Banyuwangi, ( Warta Blambangan) Kamis malam (29/5/25) — Angin berembus pelan di palinggihan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi. Bulan separuh wajahnya menengadah, menyaksikan kata-kata menari di udara. Dunia itu obah, dunia itu berubah. Seperti air yang tak mau diam, sastra pun mengalir, menggulung logika dan rasa dalam satu gelas wacana.
Didampingi oleh Syafaat, Ketua Lentera Sastra Banyuwangi, diskusi ini bukan sekadar ajang bertukar pikiran. Ia adalah perjamuan batin, tempat kenyataan dirajam oleh pertanyaan dan keindahan dibalut kesadaran. Tengsoe membuka perbincangan dengan metafora yang menghentak, “Di tangan ilmuwan, A menjadi A. Tapi di tangan penyair, A bisa menjadi A plus.”
Dan malam pun mulai menggigil oleh kehangatan makna.
Tak ada yang terlalu baku dalam diskusi ini. Kalimat-kalimat lahir seperti kabut di pagi hari—tak perlu padat, asal menyentuh. Tengsoe melemparkan sebuah renungan yang membuat banyak kepala mengangguk dalam diam. Menurutnya, penyair bukan tukang catat, tapi pemahat jiwa. “Tugas penyair bukan menduplikasi kenyataan, tapi memberi napas baru pada realita yang biasa-biasa saja,” katanya, seolah membelah langit kata yang selama ini stagnan dalam logika.
Ada pula mitos yang dibongkar malam itu. Bahwa sastrawan hidup dalam lapar, bahwa puisi hanya menyentuh angin. “Katanya sastrawan tidak bisa hidup dari sastra. Tapi lihatlah, banyak penyair yang justru hidup dari puisi. Mereka keliling dunia karena kata-katanya,” ucapnya lirih namun tajam, seperti mata pena yang menari di atas luka.
Ia mengajak semua, dari petani sampai nelayan, dari sopir sampai guru honorer, untuk menulis. Tak perlu rumit. Tak perlu jadi sastrawan dulu untuk mulai merangkai kalimat. Cukup sadari hidup sebagai teks yang menunggu dibaca, ditulis, dan diarsipkan.
Malam tak hanya berbicara tentang puisi dan manusia, tetapi juga tentang zaman yang kian lihai mencipta ilusi. Ketika pertanyaan soal AI meluncur ke udara, Tengsoe menjawab dengan senyum penuh arti. “AI itu cerdas. Tapi tidak bisa nakal. Dan justru kenakalan itulah yang melahirkan puisi,” katanya. Kalimat itu, seperti tamparan sekaligus pelukan untuk zaman digital yang kehilangan denyut rasa.
Baginya, puisi bukan sekadar teks. Ia adalah resonansi batin. Maka dari itu, ia mengingatkan agar hasil kerja mesin harus tetap melalui mata dan hati manusia. Sebab puisi, seperti juga cinta, tak bisa dirumuskan oleh algoritma.
“Orang yang menulis tapi tidak membaca, puisinya akan terasa hampa. Pengetahuannya sempit. Terlihat dari cara memilih kata dan membangun metafora,” lanjutnya. Di titik ini, sastra seolah bukan sekadar seni, tapi jalan hidup yang memerlukan asupan, olah rasa, dan napas panjang.
Tokoh dan Tekad, Imajinasi dan Sindiran
Di balik canda itu, ada keseriusan yang kentara. Hakim Said menegaskan dukungannya pada geliat kesusastraan lokal. Rumah Kebangsaan, katanya, akan menjadi rumah bagi siapa pun yang mau menyulap realitas menjadi kemungkinan.
Hasan Basri, dengan suara datar namun dalam, menyentil kebiasaan lomba puisi di sekolah. “Puisi tidak seharusnya dilombakan. Tapi kenyataannya, justru dijadikan ajang kompetisi. Kita perlu rumusan baru agar ekspresi tidak dikekang format,” katanya. Ia menyinggung pentingnya membuat indikator baru untuk membaca puisi sebagai jiwa, bukan sebagai teknik.
Diskusi makin hangat ketika para peserta mulai berbagi. Seorang pemuda bertanya bagaimana caranya menjadikan obrolan di warung kopi atau tontonan televisi sebagai cerita pendek yang menggugah. Tengsoe menjawab pendek tapi menohok, “Menjadi penulis adalah menjadi pembaca yang baik. Entah itu membaca buku, membaca peristiwa, atau membaca manusia.”
Kalimat itu menggantung di udara. Seperti puisi yang tak selesai, atau mungkin sengaja dibiarkan terbuka agar siapa pun bisa mengisinya dengan tafsir masing-masing.
Sebagai penutup, beberapa peserta membacakan puisi. Tak ada panggung tinggi. Tak ada batas antara penonton dan pembaca. Hanya ada suara, dan kata-kata yang mengalir seperti sungai kecil di tengah kota yang kian berisik.
Ketua DKB menutup acara dengan catatan kecil: bahwa malam ini bukan akhir dari pertemuan, melainkan pembuka dari perjalanan panjang. Perjalanan menggali batin, menyulam lokalitas, dan menghidupkan kembali sastra sebagai denyut hidup Banyuwangi.
Dan ketika malam benar-benar turun, para penyair itu pun pulang. Tapi kata-kata mereka tetap tinggal, menggema di lorong-lorong kota, menunggu pembaca berikutnya untuk meraba dan menghidupkannya kembali.
Obahlah, dunia. Sebab kata akan selalu punya cara untuk menyusup ke dalam perubahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar