Selamat Datang di Warta Blambangan

Pages

Home » » Di Hari Kebangkitan, Mereka Menghidupkan Nama-Nama yang Hampir Lenyap

Di Hari Kebangkitan, Mereka Menghidupkan Nama-Nama yang Hampir Lenyap

 

Di Hari Kebangkitan, Mereka Menghidupkan Nama-Nama yang Hampir Lenyap
(Ditulis oleh Syafaat)

Pagi tanggal 20 Mei 2025, sebuah ruang sunyi di Banyuwangi mendadak penuh kata-kata. Aula Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten itu, biasanya hanya untuk pertemuan biasa, hari itu seperti menjadi tempat kelahiran kembali. Bukan kelahiran tokoh atau revolusi besar, tapi kelahiran nama-nama yang pelan-pelan tenggelam dari ingatan: dusun, desa, kelurahan, dan lingkungan yang barangkali hanya disebut ketika surat datang, atau ketika seseorang mengisi alamat di formulir.

Ada seratus penulis. Sebagian mahasiswa, sebagian lagi sudah lama menggantungkan hidup pada huruf dan paragraf. Mereka datang tidak untuk menulis resensi atau cerpen cinta. Mereka datang membawa satu tujuan yang sederhana tapi dalam: menulis toponimi Banyuwangi. Menuliskan kembali asal mula nama tempat. Menemani sejarah yang malas dicatat oleh negara. 


Pertemuan itu bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional. Dan entah siapa yang mula-mula sadar, betapa sepadan peristiwa itu dengan niat para penulis: membangkitkan kembali hal-hal yang nyaris ditelan pembangunan dan papan nama toko swalayan.

Di salah satu deret kursi, seorang gadis muda dan cantik menyimak dengan wajah yang tidak terburu-buru. Namanya panjang: Imtiyaza Syifa Ramadhani Risdayanti. Ia mahasiswa Universitas Jember. Tapi jauh sebelum itu, ia pernah menjadi anak cerdas istimewa di MTs Negeri 3 Banyuwangi—sebuah fakta kecil yang tampak di balik cara ia menyusun kalimat saat bicara.

Ia memilih menulis tentang Desa Sumberberas. Sebuah desa yang terdengar seperti nama sungai dan gabah di saat yang sama. “Banyak ilmu yang saya dapat,” katanya, pelan, seperti takut mengganggu kalimat narasumber yang sedang berbicara di depan. Tapi dari tatapannya, tampak bahwa ilmu itu bukan sekadar catatan, melainkan pemahaman akan pentingnya mencatat.

Syifa berharap akan ada lebih banyak pelatihan semacam ini. Pelatihan yang tidak menyuruh orang menulis tentang dunia, tapi menulis tentang tempat mereka berdiri. Tentang tukang kayu yang dahulu membangun rumah-rumah di Kelurahan Tukangkayu yang disana ada pesantren yang didirikan oleh seorang tokoh yang pernah duduk menjadi anggota konstituante pada masanya. Tentang rumah penyanyi Farel Prayoga di Desa Kepundungan yang oleh publik dikenal sebagai tempat tinggal bocah bernyanyi yang pernah tampil memukau di istana negara, tapi oleh penulis dikenal sebagai desa yang menyimpan lapisan-lapisan cerita yang lebih dalam dari sekadar panggung hiburan.

Juga tentang Dusun Jalen, yang oleh sebagian orang hanya dikenang sebagai titik kecil di Google Maps, padahal di sana berdiri salah satu pondok pesantren tertua di Banyuwangi yang santri-santrinya menjadi cikal bakal beberapa pesantren besar di Banyuwangi. Di tempat seperti itu, sejarah sering kali dibacakan tanpa teks, dan ilmu berpindah dari mulut ke telinga, dari ketelatenan ke keteladanan.

Narasumber hari itu tidak semuanya mengenakan batik resmi, mereka memakai kaos yang sama dengan peserta. Seorang wartawan senior yang juga sastrawan datang membawa tumpukan kisah dari masa lalu, membagikan bagaimana satu tema tulisan bisa hidup tiga dekade bila ditulis dengan jujur. Seorang dosen sejarah yang, konon, belum menikah dan karena itu dianggap punya waktu lebih banyak untuk membaca manuskrip kuno berbicara dengan cara yang membuat nama tempat terdengar seperti puisi. Seorang budayawan menyampaikan bahwa tiap nama dusun adalah mantra; jika kita berhenti menyebutnya, ia akan hilang.

Bimbingan teknis ini, kata sebagian orang, hanyalah pelatihan. Tapi bagi sebagian lain, ini adalah cara menghidupkan kembali hal-hal kecil yang telah lama dipinggirkan oleh ambisi besar pembangunan. Ini adalah cara untuk tidak kehilangan jejak ketika nanti anak-anak bertanya: “Mengapa namanya Tukangkayu? Siapa yang dulu tinggal di Sumberberas?”

Dan para penulis itu, dalam diam dan kerja sunyi mereka, sedang berusaha menyiapkan jawabannya. Tanpa tergesa. Tanpa gemuruh. Tapi dengan sepenuh cinta kepada tempat di mana mereka berpijak.

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar

 
Support : Copyright © 2020. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Modifiksi Template Warta Blambangan
Proudly powered by Syafaat Masuk Blog