Banyuwangi, (Warta Blambangan) Di sebuah malam yang lirih di Rumah Budaya Osing (RBO), Desa Kemiren, Banyuwangi, suara tembang Pupuh Kasmaran mengalun pelan. Nada-nada itu tak sekadar melagukan aksara, tetapi membangkitkan ingatan, rasa, dan nilai-nilai yang mungkin nyaris terbenam dalam debu waktu. Selasa malam, 3 Juni 2025, Dewan Kesenian Belambangan (DKB) membuka kalender literasi tahun ini dengan sebuah gerakan yang bukan saja estetis, tetapi juga bernapas spiritual: Ajar Bareng Lontar Yusuf.
Ini bukan sekadar kelas sastra atau workshop naskah kuna. Ini adalah sebentuk laku. Sebentuk pemuliaan terhadap khazanah lisan masyarakat Osing yang hidup bukan di rak-rak buku, tapi di ruang batin, di pelipir-pelipir kehidupan. Kang Pur, budayawan yang telah bertahun-tahun memelihara nyala kecil warisan tembang dan lontar, memandu sesi ini dengan sikap rendah hati dan hangat. Ia bukan guru, melainkan sahabat seperjalanan. Di hadapannya, para peserta tak diajak duduk mendengar, melainkan turut menyelami.
“Lontar Yusuf ini bukan sekadar teks sastra. Ia adalah jendela batin, pancaran nilai, dan sarana menyelami rasa,” ucap Kang Pur, sambil membuka lembar pertama naskah, seolah membuka kembali sebuah pintu yang telah lama diketuk sunyi.
Pupuh Kasmaran yang dipilih menjadi gerbang awal kegiatan bukan tanpa alasan. Pupuh ini dikenal sebagai tembang yang menggugah rasa halus manusia: cinta, pengorbanan, keindahan yang lirih. Kang Pur melagukannya terlebih dahulu, mengikuti pakem yang sudah turun-temurun. Lalu satu per satu peserta mencoba mengikutinya. Tak semua tepat cengkok. Tak semua selaras laras. Tapi di sinilah justru maknanya. Ini bukan panggung penampilan. Ini adalah ruang belajar yang egaliter, di mana suara tak harus indah, tapi harus tulus.
Di sekeliling mereka, arsitektur kayu Rumah Budaya Osing berdiri sunyi namun bersaksi. Aroma kopi kemiren yang mengepul dari sudut dapur menemani pelafalan bait-bait awal kisah Nabi Yusuf. Angin malam menyisip dari sela jendela terbuka, seolah ingin turut menjadi bagian dari mocoan itu. Rasa kontemplatif menjelma begitu saja, tak dirancang, tak dipaksakan.
Ketua DKB, Hasan Basri, dalam sambutannya menyebut kegiatan ini sebagai titik tolak penting dari ikhtiar kebudayaan yang selama ini nyaris hanya berputar pada gelaran pertunjukan. “Rumah Budaya Osing bukan sekadar panggung. Ia adalah ruang hidup. Kami ingin menjadikannya ruang belajar bagi karya sastra lisan seperti Lontar Yusuf yang pernah tumbuh dalam kesadaran masyarakat Osing.”
Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa kegiatan semacam ini akan menjadi agenda rutin, tidak hanya sebagai bentuk pelestarian, tapi juga regenerasi nilai. Dalam konteks itulah Lentera Sastra Banyuwangi turut serta, membawa semangat yang tak hanya literer, tetapi juga spiritual. Syafaat, Ketua Lentera Sastra Banyuwangi, menegaskan bahwa teks seperti Lontar Yusuf memiliki kedekatan kuat dengan sejarah penyebaran Islam di bumi Blambangan.
“Mocoan Lontar Yusuf bukan sekadar pengulangan kisah. Ia adalah dialektika kultural antara Islam dan kearifan lokal. Di sinilah Islam tumbuh: tidak menyerbu, tapi meresap.”
Beberapa peserta yang hadir membawa salinan lontar mereka sendiri—naskah fotokopi yang telah menguning, atau dalam bentuk cetakan ulang terbatas. Ada rasa haru yang tak diucapkan, hanya terlihat dari cara mereka membolak-balik halaman, seperti menyentuh sesuatu yang telah lama mereka rindukan.
Pada sesi akhir, Kang Pur membedah bagian awal lontar yang telah dibaca bersama: kelahiran Yusuf dan metafora cahaya wajahnya yang disebut cahyaning jagad. Dalam tafsir tembang, cahaya itu bukan semata rupa, melainkan pancaran batin yang menyinari tanpa menyilaukan.
> “Melalui Lontar Yusuf, kita belajar tentang keteladanan, keindahan yang tak sombong, dan cinta yang tak membelenggu,” ujar Kang Pur, menutup sesi malam itu.
Suasana yang tersisa adalah kesunyian yang menggetarkan. Tidak sepi, melainkan penuh gema batin. Inilah ziarah rasa itu. Inilah ajar bareng yang tidak hanya berbagi pengetahuan, tetapi juga menggugah kesadaran.
DKB telah merancang seri lanjutan dari kegiatan ini. Dalam waktu mendatang, mereka akan memadukan tembang dengan ilustrasi visual dan pertunjukan dramatik. Harapannya, lontar-lontar yang selama ini terkurung di museum dan perpustakaan bisa kembali bernyawa dalam ingatan kolektif masyarakat. Terutama generasi muda, yang sering kali hanya mengenal masa lalu sebagai catatan kaki dalam buku sejarah.
Rumah Budaya Osing, malam itu, telah menjadi lebih dari sekadar ruang. Ia menjelma menjadi tubuh waktu, tempat di mana masa lampau, kini, dan nanti bisa saling menyapa tanpa canggung. Dalam lantunan Pupuh Kasmaran, dalam bait demi bait kisah Yusuf, kita semua belajar untuk tidak hanya mengingat, tapi juga merawat—dengan rasa, dengan jiwa, dengan cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar