelayanan menyeluruh. Kesehatan jemaah terus dipantau oleh tim medis, termasuk ketersediaan obat-obatan dan dukungan psikososial,” ujarnya.

Sementara itu, keluarga jemaah SUB-43 di Tanah Air diminta untuk tetap tenang dan tidak terpancing isu-isu simpang siur terkait kepulangan. PPIH menjamin proses pemulangan dilakukan berdasarkan standar keselamatan penerbangan sipil dan perkembangan terkini situasi geopolitik.

Salah satu petugas kloter menyebutkan bahwa para jemaah tetap dalam kondisi sehat dan siap diberangkatkan pulang. Menurut jadwal yang dirilis, jemaah SUB-43 akan mendarat di Bandara Internasional Juanda pada Kamis siang dan melanjutkan perjalanan menuju Asrama Haji Sukolilo sebelum dipulangkan ke Banyuwangi.

Kementerian Agama menegaskan komitmennya untuk menuntaskan seluruh rangkaian pemulangan jemaah haji tahun 2025 secara tertib dan aman. Kloter SUB-43 menjadi kloter terakhir dari Banyuwangi yang menuntaskan fase pemulangan, setelah Kloter SUB-44 tiba lebih awal pada Selasa (24/6).

Dengan demikian, tuntas sudah perjalanan ibadah rukun Islam kelima bagi jemaah asal Banyuwangi tahun ini. Para jemaah diharapkan dapat kembali ke tengah masyarakat sebagai pribadi yang lebih matang secara spiritual dan sosial.

Seblang Bakungan: Tarian Leluhur di Temaram Obor

Banyuwangi (Warta Blambangan) Dalam temaram api obor, di malam yang menggigilkan kulit dan membasahi napas dengan aroma tanah dan dupa, masyarakat Osing Bakungan kembali memanggil arwah leluhur. Mereka tak sekadar merapal masa silam, tapi menjahit benang waktu yang diwariskan sejak 1639 menjadi tubuh peradaban hari ini. Di Sanggar Seblang, Kamis malam (12/6/2025), ritual adat Seblang Bakungan kembali digelar—sebuah pertunjukan sakral yang bukan hanya ritual, tapi napas panjang kebudayaan yang terus hidup. 


Ribuan pasang mata berkumpul. Dari bocah hingga pelancong mancanegara, semua terpukau. Di jalan yang mengular menuju sanggar, tumpeng-tumpeng berjejer seperti sesaji semesta. Warga saling menyapa dalam harmoni, menyatu dalam lantunan doa magrib dan hajat yang dinaikkan di langit masjid. Setelahnya, mereka berjalan bersama, mengarak api oncor yang mengibas malam, melingkari desa dalam prosesi ider bumi, seakan hendak mengikat batas alam dengan kesetiaan budaya.

Di bawah suluh-suluh bambu yang bergetar, mereka menghamparkan tikar, menyantap pecel pithik—hidangan sakral warisan leluhur—dengan cara paling tulus: bersama.

Lalu tiba momen puncak, ketika Isni, perempuan 53 tahun yang tubuhnya telah dibuka oleh waktu dan jiwa leluhur, memasuki dunia lain. Tubuhnya terhuyung dalam trance, lalu menari dalam irama gending yang menyayat sunyi. Mata orang-orang menahan napas, menyaksikan tarian yang bukan sekadar gerak tubuh, tapi gerak roh, gerak sejarah, gerak kesetiaan pada warisan yang tak bisa dibeli dan tak bisa dijelaskan hanya dengan kata.

“Tradisi ini sangat menarik,” kata David, seorang pelancong dari Selandia Baru, matanya masih menyisakan keheranan yang puitis. “Sebelumnya saya melihat Gandrung Sewu, penuh warna dan ramai. Tapi malam ini, saya seperti melihat tarian yang berbicara langsung pada langit dan bumi.”

Seblang memang ada dua. Di Bakungan, ia ditarikan oleh perempuan yang telah matang usia dan pengalaman, digelar di bulan Dzulhijah. Sedang di Olehsari, tarian ini dipercayakan kepada dara muda, usai Idul Fitri. Dua wajah, satu jiwa. Dua zaman, satu akar.

Wakil Bupati Banyuwangi, Mujiono, turut hadir. Dalam sorot matanya ada kebanggaan dan harapan. Ia berkata, “Menjaga tradisi bukan semata menarik wisatawan. Ini tentang gotong royong, tentang menjaga batang tubuh kebudayaan agar tetap tumbuh subur di tengah modernitas.”

Kehadiran Seblang malam itu tak hanya menarik warga dan wisatawan, tapi juga ilmuwan. Sumarsam, Kaplan Professor of Music dari Wesleyan University Amerika Serikat, duduk khidmat di antara warga. Ia adalah profesor gamelan yang telah menetap di Amerika selama 53 tahun, tapi malam itu, di antara bunyi kendang dan lengking suling, wajahnya seperti kembali ke tanah ibu.

“Saya sudah mendengar Mamaca Lontar Yusuf, menyaksikan Janger, dan malam ini, Seblang. Banyuwangi adalah kepingan mozaik budaya yang sangat utuh. Tak heran jika tanah ini menjadi permata dari timur Jawa,” ujarnya dengan mata berkaca.

Seblang Bakungan bukan sekadar pertunjukan. Ia adalah doa yang ditarikan, ingatan yang dihidupkan, dan jati diri yang disematkan dalam tubuh sebuah bangsa yang terus mencari dirinya sendiri.

Dan di malam itu, ketika obor perlahan padam dan langkah-langkah meninggalkan sanggar, satu hal terasa abadi: budaya bukan milik masa lalu, ia adalah detak jantung yang harus terus dijaga, agar kita tak pernah kehilangan arah di tengah gempuran zaman. (*)

Ledakan Sastra dari Timur Jawa: Lokakarya HISKI Banyuwangi Tawarkan Transformasi Budaya Berbasis Naskah dan Lisan

Banyuwangi, (Warta Blambangan)  Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat Banyuwangi, dengan dukungan Dana Indonesiana dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), telah menyelenggarakan kegiatan lokakarya nasional bertajuk “Penulisan Kreatif Sastra dan Pembuatan Produk Kreatif Berbasis Tradisi Lisan dan Manuskrip” pada 28–29 Mei 2025. Bertempat di Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Banyuwangi, lokakarya ini menjadi forum ilmiah sekaligus praktik kolaboratif yang bertujuan untuk merevitalisasi kekayaan budaya lokal melalui medium sastra dan produk kreatif kontemporer.



Ketua HISKI Komisariat Banyuwangi, Nurul Ludfia Rochmah, menjelaskan bahwa pelaksanaan lokakarya telah didahului oleh dua kali sesi Focus Group Discussion (FGD), yang dirancang untuk membekali para peserta secara konseptual sebelum terlibat dalam proses kreatif. FGD tersebut difungsikan sebagai instrumen epistemologis untuk membangun kesadaran budaya peserta, serta memperkuat keterkaitan antara tradisi lisan, naskah klasik, dan kemungkinan penciptaan sastra mutakhir.


Lokakarya ini diikuti oleh 30 peserta yang berasal dari berbagai elemen masyarakat, termasuk birokrat, sastrawan, seniman, budayawan, akademisi, guru, mahasiswa, dan pelajar. Keberagaman latar belakang peserta dimaknai sebagai representasi pluralisme sosial yang berkontribusi terhadap proses dialektika kultural dalam pengolahan tradisi menjadi karya-karya literer yang relevan secara sosial maupun estetik.


Sebagai bentuk afirmasi keilmuan, lokakarya menghadirkan sejumlah narasumber nasional yang memiliki otoritas di bidang sastra, filologi, dan kajian tradisi, antara lain Prof. Dr. Novi Anoegrajekti, M.Hum. (Ketua Umum HISKI), Dr. Munawar Holil, M.Hum. (Ketua Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara), Dr. Pudentia MPSS (Ketua Umum Asosiasi Tradisi Lisan), Dr. Tengsoe Tjahjono, M.Pd., dan Dr. Yeni Artanti, M.Hum. Adapun proses diskusi dan elaborasi materi dimoderatori oleh Sudartomo Macaryus, M.Hum., yang turut memastikan alur penyampaian materi berjalan sistematis dan partisipatif.


Secara substantif, kegiatan ini berfokus pada pengembangan keterampilan menulis kreatif berbasis data budaya, yang bersumber dari tradisi lisan maupun manuskrip kuno. Pendekatan ini tidak hanya dimaksudkan untuk kepentingan estetika sastra, tetapi juga sebagai strategi pelestarian warisan budaya takbenda dalam kerangka kebudayaan yang dinamis.


Hasil lokakarya menunjukkan pencapaian signifikan, antara lain:

1. Terbitnya buku kumpulan karya peserta, yang memuat eksplorasi naratif atas budaya Banyuwangi dalam bentuk fiksi, puisi, dan narasi kreatif lainnya.

2. Produksi alih wahana sastra dalam format multimedia oleh 30 peserta individu, yang kemudian disebarluaskan melalui kanal digital, terutama YouTube. Lima karya terbaik memperoleh penghargaan masing-masing sebesar Rp1.000.000.

3. Kolaborasi kelompok yang melahirkan lima proyek kreatif berbasis transformasi tradisi ke bentuk multimedia, dengan masing-masing kelompok memperoleh dana pembinaan sebesar Rp3.500.000.

4. Penyusunan artikel ilmiah yang mengkaji alih wahana sastra Banyuwangi, yang direncanakan untuk publikasi pada jurnal bereputasi dalam indeks SINTA.

5. Pendaftaran 14 karya sebagai Hak Kekayaan Intelektual (HKI), yang bertujuan memberikan perlindungan hukum terhadap produk kreatif hasil lokakarya.


Implikasi jangka panjang dari kegiatan ini tidak hanya berkaitan dengan penguatan identitas kultural lokal, tetapi juga memberi kontribusi terhadap diskursus kebudayaan nasional melalui pembaruan model produksi sastra. Dalam konteks epistemologi sastra, kegiatan ini memperlihatkan bahwa tradisi lisan dan manuskrip bukan entitas statis, melainkan sumber naratif dinamis yang dapat dimodifikasi, ditransformasikan, dan dihidupkan kembali sesuai konteks zaman.


Seluruh hasil lokakarya akan ditampilkan dalam ajang Festival dan Dialog Sastra HISKI, yang merupakan bagian integral dari Kalender Festival Banyuwangi 2025 dengan tajuk “Banyuwangi Kolo Semono.” Kegiatan ini menjadi ruang publik untuk menampilkan produk sastra dan budaya hasil pengolahan ulang tradisi, serta menjadi sarana literasi kultural yang inklusif.


Dengan demikian, lokakarya ini berfungsi tidak hanya sebagai aktivitas kebudayaan, tetapi juga sebagai laboratorium sosial yang menumbuhkan ekosistem kreatif berbasis pengetahuan lokal. Melalui pendekatan integratif antara kajian ilmiah dan praktik kreatif, HISKI Banyuwangi telah menunjukkan bahwa revitalisasi budaya dapat dilakukan secara inovatif dan tetap mempertahankan akar tradisinya.

Di Antara Naskah dan Narasi: Banyuwangi Menuliskan Dirinya Kembali

Banyuwangi, (Warta Blambangan) Angin pagi di kaki Gunung Ijen membawa semilir wangi kenangan, ketika 30 jiwa dari pelbagai latar berkumpul dalam ruang yang tak sekadar aula kampus — melainkan semesta kecil tempat kata-kata dilahirkan kembali. Lokakarya bertajuk Penulisan Kreatif Sastra dan Produk Kreatif Berbasis Tradisi Lisan dan Manuskrip resmi digelar di Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Banyuwangi. Selama dua hari, 28–29 Mei 2025, para penulis, pelajar, budayawan, dan akademisi menyulam ulang masa lalu dalam kain narasi yang baru dan hidup. 


Diselenggarakan oleh HISKI (Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia) Komisariat Banyuwangi, dengan dukungan Dana Indonesiana dan LPDP, lokakarya ini bukan hanya menyuarakan kata-kata, tetapi membangkitkan roh yang lama terlelap dalam tradisi lisan dan manuskrip tua. Seperti mendengar kembali kisah-kisah nenek moyang yang pernah berbisik di sela hujan malam, peserta diajak menelusuri kembali akar sejarah budaya lokal dan mengubahnya menjadi karya sastra kontemporer yang bernyawa.

Nurul Ludfia Rochmah, perempuan tangguh yang memimpin HISKI Banyuwangi, menuturkan bahwa kegiatan ini bukan semata spontanitas, melainkan hasil dari proses panjang dan reflektif. “Kami menggelar dua kali FGD sebelum lokakarya dimulai. Di situ, benih-benih pemahaman ditanam agar para peserta tidak sekadar menulis, tetapi menulis dengan kesadaran akan warisan,” ucapnya lirih, namun penuh makna.

M

Sebanyak 30 peserta hadir dengan wajah-wajah yang membawa cerita: dari ruang kelas, studio tari, bangku pemerintahan, hingga panggung pertunjukan rakyat. Masing-masing datang membawa peta batinnya sendiri, namun disatukan oleh satu kompas: cinta kepada tradisi dan hasrat untuk membisikkan ulang kisah lama dalam bahasa yang kini.

Di atas panggung ilmu, para pemikir nasional hadir menyampaikan cahaya dari pelita pengalaman: Prof. Dr. Novi Anoegrajekti, Dr. Munawar Holil, Dr. Pudentia MPSS, Dr. Tengsoe Tjahjono, dan Dr. Yeni Artanti. Di bawah panduan Sudartomo Macaryus yang tenang namun tajam, para narasumber tak hanya menyampaikan materi, tetapi merapal mantra ilmu — bahwa sastra tak lahir dari ruang hampa, melainkan dari perjumpaan manusia dengan akar dan angkasa.

Prof. Novi berbicara tentang bagaimana manuskrip lama sesungguhnya tak pernah tua, hanya menunggu dibuka. Dr. Munawar menunjukkan bahwa naskah-naskah tua Indonesia adalah museum hidup yang menunggu disapa. Sementara Pudentia menuturkan bahwa tradisi lisan bukanlah suara masa silam, melainkan napas yang terus bergema — asal kita bersedia mendengarnya kembali.

Lalu, dari rahim lokakarya itu, lahirlah anak-anak kata: sebuah buku kumpulan karya peserta, ditulis dengan darah imajinasi dan tinta kebudayaan. Tak hanya itu, para peserta juga menciptakan alih wahana sastra — menyalin suara tradisi menjadi visual multimedia yang diunggah di platform digital. Lima karya individu terbaik diberi penghargaan sebesar Rp1.000.000, bukan untuk membeli pujian, tetapi sebagai penghormatan bagi keberanian menafsir ulang masa lalu.

Tak ketinggalan, lima kelompok kreatif turut menari dalam irama kolaborasi. Mereka menggubah karya multimedia berbasis sastra lokal dan menerima dana pembinaan masing-masing Rp3.500.000 — sebagai pupuk untuk terus menumbuhkan pohon-pohon cerita yang lebih rindang.

Sebagai buah dari ranum akademik, lahir pula satu artikel ilmiah tentang alih wahana sastra Banyuwangi, disiapkan untuk mengisi halaman jurnal bereputasi SINTA. Dan lebih dari itu, empat belas karya peserta akan didaftarkan sebagai Hak Kekayaan Intelektual — karena sastra, sebagaimana tanah dan air, juga layak dilindungi dari perampasan dan pelupaan.

Namun, puncak dari segalanya bukanlah uang, bukan pula pengakuan, tetapi perayaan. Seluruh produk lokakarya ini akan dipentaskan dalam Festival dan Dialog Sastra HISKI, yang merupakan bagian dari Kalender Festival Banyuwangi 2025, bertajuk “Banyuwangi Kolo Semono” — sebuah momen di mana tradisi tidak hanya dilestarikan, tetapi dipertunjukkan, dipertanyakan, dan diciptakan ulang.

Di sanalah, sastra tak lagi sekadar tulisan di kertas, tapi menjadi tarian, lagu, visual, bahkan bisik-bisik antargenerasi. Banyuwangi, dalam cahaya lokakarya ini, telah menulis dirinya sendiri — bukan dengan pena birokrasi, tetapi dengan tangan-tangan pencinta yang menyulam antara masa lalu dan masa depan.

Di tengah zaman yang terburu dan gaduh, kegiatan ini menjadi ruang jeda. Seperti zikir panjang yang mengajak kita kembali pada akar. Seperti mantra lama yang menolak dilupakan. Dan seperti puisi, ia tak selalu harus dipahami — cukup dirasakan, dan akan hidup di dalam hati mereka yang membacanya.

Sastra, tradisi, dan inovasi — bukan tiga kata yang saling bertentangan, tetapi satu irama yang disatukan oleh Banyuwangi di hari-hari akhir Mei ini.

Di Hari Kebangkitan, Mereka Menghidupkan Nama-Nama yang Hampir Lenyap

 

Di Hari Kebangkitan, Mereka Menghidupkan Nama-Nama yang Hampir Lenyap
(Ditulis oleh Syafaat)

Pagi tanggal 20 Mei 2025, sebuah ruang sunyi di Banyuwangi mendadak penuh kata-kata. Aula Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten itu, biasanya hanya untuk pertemuan biasa, hari itu seperti menjadi tempat kelahiran kembali. Bukan kelahiran tokoh atau revolusi besar, tapi kelahiran nama-nama yang pelan-pelan tenggelam dari ingatan: dusun, desa, kelurahan, dan lingkungan yang barangkali hanya disebut ketika surat datang, atau ketika seseorang mengisi alamat di formulir.

Ada seratus penulis. Sebagian mahasiswa, sebagian lagi sudah lama menggantungkan hidup pada huruf dan paragraf. Mereka datang tidak untuk menulis resensi atau cerpen cinta. Mereka datang membawa satu tujuan yang sederhana tapi dalam: menulis toponimi Banyuwangi. Menuliskan kembali asal mula nama tempat. Menemani sejarah yang malas dicatat oleh negara. 


Pertemuan itu bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional. Dan entah siapa yang mula-mula sadar, betapa sepadan peristiwa itu dengan niat para penulis: membangkitkan kembali hal-hal yang nyaris ditelan pembangunan dan papan nama toko swalayan.

Di salah satu deret kursi, seorang gadis muda dan cantik menyimak dengan wajah yang tidak terburu-buru. Namanya panjang: Imtiyaza Syifa Ramadhani Risdayanti. Ia mahasiswa Universitas Jember. Tapi jauh sebelum itu, ia pernah menjadi anak cerdas istimewa di MTs Negeri 3 Banyuwangi—sebuah fakta kecil yang tampak di balik cara ia menyusun kalimat saat bicara.

Ia memilih menulis tentang Desa Sumberberas. Sebuah desa yang terdengar seperti nama sungai dan gabah di saat yang sama. “Banyak ilmu yang saya dapat,” katanya, pelan, seperti takut mengganggu kalimat narasumber yang sedang berbicara di depan. Tapi dari tatapannya, tampak bahwa ilmu itu bukan sekadar catatan, melainkan pemahaman akan pentingnya mencatat.

Syifa berharap akan ada lebih banyak pelatihan semacam ini. Pelatihan yang tidak menyuruh orang menulis tentang dunia, tapi menulis tentang tempat mereka berdiri. Tentang tukang kayu yang dahulu membangun rumah-rumah di Kelurahan Tukangkayu yang disana ada pesantren yang didirikan oleh seorang tokoh yang pernah duduk menjadi anggota konstituante pada masanya. Tentang rumah penyanyi Farel Prayoga di Desa Kepundungan yang oleh publik dikenal sebagai tempat tinggal bocah bernyanyi yang pernah tampil memukau di istana negara, tapi oleh penulis dikenal sebagai desa yang menyimpan lapisan-lapisan cerita yang lebih dalam dari sekadar panggung hiburan.

Juga tentang Dusun Jalen, yang oleh sebagian orang hanya dikenang sebagai titik kecil di Google Maps, padahal di sana berdiri salah satu pondok pesantren tertua di Banyuwangi yang santri-santrinya menjadi cikal bakal beberapa pesantren besar di Banyuwangi. Di tempat seperti itu, sejarah sering kali dibacakan tanpa teks, dan ilmu berpindah dari mulut ke telinga, dari ketelatenan ke keteladanan.

Narasumber hari itu tidak semuanya mengenakan batik resmi, mereka memakai kaos yang sama dengan peserta. Seorang wartawan senior yang juga sastrawan datang membawa tumpukan kisah dari masa lalu, membagikan bagaimana satu tema tulisan bisa hidup tiga dekade bila ditulis dengan jujur. Seorang dosen sejarah yang, konon, belum menikah dan karena itu dianggap punya waktu lebih banyak untuk membaca manuskrip kuno berbicara dengan cara yang membuat nama tempat terdengar seperti puisi. Seorang budayawan menyampaikan bahwa tiap nama dusun adalah mantra; jika kita berhenti menyebutnya, ia akan hilang.

Bimbingan teknis ini, kata sebagian orang, hanyalah pelatihan. Tapi bagi sebagian lain, ini adalah cara menghidupkan kembali hal-hal kecil yang telah lama dipinggirkan oleh ambisi besar pembangunan. Ini adalah cara untuk tidak kehilangan jejak ketika nanti anak-anak bertanya: “Mengapa namanya Tukangkayu? Siapa yang dulu tinggal di Sumberberas?”

Dan para penulis itu, dalam diam dan kerja sunyi mereka, sedang berusaha menyiapkan jawabannya. Tanpa tergesa. Tanpa gemuruh. Tapi dengan sepenuh cinta kepada tempat di mana mereka berpijak.

Rujak Soto dan Kue Bagiak: Warisan Rasa yang Kini Sah Menjadi Kekayaan Bangsa

BANYUWANGI (Warta Blambangan) Di bawah langit Blambangan yang mengguratkan kabut pagi dan nyanyian laut selatan, dua pusaka rasa akhirnya menapaki podium pengakuan. Rujak Soto—sebuah simfoni kuliner dari petis dan kuah daging—serta Kue Bagiak—renyah manis yang lahir dari panggangan masa silam—kini telah sah menjadi Kekayaan Intelektual Komunal (KIK) milik Banyuwangi. Sebuah kabar yang bukan hanya menenangkan lidah, tapi juga menggembirakan jiwa.

Pada 24 Maret 2025, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM resmi menyerahkan surat pencatatan KIK itu kepada Pemkab Banyuwangi. Sebuah pengesahan yang tidak hanya menambatkan rasa pada tempat kelahirannya, tapi juga mengikatkan jati diri budaya pada batang tubuh sejarah. 


Seperti matahari yang bangkit dari ujung timur Jawa, pengakuan ini menyinari jejak-jejak kuliner yang telah lama menjadi napas keseharian rakyat Banyuwangi. Rujak soto bukan sekadar hidangan, melainkan cerita tentang keberanian mencampur dua kutub rasa menjadi satu—sebuah cerminan harmoni di tengah keberagaman. Dan kue bagiak, dengan gurih kelapanya dan rasa manis yang membekas, mengajarkan bahwa kenangan bisa dilipat dalam gigitan.

Sebelum keduanya, telah lebih dahulu tercatat lima kuliner Blambangan sebagai KIK: sego cawuk yang menggamit rasa pagi, sego tempong dengan semburan cabai yang jujur, pecel pitik sebagai jamuan upacara, ayam kesrut yang mencecap asam pedas, dan pecel rawon, pertautan lembut sayur dan daging dalam balutan bumbu hitam.

Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani, menyambut kabar ini dengan syukur dan komitmen. “Alhamdulillah, rujak soto dan kue bagiak sudah sah diakui secara hukum berasal dari Banyuwangi. Ini bukan hanya legalitas, tapi penghormatan kepada para leluhur yang telah mewariskan rasa. Ke depan, kita akan terus menjaga dan melestarikan agar warisan ini tak hilang digerus zaman,” tuturnya dalam nada penuh harap, Kamis (15/5/2025). 


KIK adalah pagar hukum bagi warisan tradisi. Ia melindungi, menyekat dari tangan-tangan yang ingin mencuri identitas. Dalam dunia yang kian datar dan seragam, pengakuan semacam ini menjadi semacam mantra untuk mempertahankan keunikan lokal.

Sejak 2021, sebanyak 220 produk telah diajukan oleh Pemkab Banyuwangi kepada Kemenkumham. Bukan hanya makanan, tapi juga kriya dan nama dagang yang lahir dari tangan-tangan warga Blambangan. Dari jumlah itu, sebagian besar telah mengantongi KIK, sementara sisanya masih dalam antrean panjang proses negara.

“Kita ingin tahu walik dan pindang koyong juga segera tercatat. Keduanya telah kita ajukan sejak tahun 2023,” ujar Ipuk, sembari mengisyaratkan bahwa perjuangan belum selesai. Lidah-lidah rakyat tak akan berhenti meracik, mencipta, dan mewariskan.

Tahun ini, enam produk kembali dikirim untuk dinilai dan diakui sebagai milik Bumi Blambangan. Termasuk di antaranya tagline The Sunrise of Java, yang selama ini menjadi salam pembuka Banyuwangi kepada dunia, dan Internasional Tour de Banyuwangi Ijen (ITDBI), ajang olahraga yang melintasi lereng-lereng keindahan Gunung Ijen.

Tak hanya komunal, hak cipta individu juga menjadi perhatian. Pemerintah daerah menggelar sosialisasi agar para pelaku UMKM dan masyarakat sadar akan pentingnya mendaftarkan karya mereka. Salon kecantikan, beras biofortifikasi, bahkan warung kopi pun bisa menjadi karya berharga jika dikelola dengan rasa bangga dan hukum yang menyertai.

“Dengan mendaftarkan hak cipta, masyarakat tak hanya mendapat perlindungan hukum, tetapi juga perlindungan ekonomi. Sertifikat itu bisa jadi jaminan fidusia, bisa jadi modal kerja,” pungkas Ipuk.

Rujak soto dan kue bagiak kini tak lagi sekadar sajian warung atau bingkisan tamu dari Banyuwangi. Ia telah menjadi mahkota dari lidah rakyat, menjadi pusaka sah milik negeri. Di setiap suapan, tersimpan benih keabadian. Di setiap gigitan, mengalir kisah yang tak akan usai ditulis oleh zaman.
(*)

Banyuwangi Festival Kembali Menggelar Banyuwangi Ethno Carnival: Ngelukat, Ziarah Rasa dan Warna

Banyuwangi (Warta Blambangan) Seperti ombak yang tak jemu mencumbu pasir, Banyuwangi Festival kembali menggulirkan gelombang pesonanya. Tahun ini, dari perut bumi yang menyimpan kisah dan kabut ritual, Banyuwangi Ethno Carnival (BEC) akan kembali melangkah di arak-arakan warna dan makna. Pada 12 Juli mendatang, kota ini bersiap menjadi panggung terbuka bagi “Ngelukat”, sebuah tafsir visual dari upacara pensucian jiwa masyarakat Osing.



Di bawah langit yang bersahabat, Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani menuturkan, “Kita mengangkat Ngelukat sebagai tema besar. Ia bukan sekadar ritus, melainkan lorong kultural yang menghubungkan manusia dengan kesadaran batinnya. Di tengah pengetatan anggaran, pariwisata harus tetap kita jaga. Karena dengannya, denyut ekonomi kita berdetak.”


Memang, tak sekadar perayaan rupa, B-Fest selalu menjadi napas panjang yang merawat napas kolektif daerah. Ia mengikat antara wisata, seni, dan identitas dalam satu tenun yang utuh. Dan tahun ini, dengan 42 agenda yang dikurasi ketat, B-Fest menambatkan fokusnya pada gelombang wisatawan—mereka yang datang bukan hanya untuk melihat, tetapi juga mengalami.


BEC, yang sejak lama menjadi suluh di kalender event nasional, hadir sebagai gerbang yang mengantar kita menyusuri keheningan sakral tradisi. Ratusan peserta akan menyeberangi jalan kota dalam parade sejauh satu kilometer—bukan sebagai penonton sejarah, melainkan pelukisnya. Kostum-kostum yang mereka kenakan bukan sekadar kain dan warna, tetapi doa yang dijahit dalam rupa, peluh yang dijalin menjadi busana.


“Banyak yang mendaftar,” ujar Plt Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Taufik Rohman. “Audisi kami bagi dalam empat zona. Setelah terpilih, mereka akan diasah melalui workshop bersama desainer, koreografer, dan pegiat seni budaya. Di situlah jiwa Ngelukat akan dihidupkan—dalam gerak, dalam detail, dalam getar.”


Antusiasme masyarakat pun menyeruak seperti kembang api di langit malam. Tak hanya karena pesonanya, tetapi karena BEC adalah ruang di mana warga bisa menulis ulang kisah leluhurnya dalam bahasa masa kini.


Ngelukat, dalam tema tahun ini, bukan hanya tentang air yang menyentuh tubuh. Ia adalah tentang manusia yang menepi dari kebisingan, lalu kembali dalam kesadaran baru—bersih, jernih, utuh. Dan Banyuwangi, seperti biasa, merayakannya bukan dengan diam, tapi dengan tarian, cahaya, dan ingatan yang menjelma rupa.


Seperti gumam lama yang tak pernah usang: “Siapa mencintai Banyuwangi, ia takkan pernah pulang dengan jiwa yang sama.” (**)


Banyuwangi, Tanah Seribu Wajah yang Dirindukan: Ribuan Wisatawan Serbu Kota di Ujung Timur Selama Libur Waisak

BANYUWANGI – Ada yang lebih hangat dari matahari pagi di pantai Pulau Merah. Ada yang lebih dalam dari laguna bening di Pulau Bedil. Banyuwangi, kota dengan detak jantung yang tenang namun penuh kejutan, kembali menjadi pelabuhan rindu bagi ribuan wisatawan selama libur panjang Hari Raya Waisak, Sabtu hingga Selasa, 10—13 Mei 2025.


Seperti melodi yang terus diputar, Banyuwangi tak pernah kehilangan pamornya. Dari pucuk-pucuk cemara Hutan De Djawatan yang bagai lorong dongeng, hingga kawah biru Ijen yang menyala sunyi di pelupuk malam, kabupaten ini seolah menyusun harmoni alam untuk siapa pun yang datang. Gunung dan laut menyatu dalam satu helai selendang, dijahit dengan keramahan yang tak dibuat-buat.



“Alhamdulillah, libur panjang kali ini menjadi berkah bagi Banyuwangi,” ujar Bupati Ipuk Fiestiandani dengan senyum yang sejuk, Minggu (11/5/2025). “Sebagian besar destinasi kami banjir pengunjung. Ini menunjukkan bahwa Banyuwangi masih menjadi cerita yang ingin terus dibaca, dikunjungi, dan dihidupi.”


Hotel-hotel penuh sesak, bukan oleh keramaian yang gaduh, tetapi oleh wisatawan yang membawa serta keinginan sederhana: menjauh dari rutinitas dan bersentuhan dengan keteduhan. Banyak dari mereka datang sejak Jumat, menjadikan kota ini seperti halaman buku yang dibuka bersamaan oleh banyak mata.


Salah satu halaman paling memesona dalam buku itu adalah Pulau Bedil, sebutir mutiara kecil di perairan Pancer, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran. Pulau ini tak lebih luas dari sejumput doa, tapi menyimpan keindahan seluas cakrawala. Laguna tenangnya mengajak tubuh untuk berenang dan pikiran untuk tenggelam dalam ketenteraman. Mereka yang menyelam di antara terumbu karang, menyaksikan biota laut menari dalam balutan cahaya, seperti puisi yang ditulis langsung oleh Tuhan.


Taufik Rohman, Plt. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, menyampaikan bahwa peningkatan pengunjung terjadi di hampir semua destinasi. Hutan De Djawatan mencatat 3.600 jiwa datang menyusuri pohon-pohon trembesi raksasa yang seperti hidup dalam dunia magis. Di kaki Gunung Ijen, 1.800 orang mendaki dengan napas yang tertahan oleh kagum. Pantai Grand Watudodol, Pulau Merah, Pantai Mustika, Cacalan—semuanya tak pernah sunyi, tapi tak pula gaduh. Seolah-olah wisatawan datang bukan hanya untuk menikmati, tapi untuk menyatu.


“Kunjungan meningkat tiga kali lipat dibanding hari biasa,” ucap Taufik. “Bahkan banyak homestay yang tidak lagi menerima tamu karena sudah penuh sejak awal akhir pekan.”


Banyuwangi, agaknya, bukan hanya destinasi. Ia adalah pengalaman yang tak bisa direkam hanya dengan kamera, melainkan dengan hati yang bersedia menepi. Ia bukan tempat untuk sekadar dikunjungi, melainkan untuk dikenang dalam waktu yang panjang.


Di kota ini, laut tidak sekadar ombak. Gunung bukan sekadar pendakian. Dan liburan bukan sekadar pelarian. Banyuwangi, dalam libur Waisak kali ini, adalah rumah bagi ribuan jiwa yang ingin sejenak merasa pulang. (*)

HISKI Banyuwangi Gelar Forum Diskusi Terpumpun: Langkah Awal Pelestarian Tradisi Lisan dan Manuskrip Banyuwangi

Banyuwangi,  (Warta Blambangan) Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat Banyuwangi menggelar Forum Diskusi Grup Terpumpun (FDGT) sebagai langkah awal dari proyek besar bertajuk Pelestarian dan Alih Wahana Tradisi Lisan dan Manuskrip Banyuwangi. Acara ini berlangsung di Perpustakaan Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Banyuwangi, Sabtu (12/04/2025) dan dihadiri para pegiat seni, sastra, dan budaya dari berbagai kalangan.


Kegiatan ini menjadi tonggak awal HISKI Banyuwangi, yang berdiri sejak tahun 2025, dalam mengembangkan dan mendigitalisasi kekayaan budaya lokal Banyuwangi. Ketua HISKI Banyuwangi, Nurul Ludfia Rochmah, dalam sambutannya menyampaikan pentingnya peran HISKI dalam membangun jejaring serta menghidupkan kembali narasi-narasi lokal melalui platform digital.



Hadir membuka kegiatan, Ketua HISKI Pusat, Prof. Dr. Novi Anoegrajekti, yang menegaskan bahwa sastra bukan hanya bentuk ekspresi, tetapi juga gerbong yang menggerakkan budaya. “Kita butuh sistematisasi, pendokumentasian, dan kolaborasi lintas bidang agar tradisi tidak hanya hidup, tetapi juga tumbuh,” ujarnya.


Ketua Dewan Kesenian Belambangan (DKB), Hasan Basri, menyambut baik hadirnya HISKI di Banyuwangi. Ia menekankan bahwa sebuah karya sastra yang tidak dipublikasikan akan mudah hilang. “HISKI dapat menjadi simpul penting untuk memperkuat dokumentasi dan publikasi karya sastra lokal,” ucapnya.


Budayawan Aekanu Haryono juga menyoroti potensi budaya Banyuwangi seperti Seblang Olehsari dan Barong yang masih minim dokumentasi. Ia berharap proyek ini menjadi pintu masuk bagi karya-karya lokal untuk mendunia.


Turut hadir dalam forum ini Ketua Lentera Sastra Banyuwangi Syafaat, Wiwin Indiarti dari Uniba, serta sejumlah budayawan dan seniman seperti Elvin Hendrata, Samsudin Adlawi, dan jurnalis Ira Rachmawati.


Wiwin Indiarti menyampaikan bahwa tema besar tahun ini adalah Lontar Sri Tanjung dan Babad Tawang Alun, yang akan menjadi fokus dalam workshop lanjutan. “Naskah-naskah ini kaya akan nilai-nilai filosofis dan patut disampaikan ke publik dengan cara yang relevan,” jelasnya.


Samsudin Adlawi mengingatkan pentingnya menuliskan ulang teks-teks tradisi lisan yang tersebar dalam kesenian khas Osing, seperti Gembrung dan Janger. “Banyak kisah mistik Banyuwangi yang benar-benar terjadi dan masih hidup dalam masyarakat, tinggal bagaimana kita menuliskannya kembali,” ujarnya.


Salah satu peserta, Hemas aradhea dari Janger Sri Budoyo Pangestu Bongkoran Srono, turut membagikan pengalamannya dalam pelestarian kesenian janger. Sementara itu, Bhogi Bhayu mengulas asal-usul Jaranan Buto yang diciptakan oleh Setro Asnawi dan berkembang di Dusun Cemethuk, terinspirasi dari kisah Minak Jinggo.


Ira Rachmawati menyampaikan pandangannya tentang peran perempuan dalam seni dan budaya Banyuwangi. Ia menilai bahwa perempuan Osing memiliki kekuatan naratif tersendiri yang perlu diangkat dalam ruang-ruang seni.


Darmanto dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi memberikan apresiasi atas inisiatif HISKI. Ia menyebut bahwa budaya Banyuwangi adalah hasil perjuangan panjang yang perlu dijaga dan dikembangkan melalui kolaborasi lintas komunitas.


Kegiatan FDGT ini menjadi tahap awal menuju workshop lanjutan bertajuk Optimalisasi Pengembangan Sastra dan Industri Kreatif Berbasis Tradisi Lisan dan Manuskrip, yang akan difokuskan pada pendokumentasian, alih wahana, dan produksi konten digital berbasis tradisi lokal.

Magis Seblang, Jejak Sakral di Ujung Festival Budaya Olehsari 2025

BANYUWANGI (Warta Blambangan) Hening berubah menjadi haru saat langkah kaki sang penari Seblang menyentuh pelataran Kantor Desa Olehsari, Kamis (10/4/2025). Dengan tatapan kosong namun penuh daya magis, ia bergerak perlahan menuju panggung pertunjukan. Denting gending, aroma dupa, dan bisikan doa mengiringinya. Ribuan pasang mata terpaku. Festival Budaya Seblang Olehsari 2025 resmi ditutup, namun getar sakralnya masih menggema di dada banyak orang.



Tujuh hari rangkaian festival telah menjelma menjadi harmoni antara tradisi, seni, dan geliat ekonomi rakyat. Penutupan acara yang berlangsung meriah di jantung Desa Olehsari, Kecamatan Glagah, dihadiri oleh Wakil Bupati Banyuwangi H. Mujiono, jajaran Forkopimda, serta Kepala Desa Olehsari Joko Mukhlis.


Dalam sambutannya, Wabup Mujiono tak hanya mengungkapkan rasa bangga, namun juga harapan. “Tidak semua kota punya tradisi seperti ini. Seblang adalah wajah leluhur kita, warisan yang tidak ternilai. Mari kita jaga dan terus hidupkan,” ujarnya di tengah tepuk tangan para tamu dan pengunjung.


Kepala Desa Olehsari, Joko Mukhlis, menyambut baik suksesnya festival tahun ini. Menurutnya, selain memperkuat spiritualitas warga, festival juga menjadi berkah ekonomi. “Selama tujuh hari, UMKM kami mencatat omzet hingga Rp300 juta. Ini bukan sekadar festival budaya, ini denyut hidup desa,” katanya dengan mata berbinar.


Seblang bukan sekadar tarian. Ia adalah ritual. Ia adalah jembatan yang menghubungkan generasi masa kini dengan roh-roh leluhur, dengan hutan yang basah, tanah yang lama, dan sejarah yang belum lelah bersuara. Oleh warga Olehsari, Seblang diyakini mampu menetralisasi energi buruk dan membawa keberkahan bagi bumi tempat mereka berpijak.


“Suasananya mistis, tapi indah,” tutur Lusi Permatasari, warga Surabaya yang tengah mudik ke Banyuwangi. “Saya seperti melihat seni yang sedang berdoa.”


Festival tahun ini juga mengukuhkan Olehsari sebagai destinasi budaya unggulan. Desa ini telah resmi ditetapkan sebagai desa wisata, dan kini menjalin kerja sama kurikulum seni dengan kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. “Seblang bukan hanya dipentaskan, tapi juga dipelajari, didokumentasikan, dan dirayakan,” tambah Joko Mukhlis.


Panggung yang tadinya dipenuhi penari dan tabuhan gamelan kini telah sepi. Namun dalam senyapnya, tetap terasa denyut tradisi yang mengakar kuat. Seblang memang usai, tapi ia tak pernah benar-benar selesai. Seperti doa yang terus bergema dalam diam, festival ini akan kembali, menjadi peristiwa tahunan yang ditunggu, disambut, dan direnungkan.


Seblang telah menari. Banyuwangi pun kembali percaya, bahwa kebudayaan adalah napas kehidupan.

Festival Kebangsaan, Rekatkan Etnis Banyuwangi

Banyuwangi (Warta Blambangan) Festival Kebangsaan digelar di Gedung Seni Budaya (Gesibu) Banyuwangi hari ini, menampilkan keberagaman budaya Nusantara dalam balutan seni tari dan musik tradisional. Acara dibuka oleh Asisten Pemerintahan Kabupaten Banyuwangi, MY Bramudya, dan dihadiri oleh jajaran Forum Pimpinan Daerah (Forpimda) serta berbagai komunitas budaya dari berbagai latar etnis di Banyuwangi, Sabtu (16/11/2024)



Dalam sambutannya,  MY Bramudya menyampaikan bahwa Festival Kebangsaan adalah bentuk komitmen untuk merawat nilai-nilai kebhinekaan yang telah menjadi kekuatan masyarakat Banyuwangi. “Banyuwangi adalah contoh nyata bahwa keragaman budaya dapat hidup berdampingan dengan harmonis. Mari kita jaga dan lestarikan kekayaan budaya ini sebagai wujud cinta kita terhadap tanah air,” ujarnya.


Lebih lanjut Bram menyampaikan bahwa Keharmonisan masyarakat telah teruji sejak lama dan harus dijaga bersama.

Festival ini menghadirkan pertunjukan tarian tradisional dari berbagai suku yang ada di Banyuwangi, seperti tarian Osing, Jawa, Bali, Mandar, Arab, dan China. Setiap tarian menunjukkan keunikan budaya masing-masing suku, sekaligus memperlihatkan kekayaan budaya Indonesia dalam bentuk yang harmonis. Keberagaman ini mendapat sambutan hangat dari para hadirin yang tampak antusias menyaksikan penampilan demi penampilan di atas panggung.



Selain masyarakat umum, beberapa komunitas budaya turut hadir meramaikan acara, membawakan ragam seni dan budaya yang mencerminkan kearifan lokal dan nilai-nilai toleransi. Festival Kebangsaan ini sekaligus menjadi ajang silaturahmi dan kerja sama antarbudaya di Banyuwangi.


Acara berlangsung meriah dengan dukungan penuh dari Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, diharapkan dapat menjadi agenda tahunan dalam merayakan semangat kebangsaan dan persatuan di tengah kemajemukan budaya.

Penguatan Moderasi Beragama pada Masyarakat Kampus

Surabaya (Warta Blambangan) Kita butuh inovasi di tengah-tengah masyarakat yang bisa dijadikan role model, karena ke depan dengan rancangan yang dilakukan Sekretariat Bersama, tata kelola Penguatan Moderasi Beragama (PMB) di semua Kementerian/Lembaga tidak mungkin diseragamkan.


Hal ini dikatakan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, Prof. Suyitno dalam diskusi publik dan ekspos inovasi moderasi beragama dengan tema “Membangun Harmoni Melalui Kampung Moderasi dan Rumah Ibadah Moderasi.” Kegiatan dilaksanakan di Universitas Airlangga, Surabaya, yang digagas Balai Litbang Agama (BLA) Semarang. 


Kegiatan ini dilaksanakan perguruan tinggi umum karena sesuai dengan mandatori Perpres Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama. PMB itu, bukan semata tusinya Kemenag, tetapi juga menjadi kewajiban bersama semua Kementerian/Lembaga.

“Ini baru awal, nanti seterusnya kita akan kerja sama dengan berbagai perguruan tinggi umum, di bidang riset, pengabdian masyarakat, insersi kurikulum,” tutur Kaban, di Surabaya, Senin (23/10/2023).


Kata Kaban, kita harus sudah menyapa mahasiswa di kampus umum. Hasil riset International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) mengatakan telah banyak terjadi praktik baik moderasi beragama di lembaga pemerintahan, khususnya di lembaga pendidikan.

“Kita membuat program inovasi moderasi, tujuannya agar praktik baik dari masyarakat dan lembaga pendidikan bisa menjadi role model. Bahwa apa yang dilakukan sebagai contoh yang bisa dikembangkan dan didesiminasikan di tempat lain,” ungkap Guru Besar UIN Raden Fatah Palembang ini. 


Terakhir, Kaban menginginkan adanya upaya menggali konsep dan informasi dari berbagai komponen masyarakat dan Kementerian/Lembaga dalam proses menuju roadshow Konferensi Moderasi Beragama Asia Afrika (KMBAA) untuk mengimpor dan mengekspor praktek-praktek baik moderasi beragama di benua Asia Afrika.

“Saya berharap, KMBAA ini bisa berkontribusi kepada masyarakat Asia Afrika. Konsep moderasi beragama bisa menjadi salah satu solusi, memberikan pandangan kepada kita semua agar terus memastikan hidup yang damai, meskipun kita semua berbeda latar belakang, suku bangsa, agama dan heterogenitas lainnya,” pungkasnya. 


Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Agama RI, Prof Dr Nizar M.Ag mengatakan Penguatan Moderasi Beragama, tahun ini merupakan puncak capaian target pengimplementasian di seluruh lini Kementerian Agama.

“Untuk itulah Moderasi Beragama perlu diperkenalkan kepada seluruh lini masyarakat melalui unit-unit terkecil yang ada di sekitar masyarakat, seperti unit kampung dan rumah ibadah,” tambah Prof. Nizar.

Sarasehan Ngariksa, Diskusi Seni Budaya dan Agama di Sabha Swagata

 Banyuwangi


(Warta Blambangan ); Ngaji Manuskrip Kuno Nusantara (Ngariksa) bersama Kang Oman (Oman Faturahman) ke 100 digelar di Pendopo Sabha Swagata Banyuwangi, Jumat malam (22/09/2023) yang diikuti tokoh Agama, Seni dan Budaya di Banyuwangi.

Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani menyampaikan bahwa Ngariksa sangat menarik karena mengupas tentang kedekatan Agama dan Budaya.


"Sarasehan Agama dan Budaya, kami bangga diselenggarakan di Banyuwangi",  kata Ipuk.

Lebih lanjut Isteri Menpan RB Abdullah Azwar Anas itu menyampaikan bahwa dalam agama juga ada nilai nilai budaya.

Pembina Ngariksa Lukman Hakim Syaifudin menyampaikan bahwa Indonesia merupakan masyarakat yang beragam dengan berbagai macam budaya, karenanya Ngariksa merupakan salah satu upaya menjaga masa lalu kita dikaitkan dengan masa kini dan antisipasi kedepan.

"ini adalah tonggak tertentu, karena ini merupakan ngariksa ke 100 dan kedepan kita pikirkan ngariksa dikaitkan dengan kebutuhan kita di masing-masing daerah", kata mantan Menteri Agama Republik Indonesia.

Hadir dalam kesempatan tersebut beberapa tokoh seperti Ketua DKB Hasan Basri, Ketua komunitas Lentera Sastra Syafaat, Direktur Radar Banyuwangi Samsudin Adlawi, Kepala Balitbang Kementerian Agama Mastuki, Rektor UIN KHAS Jember Babun Suharto serta Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi.

Yang menarik, dalam paparannya, Oman Faturahman juga menampilkan slide keterlibatan siswa madrasah dalam kegiatan gandrung sewu.

"Agama dan Budaya merupakan soal-soal yang perlu di harmonisasi untuk Indonesia emas 2045", kata Oman.

Kangen Oman membahas tentang pentingnya merawat naskah kuno sebagai kekayaan khasanah budaya di Indonesia.

Dalam kesempatan tersebut Rektor UIN KHAS Jember menyerahkan Kitab Al-Qur’an Terjemah Bahasa Osing kepada beberapa tokoh yang hadir, begitu juga dengan Lukman Hakim Syaifudin menyerahkan buku karyanya berjudul Moderasi Beragama.

Ketua Komunitas Lentera Sastra menyampaikan bahwa kegiatan semacam ini perlu terus dilakukan di Banyuwangi dengan mengingat di ujung timur Pulau Jawa ini sangat kaya dengan budaya.

"Masyarakat Banyuwangi bukan hanya menjaga manuskrip kuno, tetapi juga menjaga dengan tradisi menbacanya" kata Syafaat.

Dikesempatan tersebut juga ditampilkan mocoan lontar Babat Tawang Alun oleh Komunitas Osing.

Angka 100 boleh jadi sama seperti angka lainnya. Namun, dalam berbagai tradisi, angka yang dalam hitungan tahun berarti menunjukkan satu abad itu juga dianggap istimewa. Dalam tradisi keagamaan Islam misalnya, diyakini bahwa seorang pembaharu (ke) akan lahir setiap seratus tahun, atau setiap satu abad.

Ngariksa ke 100 yang dilaksanakan di Pendopo Sabha Swagata ini merupakan tonggak bagi seniman dan budayawan di Banyuwangi untuk terus berkarya untuk negeri.

Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi Moh. Amak Burhanudin ketika di wawancara media ini menyampaikan bahwa pihaknya mendukung seni dan budaya yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama. (syaf)

Editor:
Yasin Alibi
Kontributor:
Syafaat

Sengker Kuwung Belambangan (SKB) dan belambangan.com Gesah Using


Banyuwangi (Warta Blambangan) Seniman dan budayawan silaturahmi seraya halalbihalal di Umah Welas Delik Jambesari, berlangsung dengan penuh gayeng, Sabtu,6 Mei 2023, penuhi undangan Ketua Sengker Kuwung Belambangan (KSB) sekaligus pemimpin redaksi media online berbasis Basa Using belambangan.com, Antariksawan Jusuf.


Kang Aang -demikian panggilan akrab Antariksawan Jusuf yang mantan wartawan majalah Ikawangi, Koran Republika, kantor berita Perancis AFP dan TV One  ini pada media ini niat awalnya adalah tasyakuran  Umah Welas dan kangen teman yang biasa ketemu di grup WA dan medsos. Momentum lebaran karena tak sempat unjung-unjung maka sekalian halal bi halal. "Kami juga berterima kasih pada kontributor yang mengisi media, ikut lomba event SKB serta teman diskusi yang saling menguatkan nguri-uri seni tradisi, wisata dan bahasa Using!" tambah Aang yang didampingi Hani Z.Noor dan Kang Ali Jusuf.



   Tamu yang datang antara lain maestro pelukis  S. Yadi K., juragan wangsalan dari Jopuro Kang Inok, ketua KOPAT sekaligus pemilik warung Kemarang Wowok Meirianto, penulis buku angklung Elvin Hendrata, pemilik warung kopi Nidom, pemandu wisata Kisma Donna,Pak Cik Taufik RB, sekretaris DKB Nani Asiany, penulis novel, youtuber dan guru seni rupa Moh. Syaiful, fotografer John Rahmatullah, dosen dan pegiat Lontar Wiwin Indiarti dan aktivis LSM gotongroyong45 yang juga jurnalis faktanews, jurnalinews dan majalah keboendha Aguk Wahyu Nuryadi yang kontributor awal majalah Ikawangi Jakarta dan reporter pertama Radio Mandala.  Juga beberapa penulis dan kontributor belambangan.com seperti Lirix Al Harir, Opi M. Novi dan Oyek Setro.


   Meski tidak dalam diskusi serius namun muncul diksi basa Using yang digunakan dalam lagu gandrung ciptaan Wowok yaitu diksi 'mendayung' yang dirasa kurang pas dalam bahasa Uaing.

   Muncul juga celetukan basanan yang lucu dari pegiat Pacul Gowang yaitu Kang Inok yang membuat gelak tawa hadirin.

Di gesah yang lain Urip Sumartono Aris bin Sudibyo Aris berharap ada yang peduli pada pelajar yang bakat menulis, bercerita atau masih malu tampil untuk diberi ruang ekpresi dan kreasi. Agak serius Ketua AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) Kabupaten Banyuwangi Wiwin Indarti sedang ikhtiar bersama dosen Uniba dan Unej menyusun perda soal masyarakat adat yang didalamnya ada bahasa lokalnya. "Sudah jadi inisiatif dewan namun masih dikaji Kanwil Menkumham Jatim. Ada usulan untuk sekedar jadi SK Bupati, kami tak mau!" tegas Dosen yang peduli Lontar dan Sinau di Sawah Art ini. 

Soal ejaan dan dialek, Wiwin dalam keseharian lebih komunikatif dengan Osing berikut dialek per kampung. "Namun untuk tulisan ilmiah dan jurnal serta buku ajar di sekolah yang difasilitasi dinas dan balai bahasa, tentu kami pakai Using yang punya kamus dan dasar akademik maupun regulasinya!" ungkapnya diangguki Hani dan Nani Asiany.

   Usai gesah menggelitik, gayeng dan  munyik, hadirin menikmati suguhan khas seperti nasi tempong, semanggi sambal sere, serta pecel pitik yang ditutup dengan minuman serut timun selasih yang segar. Kopi teh 'ya kari nyorot. Uga ana lontong kikil bakso. Hang ngudut ya diweni rokok filter utawa kretek sak bungkusan. Hang nulis cara Using mong belambamgan.com ulih kaos hitam basanan Using. Kabeh tamu mulih ulih kenangan Buku "Omprok lan Sampur" Buku Bergambar yang jadi bahan pengayaan tambahan guru ajar Bahasa Using di SD/MI Karya Antariksawan Jusuf dengan illustrator Guru Seni Budaya SMPN 1 Kalipuro yang juga seksi Seni Rupa Sanggar Merah Putih'45 Komunitas Gotongroyong empat puluh lima Banyuwangi. Momen launching buku ini ditandai lomba mewarnai tingkat SD se kabupaten yang diikuti 1.210 anak dengan ketua dewan juri S.Yadi K.


Kakehan kungkum awak lara selisih.

Wassaluaikum dan terimakasih


(Bung Aguk/Nany/JN).

Batu Bata Kuno Ditemukan di Areal Tambang Galian C di Banyuwangi

 Banyuwangi (Warta Blambangan) Sejarah selalu akan meninggalkan catatan masa lalu yang akan menjadi bekal bagi generasi sekarang maupun akan datang. Sebuah situs maupun artefak akan dapat membawa cerita pada masanya, yang akan bermanfaat bagi generasi. Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Banyuwangi , menerima tugas dan arahan dari MY. Bramuda, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi, atas laporan masyarakat dengan menurunkan TACB ke Dusun Balak Kidul Desa Balak Kecamatan Songgon untuk melakukan penelitian dan pengkajian atas temuan bata merah berukuran jumbo, yang menjadi karakteristik peninggalan masa lalu.



Hadir kelokasi Dewa Alit Siswanto, Kabid Kebudayaan Disbudpar dan 3 stafnya, Tim Ahli Cagar Budaya Kab. Banyuwangi, Satu Tim dari Dinas Pekerjaan Umum, Tanto Sulistiyono, Pjs. Camat Songgon, Yayak Kades Balak , Sumawi Kades Bedewang, Rizal Kamituwo Parangharjo,
Babinkamtibmas Desa Balak beserta 2 personil Polsek Songgon dan beberapa pegiat sejarah

Temuan berupa reruntuhan struktur bata berukuran jumbo yang diperkirakan berusia lebih dari tiga abad dalam kondisi 75 % ditemukan oleh penduduk setempat saat membersihkan lokasi yang akan dijadikan penambangan sirtu , Jumat , (28-04-2023).

Ratusan pecahan bata merah berdasarkan identifikasi temuan, ukurannya bervariasi berdasarkan teknik pengerjaannya dilakukan sangat tradisional tanpa glasir yang masih 75% utuh.

TACB Kabupaten Banyuwangi dan Disbudpar Banyuwangi bersinergi dengan Pemerintah Kecamatan Songgon, Pemerintah Desa Balak , Pemerintah Desa Parangharjo dan Pemerintah Desa Bedewang Kecamatan Songgon Banyuwangi masih terus melakukan serangkaian upaya penelitian dan pengkajian sejumlah tempat yang berpotensi memiliki situs purbakala, penyelamatan dilakukan untuk meneliti dan mengidentifikasi terhadap artefak yang diduga obyek cagar budaya. Banyak struktur bata yang umumnya ditemukan sebagian besar terakota ini padat, tetapi juga ditemukan ditemukan berdinding tipis.

TACB melakukan survei permukaan untuk membuat kajian awal. Diantara reruntuhan bata merah berukuran jumbo ditemukan artefak-artefak berbahan porselen dari masa Dinasti Ming ( 1368-1644 ) dan puluhan pecahan gerabah yang di klasifikasikan 3 kelompok

Sekarang artefak-artefak tersebut disimpan di rumah Rizal ( Pak Wo Krajan – Desa Parangharjo )

Untuk melindungi ODCB ( obyek diduga cagar budaya ) ini, yg akan dilakukan adalah sementara diupayakan :
1. Menghentikan aktivitas penambangan ( yang punya lahan sudah menyetujuinya )
2.Dipasang garis police line disekitar yang sudah tergali untuk mengamankan lokasi , utamanya bata merah ukuran jumbo yang berserakan ( pihak Polsek Songgon ) menyanggupi berkoordinasi dengan pemilik lahan.

“Setelah mendapat laporan, awal ditemui Pjs. Camat Songgon berserta Kades Balak dan melakukan diskusi terkait dengan informasi yang berkembang , dilanjutkan menuju ke lokasi. Setelah tim melihat langsung dan melakukan Identifikasi pada temuan batu bata, memang jauh lebih besar dibanding dengan batu bata merah sekarang, dimungkinkan dari masa yang lampau. kami juga dapat informasi, masyarakat juga mendapat temuan berupa cawan keramik. Yang bersangkutan juga peduli tentang cagar budaya. Setelah diteliti, baik cawan maupun batu bata tersusun itu berasal dari abad 16 atau masa kerajaan Macan Putih ,” ungkap Dewa Alit Siswanto , selaku Kabid kebudayaan Disbudpar Banyuwangi, kepada media.

“Kami

mohon dukungan di ekskavasi, untuk membuka struktur bangunan yang masih terpendam, supaya lebih jelas apa sebenarnya struktur dari bata besar yang tersusun rapi tersebut,” terang Alit.

Masih menurut Alit, pihaknya juga memohon pada Forpimka Songgon, terutama Polsek untuk melakukan perlindungan dari sisi keamanannya, agar tidak dirusak oleh pihak pihak yang tidak bertanggung jawab.

“Kami sudah diskusi dengan Bhabinkamtibmas dan Babinsa, untuk titik-titik yang perlu dilakukan pemagaran atau police linenya sudah disiapkan. Dari unsur kepolisian sudah memasang batas-batas police line. Jadi meskipun masyarakat bisa melihat namun tetap Aman,” jelas Alit.

Alit menambahkan, untuk luasan tanah lokasi susunan batu bata sekitar 5.000 meter persegi, di lokasi tambang pasir, Namun yang diketemukan awal adalah di bagian tepi lokasi lahan tambang yang ada di desa Balak kecamatan Songgon.

“Sepertinya struktur bangunan ini keluar areal tambang yang setengah hektar. Karena yang ditemukan ini dibagikan sisi pinggir lahan tambang, untuk wilayah luar areal tambang kami belum bertemu pemilik lahan, mudah-mudahan punya pemikiran yang sama sehingga bisa melakukan perkembangan dari temuan awal. Untuk pemilik lahan tambang telah menyetujui dan mendukung, kami juga mohon kepada masyarakat juga ikut menjaga cagar budaya yang ada,” harap Alit.(ilh/tim)

Legenda Buyut Oceng dan Watu Dodol


Hari sudah menjelang malam, Kang Dede ( panggilan Dr. Dede Burhanudin, Peneliti Litbang) seperti nggak ada capeknya, kami terus menelusuri pantai selat Bali, Patung Gandrung berdiri kokoh diatas tumpukan batu hitam yang tersusun apik secara alami. Gundukan batu tersebut masih tetap seperti yang dulu dimana lebih dari 20 tahun cerita Indah sering saya pentaskan disitu. Baik cinta, kesetiaan maupun persahabatan. Bersama dengan teman teman Aliyah saya juga pernah menjadi saksi betapa kokohnya gundukan batu itu dimana ribuan tahun tetap pada dimensi yang sama.
Masih tersimpan foto dimana saat itu kami masih belasan tahun, bermandi air asin, bersenda bersama tanpa beban. Kami berjalan beberapa kilometer untuk sampai ketempat ini, menyusuri pantai sambil ngobrol bercerita tentang banyak hal. Masih kuingat ketika saya dan Witri memisahkan diri dari rombongan, sengaja kami berdua berjalan agak lambat sehingga agak jauh dengan rombongan. Kami duduk berdua memandang Pulau Bali, didepan kami ombak selat Bali beriak nyaris tak terdengar. Pulau Bali terlihat Jelas yang menandakan selat tersebut tidak terlalu lebar. Arus laut bergantian dari utara keselatan ataupun sebaliknya. Air tenang tersebut sebenarnya sangat membahayakan, karena pertemuan dua arus yang berbeda membuat arus berputar. Sudah beberapa orang yang menjadi korban keganasan arus yang terlihat tenang tersebut.
Saya masih bersama Witri, perempuan berambut Ikal yang terlihat lebih manis bila tersenyum ini lebih banyak bercerita. Kami duduk dibawah batu yang menjulang kurang lebih 8 Meter, orang orang menyebutnya dengan Nama Watu Dodol. Ada mata air yang keluar dari bawah batu yang juga sebagai pembatas antara jalan raya dengan pantai tersebut. Witri membasuh mukanya dengan air bening dari bawah batu tersebut. Pipinya terlihat lebih ranum, bibir mungilnya terlihat lebih mempesona, namun tetap saja saya tidak berani menyampaikan kata cinta.

Hari ini air dibawah watu dodol tersebut sudah tidak ada lagi, sudah tergerus dengan sejarah baru dimana tempat aku duduk berdua dengan Witri sudah menjadi Jalan Raya, Watu dodol tersebut bukan lagi sebagai pembatas antara jalan raya dengan bibir pantai, namun menjadi pembatas dua lajur jalan searah. Kang Dede duduk memandang batu tegar didepannya, bercengkerama dengan Juru Kunci Watu Dodol (Sayiat) yang sudah berdinas sejak Bupati Turiyono Purnomo Sidik. Usianya yang sudah sepuh tidak menyurutkan semangat juru kunci tersebut untuk membersihkan batu besar yang konon tidak dapat dipindahkan tersebut.
Konon Watu Dodol tersebut adalah peninggalan Buyut Oceng, dimana beliau adalah pedagang Dodol (Jenang) yang memperdagangkan dodolnya ke Pulau Bali, dimana saat itu dagangannya dipikul dengan pikulan bambu yang menurut istilah jawa lebih  popoler dengan istilah engkek. Jalanan masih berbatu, karenanya Buyut Oceng yang mempunyai Ilmu linuwih tersebut harus menyusuti jalanan sulit tersebut, dan ketika sampai di daerah dipinggir pantai, pikulan atau ongkek Buyut Oceng Patah, maka jatuhlah dodol yang dibawanya, dan dengan rasa kecewa Buyut Oceng mengatakan “dadio watu baen wes dodol iki” dan terjadilan doa dari Buyut oceng tersebut dimana dodol yang satu Pikul menjadi Batu yang menjulang, dan satu pikulan yang lain dimakan sebagian sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan ke Pulau Bali.
Juru Kunci yang masih terlihat tegar seperti tegarnya Watu Dodol tersebut masih bercerita bahwa ketika berada di Pulau Bali tepatnya di Singaraja, dodol ki Buyut Oceng masih tersisa, dan ki Buyut Oceng juga meninggalkan dodol tersebut di sana, dan nasib dodol tersebut juga sama, yakni menjadi batu, namun batu yang di singaraja lebih kecil dibandingkan dengan yang di Watu dodol, maklumlah sebagian sudah menjadi bekal perjalanan ki BuyutOceng.  Kang Dede mengamati Watu dodol, tubuhnya yang kecil nyaris tak terlihat ketika melongok kebawah dimana watu dodol tersebut sepertinya tidak tertanam dalam tanah, sepertinya hanya berdidi diatas batu dibawahnya. Sementara Erlan, rekan Kang Dede sibuk mengambil beberapa foto dari kameranya. Dia menjepretkan kamera menunggu ada mobil melintas agar lampun sorot mobil tersebut membanntu penyinaran obyek.
Konon Watu Dodol tersebut pada zaman Belanda pernah ditarik dengan Kapal laut untuk diceburkan ke laut, atau setidak tidaknya dapat digeser agar tidak menghalangi proyek jalan Anyer Panarukan sampai Banyuwangi. Menurut sang juru kunci dimana dia dapat cerita dari leluhurnya, bahwa Watu dodol tersebut pada Jam Lima sore berhasil ditarik dengan Kapal dan Watu Dodol tersebut rubuh, namun keesoka harinya sekitar jam lima pagi ketika para pekerja ingin meneruskan pekerjaannya, watu dodol tersebut terlihat berdiri lagi dengan kokok ditempatnya. Begitu juga pada zaman Jepang dimana pemerintah Jepang pada waktu itu juga ingin memindahkan watu dodol tersebut dengan cara yang sama pada zaman Belanda, yakni ditarik dengan Kapal, namun juga tidak berhasil, Batu tersebut tetap kokoh tidak bergeser, rantai yang digunakan untuk menarik batu tersebut putus yang mengakibatkan kapal penarik tenggelam. Watu Dodol memiliki bentuk yang unik, bagian atasnya lebih besar daripada dasarnya, namun kokoh berdiri selama ratusan tahun. Dulu daya tarik Watu Dodol karena keangkerannya, namun seiring dengan perkembangan zaman, Watu Dodol kini menjadi asri dan tidak terlihat angker lagi, termasuk dibagunnya patung selamat datang berbentuk patung Gandrung diatas batu yang kokok yang tak lekang diterjang ombak. Menurut Juru Kunci , jika membicarakan tentang keangkeran dan tempat paling angker di Watu Dodol, kalau mau angker harus naik ke bukit, di sisi Barat  dan disana terdapat makam tua Syekh Maulana Ishak dan Putri Sekardadu dari Kerajaan Blambangan dulu yang dikeramatkan, sehingga sering digunakan tempat bertapa.


Juru kunci watu dodol terus bercerita tentang perkembangan watu dodol, dimana dulu dibawah watu dodol tersebut ada mata air, disebelahnya ada Pura dan tempat Ibadah kecil, banyak orang orang dari berbagai agama yang dating ke watu dodol, melakukan ritual menurut keyakinannya.
 
 
 
 
 
Copyright © 2013. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Template Modify by Blogger Tutorial
Proudly powered by Blogger