CFD di Blambangan ; Secangkir Kopi Pahit, Seutas Nasib Para Pedagang
Kita selalu tiba sebelum matahari tegak betul. Asap tipis dari gerobak satai telah bermesraan dengan embun yang belum selesai gugur; keduanya membentuk kabut wangi, meresapi lapisan pertama udara di Taman Blambangan. Inilah car free day—sebuah istilah yang terdengar gagah, padahal separuh aspal masih ditingkahi knalpot yang bersikeras lewat. Barangkali kebebasan di kota ini memang cuma separuh harga: cukup untuk selfie, belum sampai menebus sunyi.
Di pinggir trotoar aku duduk bersama Toekang Tjerita, budayawan yang, seperti namanya, selalu punya cerita cadangan. Kami memeluk cangkir kopi hitam seharga sepuluh ribu rupiah: kopi tanpa gula, tanpa belas kasihan. Katanya, pahit adalah cara kafein berdoa lebih khusyuk. Kami percaya saja, sebab desis air mendidih di atas kompor portabel terdengar seperti ayat pendek yang baru dihafal, singkat, panas, menegur.
Di radius seratus meter, tubuh-tubuh bergerak dalam irama masing-masing. Ada ayah yang berlari pelan sambil menuntun balita bersepatu lampu sorot merah birunya berkedip lebih rajin daripada lampu lalu lintas. Ada pasangan lansia yang saling menggandeng, langkah mereka lambat tetapi saling menegakkan. Ada pula remaja yang berjubel di depan panggung kecil, menjeritkan lirik patah hati semerdu mungkin agar rasa sakit mereka sah di hadapan orang banyak. CFD, rupanya, adalah catwalk segala jenis hidup: setiap orang berlenggok dengan kuota oksigen dan harapan setara.
Lalu, diam-diam, kelegaan pagi itu retak oleh bisik-bisik pedagang. Mereka menyebut satu kata yang gesekannya lebih tajam daripada sendok di mulut piring: relokasi. Seperti rumor yang kehilangan tuan, isu itu beterbangan di sela tenda kanopi, menggelayut di sela kabel listrik, lalu jatuh di pangkuan siapa saja yang sedang menunggu kembalian.
Seorang ibu penjual bubur mengatakan, “Kami ini sudah punya brand alamat di kepala pembeli. Pindah satu blok saja, rezeki bisa nyasar.” Ia tidak sedang berpantun; ia sedang membaca peta paling rumit bernama naluri. Seorang penjual susu menimpali tentang hoki, sesuatu yang tak bisa dikaver BPJS, tapi konon ampuh menagih cicilan sekolah anak. Jauh sebelum teori pemasaran modern, orang Jawa menaruh percaya pada titik-titik koordinat gaib: di sudut mana angin berhembus, di tikungan mana dompet mudah terbuka.
Aku menyesap kopi yang mulai suam-suam. Pahitnya menyusut, menyisakan getir yang lebih jujur. Mungkin begitulah rasa sebuah ruang ketika diusir dari kenangan. Pemerintah, kata Toekang Tjerita, sedang menata ulang. Katanya UMKM harus naik kelas; kelas mana yang dimaksud, belum jelas. Kami terdiam sebentar, membayangkan tenda-tenda baru, lebih rapi, lebih steril, tetapi apa gunanya rapi jika pembeli belum sempat menghafal bau ikan bakar atau mendengar dengung gitar tua di pojok?
Di panggung kecil, penyanyi jalanan menutup lagu dengan falseto nyaris patah. Tepuk tangan terdengar seadanya, tapi sepasang turis asing mungkin dari mana saja mengacungkan ibu jari sambil menaruh koin. Kota ini selalu bersolek sebagai destinasi, seolah yang datang pasti tersesat dengan senang hati. Namun bukankah warga asli justru sering hilang di halaman rumah sendiri, tersandung papan pengumuman “segera direvitalisasi”?
Aku teringat kalimat seorang filsuf yang dibisiki kafein: “Manusia tak pernah benar-benar pindah; yang berpindah hanya perabot harapannya.” Pedagang-pedagang itu punya harapan sederhana: tinggal di tempat yang telah menumbuhkan bau minyak goreng mereka sendiri. Bau itulah merek sesungguhnya aroma yang ditagih pelanggan setiap Minggu.
Pukul sembilan, matahari mulai mengunyah bayang-bayang. Jalan searah di sisi timur belum juga ditutup sepenuhnya; deru motor berbaur dengan dengus nafasku setelah berlari satu putaran setengah. “Kau mau tambah putaran?” tanya Toekang Tjerita. Aku geleng. Kadang berlari terlalu jauh justru menjauhkan kita dari alasan berangkat.
Sekali lagi, aku memiringkan cangkir: tetes terakhir jatuh seperti gong kecil menandai akhir pertunjukan. Pahitnya menetap di lidah, tapi hati terasa ringan. Mungkin karena aku tahu pahit bukan musuh. Ia hanya rasa yang belum sempat kita beri jeda. Seperti ketakutan pedagang pahit, ya. Namun jika kita bersedia duduk bersama, mengunyah pelan-pelan, pahit bisa menjadi navigasi: menunjukkan letak luka, mengajari cara sehat menimbang manis.
Kelak pemerintah akan memutuskan sesuatu; semoga tak lupa bahwa pasar bukan sekadar barisan tenda, melainkan koordinat ingatan ribuan perut. Sementara itu, aku akan tetap pulang Minggu depan, mengulang ritual: jalan bebas kendaraan yang separuh, kabut satai, lagu patah hati, dan secangkir kopi hitam seharga sepuluh ribu. Jika harus pindah ke seberang jalan pun, aku akan mencarinya, sebab nikmat tidak selalu berwujud manis. Nikmat kadang berpakaian pahit, berjalan terburu, tapi menunggu kita di bangku plastik paling ujung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar