Lemahbang Dewo, (Warta Blambangan) Sabtu Sore (17/05/2025) menyelinap pelan di desa Lemahbang Dewo. Langit seperti kanvas senja yang digores lembayung. Di antara rindang bonsai tua yang seolah menyimpan rahasia zaman, sebuah padepokan milik Profesor Jaenuri menjadi saksi bisu pertemuan mereka yang masih percaya bahwa budaya bukan sekadar tontonan, melainkan tuntunan.
Diskusi dimulai pelan. Di hadapan gelas kaca yang mulai berembun dan kue pisang yang tak sempat dipilih, Aekanu Hariyono dari Killing Osing membuka suara. Pria yang dikenal menyulap panggung-panggung musik menjadi altar kesadaran budaya itu berkata lirih tapi tegas,
“Seni itu bukan wilayah liar. Ia punya pakem. Sejak zaman keraton, sampai zaman kemerdekaan, ada garis-garis yang tak boleh dilanggar. Kita boleh kreatif, tapi tak bisa liar tanpa arah.”
Sejenak hening. Angin sore membawa aroma kopi dari dapur kayu. Lalu, suara Syafaat, Ketua Lentera Sastra Banyuwangi, memecah diam. Wajahnya seperti sedang membaca kitab tua yang isinya retak di tengah.
“Pakem itu roh,” katanya, “tapi agar roh itu tidak membeku, ia harus disiram sentuhan religi. Ruh yang ditinggal nilai-nilai langit akan hanyut di sungai gemerlap yang membawa kita pada pamer tubuh dan goyangan tak layak.”
Diskusi itu bukan seminar. Ia seperti zikir diam-diam. Sebuah sembahyang tanpa sajadah. Hadir pula Fatah Yasin Nor, penyair yang menulis dari patahan sejarah, dan Ribut Kalembuan, budayawan yang biasa menyampaikan sindiran lewat parikan dan celetuk. Tapi sore itu, Ribut lebih banyak diam. Mungkin terlalu pedih untuk diucapkan.
KRT Ilham, lelaki abdi negara yang dikenal sebagai ahli keris dan pawang hujan dalam upacara Proklamasi di Ibu Kota Nusantara, hanya mengangguk dan berkata pendek,
“Dulu, hujan pun tahu malu saat hendak turun di waktu sakral. Tapi sekarang, manusia malah bersorak saat seni kehilangan pakaiannya.”
Sementara itu, Moh. Husen, penulis yang menjadikan tiap lembah dan gang kampung sebagai aksara hidup, mencatat. Entah esok catatan itu menjelma sajak atau esai pedih tentang zaman yang menertawakan dirinya sendiri.
Topik utama sore itu adalah pertunjukan seni yang belum lama ini digelar, dan menuai kehebohan karena menghadirkan atraksi yang menjurus ke pornografi. Tubuh yang dipamerkan di panggung bukan untuk memuliakan rasa, melainkan untuk dijual pada mata yang lapar dan mulut yang bersorak. Seni ditarik ke lembah murahan. Budaya Banyuwangi, yang semestinya harum oleh dupa dan kidung, justru berbau kosmetik murahan dan parfum panggung.
Tak ada nama yang disebut. Tak ada personal yang disalahkan. Yang mereka persoalkan adalah arah. Bahwa arah seni telah bergeser. Bahwa kompas budaya kehilangan utara. Bahwa “kreativitas” kini menjadi dalih untuk segala hal, termasuk yang menjatuhkan marwah dan mencoreng warisan luhur.
Sore merambat ke malam. Lampu minyak dinyalakan. Tak ada resolusi resmi. Tak ada notulensi. Tapi diskusi itu menyisakan bara. Mereka pulang dengan dada yang masih hangat oleh kopi dan kata. Budaya belum mati, pikir mereka. Selama masih ada yang resah. Selama masih ada yang berani bicara, meski panggungnya hanya bale bambu di tengah desa.
Dan Padepokan Jaenuri, di tengah sunyi Lemahbang Dewo, kembali menjadi altar. Tempat doa-doa kebudayaan dinaikkan. Dengan bahasa. Dengan cinta. Dengan harapan, bahwa anak cucu kita kelak tidak sekadar menonton tubuh, tapi merasakan ruh.
— Redaksi Lentera Budaya Banyuwangi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar