Selamat Datang di Warta Blambangan

Pages

Home » » tentang Zainur Rofik, seorang kepala sekolah negeri di Banyuwangi yang menjadi Petugas Pembimbing Ibadah Haji Tahun 2025

tentang Zainur Rofik, seorang kepala sekolah negeri di Banyuwangi yang menjadi Petugas Pembimbing Ibadah Haji Tahun 2025

Tentang Zainur Rofik, seorang kepala sekolah negeri di Banyuwangi yang menjadi Petugas Pembimbing Ibadah Haji Tahun 2025

Zainur Rofik tidak sedang pergi dari dunia pendidikan. Ia hanya menepi sebentar, mencatat hal-hal yang tak bisa diajarkan di ruang kelas. Ia bukan lagi kepala sekolah yang menilai ulangan siswa dan menandatangani rapor atau ijazah akhir tahun. Ia sekarang adalah musafir ruhani yang dititipi amanah di tengah gurun, di antara debu dan doa-doa. Ia tidak lagi mengurusi absen guru, tapi absen jemaah; tidak membagikan buku paket, tapi membagikan sabar kepada lansia yang ingin beribadah dengan benar, meski lututnya tak lagi sempurna menahan ruku.

Dan semua ini berawal dari keberangkatannya ke tanah suci tahun lalu. Tahun 2024, Rofik dan istrinya menunaikan ibadah haji sebagai jemaah, tergabung dalam kloter SUB-58. Sebagai ketua rombongan, ia merasakan bagaimana susahnya mengorganisasi para jemaah yang terdiri dari berbagai latar, usia, dan ego. Tapi justru dari situ, ia belajar: haji bukan tentang kekhusyukan pribadi, melainkan bagaimana seseorang menghadirkan diri bagi orang lain dalam situasi yang melelahkan sekalipun.

Di tengah segala hiruk pikuk Arafah dan tenda Mina yang pengap, ia tidak hanya menjadi kepala rombongan, ia menjadi tempat bertanya, tempat mengeluh, tempat menangis diam-diam. Lalu, entah dari ketulusan mana, Ketua Kloter SUB-58 menyarankan agar ia mengikuti sertifikasi petugas haji. Dan Rofik menurut. Tahun 2025, ia resmi menjadi Petugas Pembimbing Ibadah Haji Kloter (PPIHK). Ini hal yang tidak biasa. Baru pertama kali seorang PNS dari luar Kementerian Agama diterima sebagai PPIH. Selama ini, posisi itu seakan-akan hanya milik mereka yang mengenakan sarung dan peci putih sejak remaja, mereka yang lulusan pesantren, atau mereka yang telah menjadi bagian dari sistem birokrasi Kemenag. 


Rofik datang dari dunia sekolah negeri, dari ruang-ruang kelas yang dindingnya penuh peta dan papan tulis, bukan dari surau atau pesantren. Ia mendobrak anggapan lama, tanpa suara keras. Tanpa menyombongkan bahwa ia ‘yang pertama’, ia melangkah tenang ke Makkah, bukan sebagai jemaah biasa, tapi sebagai pelayan tamu Allah. Tapi tahun ini berbeda. Tahun lalu, ia hanya membimbing satu rombongan. Sekarang, ia menjadi penanggung jawab spiritual untuk ratusan jiwa yang mengandalkannya sebagai penunjuk jalan. Tahun lalu, ia hanya sesekali memberi tahu arah ke Jamarat. Tahun ini, ia harus mempersiapkan mental jemaah dari sebelum berangkat, saat di tanah suci, hingga ketika hendak pulang. Tahun lalu, setiap jemaah dibekali kartu Nusuk, yang membantu pelacakan dan manajemen. Tahun ini, sistem berubah. Lebih banyak tantangan administratif, lebih banyak pertanyaan yang datang pada saat ia sendiri sedang bingung. Namun, pengalaman sebagai ketua rombongan memberinya modal besar. Ia tahu titik-titik lelah para jemaah. Ia tahu bahasa yang bisa meluruhkan ketegangan. Ia tahu bahwa untuk membantu orang tua naik bus, bukan hanya dibutuhkan tenaga, tetapi kesabaran seperti yang dimiliki Ibrahim ketika meninggalkan Ismail di padang tandus.

Lalu datanglah hari itu. Hari di mana kloter SUB-44 seharusnya pulang ke tanah air, namun diberi kabar penundaan. Hanya dua kloter yang ditunda, sedangkan kloter-kloter setelahnya tetap pulang sesuai jadwal. Dan itu memunculkan kecurigaan, pertanyaan, dan bahkan penolakan dari beberapa ketua rombongan. Beberapa menolak menyampaikan kabar itu, khawatir diprotes jemaah. Mereka bilang: “Kenapa hanya kami? Kenapa tidak semuanya?”

Rofik berdiri di tengah keresahan itu. Ia tidak memilih diam. Ia tidak menyuruh orang lain yang menjelaskan. Ia turun sendiri ke hadapan para jemaah, wajah-wajah lelah yang sudah menanti rumah dan kampung halaman. Ia tidak membawa dokumen, tidak membawa catatan. Ia hanya membawa suara tenang dan kalimat-kalimat sederhana yang tumbuh dari empati.

“Penundaan ini bukan karena kami pilih-pilih,” katanya. “Ini semata karena alasan keselamatan penerbangan. Tidak ada satu pun di antara kita yang ingin kembali dengan terburu-buru, lalu menyesal karena ada hal-hal yang tidak diperhitungkan. Allah mencintai orang yang bersabar, dan mungkin inilah cara Allah mengajari kita sabar untuk terakhir kalinya dalam perjalanan haji ini.”

Beberapa jemaah menangis. Bukan karena sedih ditunda, tapi karena mereka merasa dihargai, dianggap dewasa, dan diperlakukan sebagai manusia seutuhnya. Seseorang merekam penjelasan itu. Videonya tersebar. Viral. Tapi Rofik tidak berubah. Ia tetap berdiri sebagai petugas yang tahu bahwa tugasnya bukan hanya mendampingi, tapi memahami. Orang-orang bilang, ibadah haji adalah perjalanan puncak spiritual. Tapi bagi Rofik, puncak itu bukan saat ia melempar jumrah, bukan saat berdoa di Multazam, bukan saat melihat Ka'bah untuk pertama kalinya. Puncaknya adalah ketika ia bisa menjelaskan sebuah kebijakan dengan penuh kasih, dan orang-orang yang mendengarnya menjadi lebih ikhlas, bukan lebih marah. Saat itu, ia merasa seolah Allah berbisik, “Begitulah caraku menugaskanmu, bukan untuk menyuruh mereka tunduk, tapi untuk membuat mereka rela.”

Kelak, mungkin akan ada lebih banyak ASN dari luar Kementerian Agama yang ikut menjadi petugas haji. Akan ada guru sejarah yang menenangkan jemaah, kepala dinas yang membersihkan sandal jamaah, atau pengawas sekolah yang mendorong kursi roda nenek-nenek yang ingin thawaf. Karena pelayanan bukan soal instansi, ia soal hati, dan Zainur Rofik sudah menuliskannya di batu-batu Mina dan langkah-langkah thawaf, bahwa pengabdian itu tidak punya batas, selama seseorang membawa cinta yang tak malu-malu kepada Tuhan dan sesama manusia. Lalu bagaimana kita bisa membayangkan peristiwa semacam ini di tengah dunia yang sedang retak? Ketika perang Iran-Israel meletup seperti bisikan kiamat yang tertunda, dan langit dunia digambar ulang oleh roket dan drone? Ketika satu sisi menafsir agama dengan rudal, dan sisi lain membalas dengan embargo dan propaganda?

Apa yang terjadi di Mina dan Makkah tak luput dari gemuruh geopolitik itu. Jamaah dari Iran dicekam ketakutan. Mereka mungkin berdoa sambil memikirkan nasib keluarganya yang tinggal dekat perbatasan. Jamaah dari Lebanon menyelipkan doa bukan untuk dirinya, tapi untuk keamanan negaranya yang bisa lenyap dalam semalam. Dan petugas seperti Rofik, yang tidak punya hubungan langsung dengan konflik itu, tiba-tiba harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang datang dalam bisik: "Apakah kita akan selamat pulang?"

Sementara sebagian dari dunia bersiap-siap membangun bunker atau menimbun bahan pokok, Rofik malah menenangkan jamaah lansia dengan membaca surah Ar-Rahman. Ia percaya, jika tak bisa mengubah geopolitik dunia, ia bisa menjaga satu hal: tenang. Satu jamaah yang tenang adalah satu dunia kecil yang damai. Dan jika damai itu bisa menjalar ke sebelahnya, dan sebelahnya lagi, mungkin kita masih punya harapan di tengah huru-hara dunia. Zainur Rofik bukan diplomat. Bukan ulama besar. Bukan juru bicara. Tapi ia telah menjadi utusan dalam makna yang paling sunyi: utusan bagi ketenangan. Di antara drone dan diplomasi, ia adalah jeda. Seorang jeda yang tahu kapan harus diam, kapan harus bicara, dan kapan cukup memijit punggung jamaah yang pegal setelah lempar jumrah.

Dan barangkali, dalam dunia yang dikuasai algoritma, perang citra, dan pertarungan kuasa, keberadaan orang seperti Rofik adalah penyeimbang yang kita butuhkan. Ia tidak tampil di forum internasional. Tidak ikut merancang perdamaian dunia. Tapi ia membuat satu lansia tersenyum, satu jemaah mengucap syukur, satu hati merasa didengar. Bukankah dunia yang damai adalah akumulasi dari jiwa-jiwa kecil yang merasa teduh?Zainur Rofik, lelaki muda dari Banyuwangi Utara, telah menjadi bagian dari kisah mereka. Tanpa harus tampil di depan, tanpa harus disebut dalam laporan resmi. Ia seperti angin padang . pasir: datang diam-diam, pergi tanpa jejak, tapi meninggalkan keteduhan.

Dan mungkin, itulah sebenar-benarnya bimbingan. Di antara puluhan ribu langkah kaki yang berjejal di jalanan Makkah musim haji 2025, ada satu langkah yang tidak tampak mencolok. Tapi langkah itu menyimpan arah, menyimpan nalar, menyimpan perasaan seorang lelaki muda yang mengabdikan dirinya pada sunyi: H. Zainur Rofik.

Ziarah tidak pernah selesai, selama masih ada hati yang ingin melayani.

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar

 
Support : Copyright © 2020. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Modifiksi Template Warta Blambangan
Proudly powered by Syafaat Masuk Blog