Penundaan yang Datang Bersama Doa yang Telah Lama Diam
Pagi itu, langit belum sepenuhnya cerah, dan waktu terasa belum sepenuhnya sadar. Lalu datang sebuah video. Bukan sembarang kiriman. Ada sesuatu yang tersembunyi di dalamnya, sesuatu yang terasa lebih tua dari niat dan lebih muda dari kenangan. Ia datang dari Jeddah. Dan seperti sebagian takdir, ia tidak memilih hari baik. Ia datang begitu saja.
Video itu sunyi. Beberapa jamaah duduk, bercakap perlahan. Tidak ada Ka’bah. Tidak ada Arafah. Tidak ada doa yang menggema dari mulut yang gemetar. Yang tampak hanya kursi, meja, dan wajah-wajah yang menunggu. Tapi justru dari yang tidak tampak itulah, kita bisa mencium bau sabar yang sudah lama direbus dalam ketulusan.
Dan yang mengirim video itu, dia yang dulu pernah menyapa hatiku tanpa benar-benar tinggal, kini datang kembali. Tak menanyakan kabar. Tak juga menawarkan ingatan. Tapi cukup hanya dengan satu video, ia membuat pagi saya punya makna. Kadang, perasaan tak membutuhkan percakapan. Ia hanya butuh dikirimi isyarat bahwa yang jauh masih ada, meski tak lagi bersama.
Saya tahu, mereka mestinya sudah pulang dua hari lalu. Tapi tak semua yang mestinya pulang akan pulang tepat waktu. Tak semua jalan menuju rumah harus lurus. Sebagian justru harus melalui hotel berbintang dan kolam renang, agar kita tahu, tidak semua penundaan adalah musibah.
Kabar perubahan jadwal datang dari seseorang di kementerian. Dingin. Resmi. Datar seperti langit yang sedang menahan hujan:
> “SUB43/SV5302/24jun jam 03:50-21:10 berubah menjadi SV9302/26jun jam 03:50-21.10…”
Tak ada lampiran. Tak ada salam. Kalimatnya seperti kerikil kecil yang dilempar ke danau. Tapi dampaknya menyebar jauh ke dalam hati. Takdir kadang berbicara dengan bahasa birokrasi. Tapi rahmat tidak.
Seseorang membalas:
> “Selama penundaan ditanggung maskapai, jadi kita nikmati saja, semoga takdir terbaik dari Allah SWT.”
Ada jeda di situ. Jeda yang tidak dibuat oleh spasi, tapi oleh ikhlas. Kalimat itu terdengar seperti suara orang tua yang sudah tak lagi berdebat dengan hidup. Yang tahu bahwa segala yang datang, entah kabar baik atau kabar penundaan, semuanya dari arah yang sama: arah langit.
Lalu saya mengingat rencana yang pernah saya buat. Rencana yang tak jadi. Rencana untuk berangkat bersama. Tapi waktu mengubah itu semua. Dan kini saya melihat dari jauh—bahwa apa yang tertunda, sesungguhnya sedang disusun ulang oleh tangan yang lebih halus dari logika.
Di balik haji, yang tampak penuh cahaya dan air mata, ada juga rasa lapar, lutut nyeri, dan nasi kotak yang datang tiga kali sehari. Dan di hari ke-41, ketika prasmanan hotel hadir begitu saja, itu bukan cuma makanan. Itu adalah cara langit memberi selimut kepada tubuh yang sudah letih. Roti sobek, buah dingin, dan teh hangat itu bukan soal rasa. Itu soal diingatkan: kamu masih dijaga.
Teman saya menulis dengan polos:
> “Kita jamaah haji sudah 40 hari makan nasi kotak, tau-tau tadi pagi sarapan prasmanan standar hotel bintang 5. Susah sekali menceritakan kondisinya.”
Saya tahu maksudnya. Bukan soal mewahnya sarapan, tapi soal perasaan ketika yang tak diduga hadir seperti pelukan. Pelukan yang bukan dari manusia, tapi dari sesuatu yang lebih besar, yang tak tampak, yang tak perlu dipanggil tapi selalu tahu kapan harus datang.
Namun bahkan kelezatan omelet pagi itu tetap tak mampu menghalangi satu hal: rindu. Dan satu kalimat muncul:
> “Bagaimanapun mewahnya pelayanan, sebenarnya hati kami sudah di tanah air.”
Kalimat itu seperti daun kering yang jatuh tepat waktu. Ringan, tapi meninggalkan jejak. Ia bukan hanya puisi. Ia adalah nyanyian pulang. Nyanyian yang tahu bahwa rumah tak bisa digantikan, bahkan oleh surga.
Dan rindu, seperti juga iman, tidak butuh alasan. Ia hanya butuh tempat kembali. Rumah tidak selalu soal dinding. Rumah bisa jadi suara sandal istri di dapur. Rumah bisa jadi aroma tubuh ibu yang setia menunggu. Rumah bisa jadi jalan kampung yang belum diaspal, yang tetap setia mengantarkanmu pada waktu kecilmu yang tak pernah selesai.
Saya percaya, tidak semua orang bisa duduk tenang saat tertunda. Butuh usia. Butuh luka yang pernah dirawat doa. Butuh hati yang bersedia percaya bahkan saat segala hal tampak seperti salah. Dan yang bisa bersabar dalam penundaan, barangkali telah selesai dengan dirinya sendiri.
Ada juga cerita tentang alasan teknis. Tentang pesawat. Tentang Iran dan Israel. Tentang ketegangan politik. Tapi hati manusia tidak membaca geopolitik. Ia hanya tahu bahwa ketika rencana berubah, mungkin Tuhan sedang memeluknya lebih erat.
Saya kembali menonton video itu. Tak lama. Tapi cukup untuk membuat saya merasa dipanggil. Bukan oleh tempat, tapi oleh sesuatu di dalam diri saya sendiri yang sudah terlalu lama diam.
Dan dia, perempuan yang pernah singgah dalam hati, seperti hendak berkata lewat video itu:
“Aku baik-baik saja. Tapi lebih dari itu, semoga kau juga sudah berdamai dengan diri sendiri.”
Barangkali memang begitu cara Tuhan menyapa. Tidak lewat denting adzan atau letupan wahyu, tapi lewat video pendek. Lewat hotel yang tak jadi ditinggalkan. Lewat seseorang yang tak lagi bersamamu tapi masih tahu kapan harus mengingatkan.
Dan saya pun duduk lebih lama. Tidak menunggu siapa-siapa. Hanya menunggu diri sendiri tiba di tempat yang semestinya: tempat di mana saya bisa menyebut penundaan sebagai anugerah, dan pulang sebagai keadaan hati.
Banyuwangi, ketika rindu dan takdir mengendap di dalam teh panas. 24-06-2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar