Di Jeddah, Cinta Tiba Terakhir
Saya mendengar cerita ini dari seseorang yang tidak sedang menulis sejarah, melainkan sedang mengendapkan cinta. Bukan cinta yang gaduh, bukan cinta yang membuat orang bersajak atau membentangkan spanduk, melainkan cinta yang sabar. Yang tahu cara menunggu. Yang tahu tempat untuk tidak tergesa pulang.
Namanya Dimyati. Ketua Kloter SUB-43. Asalnya dari Dusun Suwaluh Desa Sumbersari, sebuah desa yang jika matahari sore melorot ke balik bukit, akan terdengar kokok ayam jantan seperti memanggil pulang masa kecil saya, kita pernah sekolah di madrasah yang sama, meskipun dengan tahun berbeda. Desa kita bersebelahan, ada pesantren tua yang banyak memunculkan banyak tokoh nasional.
Saya tidak tahu apakah Dimyati tahu bagaimana menciptakan sejarah. Tapi dari cerita yang sampai ke saya, ia tampaknya lebih tahu bagaimana cara tidak merusaknya.
Dia bukan jenis ketua kloter yang berdiri di depan podium lalu menghilang ke kursi eksekutif. Ia tidak mengenakan nada suara keras ketika berbicara, tidak pula menginstruksikan seperti komandan yang sedang mengatur barisan. Tapi orang-orang mendengarkannya. Karena ia lebih dulu mendengarkan. Dia mencatat nama. Menghafal wajah. Mengenali nada suara. Mengerti ketegangan di antara helaan napas yang terengah saat berjalan menuju Masjidil Haram. Ia tahu kapan seseorang hanya butuh sebotol air zamzam dingin, bukan tausiyah. Ia tahu siapa yang lebih butuh didengarkan ketimbang dibimbing. Ia tidak sedang menjalankan tugas administratif. Ia sedang menanggung ruhani.
Waktu yang Tertunda, Kloter SUB-43 menjadi kloter terakhir dari Banyuwangi yang pulang. Mereka pulang belakangan. Lewat dari jadwal. Tertunda karena ketegangan politik di Timur Tengah. Saya membayangkan, dari Bandara King Abdulaziz di Jeddah, para petugas maskapai menjelaskan dengan wajah datar bahwa jadwal penerbangan belum pasti. Saya membayangkan sekelompok orang yang sudah lelah namun tetap duduk tegak. Yang sudah rindu anak dan cucu namun tetap bersabar. Yang seharusnya marah, namun justru tersenyum.
Saya pernah berada di antara orang-orang yang kehilangan koper di Madinah dan menyaksikan mereka menyumpah-nyumpah dalam bahasa yang bahkan Tuhan pun mungkin enggan menerjemahkannya. Tapi cerita Dimyati ini tidak seperti itu.
Mereka tidak marah. Tidak gelisah. Tidak menyalahkan siapa pun. Mereka tahu bahwa tidak semua penundaan adalah musibah. Beberapa penundaan adalah jawaban dari doa yang bahkan tak sempat mereka panjatkan.
Jeddah: Hotel, Takdir, dan Sepi yang Indah, dan inilah bagian yang paling membuat saya berhenti sejenak dari membaca pesan suara Dimyati:
> “Karena akhirnya kami bisa berdua,” kata seorang jamaah pria dengan pipi keriput yang tersipu seperti anak muda jatuh cinta.
Saya kira itu kalimat paling jujur dari seseorang yang pernah mendefinisikan ulang arti bulan madu. Selama lebih dari 40 hari mereka berbagi kamar dengan orang asing. Berbagi dengkuran, berbagi keluhan, berbagi sandalnya hilang di pelataran Masjid Nabawi. Mereka tahu terlalu banyak tentang dengkul orang lain dan terlalu sedikit tentang tangan istrinya sendiri.
Dan di Jeddah, karena penundaan itu, mereka diberi satu kamar, Berdua, suami dan istri. Satu malam. Dua malam. Entah berapa kali mereka berbulan madu. Dan itu adalah malam-malam yang lebih sakral daripada ijab kabul.
