*Mereka yang Berbincang di Jalan yang Dikosongkan Setiap Minggu*
oleh.: Orang yang dataydi CFD
Pagi masih basah. Embun belum sepenuhnya terhapus dari dedaunan yang menempel di sepanjang trotoar. Suara langkah kaki terdengar ringan dan lambat di antara tawa-tawa kecil anak-anak yang berlarian tanpa sepatu, diiringi deru sepeda roda tiga yang digowes ayah muda.
Itu Minggu pagi, pukul enam lebih sepuluh menit. Udara masih ramah. Dan seperti biasa, jalan utama kota ini ditutup dari kendaraan bermotor. Trotoar menjadi lintasan bebas bukan hanya untuk pejalan kaki, tapi juga untuk cinta yang malas terburu-buru, dan kerinduan yang baru saja tahu tempat untuk pulang.
Aku duduk di bangku semen yang dicat hijau muda, di dekat pohon trembesi yang sudah dua puluh tahun berdiri di sana. Di sebelahku ada dia seseorang yang pernah kulewatkan begitu saja di koridor SMA, tapi pagi ini berbicara seperti ia tahu isi hatiku sejak dulu.
“Kau dengar kabar itu?” tanyanya, setelah menyesap es teh dalam gelas plastik. Suaranya tidak keras, tapi cukup untuk membuat jantungku berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.
“Kabar yang mana?” tanyaku, padahal aku tahu maksudnya. Aku hanya ingin membuat percakapan lebih panjang, lebih lama.
“CFD akan dipindah,” katanya, aku mengangguk, lalu diam. Dan di dalam diam itu, sebenarnya ada banyak hal yang hendak kukatakan: tentang bagaimana aku mengingat pertemuan kami tiga bulan lalu, di titik ini juga. Tentang anak-anak yang mengayuh sepeda kecil mereka seperti sedang berlomba menuju langit. Tentang pasangan paruh baya yang tiap minggu berjalan 2 kilometer hanya untuk membeli bubur ayam dari pedagang yang sama pedagang yang tahu mereka tidak suka cakwe. Tentang semua itu.
“Katanya, akan dipindah ke selatan kota. Jalan baru yang sepi. Lebih luas, katanya. Lebih strategis,” lanjutnya.
“Kau percaya?” tanyaku. Dia menoleh padaku. “Entah. Tapi aku tidak ingin kehilangan tempat ini.”
Aku mengerti. Bukan hanya soal tempat. Tapi juga tentang yang sudah tertanam dalam tubuh kita sebagai kebiasaan: detak jantung yang menyesuaikan dengan ritme kota, napas yang menyesuaikan dengan aroma roti bakar dan kopi susu sachet di pojokan jalan, tawa anak-anak yang mengejar balon sabun, dan remaja-remaja yang saling melempar pandang sambil menyeka peluh dengan tisu warung.
Ada yang lebih dari sekadar lokasi ada kehidupan yang berjejal di dalamnya, dan di balik semua percakapan romantis yang tampak sepele itu, terselip kekhawatiran yang sama: bahwa ketika pemerintah memindahkan satu kegiatan publik, mereka bukan hanya memindahkan keramaian, tapi bisa saja mencabut akar yang sudah ditanam sendiri oleh rakyat selama bertahun-tahun.
Pedagang tahu itu. Mereka yang menyusun meja sejak pukul lima pagi, mengangkat galon, memotong jeruk untuk es peras, menanak nasi, mengisi gas. Mereka bukan hanya ‘ikut serta’ dalam keramaian. Mereka membangunnya.
“Pernah dengar kata-kata ini?” kata dia tiba-tiba, menyentakkan lamunanku. “Rakyat itu juragan. Pemerintah itu pelayan.”
Aku tersenyum. “Siapa yang bilang?”
“Pedagang lontong tahu, di sebelah gerobak jus alpukat.”
Kami tertawa pelan. Tapi tawa itu menggantung seperti lampu hias di pagi hari terang tapi tak menyilaukan, bayangkan, bagaimana nanti jika anak-anak tidak lagi bisa bermain bola plastik di jalan yang kosong, karena CFD dipindah ke tempat yang lebih jauh, lebih steril, lebih ‘sesuai rencana kota’? Bagaimana jika remaja-remaja yang baru mengenal cinta tidak lagi punya tempat untuk berjalan pelan sambil berbagi cerita dari minggu yang berat?
Dan bagaimana denganku? Bagaimana jika pagi-pagi seperti ini tak lagi bisa kujadikan alasan untuk duduk berdua dengannya, dengan teh plastik dan obrolan ringan yang diam-diam menumbuhkan rasa?
Ada kota yang tumbuh dalam rencana para pejabat, dan ada kota yang hidup di dalam hati warganya. Yang pertama penuh rapat dan bagan. Yang kedua penuh kenangan dan napas.
Kami tidak membenci rencana. Tapi mungkin kami hanya ingin didengar. Karena cinta juga butuh ruang dan ruang itu tidak selalu bisa dipindah begitu saja, seperti memindahkan tiang listrik atau halte.
Karena kota ini tumbuh bukan karena program, tapi karena pertemuan-pertemuan kecil yang terjadi tanpa rencana seperti perbincangan kami pagi ini, yang nyaris tak penting, tapi justru terasa paling hidup.
Dan aku ingin mengatakan padanya, sambil menatap wajahnya yang sudah mulai diterpa matahari pukul tujuh:
“Jika CFD benar-benar dipindah, bolehkah aku tetap mengajakmu berjalan-jalan ke sini? Meskipun jalan ini tidak lagi kosong, dan suara motor kembali meraung, tapi mungkin... perasaan kita masih bisa menemukan ruang untuk tetap diam di sini.”
Dia tidak menjawab. Tapi dari senyumnya, aku tahu: cinta tidak butuh CFD. Tapi CFD membuat cinta lebih mudah tumbuh. Dan kota yang mencintai warganya, mestinya tidak memindahkan cinta begitu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar