Kurban dan Bekamal, Narasi, dan Kesabaran yang Terlupakan
oleh : Syafaat
Ada kalimat yang menarik saya diam cukup lama hari ini. Kalimat itu terbit dari sebuah portal berita daring dari penyedia jasa penyembelihan hewan qurban dan aqiqoh, yang saya dapatkan dari group WhatsApp ditulis mungkin dengan niat baik, tapi terasa seperti menabrak pelan-pelan satu lapisan kenyataan. Isinya begini kira-kira: bahwa masyarakat Osing membuat daging fermentasi bernama bekamal karena mereka jarang makan daging. Sebaris kalimat itu seperti menyodorkan kunci palsu untuk membuka lemari yang tak mereka kenali isinya. Saya tidak ingin menyalahkan siapa-siapa. Hanya saja, izinkan saya menyampaikan satu hal penting: tidak semua yang kita lihat bisa langsung dinarasikan.
Narasi adalah kerja rasa. Dan rasa lahir dari perjumpaan yang cukup. Perjumpaan itu bisa berupa masa kecil yang dihabiskan di dapur, obrolan di atas lincak bambu saat sore, atau ikut nimbrung ketika nenek menyisihkan daging kurban ke tampah sebelum diproses jadi bekamal. Kalau tidak pernah hadir dalam peristiwa itu, jangan terburu-buru membubuhkan simpulan.
Banyuwangi bukan sekadar kota di ujung timur. Ia adalah peta rasa yang dijaga lewat laut dan ladang. Dan laut di sana tidak pernah pelit. Ia lemparkan ikan sepuas-puasnya. Masyarakat nelayan pun, yang tahu laut tak kenal musim panen seperti padi, belajar cara menyimpan ikan. Di sini kita kenal istilah dipindang, yakni daging ikan yang diawetkan sebentar saja dengan cara di asap, cukup tahan beberapa hari. Lalu ada yang disebut kresek, ikan yang dikeringkan langsung di bawah matahari, setelah lebih dulu dibumbui. Kresek ini bisa bertahan lebih lama. Dan tentu saja ada ikan asin—fermentasi garam yang oleh orang osing dijuluki gerang. Semua metode ini bukan karena lapar. Tapi karena laut memberi terlalu banyak.
Makanan di Banyuwangi tidak pernah bercita rasa sederhana. Di balik setiap kepulan uap rujak soto atau seduhan kuah pecel rawon, ada riwayat panjang tentang bagaimana masyarakat Osing merayakan rasa dan bertahan hidup. Mereka tidak membiarkan tubuh kekurangan tenaga. Ikan laut mudah didapat. Daging menthok yang diolah menjadi geseng adalah hasil dari keakraban mereka dengan halaman belakang. Ayam kesrut bukan sekadar lauk, tapi semacam penegasan bahwa hidup ini perlu rasa yang kuat, seperti percampuran pedas dan asam yang mewakili keberanian orang Osing dalam menghadapi hidup. Saya pernah berpikir bahwa masyarakat agraris lebih banyak makan sayur. Tapi di Banyuwangi, bahkan pecel pun bisa diracik dengan kuah rawon yang gurih dan hitam legam. Di kampung-kampung Osing, protein hewani bukan kemewahan yang datang dari supermarket, melainkan bagian dari keseharian. Mereka tidak repot-repot mengukur kandungan gizi, tapi tubuh mereka kuat karena kebiasaan turun-temurun menyantap apa yang tersedia di tanah sendiri. Makanan mereka bukan hanya soal perut kenyang, tapi juga tentang warisan dan kesetiaan pada cara hidup yang tidak lekang oleh tren makan sehat ala kota.
Saya japri teman saya di Glagah Agung, sebuah desa yang letaknya di selatan Banyuwangi, dekat hutan Grajagan yang tenang tapi menyimpan banyak cerita, dan saya bertanya berapa hewan kurban tahun ini, ia menjawab pelan saja, “Alhamdulillah, di Masjid An-nur depan rumahnya ada 37 sapi, hampir sama seperti tahun lalu,” dan dalam nada suaranya saya menangkap sesuatu yang lebih dari sekadar angka: ada rasa syukur yang hening, juga semacam perasaan bahwa kehidupan betapa pun berubahnya dunia di kampungnya tetap berjalan dengan irama yang dikenalnya sejak kecil, seperti embun pagi yang tak pernah gagal turun di rerumputan belakang rumahnya, hewan kurban semakin tahun semakin banyak.
Dalam dunia yang kelebihan, manusia belajar menyimpan. Dan dalam dunia yang kekurangan, manusia belajar bertahan. Dua hal ini tak boleh ditukar tempat dalam narasi. Sama seperti saat hari raya kurban tiba di kampung-kampung Osing. Di Banyuwangi, hampir setiap masjid dan musala melakukan penyembelihan. Seekor sapi dibagi jadi ratusan bungkus. Kadang satu rumah dapat lebih dari satu. Dan daging itu terlalu banyak untuk dimasak dalam sehari. Tidak semua orang punya kulkas, apalagi zaman dulu. Maka orang belajar menyimpan dengan cara mereka sendiri: daging dikeringkan, dibumbui, difermentasi. Hasil akhirnya kadang disebut pegal, kadang bekamal.
Kang Pur dari Kemiren sudah mengingatkan di group DKB, “Iki wong durung weruh kesusu gawe narasi.” Proses membuat bekamal itu panjang. Tidak seperti menulis berita yang cukup dengan menyalin dari grup WhatsApp lalu mengira sudah menyusun kebenaran. Bekamal itu seni. Daging dipotong rapi, dibumbui, lalu dimasukkan ke dalam usus, ya, ini seperti sosis, tapi versi leluhur. Setelah itu disimpan. Diwadahi. Kadang dalam pendek, kadang di toples kaca, kadang juga cukup digantung dan diselimuti udara. Fermentasi terjadi. Rasa menguat. Umur simpan bertambah. Ia bukan sekadar olahan. Ia adalah perayaan atas waktu dan keberlimpahan.
Anggota grup lain juga menuli, salah satu pewaris rasa Banyuwangi, menulis dengan jenaka tapi tepat: “Bekamal iku khusus isi daging. Dung isine jeroan lemon teber arane ketimus....di besel beselaken nong jerone usus. Prosese emeh Podo, di rageni terus di fermentasi di dengan cara di lebokaken pendek utowo toples di serungkup hing jarang kadang Yo di Pepe.”
Saya tidak bisa menulis deskripsi yang lebih jujur dari itu. Kalimat itu seperti aroma dapur yang keluar dari sela-sela papan rumah tua. Ada bumbu, ada waktu, ada kebiasaan yang sabar. Tak ada yang tergesa.
Dan kita, sebagai orang yang hidup dalam era cepat, kadang lupa bahwa tidak semua bisa dipahami dalam dua jam kunjungan. Atau dua paragraf riset Google. Apalagi jika kita ingin bicara tentang satu suku, satu budaya, satu cara hidup.
Banyuwangi punya banyak cara menyimpan daging. Dan bekamal bukan dibuat karena langka daging, tapi karena daging datang sekaligus, dalam satu hari raya, dan ia harus dijaga untuk hari-hari setelahnya. Kalau hari ini kau makan rawon dari daging kurban minggu lalu, itu bukan karena kau miskin, tapi karena kau tahu: tidak semua makanan harus habis hari ini.
Narasi yang baik, seperti bekamal, perlu waktu. Tak bisa dibuat hanya karena deadline. Ia lahir dari pemahaman, bukan dari prasangka. Ia harus tahan lama. Karena itu ia perlu fermentasi. Perlu pengeringan. Perlu dijemur bersama matahari pagi dan dibungkus dengan kejujuran.
Dan orang Banyuwangi, yang sudah terlalu lama hidup dalam putaran musim laut dan ladang, tahu benar: yang baik itu tidak pernah buru-buru. Yang kuat itu disimpan lama. Dan yang layak diceritakan, bukan yang cepat selesai, tapi yang mengendap dalam hati dan tak mudah basi.
Penulis : Ketua Lentera Sastra Banyuwangi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar