Selamat Datang di Warta Blambangan

Pages

Tampilkan postingan dengan label wisata. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label wisata. Tampilkan semua postingan

Banyuwangi Festival Kembali Menggelar Banyuwangi Ethno Carnival: Ngelukat, Ziarah Rasa dan Warna

Banyuwangi (Warta Blambangan) Seperti ombak yang tak jemu mencumbu pasir, Banyuwangi Festival kembali menggulirkan gelombang pesonanya. Tahun ini, dari perut bumi yang menyimpan kisah dan kabut ritual, Banyuwangi Ethno Carnival (BEC) akan kembali melangkah di arak-arakan warna dan makna. Pada 12 Juli mendatang, kota ini bersiap menjadi panggung terbuka bagi “Ngelukat”, sebuah tafsir visual dari upacara pensucian jiwa masyarakat Osing.



Di bawah langit yang bersahabat, Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani menuturkan, “Kita mengangkat Ngelukat sebagai tema besar. Ia bukan sekadar ritus, melainkan lorong kultural yang menghubungkan manusia dengan kesadaran batinnya. Di tengah pengetatan anggaran, pariwisata harus tetap kita jaga. Karena dengannya, denyut ekonomi kita berdetak.”


Memang, tak sekadar perayaan rupa, B-Fest selalu menjadi napas panjang yang merawat napas kolektif daerah. Ia mengikat antara wisata, seni, dan identitas dalam satu tenun yang utuh. Dan tahun ini, dengan 42 agenda yang dikurasi ketat, B-Fest menambatkan fokusnya pada gelombang wisatawan—mereka yang datang bukan hanya untuk melihat, tetapi juga mengalami.


BEC, yang sejak lama menjadi suluh di kalender event nasional, hadir sebagai gerbang yang mengantar kita menyusuri keheningan sakral tradisi. Ratusan peserta akan menyeberangi jalan kota dalam parade sejauh satu kilometer—bukan sebagai penonton sejarah, melainkan pelukisnya. Kostum-kostum yang mereka kenakan bukan sekadar kain dan warna, tetapi doa yang dijahit dalam rupa, peluh yang dijalin menjadi busana.


“Banyak yang mendaftar,” ujar Plt Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Taufik Rohman. “Audisi kami bagi dalam empat zona. Setelah terpilih, mereka akan diasah melalui workshop bersama desainer, koreografer, dan pegiat seni budaya. Di situlah jiwa Ngelukat akan dihidupkan—dalam gerak, dalam detail, dalam getar.”


Antusiasme masyarakat pun menyeruak seperti kembang api di langit malam. Tak hanya karena pesonanya, tetapi karena BEC adalah ruang di mana warga bisa menulis ulang kisah leluhurnya dalam bahasa masa kini.


Ngelukat, dalam tema tahun ini, bukan hanya tentang air yang menyentuh tubuh. Ia adalah tentang manusia yang menepi dari kebisingan, lalu kembali dalam kesadaran baru—bersih, jernih, utuh. Dan Banyuwangi, seperti biasa, merayakannya bukan dengan diam, tapi dengan tarian, cahaya, dan ingatan yang menjelma rupa.


Seperti gumam lama yang tak pernah usang: “Siapa mencintai Banyuwangi, ia takkan pernah pulang dengan jiwa yang sama.” (**)


Banyuwangi, Tanah Seribu Wajah yang Dirindukan: Ribuan Wisatawan Serbu Kota di Ujung Timur Selama Libur Waisak

BANYUWANGI – Ada yang lebih hangat dari matahari pagi di pantai Pulau Merah. Ada yang lebih dalam dari laguna bening di Pulau Bedil. Banyuwangi, kota dengan detak jantung yang tenang namun penuh kejutan, kembali menjadi pelabuhan rindu bagi ribuan wisatawan selama libur panjang Hari Raya Waisak, Sabtu hingga Selasa, 10—13 Mei 2025.


Seperti melodi yang terus diputar, Banyuwangi tak pernah kehilangan pamornya. Dari pucuk-pucuk cemara Hutan De Djawatan yang bagai lorong dongeng, hingga kawah biru Ijen yang menyala sunyi di pelupuk malam, kabupaten ini seolah menyusun harmoni alam untuk siapa pun yang datang. Gunung dan laut menyatu dalam satu helai selendang, dijahit dengan keramahan yang tak dibuat-buat.



“Alhamdulillah, libur panjang kali ini menjadi berkah bagi Banyuwangi,” ujar Bupati Ipuk Fiestiandani dengan senyum yang sejuk, Minggu (11/5/2025). “Sebagian besar destinasi kami banjir pengunjung. Ini menunjukkan bahwa Banyuwangi masih menjadi cerita yang ingin terus dibaca, dikunjungi, dan dihidupi.”


Hotel-hotel penuh sesak, bukan oleh keramaian yang gaduh, tetapi oleh wisatawan yang membawa serta keinginan sederhana: menjauh dari rutinitas dan bersentuhan dengan keteduhan. Banyak dari mereka datang sejak Jumat, menjadikan kota ini seperti halaman buku yang dibuka bersamaan oleh banyak mata.


Salah satu halaman paling memesona dalam buku itu adalah Pulau Bedil, sebutir mutiara kecil di perairan Pancer, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran. Pulau ini tak lebih luas dari sejumput doa, tapi menyimpan keindahan seluas cakrawala. Laguna tenangnya mengajak tubuh untuk berenang dan pikiran untuk tenggelam dalam ketenteraman. Mereka yang menyelam di antara terumbu karang, menyaksikan biota laut menari dalam balutan cahaya, seperti puisi yang ditulis langsung oleh Tuhan.


Taufik Rohman, Plt. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, menyampaikan bahwa peningkatan pengunjung terjadi di hampir semua destinasi. Hutan De Djawatan mencatat 3.600 jiwa datang menyusuri pohon-pohon trembesi raksasa yang seperti hidup dalam dunia magis. Di kaki Gunung Ijen, 1.800 orang mendaki dengan napas yang tertahan oleh kagum. Pantai Grand Watudodol, Pulau Merah, Pantai Mustika, Cacalan—semuanya tak pernah sunyi, tapi tak pula gaduh. Seolah-olah wisatawan datang bukan hanya untuk menikmati, tapi untuk menyatu.


“Kunjungan meningkat tiga kali lipat dibanding hari biasa,” ucap Taufik. “Bahkan banyak homestay yang tidak lagi menerima tamu karena sudah penuh sejak awal akhir pekan.”


Banyuwangi, agaknya, bukan hanya destinasi. Ia adalah pengalaman yang tak bisa direkam hanya dengan kamera, melainkan dengan hati yang bersedia menepi. Ia bukan tempat untuk sekadar dikunjungi, melainkan untuk dikenang dalam waktu yang panjang.


Di kota ini, laut tidak sekadar ombak. Gunung bukan sekadar pendakian. Dan liburan bukan sekadar pelarian. Banyuwangi, dalam libur Waisak kali ini, adalah rumah bagi ribuan jiwa yang ingin sejenak merasa pulang. (*)

Pulau Bedil: Sepenggal Nirwana di Ujung Selatan Banyuwangi

BANYUWANGI (Warta Blambangan) Seperti perempuan ayu yang tak jemu mempersembahkan sisi-sisi terbaik dari wajahnya, Banyuwangi kembali membuka tirai pesonanya. Kali ini, di ufuk selatan, terbit sebuah nama baru dalam peta destinasi: Pulau Bedil. Sebuah gugusan pulau kecil yang tak hanya memanjakan mata, namun juga menggugah jiwa yang haus petualangan.


Terletak di perairan Pancer, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Pulau Bedil—atau oleh lidah lokal disebut Mbedil—hadir bak sekeping mozaik surga yang jatuh ke bumi. Lautannya bening, seakan langit yang dituang ke bumi. Pulau-pulaunya berdiri seperti penjaga sunyi, mengelilingi lautan dalam bisu yang memukau. Dari Puncak Kemuning, salah satu bukit tertinggi di sekitar pulau, tampak panorama gugusan pulau yang membuat siapa pun terdiam—sebuah lukisan hidup yang menyaingi keelokan Raja Ampat. Maka tak berlebihan jika orang menyebutnya “Raja Ampat-nya Banyuwangi.”



“Pulau Bedil ini ibarat permata yang baru diasah. Semua elemen wisata ada di sini—alam, laut, petualangan, edukasi, dan tentu saja, kuliner. Inilah contoh destinasi masa depan Banyuwangi,” ujar Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani, saat menyambangi langsung pulau ini pada Minggu, 11 Mei 2025.


Tak cukup hanya memandang dari ketinggian, Pulau Bedil menantang siapa pun untuk menjejakkan kaki, mencelupkan tubuh, dan menyerahkan diri pada pelukan air lautnya yang memukau. Gradasi warna hijau hingga biru safir menyambut, mengundang untuk berenang atau menyelam menyapa biota laut yang menari di antara karang.


Bupati Ipuk pun tak kuasa menolak ajakan alam. Ia turut berenang, membiarkan wajahnya disentuh angin dan matanya bercermin pada jernihnya laguna. “Ingin rasanya berlama-lama di sini,” ucapnya lirih, seraya mengajak semua orang untuk datang dan merasakannya sendiri.


Perjalanan menuju Pulau Bedil dimulai dari Pantai Mustika, Pancer. Dari pusat kota Banyuwangi, butuh waktu dua jam dengan kendaraan. Dari sana, perahu-perahu nelayan siap membawa pelancong menyusuri birunya laut menuju pulau yang oleh generasi muda disebut sebagai hidden gem itu.


Saat libur panjang, seperti libur Waisak kemarin, Pulau Bedil menjadi magnet yang menarik wisatawan dari berbagai penjuru. Imelda, seorang wisatawan dari Toledo, Ternate, datang bersama keluarga besar. “Luar biasa pemandangannya. Tak kalah dengan Labuan Bajo atau Raja Ampat,” ujarnya penuh kekaguman.


Begitu juga Tommy Kurniawan dari Surabaya. “Kami baru turun dari Ijen, dan sekarang ke Pulau Bedil. Banyuwangi itu luar biasa! Dari gunung sampai lautnya, semua punya cerita,” katanya, sembari menyebut destinasi berikutnya: Hutan De Djawatan.


Saat senja mulai jatuh dan matahari bersandar di pelupuk cakrawala, wisatawan kembali ke Pantai Mustika. Di sana, aroma laut berganti menjadi aroma ikan bakar, udang goreng, dan sambal terasi. Restoran-restoran sederhana menyajikan laut dalam wujud lain: kuliner segar yang menjadi penutup manis petualangan seharian.


Pulau Bedil bukan hanya destinasi. Ia adalah narasi. Ia adalah puisi yang ditulis oleh waktu, dibacakan oleh angin, dan dikenang oleh siapa pun yang pernah singgah. Maka, bila nanti engkau merasa letih oleh hiruk kota, carilah tenangmu di selatan Banyuwangi. Mungkin, di sana, Pulau Bedil telah menunggumu. (*)

 
Support : Copyright © 2020. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Modifiksi Template Warta Blambangan
Proudly powered by Syafaat Masuk Blog