Ibadah Sosial di Tengah Krisis Ekologis dan Hegemoni Elit.
Emi Hidayati – Dosen Fak.
Dakwah UNIIB
Rasanya telah terlalu sering,
kita sebagai bangsa yang kaya sumberdaya alam ini, menyaksikan rangkaian
bencana ekologis yang terus berulang: banjir besar di berbagai wilayah, longsor
akibat penebangan hutan, krisis air bersih, serta konflik agraria yang
bersumber dari pemberian konsesi tambang dan penguasaan sumber daya alam oleh
segelintir elit dan organisasi. Fenomena ini kerap dibingkai sebagai persoalan
teknis tata kelola lingkungan atau kegagalan mitigasi bencana. Namun, jika
ditelusuri lebih dalam, akar masalahnya bukan semata terletak pada aspek teknis
pengelolaan sumber daya, melainkan pada hilangnya musyawarah substantif dalam
proses pengambilan keputusan public yaitu tentang melibatkan seluruh pemangku
kepentingan, jujur, berbasis ilmu, dan berpihak pada kemaslahatan. Senyatanya
musyawarah merupakan ibadah sosial di tengah krisis ekologis
dan hegemoni elit.
Kebijakan yang menyangkut ruang
hidup—hutan, sungai, tanah, dan energi—lebih sering ditentukan secara elitis,
tertutup, dan berbasis kalkulasi risiko ekonomi serta peluang penguasaan sumber
daya. Orientasi kemaslahatan masyarakat yang terdampak justru menjadi variabel
sekunder. Dalam situasi ini, musyawarah direduksi menjadi formalitas
administratif atau sekadar sosialisasi kebijakan yang telah diputuskan
sebelumnya. Padahal, bagi masyarakat yang hidup di sekitar hutan, sungai, dan
wilayah tambang, keputusan tersebut menyentuh langsung keberlangsungan hidup
mereka.
Kondisi ini mencerminkan pengingkaran terhadap prinsip dasar kepemimpinan dan pengelolaan ruang hidup. Pesan agama menegaskan bahwa urusan publik seharusnya diputuskan melalui musyawarah (QS. Ash-Shura: 38), sementara hadis Nabi SAW tentang kepemilikan bersama atas padang rumput, air, dan api menegaskan bahwa sumber daya strategis adalah milik bersama umat. Pesan normatif hadis ini jelas: sumber daya yang menyangkut hajat hidup orang banyak tidak boleh dikelola secara sepihak atau semata-mata berdasarkan logika keuntungan dan risiko ekonomi.
Ketika musyawarah diabaikan, yang
terjadi adalah apa yang dalam teori modern disebut sebagai Tragedy of the
Commons. Garrett Hardin menjelaskan bahwa sumber daya bersama akan rusak
ketika dikuasai oleh aktor-aktor yang bertindak rasional demi kepentingan
sempit tanpa kesepakatan kolektif. Banjir akibat deforestasi, konflik lahan,
dan degradasi lingkungan adalah manifestasi nyata dari tragedi tersebut. Agama
mengajarkan, melalui prinsip amanah dan larangan menimbulkan mudarat (lā ḍarar
wa lā ḍirār), telah lama mengingatkan bahwa eksploitasi ruang hidup tanpa
pertimbangan kemaslahatan adalah bentuk kezaliman struktural.
Dari sudut pandang teori politik kontemporer, pengabaian musyawarah juga
berarti menanggalkan legitimasi moral kebijakan. Habermas menekankan bahwa
keputusan publik hanya sah ketika lahir dari proses deliberatif yang inklusif (
musyawarah mufakat ), di mana suara masyarakat terdampak menjadi bagian dari
diskursus rasional. Tanpa itu, kebijakan berubah menjadi instrumen
dominasi elit. Dalam konteks ini, kegagalan negara bukan terletak pada
keberadaan izin atau institusi, tetapi pada absennya ruang deliberasi yang
sungguh-sungguh.
Lebih jauh, krisis ekologis
nasional ini juga menunjukkan krisis amanah kepemimpinan, yang menempatkan
pemimpin sebagai pelayan kepentingan public ( Khodimul ‘ummah). Ketika
kebijakan sumber daya alam lebih berpihak pada kepentingan konsesi daripada
kemaslahatan masyarakat, maka yang runtuh bukan hanya lingkungan, tetapi juga
kepercayaan publik. Yaitu menghidupkan kembali musyawarah dalam pengambilan
keputusan atas ruang hidup harus dipahami sebagai ibadah sosial yang paling nyata. Ia bukan sekadar mekanisme
demokratis, melainkan tindakan etis untuk menjaga kehidupan bersama. Tanpa
musyawarah, “ niatan memaslahatkan ummat “ akan kehilangan ruh keadilan; tanpa
keadilan, ruang hidup berubah menjadi sumber bencana.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar