Cerita ini datang dari seseorang yang tak sengaja menjadi saksi atas kebingungan manusia. Ia tidak sedang mengisahkan perang atau cinta yang ditolak, melainkan tentang seseorang yang ingin sampai kepada Tuhan tetapi tersesat di tengah prosedur, di antara nama-nama Syarikah dan kode rombongan.
Ia adalah pembimbing ibadah haji tahun ini. Tahun sebelumnya, istrinya yang bertugas. Tapi tahun ini, ia yang berangkat. Ia membawa nama negara, nama agama, dan nama-nama kecil dalam rombongan—nama-nama yang biasanya tak tercatat dalam sejarah, tapi sangat penting dalam kehidupan satu sama lain.v
Dia bertutur seperti orang yang tidak sedang ingin menyalahkan siapa-siapa, hanya menyampaikan keganjilan yang membuatnya merenung cukup lama. Tentang jamaah yang naik bis dari Madinah menuju Makkah, namun tak tahu bahwa mereka telah melewati miqat. Tentang pakaian ihram yang sudah dikenakan, tapi niat yang belum diucapkan. Tentang Masjid Bir Ali yang dikira Masjid Quba, dan tentang bis yang berhenti tanpa ada yang turun, karena semua mengira tempat itu bukan tujuan mereka.
"Padahal dari Madinah," katanya pelan, "sudah saya sampaikan bahwa kita akan miqat di Bir Ali."
Tapi ternyata antara kata yang diucapkan dan pemahaman yang sampai ada jarak yang tak bisa dijembatani dengan satu-dua kalimat dalam keramaian manasik. Apalagi jika kemudian realitas di lapangan berbeda dari imajinasi jamaah. Mereka pikir akan ada pembimbing di sana. Akan dikumpulkan dulu, diberi aba-aba, salat sunnah dua rakaat, lalu bersama-sama niat ihram.
Tapi itu tidak terjadi. Bis mereka hanya berhenti sebentar. Tidak ada yang turun. Tidak ada aba-aba. Tidak ada siapa pun yang memberi tahu bahwa inilah tempatnya, Masjid Bir Ali, bahwa inilah saatnya memulai ritual suci. Lalu bis melaju lagi. Waktu pun berlalu, hingga hari kedua di Makkah, ketika jamaah itu akhirnya sadar bahwa mereka belum niat. Mereka masih dalam pakaian ihram, tapi belum menjadi orang yang berihram. Mereka masih dalam kebingungan.
Mereka bertanya, “Bolehkah kami kembali ke Bir Ali untuk mengambil miqat?”
Temanku hanya menunduk. “Kalau sekarang,” katanya, “bukan miqat lagi namanya. Itu hanya nostalgia. Hukum sudah bicara lain.”
Seseorang yang melewati miqat tanpa berniat ihram telah meninggalkan salah satu kewajiban umrah. Dan jika itu terjadi, maka gantinya adalah dam. Denda. Menyembelih satu ekor kambing di Makkah dan memberikannya kepada fakir miskin. Sebuah tindakan simbolik, untuk menebus kekhilafan. Tapi dalam kasus ini, kekhilafan itu bukan datang dari keengganan, melainkan dari ketidaktahuan, dari kekacauan sistem, dari bahasa yang tak bertemu antara sopir bis dan para penumpangnya. Dan, seperti biasa, kambinglah yang jadi korban.
Kisah ini, bagi saya, lebih dari sekadar laporan teknis perjalanan haji. Ini adalah pengingat bahwa kadang kita terlalu percaya pada skema, pada sistem, pada asumsi bahwa segala sesuatu akan berjalan sebagaimana yang kita bayangkan. Kita lupa bahwa sebagian besar hidup justru terjadi dalam kekacauan kecil yang tidak kita siapkan.
Di sinilah letak pentingnya pendidikan sebelum ibadah. Pendidikan yang bukan hanya dalam bentuk ceramah di aula, tapi pelatihan nyata yang menyiapkan jamaah untuk berjalan sendiri. Karena memang pada akhirnya, setiap orang akan berjalan sendiri. Tidak semua akan mendapat kemewahan dikawal pembimbing dalam bis yang sama, atau diberi tahu kapan saatnya membaca niat. Kadang, satu-satunya pembimbing kita hanyalah pengetahuan yang kita simpan di dalam hati.
Tapi sayangnya, banyak dari kita yang berangkat dengan bekal keyakinan bahwa “akan ada yang mengurus.” Kita datang sebagai anak-anak manja yang berharap ada orang tua spiritual yang akan membimbing kita dari miqat hingga mabit. Padahal, dalam banyak situasi, satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan kita adalah diri kita sendiri.
Dan di sinilah seharusnya peran negara hadir—bukan hanya sebagai pengatur akomodasi dan makanan, tapi sebagai pemantik kesadaran spiritual yang mandiri. Sebab, sebanyak apa pun pembimbing disiapkan, selama mereka tak berada dalam satu kendaraan, satu ruang, dan satu waktu yang sama dengan jamaah, maka peran mereka akan kehilangan maknanya.
Teman saya bilang, tahun depan ini harus dievaluasi. Bahwa keberagaman Syarikah (perusahaan penyelenggara layanan) membuat segalanya jadi lebih rumit. Bahwa pembimbing tidak bisa lagi menemani jamaah secara langsung karena setiap rombongan dipecah, dibagi ke bis yang berbeda, sopir yang berbeda, dan SOP yang entah siapa yang pahami.
Maka, harapannya adalah agar jamaah dididik menjadi jamaah yang mandiri. Yang tidak hanya tahu rukun haji, tapi tahu bagaimana membacanya di tengah kekacauan sistem. Yang tidak hanya hafal syarat wajib, tapi tahu kapan harus bertanya dan kepada siapa. Yang tidak hanya paham teori niat, tapi tahu kapan saatnya mengucap sebelum segalanya terlambat.
Karena haji, pada akhirnya, bukan hanya tentang berangkat dan pulang. Tapi tentang menemukan jalan sendiri menuju Allah, bahkan ketika tak ada yang menuntun, bahkan ketika semua penunjuk jalan mendadak hilang. Karena haji, seperti hidup, adalah perjalanan yang dalam banyak hal kita jalani seorang diri—dengan pakaian ihram, dengan keraguan, dan dengan tekad untuk tidak menyerah meskipun kadang tak tahu ke mana harus turun dari bis yang melaju terlalu cepat.
Dan dalam sunyi miqat yang tak sempat disentuh, kita belajar: bahwa tidak semua perjalanan bisa dituntaskan dengan sempurna, tapi semua perjalanan selalu bisa ditafsirkan kembali. Dalam tafsir itulah, mungkin, Tuhan menyisipkan pengampun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar