Selamat Datang di Warta Blambangan

Pages

Home » » “Perjalanan yang Selesai dengan Doa”

“Perjalanan yang Selesai dengan Doa”

 

“Perjalanan yang Selesai dengan Doa”

Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.
Berita itu datang seperti angin malam yang membuka jendela dengan pelan-pelan, tidak membanting, tidak juga tergesa. Hanya membuka dan membiarkan malam masuk. Lalu dari gelap itulah terdengar kabar:
Bapak H. Kajim Susanto telah berpulang ke Rahmatullah.

Saya sempat bertemu beliau di malam itu yang ramai. Hari pemberangkatan jemaah haji, di depan kantor Bupati Banyuwangi. Tenda putih berdiri, bintang bertabur terang, dan suara adzan dan doa terdengar dari pengeras suara yang kadang sumbang tapi tulus. Di antara ratusan wajah yang mengambang antara bahagia dan haru, saya melihat beliau dan istrinya, Ibu Istiadah. 


Beliau tak banyak bicara. Hanya menangkupkan tangan, tersenyum, dan berbisik lirih, "Mohon doanya."
Saya mengangguk, dan menjawab pelan, "Semoga mabrur."
Entah kenapa malam itu seperti melipat waktu. Rasanya baru kemarin.

Kematian memang tidak pernah benar-benar tiba-tiba. Ia selalu punya niat. Tapi kita seringkali mengabaikannya, atau menutup pintu rapat-rapat agar ia tak sempat masuk. Padahal ia bukan tamu. Ia tuan rumah. Kita hanya singgah.

Maka ketika saya mendengar bahwa beliau wafat setelah pulang dari Tanah Suci, saya tahu bahwa beliau sudah sampai. Bukan hanya di bandara Indonesia, tapi sampai di puncak dari seluruh perjalanan hidup yang pernah ia tempuh. Dari seorang guru, dari seorang ayah, dari seorang hamba.

Saya yakin, kematian ini bukan akhir. Ini pintu.
Pintu yang hanya dibuka oleh mereka yang sudah selesai dengan dunianya. Saya ingat betul, sebelum keberangkatan haji itu, kami dari Yayasan Lentera Sastra Banyuwangi juga hadir ke rumah beliau. Sederhana. Ramah. Ada suguhan pisang goreng yang rasanya lebih banyak dari yang kami sanggup habiskan. Tapi yang paling saya ingat, adalah doa beliau yang tidak egois. 

“Semoga bukan cuma saya dan istri yang bisa ke sana,” katanya. “Semoga panjenengan semua juga bisa. Kita semua.”
Doa yang mengajak. Bukan doa yang membatasi.

Dan begitulah beliau. Tidak riuh. Tidak ingin dipuja. Tapi selalu hadir dengan benih yang pelan-pelan tumbuh menjadi kebaikan.
Beliau memang punya riwayat sakit. Tapi siapa yang tak punya? Bahkan orang paling sehat pun tidak pernah benar-benar tahu apakah paru-parunya masih mengembang sempurna atau hatinya sudah diam-diam retak. Tapi beliau berangkat haji. Dan menyelesaikannya.

Kita menyebutnya mabrur.
Kita menyebutnya perjalanan yang tak hanya kembali, tapi juga mengangkatnya ke derajat yang tak bisa dihitung dengan angka.

Ada orang-orang yang pergi meninggalkan dunia dalam keadaan bersembunyi dari kebaikan. Tapi ada juga yang pergi setelah menggenapkan ibadahnya. Setelah thawaf. Setelah sa’i. Setelah bermunajat. Setelah segala tetes air mata bercampur dengan debu tanah Mekkah yang kering tapi suci.

Kita tak bisa memilih kapan dan di mana akan mati. Tapi kita bisa memohon pada Tuhan agar di saat kematian datang, kita sedang dekat dengan-Nya. Sedang tidak sibuk dengan urusan dunia. Sedang tidak membawa dendam atau niat buruk.

Dan saya percaya, Bapak H. Kajim Susanto dipanggil pulang dalam keadaan paling baik:
Setelah haji. Setelah menuntaskan rukun-rukun cinta kepada Allah.
Setelah menabur senyum kepada istri, sahabat, dan murid-muridnya.
Setelah mengajari kita bahwa hidup bukan soal panjangnya, tapi soal keberkahannya.

Saya bayangkan, suatu sore di langit Madinah yang warnanya seperti madu yang dituangkan perlahan, beliau duduk di depan Masjid Nabawi. Tangannya bersedekap. Hatinya tenang. Ia melihat burung-burung terbang rendah di antara kubah masjid, dan tahu bahwa hidup ini indah.

Lalu malam tiba. Dan ada suara yang tidak terdengar oleh kita, tapi sangat jelas baginya:
"Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu, dengan ridha dan diridhai. Masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku."

Dan beliau pulang. Senyap. Damai. Seperti seorang ayah yang tahu bahwa seluruh tanggung jawabnya sudah selesai.

Kita yang tinggal, hanya bisa menunduk. Mengamini.
Dan menyambung doa beliau yang terpotong oleh kematian:
Agar semua kita pun kelak menyusul dalam keadaan husnul khatimah.

Amin.
Selamat jalan, guru kami.
Semoga engkau kini sedang tersenyum di taman surga, mendengarkan ayat-ayat Alquran yang dibacakan para malaikat.
Dan semoga cinta yang kau tinggalkan menjadi pohon yang terus tumbuh di hati kami.


Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar

 
Support : Copyright © 2020. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Modifiksi Template Warta Blambangan
Proudly powered by Syafaat Masuk Blog