Langsung ke konten utama

Ziarah ke Petugas Haji, dan Cerita Tentang Raudhah yang Jauh dari Misfalah

 Ziarah ke Petugas Haji, dan Cerita Tentang Raudhah yang Jauh dari Misfalah

Oleh: Peziarah Haji 


Saya berziarah, bukan dalam makna yang lazim dipahami orang-orang. Saya tidak datang membawa bunga, doa, atau air mawar. Saya datang membawa secangkir kopi sachet dua ribu perak yang sudah saya larutkan di gelas plastik dari rumah. Saya tahu dia suka kopi, meskipun sore itu kami tak benar-benar sempat menyeruputnya bersama.

Teman saya itu, lelaki dengan janggut tipis yang akhir-akhir ini lebih sering memeluk sunyi, adalah seorang petugas haji daerah. Tahun ini, 2025, ia ditugaskan ke tanah yang mengajarkan ribuan makna kepada siapa pun yang bersedia mengalami. Ia bukan orang sembarangan, juga bukan orang yang ingin terlihat istimewa. Tapi ia kini berada dalam sebuah sistem yang membuatnya tampak begitu kecil. Ia menunggu saya di beranda rumahnya dengan sorot mata yang tidak sepenuhnya selesai tidur.

Kami tak langsung bicara tentang apa pun. Angin sore lebih dahulu menyela. Ada nyanyian jangkrik dari kebun tetangganya yang tidak pernah ia kenal benar. Lalu suara motor sayup dari jalan depan. Seperti hidup yang terus berjalan, bahkan ketika kita merasa terjebak di satu titik.

“Aku dengar kabar buruk tentang petugas haji,” saya memulai, hati-hati.

“Kabar buruk selalu lebih cepat tiba dibanding kabar baik,” katanya tersenyum kecil.

Saya tak ingin membantah. Saya hanya ingin mendengar. Katanya, tahun ini berbeda. Haji 2025 adalah lembaran baru yang ditulis ulang oleh delapan syarikah yang tak sepenuhnya bisa dikendalikan. Syarikah—semacam lembaga penyedia layanan jamaah haji di Arab Saudi—telah membuat peta tugas dan layanan menjadi lebih luas, lebih rumit, dan kadang membingungkan. 


“Kau tahu,” katanya, “aku bahkan terpisah dari jamaahku sendiri. Mereka di Misfalah. Aku di Raudhah.”

Saya mengangguk, meskipun saya tak sepenuhnya paham makna jarak itu sebelum dia melanjutkan.

“Terminal bisnya saja beda 1,5 kilometer,” ujarnya. “Jangankan mengurus mereka setiap waktu, untuk bertemu satu dua orang pun seperti mendaki malam tanpa lampu.”

Ia terdiam. Saya tahu diamnya bukan karena kehilangan kata. Ia sedang menyusun perasaan. Itu yang sering dilakukan orang-orang yang tak ingin menyalahkan apa pun.

“Tapi kan tugas ya tetap tugas?”

“Ya,” katanya. “Tugas tetap dijalankan. Meski tidak maksimal.”

Saya ingin menertawakan kalimat itu, bukan karena lucu, tapi karena begitu jujurnya. Di negeri kita, kalimat seperti itu sering diputarbalikkan. Ketika seseorang berkata ‘tidak maksimal’, ia akan segera dibungkam oleh seribu alasan pembenar. Tapi teman saya tidak sedang membenarkan diri. Ia sedang mencoba jujur dalam dunia yang sering meminta orang berpura-pura.

Satu hari menjelang keberangkatan haji, katanya, ia dipindahkan ke kloter lain. Bukan karena ingin, tapi karena sistem syarikah yang memisahkannya. Begitu juga saat tiba, dalam satu kloter yang seharusnya berjalan bersama, mereka malah tersebar di delapan hotel berbeda, satu untuk tiap syarikah. Ia bilang, yang menyatukan mereka hanya waktu kepulangan. Saat pesawat pulang sudah disiapkan dan koper-koper dibaringkan seperti jenazah yang menunggu doa.

“Lalu, bagaimana kamu mengurus jamaah yang bukan kamu kenal?” saya bertanya.

“Dengan sebaik mungkin, dan selemah mungkin,” jawabnya pelan. “Tak ada orang kuat di sana. Yang ada hanya orang yang berusaha sekuat-kuatnya.”

Ia tertawa. Saya juga tertawa. Mungkin itulah satu-satunya momen kami merasa ringan.

“Orang bilang petugas itu nebeng haji,” saya menggoda. “Katanya, dapat fasilitas gratis, bisa tawaf sambil selfie, bisa ziarah sambil ngopi.”

Ia tak menjawab. Tapi matanya memandang saya dengan cara yang hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang pernah hampir kehilangan dirinya sendiri.

“Tak ada nebeng dalam pekerjaan ini,” katanya akhirnya. “Yang ada hanya keberanian untuk menanggung yang tidak mungkin. Menjaga orang-orang yang tidak selalu kita tahu namanya. Membantu mereka wukuf, melontar, thawaf, dengan tubuh yang mulai kehilangan tenaga.”

Saya terdiam.

“Orang luar lihatnya enak, selfie di depan Ka’bah, pakai rompi petugas. Padahal kadang kita menangis sendiri di lorong hotel. Merindukan rumah. Takut salah. Tak bisa tidur karena jamaah lansia hilang jalur pulang. Dan kita harus menunggu hingga dini hari tanpa tahu harus melapor ke siapa.”

Saya membayangkan itu. Jalan-jalan sempit Makkah, hotel-hotel dengan lift rusak, tempat makan yang berpindah-pindah. Dan delapan syarikah yang seperti menggandakan delapan kepala dalam satu tubuh.

“Kalau boleh memilih,” katanya pelan, “aku lebih suka mengurus anak-anak kelas madrasah seperti dulu. Karena mereka tahu cara menghormat. Karena mereka, setidaknya, mencatat namamu.”

Saya tahu ia bukan bicara tentang nama dalam absen, tapi nama dalam hati. Dan hari itu, di bawah lampu beranda yang mulai redup, saya tahu: dia bukan hanya petugas haji. Ia adalah penanggung beban, dalam sistem yang membebaninya tanpa pelatihan tentang bagaimana menghadapi delapan syarikah yang berbeda-beda arah, perintah, dan hotel.

Saya pamit tak lama setelah azan magrib. Saya tahu ia lelah, meski tak mengakuinya. Ia tidak minta dibela. Ia tidak minta dijelaskan kepada publik. Ia hanya ingin mendengar seseorang berkata: aku mengerti.

Dan saya tahu, itu tak cukup. Tapi kadang, satu kalimat seperti itu lebih penting daripada laporan resmi yang panjang.

Saya tidak tahu apakah esok ia masih ingin kembali menjadi petugas. Tapi saya tahu, ia tidak akan pernah menjadi sama. Tidak setelah berjalan 1,5 kilometer setiap hari hanya untuk berkata: “Apa kabar, Pak Haji?”

Dan tak sekali pun dipanggil kembali dengan namanya sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Registrasi PTK Baru di Simpatika

Syarat Registrasi PTK Baru Persyaratan untuk melakukan registrasi PTK baru adalah sebagai berikut. 1. Belum memiliki PegID ataupun NUPTK 2.     Menjadi PTK di Madrasah/Sekolah yang dibuktikan dengan SK Pengangkatan  3.     Mengisi Formulir A05 Formulir tersebut diisi kemudian serahkan kepada Admin Madrasah atau Kepala Madrasah, dengan dilampiri: Pas photo berwana ukuran 4 x 6 sebanyak 1 lembar (Plus siapkan File Foto ukuran Maksimal 100 kb) 2.     Copy Kartu Keluarga 3.     Copy Ijazah SD (Terendah) 4.     Copy Ijazah Pendidikan Tertinggi 5.     Copy SK Pengangkatan sebagai PTK di madrasah tersebut Formulir A05  beserta lampirannya tersebut diserahkan kepada  Admin Madrasah  atau Kepala Madrasah untuk dimasukkan ke dalam sistem melalui "Registrasi PTK" di menu Pendidik dan Tenaga Kependidikan di Simpatika. Langkah bagi Operator atau K...

Kabar dari Armuzna

Kabar dari Armuzna Oleh: Petugas PPIH 2024 Sudah beberapa kali saya membaca kabar dari Armuzna—Arafah, Muzdalifah, dan Mina—dalam penyelenggaraan haji tahun ini. Setiap kali membaca, dada saya bergemuruh. Seperti aroma mesiu yang menggantung di udara, meletup-letup dalam kata, siap meledak dalam telunjuk jari. Tetapi saya tahan. Karena saya tahu, ini bukan hanya tentang pelayanan. Ini bukan sekadar soal logistik. Ini tentang kesabaran. Tentang mereka yang menggadaikan sebagian usia dan harta demi sebuah kata yang belum tentu bisa dibawa pulang: mabrur. Banyak yang pesimis pelaksanaan haji berjalan lancar seperti tahun 2024, pemerintah kerajaan Saudi Arabia memangkas petugas haji Indonesia, mereka yakin dengan sistem baru tidak perlu petugas terlalu banyak dari Indonesia. Awalnya kita percaya sampai pada akhirnya serumit ini kenyataannya.  Saya tahu, tidak mudah mengatur dua ratus ribu lebih jamaah Indonesia yang menyemut di tiga titik genting itu: Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Ba...

Santri Pekok

  Santri Pekok Oleh : Syafaat   Dalam Kamus Besar Bahasa Indoneai (KBBI) “pekok” artinya bodoh, bisa juga diartikan gokil, aneh atau nyleneh, bisa juga istiahnya gila/sesuatu yang tidak wajar tapi masih dalam batas garis, susah diberitahu,   berbeda dengan bodoh yang memang belum tahu. Sedangkan kata “santri” menurut wikipedia adalah sebutan bagi seseorang yang mengikuti pendidikan agama Islam di pesantren, biasanya menetap di tempat tersebut hingga pendidikannya selesai. Menurut bahasa istilah santri berasal dari bahasa Sangsekerta, “Shastri” yang memiliki akar kata yang sama dengan kata sastra yang berarti kitab suci, agama dan pengetahuan,. Ada pula yang mengatakan berasal dari kata “cantrik” yang berarti para pembantu begawan atau resi. Seorang cantrik diberi upah berupa ilmu pengetahuan oleh begawan atau resi tersebut. Tidak jauh beda dengan seorang santri yang mengabdi di pesantren, sebagai konsekwensinya pengasuh pondok pesantren memberikan ilmu pengetahuan ...