Pages

Home » » Diskusi Natal Group KUA Innovation

Diskusi Natal Group KUA Innovation

 Diskusi Natal Group KUA Innovation

 

Setiap Natal, perbincangan itu selalu kembali. Seperti hujan tahunan yang tidak pernah benar-benar kita tunggu, tetapi selalu kita kenali bunyinya. Tidak pernah ada kesepakatan final, kecuali satu hal yang justru paling manusiawi: saling menghormati perbedaan pendapat.

Pagi itu saya tidak berniat membaca apa pun selain pesan-pesan pendek yang lewat seperti angin: salam yang singgah sebentar, emotikon yang tersenyum tanpa suara, atau pengingat agenda yang cepat terlupa. Jari saya hanya ingin lewat, tidak menetap. Namun grup WhatsApp KUA Innovation justru menahan geraknya. Bukan karena gaduh, bukan pula karena emosi, melainkan karena kehati-hatiannya yang nyaris terasa seperti jeda doa. Di ruang kecil bernama gawai itu, berkumpul para penghulu dan pegawai Kantor Urusan Agama, orang-orang yang hidupnya sehari-hari bersentuhan dengan kata “batas”. Batas administrasi yang harus presisi, batas hukum yang tidak boleh dilangkahi, dan batas akidah yang dijaga dengan kesungguhan batin. Mereka bukan sekadar pembaca dalil, melainkan penghafalnya. Bukan hanya pengutip ayat, tetapi penjaga maknanya agar tidak tergelincir ke tangan emosi.


Saya membaca pelan-pelan, seperti orang melangkah di lantai kayu tua agar tidak menimbulkan bunyi. Setiap kalimat terasa ditimbang, setiap kata seolah diletakkan setelah melalui wudu pikiran. Tidak ada umpatan, tidak ada klaim paling suci. Yang ada hanyalah kehati-hatian: bagaimana bersikap tanpa merusak iman, dan bagaimana menjaga iman tanpa melukai kemanusiaan. Mereka adalah orang-orang pilihan yang tahu bahwa dalil bukan senjata, melainkan amanah. Bahwa ayat dan hadis bukan untuk memenangkan perdebatan, melainkan untuk menuntun sikap. Di tangan mereka, toleransi tidak dipahami sebagai kelonggaran tanpa batas, tetapi sebagai disiplin akhlak. Menjaga agar perbedaan tetap berada di jalurnya, tidak tumpah menjadi curiga, apalagi kebencian.

Di grup itu, saya merasakan satu hal yang jarang terdengar di ruang publik: kesadaran bahwa menjadi penjaga toleransi beragama justru menuntut keteguhan iman. Sebab toleransi yang lahir dari iman rapuh hanya akan menjadi basa-basi. Sementara toleransi yang lahir dari iman yang kokoh tahu kapan harus mendekat, dan kapan harus berhenti satu langkah sebelum melanggar, saya belajar bahwa kehati-hatian juga bentuk keberanian. Bahwa menahan diri untuk tidak tergesa-gesa berkesimpulan adalah laku spiritual. Dan bahwa di tangan para penghulu, yang terbiasa berdiri di antara teks dan realitas, agama tidak diteriakkan, melainkan dirawat, agar tetap menjadi cahaya yang menuntun, bukan api yang membakar.

Saya tergoda untuk menggulir pesan-pesan itu dari atas. Pelan-pelan. Seperti orang membaca kitab tua yang halaman-halamannya sudah sering diperdebatkan, tetapi tak pernah benar-benar selesai ditafsirkan. Di sana, toleransi tidak diperlakukan sebagai slogan. Ia dibicarakan sebagai garis. Ada yang berkata: toleransi adalah membiarkan perbedaan, bukan berkolaborasi dalam ibadah. Ada yang menegaskan: memberi hadiah di hari raya agama lain adalah haram menurut empat mazhab. Ada pula yang mengingatkan: hadiah di luar hari raya boleh, sebab kemanusiaan tidak mengenal kalender teologis.

Diskusi itu tenang, meski isinya tajam. Seperti pisau yang diletakkan di atas meja, tidak diarahkan ke leher siapa pun. Saya membaca satu kalimat yang terasa seperti paku: menjaga kemurnian akidah lebih penting dari segalanya. Nama Buya Hamka disebut. Tentang keberanian meletakkan jabatan demi keyakinan. Di sini, akidah diposisikan sebagai rumah. Bukan ruang tamu, melainkan ruang sujud. Tidak semua orang boleh masuk, bahkan dengan niat baik. Namun suara lain menyela, tidak dengan teriakan, melainkan dengan argumen: memberi hadiah dan mengucap selamat bukan urusan ibadah, melainkan urusan kemanusiaan. Ukhuwah basyariyah, kata mereka, persaudaraan manusia yang lahir lebih dulu daripada sekat-sekat iman. Di titik ini, toleransi bukan lagi jarak dingin, melainkan jabat tangan dari pagar ke pagar.

Perdebatan tentang ucapan Natal sejatinya bukan soal dua kata: selamat dan Natal. Ia adalah perbincangan tentang rasa takut dan rasa percaya. Takut bahwa satu ucapan akan menggeser tauhid; percaya bahwa satu ucapan hanyalah etika sosial. Di antara takut dan percaya itu, manusia sering berdiri kikuk, tak sepenuhnya yakin ke mana harus melangkah. Sejarah pun dipanggil. Ada yang berkata: Natal baru dirayakan abad keempat; Nabi tiak pernah mengucapkannya. Yang lain menjawab pelan: Nabi juga tidak hidup di dunia media sosial, tidak menjadi ASN, dan tidak memimpin masyarakat plural seperti hari ini. Sejarah diminta menjadi saksi, sementara konteks terus berjalan tanpa menunggu persetujuan masa lalu.

Yang menenangkan, diskusi ini tidak berakhir dengan vonis. Ia berakhir dengan kesadaran: kembali ke masing-masing. Kalimat sederhana, tetapi di situlah letak kedewasaan iman. Tidak semua perbedaan harus dimenangkan. Ada perbedaan yang cukup dipahami. Bagi saya, toleransi memang bukan menyamakan iman. Tetapi ia juga bukan sekadar membiarkan dari jauh dengan wajah dingin. Toleransi adalah seni menjaga jarak tanpa memutus silaturahmi. Seperti tetangga yang paham batas pekarangan, tetapi tetap saling menyapa di pagi hari.

QS. Al-Kafirun kerap dikutip: Lakum dinukum waliyadin. Untukmu agamamu, untukku agamaku. Ayat ini sering dipahami sebagai tembok tinggi, padahal ia lebih mirip pagar rendah, cukup untuk menandai wilayah keyakinan, tidak cukup untuk menghalangi pandangan. Dalam fikih sosial, ayat ini bukan hanya penegasan identitas, melainkan etika hidup berdampingan: iman dijaga, konflik dicegah. QS. Maryam ayat 33 bahkan menunjukkan bahwa salam dalam wahyu dapat melintasi sejarah figur yang berbeda keyakinan, tanpa harus mengadopsi teologinya. Di sinilah teks suci menuntut pembacaan yang tidak hanya literal, tetapi juga berjiwa maqashid: mencari kemaslahatan, bukan sekadar kemenangan argumen.

Meminjam bahasa Gus Dur, toleransi bukan kompromi iman, melainkan konsekuensi akhlak. Agama kehilangan maknanya ketika ia tidak lagi menjaga martabat manusia. Iman yang matang tidak panik oleh ucapan, sebab ia tahu siapa dirinya, dan kepada siapa ia bersujud. Natal akan selalu datang setiap tahun. Perdebatan pun mungkin akan selalu mengikutinya. Tidak pernah ada kesepakatan mutlak, dan mungkin memang tidak perlu. Sebab yang paling penting bukan siapa yang paling benar, melainkan siapa yang paling mampu menjaga adab: kepada Tuhan, dan kepada sesama manusia.

Pada akhirnya, teks suci hadir bukan sebagai peluru, melainkan sebagai jeda. Bukan untuk melukai, melainkan untuk mengingatkan: bahwa agama juga mengenal bahasa damai, bahasa yang menjaga iman tanpa mencederai kemanusiaan. (Syafaat)

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar

 
Copyright © 2013. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Template Modify by Blogger Tutorial
Proudly powered by Blogger