Yo Mung, Ketika Puisi Memilih Diam untuk Bicara kepada
Tuhan
Oleh : Syafaat
Ada buku puisi yang datang dengan gemuruh metafora,
berisik oleh keindahan yang ingin segera dipamerkan, seolah takut tak sempat
didengar. Namun ada pula buku puisi yang hadir nyaris tanpa suara, seperti
seseorang yang duduk di sudut ruangan, tidak banyak bicara, tidak mencari pusat
perhatian, tetapi setiap kalimat yang terucap darinya membuat kita menoleh dan
diam. Yo Mung karya Samsudin Adilawi adalah jenis yang kedua. Ia tidak
mengetuk pintu dengan keras; ia menunggu, dan justru karena itu kehadirannya
terasa lebih lama tinggal di dalam dada.
Sampulnya sederhana, nyaris bersahaja, seakan menolak
segala kemungkinan kemewahan visual. Kesederhanaan itu bukan kekurangan,
melainkan sikap batin. Ia seperti sajadah tua yang warnanya mulai pudar, tetapi
justru di sanalah doa-doa panjang pernah diserap dengan khusyuk. Judulnya
memakai bahasa daerah, Yo Mung, tanpa catatan kaki, tanpa keterangan
tambahan. Seolah buku ini tidak berniat menjelaskan apa pun kepada siapa pun.
Ia hanya menyodorkan diri, dan selebihnya, menyerahkan segalanya kepada
kesiapan batin pembacanya. Siapa yang datang dengan tergesa, akan melewatinya
begitu saja. Siapa yang datang dengan hening, akan menemukan sesuatu yang
menetap.
Pada awalnya, saya mengira puisi-puisi di dalamnya adalah
antologi puisi berbahasa Osing, semata karena judulnya. Dugaan itu terasa
wajar, sebab meskipun Samsudin Adilawi berasal dari garis darah Madura, ia
hidup dan bernafas cukup lama dalam lanskap budaya Osing. Ada kedekatan yang
tidak dibuat-buat, sebuah penghayatan yang lahir dari pergaulan batin, bukan
sekadar pengamatan dari luar. Namun semakin jauh membaca, saya sadar: Yo
Mung bukan soal bahasa daerah sebagai identitas linguistik, melainkan
sebagai isyarat spiritual. Bahasa daerah di sini berfungsi seperti pintu kecil
menuju ruang sunyi, tempat makna tidak dipamerkan, melainkan disimpan.
Dalam tradisi religi dan sufistik, tidak semua kebenaran
perlu diterangkan dengan terang-benderang. Sebagian justru harus disamarkan,
agar pembaca mau berjalan sendiri, tersesat sebentar, lalu menemukan cahaya
dengan caranya masing-masing. Yo Mung bekerja dengan cara itu. Ia tidak
mengajak pembaca memahami, melainkan mengalami. Puisi-puisinya seperti gumam
doa yang tidak selesai di bibir, tetapi dilanjutkan oleh hati. Kesederhanaan Yo
Mung pada akhirnya menjadi semacam laku asketik. Ia menanggalkan segala yang
berlebih: kata, baris, bahkan penjelasan. Yang tersisa hanyalah inti, sebuah
kesadaran tentang hadirnya Yang Maha Dekat di tengah bahasa yang sangat
manusiawi. Dan di sanalah kekuatan buku ini bersemayam: ia tidak membuat kita
kagum pada penyairnya, melainkan membuat kita kembali menengok ke dalam diri,
bertanya dengan pelan, dan mungkin, berdoa tanpa kata.
Buku ini terasa berbeda dibandingkan karya-karya Samsudin
Adilawi sebelumnya, seperti Jaran Goyang (2009), Haiku Sunrise of Java(2011),
Selingkar Pedang Jalan pulang (2018), Ribang Kala Aksa (2020), maupun Rahim
Suci Bunda Sri Tanjung (2022). Jika dahulu ia lebih lapang dalam bertutur, di Yo
Mung ia justru memilih jalan sunyi: puisi-puisi sangat singkat, ada yang
hanya dua baris, tiga baris, empat baris. Bahkan ada yang hanya terdiri dari
sebelas kata. Sejenak saya mengira ada salah cetak. Tetapi justru di situlah
godaannya. Kata-kata yang terasa “aneh”, belum pernah saya jumpai sebelumnya,
memaksa saya membuka kembali Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebuah tindakan yang
kini jarang dilakukan pembaca puisi. Buku ini, secara halus, memaksa kita untuk
pelan-pelan, untuk tidak tergesa.
Puisi-puisi dalam Yo Mung memang tampak sederhana dari segi bahasa, tetapi maknanya sama sekali tidak sederhana. Ini seperti doa yang diucapkan dengan suara lirih: pendek, padat, dan tidak memberi ruang bagi basa-basi. Ada puisi yang berbicara tentang kehadiran yang serentak: di depan, di belakang, di kanan, di kiri, di atas, di bawah, dalam waktu yang sama. “Bukan engkau, bukan pula aku,” katanya, Ini bukan sekadar permainan kata, melainkan pengalaman spiritual yang sangat sufi. Sebuah kesadaran tentang Yang Hadir tanpa bentuk, tanpa jarak, tanpa nama.
Tidak mengherankan jika Acep Zamzam Noor, seorang
sastrawan, penyair, sekaligus perupa terkemuka Indonesia asal Tasikmalaya, yang
selama ini dikenal konsisten merawat napas religiositas dan sufisme dalam
karya-karyanya, memberikan endorsement yang begitu jernih dan terukur.
Apresiasi itu bukan sekadar pujian personal, melainkan semacam pengakuan
estetik dan spiritual atas cara Yo Mung bekerja sebagai puisi. Menurut
Acep, puisi-puisi dalam antologi ini terasa menyejukkan. Kesejukan yang
dimaksud bukanlah dingin yang menjauhkan, melainkan keteduhan yang membuat
pembaca betah berdiam. Ungkapan-ungkapannya singkat, bening, dan menyaran, tidak
memaksa makna datang sekaligus, tetapi membiarkannya merembes perlahan ke dalam
kesadaran. Dari peristiwa keseharian yang tampak biasa—pagi, ingatan, rindu,
luka, Samsudin Adilawi mengekstraknya menjadi renungan kecil, lalu
menghadirkannya kembali sebagai pengalaman batin yang bisa dirasakan siapa
saja.
Di titik inilah puisi-puisi Yo Mung bergerak dari
yang personal menuju yang universal. Apa yang mula-mula tampak sebagai gumam
seorang penyair, perlahan berubah menjadi cermin bagi banyak orang. Pembaca
menemukan dirinya sendiri di sana: dalam lupa dan ingat, dalam sunyi dan
sembah, dalam sejarah yang tak pernah benar-benar selesai. Puisi-puisi ini
tidak menjelaskan, tetapi mengundang; tidak memberi jawaban, tetapi membuka
ruang tafsir. Acep juga menandai adanya keselarasan yang jarang ditemui: antara
bentuk dan makna, antara kekokohan wadah dan kelembutan isi. Puisi-puisi yang
sangat singkat itu tidak kehilangan bobot; justru kepadatannya menjadi penopang
makna. Seolah setiap kata telah melalui proses pengendapan panjang, disaring
dari yang berlebih, hingga yang tersisa hanyalah inti. Di sini, bentuk bukan
sekadar kemasan, melainkan bagian tak terpisahkan dari makna itu sendiri.
Dalam konteks itu, endorsement Acep Zamzam Noor terasa
sepenuhnya sepadan. Ia datang dari seorang penyair yang memahami bahwa dalam
tradisi sufistik, kata yang paling kuat sering kali justru yang paling hemat.
Dan Yo Mung, dengan segala kesederhanaannya, membuktikan bahwa puisi
yang sejati tidak selalu harus panjang untuk menjadi dalam, dan tidak harus
lantang untuk menjadi menggugah.
Karena itu pula, puisi-puisi dalam Yo Mung tidak
berteriak. Ia tidak datang dengan retorika besar atau metafora yang memamerkan
kecakapan bahasa. Namun ia juga tidak bersembunyi dalam kerumitan yang
eksklusif. Ia hadir sebagaimana air: tenang, jernih, nyaris tak bersuara,
tetapi memiliki daya yang pelan dan pasti. Seperti air yang terus mengalir,
puisi-puisi ini sanggup mengikis batu, menggerus kekerasan batin, mengendapkan
kegaduhan pikiran, dan perlahan membuka ruang kontemplasi yang lebih dalam. Sebagian
puisi bahkan mendekati haiku: singkat, padat, tepat takarannya. Namun berbeda
dengan haiku yang sering menggantungkan diri pada lanskap alam, Yo Mung
menggantungkan diri pada lanskap batin. Ia mengajak pembaca untuk berhenti
sejenak, menarik napas, lalu bertanya: apa yang sebenarnya sedang kita rasakan,
ingat, atau lupakan hari ini?
Antologi ini ditulis dalam rentang waktu yang panjang,
sejak 2004, seolah ia lahir dari sebuah tirakat kreatif yang sabar dan
berlapis. Waktu dalam Yo Mung bukan sekadar angka tahun, melainkan ruang
pengendapan batin, tempat kata-kata dibiarkan matang, menua, bahkan terluka,
sebelum akhirnya diucapkan. Karena itu, pembagian temanya terasa bukan sebagai
klasifikasi akademik, melainkan jejak-jejak spiritual, semacam peta perjalanan
jiwa seorang penyair yang berjalan pelan, sering berhenti, kadang tersesat, namun
terus melangkah.
Tema lupa ingat luka membuka pintu kesadaran
paling awal: bahwa manusia adalah makhluk yang ingatannya rapuh, tetapi lukanya
setia. Di sini, lupa dan ingat tidak saling meniadakan, melainkan saling
menguji. Luka menjadi guru yang paling jujur, mengingatkan bahwa iman sering
tumbuh justru dari bagian diri yang pernah retak. Lalu hadir ngeong rindu,
sebuah wilayah batin yang lebih lirih dan personal. Rindu dalam bagian ini
tidak selalu ditujukan pada manusia; ia bisa menjelma kerinduan pada asal, pada
kesunyian pertama, pada Tuhan yang terasa dekat sekaligus jauh. Kata “ngeong”
sendiri seperti doa yang belum sempurna, gumaman makhluk yang sadar akan
kekurangannya, tetapi tetap ingin didengar.
Tema resolusi telur membawa pembaca ke wilayah
simbolik yang unik. Telur adalah awal kehidupan, tetapi juga rapuh. Di sini,
penyair seperti sedang berbicara tentang niat, tentang tekad yang masih lembut,
tentang iman yang belum menetas sepenuhnya. Resolusi tidak digambarkan sebagai
keputusan besar, melainkan sebagai kesediaan untuk menjaga sesuatu yang kecil
agar tidak pecah sebelum waktunya. Pada lembah puisi sembah penyair,
puisi menjelma doa. Kata-kata tidak lagi sekadar alat ekspresi, melainkan
sarana sujud. Lembah menjadi metafor kerendahan hati, tempat penyair
menanggalkan keakuan, membiarkan puisinya berlutut di hadapan Yang Tak Terucap.
Di sini, menulis adalah ibadah, dan ibadah adalah keheningan yang diupayakan
lewat bahasa.
Tema gandrung dalam darahku menghadirkan dimensi
tubuh dan kultural. Gandrung tidak hanya dibaca sebagai tradisi atau kesenian,
tetapi sebagai warisan batin yang mengalir dalam darah, menyatu dengan
identitas dan spiritualitas. Tubuh tidak dipisahkan dari iman; justru melalui
tubuh, ingatan kolektif dan rasa syukur menemukan bentuknya. Sementara itu, palu
sejarah adalah ruang kontemplasi paling sunyi sekaligus paling berat.
Sejarah dihadirkan bukan sebagai deretan peristiwa, melainkan sebagai luka
panjang yang diwariskan. Di sini, waktu tidak benar-benar berlalu; ia menetap
dalam ingatan, dalam bencana, dalam doa-doa yang terus diulang. Puisi-puisi
pada bagian ini terasa seperti zikir atas tragedi, pengakuan bahwa manusia
sering belajar terlambat, dan bahwa sejarah kerap datang kembali untuk mengetuk
nurani.
Keseluruhan tema dalam antologi ini tidak berdiri
terpisah, melainkan saling menyambung seperti ruas tasbih. Ia menandai
perjalanan batin seorang penyair yang terus bergulat dengan ingatan, rindu,
tubuh, sejarah, dan tentu saja luka, namun tidak untuk meratapinya semata,
melainkan untuk menafsirkannya sebagai jalan pulang. Dalam Yo Mung,
puisi menjadi cara untuk tetap beriman di tengah retak, dan bahasa menjadi
jembatan sunyi antara manusia dan Yang Maha Hadir.
Salah satu puisi yang paling menggugah adalah puisi
tentang tsunami Aceh. Luka itu terjadi dua puluh tahun lalu, tetapi ditulis
kembali, dibaca kembali, seolah luka memang tidak pernah sepenuhnya selesai.
Dan ketika buku ini hadir kembali di saat Indonesia kembali dilanda bencana, meski
bukan tsunami, kita sadar bahwa sejarah punya kebiasaan aneh: ia berulang,
tetapi selalu dengan bentuk luka yang berbeda. Luka di atas luka. Di sinilah Yo
Mung menjadi relevan secara religius. Ia tidak menggurui, tidak menyebut
nama Tuhan secara berlebihan, tetapi justru menghadirkan Tuhan dalam
keheningan, dalam jeda antarbaris, dalam kata-kata yang seolah kurang, tetapi
justru cukup. Puisi-puisi ini mengajarkan bahwa iman tidak selalu perlu kalimat
panjang; kadang ia hanya perlu keberanian untuk diam dan jujur pada getar
paling dalam diri.
Yo Mung bukan
buku yang mudah, tetapi justru karena itu ia penting. Ia mengajak pembaca untuk
tidak sekadar membaca, melainkan mengalami. Membaca pelan-pelan. Mengulang.
Merenung. Dan pada akhirnya, mungkin, berdoa, tanpa sadar bahwa kita sedang
berdoa.
Penulis adalah Ketua Lentera Sastra Banyuwangi

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar