Di Antara Delapan Syarikah dan Satu Nama: Guntur Al Baderi
Saya seharusnya berangkat haji tahun ini. Tahun 2025. Bukan karena panggilan batin saya sendiri. Tapi karena panggilan cinta yang pelan-pelan dibisikkan dari masa lalu oleh kedua orang tua saya. Mereka bilang, “Kalau kami haji, kami ingin kamu yang mendampingi.” Kalimat itu pendek, tapi seperti biji kurma, kecil namun mengandung kehidupan yang bisa tumbuh dalam perut gurun yang paling kering.
Dari lima anak, hanya saya yang sudah berhaji. Itu pun karena saya dulu pernah menjadi petugas. Dan dalam banyak hal, menjadi petugas adalah pengalaman yang rumit. Kau harus menyatu dengan kerumunan, tapi juga harus berdiri sedikit lebih tinggi darinya agar bisa menuntun. Kau harus hafal arah, waktu, bahkan jeda napas para jamaah. Tapi bukan itu inti dari kisah ini.
Saya ingin mengisahkan sesuatu yang lebih dari daftar tugas. Saya ingin bercerita tentang persahabatan, tentang kehilangan kecil, dan tentang bagaimana kita kadang tak jadi berangkat haji, tapi sesungguhnya sedang berhaji di hati kita yang paling dalam.
Saya sudah mempersiapkan semuanya. Paspor saya, paspor anak saya, bahkan paspor kedua orang tua saya. Kami sudah mengikuti manasik, berkali-kali. Saya dan teman saya, Guntur Al Badri, sudah membayangkan bagaimana kami akan mengisi 42 hari di Tanah Suci. Kami tahu, puncaknya hanya 5 atau 6 hari. Tapi manusia tidak hidup dari puncak ke puncak saja. Kami mempersiapkan yang datar-datar juga. Yang sepi-sepi juga. Kami merencanakan wisata religi. Kami bahkan menyiapkan obrolan, guyonan, dan jadwal shalat malam.
Saya mengenal Guntur sebelum kami jadi PNS. Dulu, kami sama-sama aktivis di masyarakat. Saya di PNPM. Dia mengirim saya kritik. Kritik itu singkat, tapi tidak pendek. Ia tajam seperti kerikil di sepatu. Mengganggu, tapi menyadarkan bahwa ada yang perlu dikendurkan, ada yang perlu dikencangkan.
Saya tidak marah. Kritik itu datang dari orang yang peduli. Orang yang marah biasanya karena merasa tak dihargai. Tapi kritik justru adalah bentuk tertinggi dari penghargaan. Ia adalah tanda bahwa seseorang sudi memperhatikan pekerjaan kita, cukup dalam untuk berani berkata, “Hei, ini salah.”
Sejak itu kami berteman. Kami sama-sama jadi PNS, sama-sama sempat terjebak nostalgia aktivisme, dan sama-sama tahu bahwa menjadi pegawai negeri tidak berarti harus kehilangan nyali.
Tapi takdir, seperti biasa, punya rencana lain. Kedua orang tua saya ternyata belum berangkat. Namanya belum tercantum. Entah kenapa. Padahal semua sudah siap. Mungkin Tuhan ingin saya lebih sabar. Mungkin Tuhan ingin memberi pelajaran bahwa keinginan manusia tak akan pernah setajam kehendak-Nya. Maka saya tidak jadi berangkat. Dan Guntur, bersama beberapa teman kami, tetap berangkat. Tanpa saya.
Saya bukan kecewa. Tapi saya mengakui ada ruang kosong yang tidak bisa saya isi dengan apapun. Saya ingin bersama mereka. Tapi saya harus tetap bersama orang tua saya di sini. Saya tetap terhubung dengan mereka lewat WhatsApp. Percakapan digital yang tidak bisa menggantikan pelukan sahabat, tapi cukup untuk menguatkan ikatan.
Kami masih komunikasi dengan para jamaah terutama dengan Guntur Al Badri karena beberapa hal memang yang sudah kita rencanakan harus berjalan dan saya dianggap yang tahu tentang travel atau biro perjalanan yang ada di Makkah maupun di Madinah beberapa hari sebelum kepulangan ke tanah air Guntur juga pa kepada saya menanyakan tentang makam dari mertuanya karena mertuanya meninggal ketika melaksanakan ibadah haji tahun 2017 dan saat itu saya sebagai ketua kloternya,b ayah mertua Guntur meninggal ketika kami sudah berada di tanah air saat itu bulannya harus kita tinggal di Mekkah setelah melaksanakan ibadah haji karena harus dirawat di rumah sakit kami mendengar beliau meninggal dunia 2 hari setelah kami berada di rumah sakit dan biasanya untuk jamaah di Indonesia yang meninggal saat itu dimakamkan di Seraya bukan di ma'la, karena hanya orang-orang tertentu saja yang dimakamkan di ma'la selebihnya di Seraya.
Tahun 2025 ini, pemerintah membuat kebijakan baru: delapan syarikah. Delapan perusahaan yang mengelola jamaah. Maka dalam satu kloter, jamaah bisa tersebar di sepuluh hotel. Seperti buih yang dipisahkan ombak. Dalam satu cerita, ada satu jamaah perempuan yang baru bayar. Dia dapat kamar bersama jamaah lain, masih dari Banyuwangi, tapi beda rombongan. Lalu, sebagaimana manusia yang kadang terlalu terikat pada batas administratif, dia tak diajak pergi ke Masjidil Haram oleh teman sekamarnya.
Alasannya sederhana: “Bukan kelompok kita.” Kalimat yang singkat, dan dalam konteks ini, menyakitkan.
Saya tahu cerita ini dari Guntur. Saya minta tolong padanya. “Fasilitasi dia. Sampaikan pada teman sekamarnya bahwa perempuan ini bagian dari kita, dari Banyuwangi, dari Indonesia, dari Adam dan Hawa yang sama.” Agama ini tidak mengenal kloter dalam cinta. Islam ini tidak mengenal batas dalam kasih sayang. Tapi memang, kadang manusia lebih tunduk pada struktur daripada nurani.
Ketika di Arafah, di puncak haji, bahkan kloter tidak berlaku. Jamaah dibagi berdasarkan kafilah. Satu kafilah bisa terdiri dari beberapa kloter, bahkan dari beberapa embarkasi. Bisa saja orang Banyuwangi sekamar dengan orang Medan. Bisa jadi yang dulu satu desa, sekarang terpencar ke lima kemah. Begitulah hidup. Ia membagi-bagi agar kita belajar menemukan kembali.
Dan saya, yang tidak ikut berangkat, merasa sedang menjalani haji dalam bentuk yang lain. Saya melihat dari jauh. Saya mendengarkan kabar-kabar. Saya membantu mengurai persoalan dari ribuan kilometer. Dan saya mulai mengerti, mungkin inilah haji saya: haji melalui kehadiran yang tidak terlihat. Seperti doa, seperti cinta, seperti malaikat.
Saya tidak bisa memeluk Guntur ketika dia masuk Raudhah. Saya tidak bisa menggenggam tangan jamaah perempuan itu dan berkata, “Kamu tidak sendiri.” Tapi saya percaya, bahwa dalam satu kalimat yang dituliskan melalui layar kecil, saya sedang memikul satu beban. Dan beban itulah yang mendekatkan saya pada makna haji itu sendiri.
Orang tua saya belum berangkat. Tapi saya yakin, Tuhan belum selesai menulis cerita kami. Mungkin tahun depan. Mungkin lewat jalur yang lain. Tapi pasti, lewat jalan yang lebih mengajarkan.
Dan Guntur, sahabat lama saya, yang pernah mengirim kritik itu dulu, yang sekarang membantu saya mengurai peliknya delapan syarikah, tetap menjadi nama yang saya simpan dalam hati. Bukan hanya karena kami pernah merencanakan keberangkatan bersama. Tapi karena dia adalah orang yang memahami satu hal penting: haji bukan hanya urusan fisik, tapi juga urusan nurani.
Dan ketika nurani sudah terlatih, ketika hati sudah berhaji sebelum kaki melangkah, maka sesungguhnya kita telah menunaikannya. Setidaknya, sebagian darinya. Sebagian yang paling dalam. Yang tidak bisa dilihat oleh visa, paspor, atau petugas imigrasi.
Maka saya katakan:
Tahun ini saya tidak jadi berangkat.
Tapi saya tetap pergi.
Ke tempat yang lebih jauh dari Tanah Suci.
Ke tempat yang disebut Tuhan dalam diam: Hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar