Selamat Datang di Warta Blambangan

Pages

Home » , , » Kebo-Keboan Alasmalang: Ketika Sawah Menjadi Panggung, dan Doa Menjelma Tanduk di Kepala

Kebo-Keboan Alasmalang: Ketika Sawah Menjadi Panggung, dan Doa Menjelma Tanduk di Kepala

BANYUWANGI (Warta Blambangan) Ritual Adat Kebo-Keboan yang digelar di Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, Banyuwangi, kembali menyedot perhatian ribuan mata dan batin, Minggu, 6 Juli 2025. Tradisi yang lekat dengan doa para petani ini digelar tiap bulan Suro, sebagai warisan tak tertulis dari tanah yang tak pernah ingkar musim.

Desa menjadi gemuruh. Teriakan, tabuhan, bau dupa, dan tanah basah menjadi satu dalam peristiwa budaya yang makin matang dalam konsep dan penyajian. Warga dari berbagai dusun, bukan hanya dari Krajan seperti biasanya, kini bersatu sebagai pelaku, menjadikan ritual ini lebih guyup dan penuh semangat kolektif.


“Ini bukan hanya pertunjukan. Ini adalah syukur kami atas rezeki dari langit dan bumi, sekaligus doa agar panen mendatang tak dihantam hama dan bencana,” ujar Abdul Munir, Kepala Desa Alasmalang, sambil menyeka peluh yang menyatu dengan aroma dupa di udara.

Kebo-Keboan adalah laku spiritual yang ditampilkan dengan cara tubuh petani yang dirias menjadi kerbau. Mereka mengenakan tanduk, menggenggam bajak, lalu memainkan ulang seluruh rangkaian bercocok tanam: membajak, menanam, dan mengairi sawah, seolah tanah sedang dibaca ulang dengan bahasa tubuh dan niat.

Di sela ritus itu, muncul sosok Dewi Sri—diperankan oleh seorang perempuan muda berbalut kebaya hijau padi. Ia turun dari panggung bambu, melangkah pelan di antara para ‘kerbau’, membawa beras dan benih. Di tangannya, tumbuh-tumbuhan menjadi persembahan dan harapan. Saat ia mulai menaburkan bibit ke arah para petani, penonton bersorak dan terlibat dalam fragmen interaktif—sebuah pengejaran simbolik terhadap berkah.

“Penampilan tahun ini lebih tertata, lebih menyentuh,” ucap Yulia Saraswati, seorang wisatawan dari Jakarta yang hadir bersama anaknya. “Saya merasa ikut berdoa, ikut merasa menjadi bagian dari cerita.”

Ritual ini bukan hanya memanggil kenangan agraris masa lalu, tapi juga menampar realitas modern yang kerap lupa darimana makanan berasal. Sawah yang menjadi panggung Kebo-Keboan bukanlah properti seni, melainkan tanah sungguhan yang dilalui cangkul sehari-hari.

Pemerintah desa pun menyatakan komitmen kuat mendukung kelestarian tradisi ini. Bagi mereka, Kebo-Keboan bukan sekadar warisan. Ia adalah identitas, akar dari wajah Banyuwangi yang rukun dan spiritual.

“Kami ingin ritual ini tetap hidup. Tetap punya napas. Tetap punya ruang di hati anak-anak muda,” tutup Abdul Munir.

Dan sore itu, ketika mentari tergelincir dan debu kembali mengendap, para pelaku Kebo-Keboan kembali menjadi manusia. Tapi jejak tanduk yang tertinggal di tanah basah—itulah jejak doa yang tak pernah lenyap.

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar

 
Support : Copyright © 2020. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Modifiksi Template Warta Blambangan
Proudly powered by Syafaat Masuk Blog