Langsung ke konten utama

Bimbingan Ibadah Haji Mandiri

Saya berziarah haji, bukan ke Tanah Suci, tapi ke rumah seorang sahabat lama selepas salat Isya. Rumahnya di perempatan jalan perumahan yang temaram, di mana lampu-lampu gantung menggantung tanpa semangat, dan kopi hitam diseduh tanpa banyak basa-basi, bersanding kurma, dan  air zamzam, bukan hanya aroma kopi yang menyerupai doa yang tak selesai.

Kami duduk bersisian di teras, seperti para lelaki yang tahu bahwa usia mengubah haluan cinta, dan persahabatan bukan lagi perihal bercerita panjang-panjang, tapi duduk diam sambil menyimak semesta lewat bunyi sendok beradu pelan di dasar gelas, yang paling penting saat ziarah haji bukanlan ceritanya, apalagi oleh-oleh yang tak seberapa. kita hanya butuh doa, butuh motivasi agar bisa kembali ke tanah misteri. 

Ia adalah teman satu fakultas saat kami belajar hukum. Sekarang berpangkat komisaris polisi. Tahun ini dia berangkat haji. Tapi pembicaraan kami tidak pernah benar-benar tentang ibadah sebagai teori. Ia lebih tertarik menceritakan tentang logistik, strategi lapangan, dan pengalaman menyiasati rute manusia yang tak tertebak, kita adalah sekumpulan laki-laki yang ketika berkumpul akan mengalir banyak cerita, tentang masa lalu atau masa sekarang.

"Saya ini polisi. Hari kerja itu kami sibuk tangani perkara," katanya soal alasannya memilih KBIHU ketimbang hanya bimbingan dari pemerintah. Bimbingan dari kementerian terlalu sering bentrok dengan jam dinas. Ia butuh sesuatu yang fleksibel, KBIHU melaksanakan bimbingan di hari libur, sehingga meskipun harus bayar tetapi kita bisa mengikutinya. dan ini merupakan resiko bagi kita yang tidak ingin meninggalkan tugas untuk mengkuti bimbingan, meskipun oleh pimpinan juga diizinkan, sehingga dia juga beberapa kali mengikuti bimbingan dari Kementerian Agama, karena bimbingan di Kementerian Agama lebih lengkap karena ada kurikulum yang wajib diterapkan.

Ia memilih KBIHU karena janjinya: pembimbing dari swasta akan ikut menyertai hingga ke Makkah dan Madinah. Saya tertawa kecil mendengarnya. Janji di tanah air memang indah. Tapi sejarah, seperti biasa, punya kehendaknya sendiri. 


Tahun 2025, sistem delapan syarikah resmi berlaku. Dan tiba-tiba haji bukan lagi rombongan kompak dari bandara ke hotel yang sama, tapi seperti serpihan mozaik yang dibuang angin: satu kloter bisa menginap di delapan titik hotel berbeda. Teman saya menginap di Misfalah. Pembimbing KBIHU-nya malah tinggal di Syisyah. Dua titik yang termialnya saja di Masjidil Haram terpisah satu setengah kilometer dan ribuan manusia.

"Itu bukan jalan pagi di taman kota," katanya. "Kadang seperti pasar, kadang seperti banjir." Maka pembimbing yang dijanjikan tidak pernah benar-benar bisa hadir. Dan janji yang dibungkus manis di tanah air meleleh di panasnya tanah suci, tertakdirkan oleh syarikah yang kurang memahami kondisi bangsa Indonesia yang bereda suku, meskipun kita sudah terbiasa dengan perbedaan suku dan budaya ketika di tanah air, tetapi butuh waktu panjang untuk menyesuaikannya.

Tapi sahabat saya bukan tipe orang yang mudah gelagapan. Ia terbiasa memimpin sektor kepolisian, menghadapi unjuk rasa dan massa yang kehilangan akal sehat. Ketika ditunjuk sebagai ketua rombongan, ia membentuk struktur kecil: ada yang memimpin salat, mengurus lansia, logistik, hingga komunikasi. Ia sendiri jadi semacam komandan lapangan. "Tawaf itu bukan cuma urusan spiritual. Itu juga urusan koordinasi," katanya.

Ia membekali rombongan dengan semangat kebersamaan. Dalam pusaran mataf yang penuh sesak, semangat itu menjadi jangkar visual. Ia memberi instruksi: "saling melindungi, dan perempuan serta orang tua berada di tengah barisan" Saya membayangkan formasi mereka seperti ikan kecil di antara paus-paus besar. Dan suara komandonya, "ke kiri! ke kiri!" lebih mirip arahan evakuasi bencana dibanding ritual ibadah.

Ada sesuatu yang tak diajarkan di buku manasik: bertahan bersama. Kita diajarkan tentang rukun, wajib, larangan. Tapi tak diajarkan bagaimana tetap utuh saat satu orang hilang arah,atau pintu Masjidil Haram tiba-tiba ditutup, bisa jadi ketika jamaah keluar masjid secara terpisah, tidak tahu arah terminal, tidak tahu arah pulang.

"Keluar dari pintu berbeda lima menit saja, bisa tersesat setengah hari," katanya. Tapi tak ada pelatihan cara membaca arus manusia, cara mengenali pintu, atau cara mendekati askar yang setengah galak.

"Haji itu bukan cuma ibadah," katanya. "Itu juga soal logistik, soal daya tahan, dan soal bagaimana tidak saling kehilangan."

Saya menyesap kopi, yang kini mulai dingin. Tapi malam itu menjadi hangat oleh kesadaran baru: mungkin selama ini kita terlalu sibuk mencatat apa yang sah dan tidak sah dalam haji, sampai lupa bahwa ibadah juga soal bagaimana tidak membuat orang di sebelah kita merasa sendiri. Bahwa tawaf paling khusyuk mungkin bukan yang paling banyak doa, tapi yang dilakukan bersama, dengan orang-orang yang saling menjaga. Ia bilang, tak satu pun dari rombongannya hilang. Tak ada yang tersesat. Tak ada yang tertinggal. Tak ada yang patah hati karena kehilangan arah di tempat yang katanya paling dekat dengan Tuhan. Dan mungkin, di titik itulah ia benar-benar berhaji.

Saya pulang malam itu membawa pemahaman baru: bahwa cinta dan ibadah tak selalu berbentuk ayat dan dzikir. Kadang ia hadir dalam bentuk pita kuning, dalam strategi jalan kaki, dalam kejelian membaca arah massa. Kadang pembimbing terbaik bukan yang fasih tentang fiqih, tapi yang tahu kapan harus berhenti, kapan harus menoleh ke belakang.

Bahwa sebagian ibadah justru lahir dari tangan yang menggenggam di tengah kerumunan, dari suara pelan yang berkata, "ke kiri, ke kiri," dari kesediaan berjalan pelan agar yang tua tidak tertinggal. Dan itu, lebih dari apa pun, adalah ziarah paling sunyi yang bisa kita lakukan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Registrasi PTK Baru di Simpatika

Syarat Registrasi PTK Baru Persyaratan untuk melakukan registrasi PTK baru adalah sebagai berikut. 1. Belum memiliki PegID ataupun NUPTK 2.     Menjadi PTK di Madrasah/Sekolah yang dibuktikan dengan SK Pengangkatan  3.     Mengisi Formulir A05 Formulir tersebut diisi kemudian serahkan kepada Admin Madrasah atau Kepala Madrasah, dengan dilampiri: Pas photo berwana ukuran 4 x 6 sebanyak 1 lembar (Plus siapkan File Foto ukuran Maksimal 100 kb) 2.     Copy Kartu Keluarga 3.     Copy Ijazah SD (Terendah) 4.     Copy Ijazah Pendidikan Tertinggi 5.     Copy SK Pengangkatan sebagai PTK di madrasah tersebut Formulir A05  beserta lampirannya tersebut diserahkan kepada  Admin Madrasah  atau Kepala Madrasah untuk dimasukkan ke dalam sistem melalui "Registrasi PTK" di menu Pendidik dan Tenaga Kependidikan di Simpatika. Langkah bagi Operator atau K...

Kabar dari Armuzna

Kabar dari Armuzna Oleh: Petugas PPIH 2024 Sudah beberapa kali saya membaca kabar dari Armuzna—Arafah, Muzdalifah, dan Mina—dalam penyelenggaraan haji tahun ini. Setiap kali membaca, dada saya bergemuruh. Seperti aroma mesiu yang menggantung di udara, meletup-letup dalam kata, siap meledak dalam telunjuk jari. Tetapi saya tahan. Karena saya tahu, ini bukan hanya tentang pelayanan. Ini bukan sekadar soal logistik. Ini tentang kesabaran. Tentang mereka yang menggadaikan sebagian usia dan harta demi sebuah kata yang belum tentu bisa dibawa pulang: mabrur. Banyak yang pesimis pelaksanaan haji berjalan lancar seperti tahun 2024, pemerintah kerajaan Saudi Arabia memangkas petugas haji Indonesia, mereka yakin dengan sistem baru tidak perlu petugas terlalu banyak dari Indonesia. Awalnya kita percaya sampai pada akhirnya serumit ini kenyataannya.  Saya tahu, tidak mudah mengatur dua ratus ribu lebih jamaah Indonesia yang menyemut di tiga titik genting itu: Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Ba...

Santri Pekok

  Santri Pekok Oleh : Syafaat   Dalam Kamus Besar Bahasa Indoneai (KBBI) “pekok” artinya bodoh, bisa juga diartikan gokil, aneh atau nyleneh, bisa juga istiahnya gila/sesuatu yang tidak wajar tapi masih dalam batas garis, susah diberitahu,   berbeda dengan bodoh yang memang belum tahu. Sedangkan kata “santri” menurut wikipedia adalah sebutan bagi seseorang yang mengikuti pendidikan agama Islam di pesantren, biasanya menetap di tempat tersebut hingga pendidikannya selesai. Menurut bahasa istilah santri berasal dari bahasa Sangsekerta, “Shastri” yang memiliki akar kata yang sama dengan kata sastra yang berarti kitab suci, agama dan pengetahuan,. Ada pula yang mengatakan berasal dari kata “cantrik” yang berarti para pembantu begawan atau resi. Seorang cantrik diberi upah berupa ilmu pengetahuan oleh begawan atau resi tersebut. Tidak jauh beda dengan seorang santri yang mengabdi di pesantren, sebagai konsekwensinya pengasuh pondok pesantren memberikan ilmu pengetahuan ...