Selamat Datang di Warta Blambangan

Pages

Home » » Di Antara Naskah dan Narasi: Banyuwangi Menuliskan Dirinya Kembali

Di Antara Naskah dan Narasi: Banyuwangi Menuliskan Dirinya Kembali

Banyuwangi, (Warta Blambangan) Angin pagi di kaki Gunung Ijen membawa semilir wangi kenangan, ketika 30 jiwa dari pelbagai latar berkumpul dalam ruang yang tak sekadar aula kampus — melainkan semesta kecil tempat kata-kata dilahirkan kembali. Lokakarya bertajuk Penulisan Kreatif Sastra dan Produk Kreatif Berbasis Tradisi Lisan dan Manuskrip resmi digelar di Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Banyuwangi. Selama dua hari, 28–29 Mei 2025, para penulis, pelajar, budayawan, dan akademisi menyulam ulang masa lalu dalam kain narasi yang baru dan hidup. 


Diselenggarakan oleh HISKI (Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia) Komisariat Banyuwangi, dengan dukungan Dana Indonesiana dan LPDP, lokakarya ini bukan hanya menyuarakan kata-kata, tetapi membangkitkan roh yang lama terlelap dalam tradisi lisan dan manuskrip tua. Seperti mendengar kembali kisah-kisah nenek moyang yang pernah berbisik di sela hujan malam, peserta diajak menelusuri kembali akar sejarah budaya lokal dan mengubahnya menjadi karya sastra kontemporer yang bernyawa.

Nurul Ludfia Rochmah, perempuan tangguh yang memimpin HISKI Banyuwangi, menuturkan bahwa kegiatan ini bukan semata spontanitas, melainkan hasil dari proses panjang dan reflektif. “Kami menggelar dua kali FGD sebelum lokakarya dimulai. Di situ, benih-benih pemahaman ditanam agar para peserta tidak sekadar menulis, tetapi menulis dengan kesadaran akan warisan,” ucapnya lirih, namun penuh makna.

M

Sebanyak 30 peserta hadir dengan wajah-wajah yang membawa cerita: dari ruang kelas, studio tari, bangku pemerintahan, hingga panggung pertunjukan rakyat. Masing-masing datang membawa peta batinnya sendiri, namun disatukan oleh satu kompas: cinta kepada tradisi dan hasrat untuk membisikkan ulang kisah lama dalam bahasa yang kini.

Di atas panggung ilmu, para pemikir nasional hadir menyampaikan cahaya dari pelita pengalaman: Prof. Dr. Novi Anoegrajekti, Dr. Munawar Holil, Dr. Pudentia MPSS, Dr. Tengsoe Tjahjono, dan Dr. Yeni Artanti. Di bawah panduan Sudartomo Macaryus yang tenang namun tajam, para narasumber tak hanya menyampaikan materi, tetapi merapal mantra ilmu — bahwa sastra tak lahir dari ruang hampa, melainkan dari perjumpaan manusia dengan akar dan angkasa.

Prof. Novi berbicara tentang bagaimana manuskrip lama sesungguhnya tak pernah tua, hanya menunggu dibuka. Dr. Munawar menunjukkan bahwa naskah-naskah tua Indonesia adalah museum hidup yang menunggu disapa. Sementara Pudentia menuturkan bahwa tradisi lisan bukanlah suara masa silam, melainkan napas yang terus bergema — asal kita bersedia mendengarnya kembali.

Lalu, dari rahim lokakarya itu, lahirlah anak-anak kata: sebuah buku kumpulan karya peserta, ditulis dengan darah imajinasi dan tinta kebudayaan. Tak hanya itu, para peserta juga menciptakan alih wahana sastra — menyalin suara tradisi menjadi visual multimedia yang diunggah di platform digital. Lima karya individu terbaik diberi penghargaan sebesar Rp1.000.000, bukan untuk membeli pujian, tetapi sebagai penghormatan bagi keberanian menafsir ulang masa lalu.

Tak ketinggalan, lima kelompok kreatif turut menari dalam irama kolaborasi. Mereka menggubah karya multimedia berbasis sastra lokal dan menerima dana pembinaan masing-masing Rp3.500.000 — sebagai pupuk untuk terus menumbuhkan pohon-pohon cerita yang lebih rindang.

Sebagai buah dari ranum akademik, lahir pula satu artikel ilmiah tentang alih wahana sastra Banyuwangi, disiapkan untuk mengisi halaman jurnal bereputasi SINTA. Dan lebih dari itu, empat belas karya peserta akan didaftarkan sebagai Hak Kekayaan Intelektual — karena sastra, sebagaimana tanah dan air, juga layak dilindungi dari perampasan dan pelupaan.

Namun, puncak dari segalanya bukanlah uang, bukan pula pengakuan, tetapi perayaan. Seluruh produk lokakarya ini akan dipentaskan dalam Festival dan Dialog Sastra HISKI, yang merupakan bagian dari Kalender Festival Banyuwangi 2025, bertajuk “Banyuwangi Kolo Semono” — sebuah momen di mana tradisi tidak hanya dilestarikan, tetapi dipertunjukkan, dipertanyakan, dan diciptakan ulang.

Di sanalah, sastra tak lagi sekadar tulisan di kertas, tapi menjadi tarian, lagu, visual, bahkan bisik-bisik antargenerasi. Banyuwangi, dalam cahaya lokakarya ini, telah menulis dirinya sendiri — bukan dengan pena birokrasi, tetapi dengan tangan-tangan pencinta yang menyulam antara masa lalu dan masa depan.

Di tengah zaman yang terburu dan gaduh, kegiatan ini menjadi ruang jeda. Seperti zikir panjang yang mengajak kita kembali pada akar. Seperti mantra lama yang menolak dilupakan. Dan seperti puisi, ia tak selalu harus dipahami — cukup dirasakan, dan akan hidup di dalam hati mereka yang membacanya.

Sastra, tradisi, dan inovasi — bukan tiga kata yang saling bertentangan, tetapi satu irama yang disatukan oleh Banyuwangi di hari-hari akhir Mei ini.

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar

 
Support : Copyright © 2020. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Modifiksi Template Warta Blambangan
Proudly powered by Syafaat Masuk Blog