Selamat Datang di Warta Blambangan

Pages

Home » » Malam Ketika Jamaah Haji Berada di Hotel Bintang Lima Jeddah

Malam Ketika Jamaah Haji Berada di Hotel Bintang Lima Jeddah

 

Malam Ketika Jamaah Haji Berada di Hotel Bintang Lima Jeddah

Saya tidak pernah berencana pergi malam itu. Tapi seperti banyak hal dalam hidup, kepergian saya ke rumah itu bukan karena kehendak saya sendiri. Ada tangan halus yang menggiring langkah kita ke arah yang tak kita duga. Tangan yang sering kita sebut sebagai kebetulan, padahal sebenarnya ketetapan yang malu-malu.

Rumah itu bukan rumah siapa-siapa. Tapi entah bagaimana, sejak saya melepas sandal dan duduk di atas karpet bercorak Timur Tengah, rumah itu terasa seperti bagian dari saya. Seperti ruang kecil dalam hati yang lama tidak saya buka. Ada air Zamzam di meja. Ada kurma yang tidak manis, tapi entah mengapa menghangatkan dada. Dan ada satu perempuan yang duduk di depan saya—perempuan yang saya rasa pernah saya temui entah di mana. Di mimpi? Di antrean haji tahun lalu? Atau di lorong waktu yang saya sendiri tidak pernah hafal pintunya? 


Namanya Hj. Danny Fardah Mihmidati. Perempuan itu duduk seperti seseorang yang sudah berdamai dengan waktu. Ia mengenakan gamis warna krem, kacamatanya tipis, dan sudut bibirnya menyimpan senyum yang tidak selesai. Senyum yang tidak menawarkan bahagia, tidak pula mengundang iba. Hanya senyum yang tahu caranya bersabar. Kloter SUB-44. Itulah rombongan hajinya. Rombongan yang oleh berita-berita dikabarkan sebagai “kloter tertunda.” Tapi saya merasa: tidak ada yang benar-benar tertunda, kecuali orang-orang yang terlalu cepat menuntut kepastian.

“Tertunda, Mas,” katanya pelan. “Tapi ternyata yang tertunda itu bukan hanya kepulangan. Tapi juga kesedihan.”

Saya mendengarkan kalimat itu seperti orang yang baru pertama kali belajar membaca. Saya mengucapkannya dalam hati, lalu menekuri maknanya, seakan sedang merenungkan ayat yang turun di luar jadwal. Ia bercerita. Tentang malam-malam di Jeddah. Tentang kepanikan awal ketika pengumuman penundaan disampaikan. Tentang jamaah yang menangis, yang mengeluh, yang pasrah, dan yang diam. Tapi yang paling mengejutkan bukanlah keterlambatan itu. Melainkan hadiah yang diam-diam diselipkan Tuhan ke dalam koper mereka: hotel bintang lima. Hotel dengan lift yang berjalan pelan seperti dzikir. Hotel dengan kasur empuk seperti dada yang telah memaafkan. Hotel dengan sarapan yang membuat lidah kampung kehilangan kata.

“Awalnya kami sedih,” kata Danny. “Tapi begitu masuk kamar hotel itu, kami tertawa, seperti anak-anak dapat permen.”

Saya tertawa. Tapi tawa saya tertahan di tenggorokan. Ada rasa bersalah yang menggumpal. Rasa bersalah karena saya ingat betapa sering saya kecewa ketika rencana kecil saya tak sesuai jadwal. Padahal Tuhan sedang menyusun kejutan. Hotel itu bukan hanya tempat menginap. Ia adalah ayat yang dilipat dalam selimut. Ia adalah tanda bahwa Tuhan bisa menyewa hotel bintang lima untuk hamba-hamba-Nya yang sabar. Tanpa pesan. Tanpa down payment. Tanpa jaminan. Mereka tidak membayar malam itu. Tapi malam itu membayar banyak luka. Dani lalu mengatakan sesuatu yang bagi saya terdengar seperti doa yang disamarkan:

“Mas, kadang kita tidak perlu terburu-buru pulang. Karena Tuhan juga tidak selalu terburu-buru memberi. Tapi Ia pasti memberi. Itu pasti.”

Saya menunduk. Mencium aroma teh yang disuguhkan, seperti mencium ketenangan yang tak bisa dibeli. Lalu, dalam percakapan yang entah mengapa terasa seperti pengakuan dosa di pinggiran kota, saya bertanya dengan nada main-main, “Apa doa Ibu ketika di Multazam?”

Dia mengangkat bahu. Gerak kecil, tapi saya tahu beratnya seperti menahan gerimis agar tidak jatuh.

“Saya tidak berani berdoa banyak-banyak. Takut tidak kuat menerima,” katanya.

Kalimat itu membuat saya diam cukup lama.

“Saya hanya bilang, ‘Ya Allah, saya terima apapun. Asal Engkau tetap jadi arah saya pulang.’”

Saya mendengar kalimat itu seperti sedang membaca puisi dari buku tua yang belum selesai ditulis penulisnya.

“Kalau soal keinginan-keinginan pribadi,” katanya lagi, “saya pasrahkan ke orang yang minta didoakan. Biarlah mereka berdoa, saya yang mengaminkan.”

Saya tercekat. Di dunia yang penuh dengan orang yang sibuk meminta, saya bertemu seseorang yang bersedia menjadi peng-amin. Ia tidak ingin menjadi pusat dari doa-doa. Ia ingin jadi gema kecil. Menjadi amin di ujung doa orang lain. Ia adalah jalan sunyi dari spiritualitas yang tidak ingin dipamerkan.

Saya lalu teringat cerita dari pembimbing ibadah kloter itu, yang dulu adalah Ketua Rombongan satu SUB-58. Tahun lalu saya ketua kloternya. Kami pernah berbagi malam-malam tanpa tidur di Mina, meyakinkan jamaah yang hilang arah, atau membagi makanan untuk jamaah. Dan di sanalah saya menyadari: ibadah haji adalah ibadah yang kolektif, tapi hati tetap bekerja sendiri-sendiri.

Saya pulang malam itu di atas motor tua. Jalanan sepi. Tapi kepala saya penuh suara. Seperti malam sedang membacakan catatan harian yang tidak pernah saya tulis. Dan catatan itu berkata: tidak semua penundaan adalah musibah. Kadang ia adalah bungkus hadiah yang belum siap kita buka. Saya memikirkan kolam renang di hotel bintang lima itu. Kolam yang tidak disentuh para jamaah karena menjaga wudhu. Dan saya tersenyum pahit. Di kota ini, banyak orang yang berenang dalam dosa, tapi tetap bangga dengan pakaian ibadahnya.

Dani tidak sedang bercerita tentang mewahnya hotel. Ia sedang menyampaikan: bahwa dalam perjalanan menuju Tuhan, ikhlas bukan hanya kunci. Ia adalah rumah. Dan rumah itu tidak perlu besar. Cukup tenang. Ia tidak meminta surga, tidak menuntut umur panjang, tidak pula memohon harta. Ia hanya ingin tetap berdoa. Dan menjadi suara amin bagi mereka yang ingin meminta. Saya merasa telah berziarah malam itu. Bukan ke makam wali, bukan ke Madinah atau Arafah. Tapi ke hati seorang perempuan yang sudah haji bukan hanya dengan fisik, tapi dengan pasrah yang tidak dibuat-buat. Di jalan pulang, angin mengusik helm saya. Tapi saya tidak peduli. Saya masih memikirkan satu hal: Tuhan ternyata bisa menyewa hotel bintang lima. Dan malam ini, Ia juga telah menyewa ruang dalam hati saya—untuk saya diami dengan diam, untuk saya renungi dengan takut, dan untuk saya isi dengan kata paling sederhana dalam ibadah: Amin.

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar

 
Support : Copyright © 2020. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Modifiksi Template Warta Blambangan
Proudly powered by Syafaat Masuk Blog