Mereka berangkat sebagai jamaah. Tapi di Jeddah, mereka kembali seperti pasangan baru. Bukan karena sesuatu yang dikatakan petugas kloter, tapi karena sesuatu yang ditiupkan oleh sunyi. Dan saya membayangkan seseorang sedang menanak air untuk kopi. Istrinya menunggu sambil membaca surat kabar dari tanah air yang sudah kusut. Tidak banyak percakapan. Tidak banyak rencana. Tapi dalam diam itu, ada ruang yang tiba-tiba terisi. Seperti cinta yang tiba paling akhir. Tapi datang dengan tangan yang utuh. Jamaah Terakhir, Tapi Pulang Paling Siap
Beberapa orang menyebut keterlambatan mereka sebagai “bonus dari langit.”
Saya menyebutnya sebagai pertemuan antara kesabaran dan karunia. Tidak ada satu pun dari mereka yang mengeluh. Tidak ada yang meminta tiket pulang lebih cepat. Tidak ada yang menanyakan kompensasi. Mereka sudah terlalu kaya oleh pengalaman. Karena sesungguhnya, orang-orang seperti Dimyati dan para jamaah kloter SUB-43 telah menyelesaikan haji mereka bukan dengan ritual, tapi dengan cara menerima.
Menerima bahwa tak semua cinta harus ditunjukkan. Menerima bahwa tak semua kerinduan harus segera sampai. Menerima bahwa Jeddah bisa menjadi kota singgah yang lebih manis daripada kampung halaman, asal yang bersamanya adalah orang yang seharusnya.bDi Antara Doa dan Detak Jantung Terakhir Satu jamaah meninggal sebelum kepulangan. Dan itu bukan duka. Itu pertemuan.
Dimyati, dari yang saya dengar, menangani itu sendiri. Tidak dengan prosedur kaku, tapi dengan tangan yang menepuk pundak. Dengan kata-kata pendek yang tak tertulis dalam SOP. Karena kadang, pemimpin sejati bukan yang tahu semua aturan, melainkan yang tahu kapan harus diam dan memberi pelukan.
Saya membayangkan di Makkah, di antara jutaan manusia, Dimyati menyebut satu nama di dalam doanya. Menyebutnya pelan, seperti menyebut nama sendiri. Karena ia tahu, ia tidak sedang memimpin perjalanan.
Ia sedang mengantarkan kepulangan. Takdir yang Tidak Terburu-Buru, Kita selalu membayangkan cinta sebagai sesuatu yang terburu-buru. Seolah yang cepat adalah yang sahih. Seolah yang pertama datang adalah yang paling setia.
Tapi di Jeddah, cinta tiba terakhir. Dan justru karena itu, ia datang dengan paling banyak membawa waktu. Mereka—para suami istri yang telah puluhan tahun menikah—tiba-tiba menjadi pengantin baru di kota pelabuhan yang selama ini hanya dikenal karena toko emas dan ikan bakar.
Mereka tidak meminta tempat tidur yang empuk. Tidak bertanya apakah AC berfungsi. Mereka hanya ingin satu hal: bersama, dalam ruang yang cukup. Dan itu cukup. Kamar mewah, kamar pengantin, Kamar-Kamar yang Menyimpan Rahasia
Saya tidak tahu nomor kamar mereka. Tapi saya yakin kamar-kamar itu menyimpan percakapan-percakapan yang hanya dipahami oleh waktu. Mungkin seorang istri memijit kaki suaminya yang bengkak. Mungkin seorang suami membacakan ulang doa wukuf dengan suara parau.
Mungkin mereka duduk di balkon, melihat pelabuhan Jeddah yang remang, dan untuk pertama kalinya, merasa bahwa dunia ini tidak terlalu luas. Karena yang luas bukanlah ruang, melainkan hatimu saat tidak ingin buru-buru pulang.
Pulang yang Tidak Sama Lagi Ketika akhirnya mereka tiba di Banyuwangi, mereka turun dari bus dengan wajah yang lain. Mereka tidak hanya membawa koper. Mereka membawa kamar. Mereka membawa malam-malam Jeddah yang pelan dan penuh debar.
Dan saya percaya, beberapa cinta tidak lahir dari pelaminan. Tapi dari ketertundaan. Dari keterpaksaan yang akhirnya menjadi anugerah. Dari kota-kota asing yang diam-diam menyusun ulang perasaan kita. Dan di Jeddah, cinta itu tiba terakhir. Tapi tidak terlambat. Karena cinta yang datang di akhir, adalah cinta yang paling tahu mengapa ia perlu menunggu.
Ditulis untuk yang tidak tergesa mencintai, dan yang tahu bahwa pulang bukan soal waktu, melainkan siapa yang masih menggenggam tanganmu ketika semua orang sudah melepaskan. (syaf)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar