Selamat Datang di Warta Blambangan

Pages

Home » » Kabar Mesra Dari Jeddah

Kabar Mesra Dari Jeddah

 *Kabar Mesra dari Jeddah*

Pagi itu saya menerima kiriman video dari Jeddah. Video itu bukan kiriman acak. Itu dari seseorang yang dulu pernah sebentar singgah di hati dan menjadi pikiran. Ia tidak pernah benar-benar tinggal, tapi juga tidak pernah benar-benar pergi. Dan video itu, seperti dirinya, datang tanpa aba-aba. 

Di dalam video itu tak ada yang meledak atau terbakar. Tak ada gema takbir yang menggetarkan dada, tak ada tenda putih Arafah, tak ada Ka’bah. Hanya rekaman pendek: beberapa jamaah haji duduk di meja makan, bercakap pelan, terdengar sesekali gelak tertahan. Selebihnya hening. Tapi kalau kau tahu mereka mestinya sudah pulang dua hari lalu, video itu jadi semacam fragmen takdir yang lupa dikunci, yang lebih menggregetkan adalah dia juga mengirimkan suasana hotel yang dilengkapi kolam renang, kamar mewah yang ditempati oleh hanya dua orang. 


Penerbangan mereka tertunda. Dua hari. Dari 24 ke 26 Juni. Saya tahu karena seorang teman dari Kementerian Agama mengirimkan kabar dalam format paling resmi yang bisa dibayangkan—tanpa lampiran, tanpa salam, tanpa basa-basi:

> “SUB43/SV5302/24jun jam 03:50-21:10 berubah menjadi SV9302/26jun jam 03:50-21.10…”

Kalimat itu seperti sepotong pengumuman di papan pengumuman kantor RW: datar, pasti, tak bisa diganggu gugat.

Tapi kemudian muncul balasan. Kalimat yang entah kenapa terasa sangat dalam:

> “Selama penundaan ditanggung maskapai, jadi kita nikmati saja, semoga takdir terbaik dari Allah SWT.”

Kalimat itu terdengar seperti ucapan dari seseorang yang hidupnya sudah selesai marah, sudah selesai menuntut, dan sekarang tinggal duduk tenang sambil menyeruput teh panas. Saya mendengarnya seperti mendengar nasihat seorang guru tua yang bicara dengan suara parau, pelan-pelan: Tunggulah, kadang yang kita sebut penundaan adalah bonus dari langit.

Saya sempat berpikir: bagaimana jika saya jadi berangkat bersama mereka? Tadinya teman saya itu dan suaminya ingin berangkat bareng. Saya menunda, demi bisa berangkat bersama orang tua. Saya membayangkan andai saya ikut rombongan itu—mungkin saya akan menyaksikan sendiri kemesraan mereka, dan mungkin saya tidak tahu bagaimana harus berdamai dengan perasaan saya sendiri.

Jika Anda belum pernah berhaji, atau belum melihat orang tua Anda melakukannya, Anda mungkin membayangkan segalanya serba indah dan wangi kasturi. Tapi di balik itu, ada kelelahan yang panjang, dan nasi kotak yang datang tiga kali sehari. Satu menu untuk semua. Rasanya tidak buruk, tapi juga tidak cukup baik untuk dikenang. Maka, ketika pagi itu mereka turun dari kamar dan menemukan prasmanan hotel bintang lima—roti sobek lembut, buah potong, omelet dalam penghangat stainless—itu bukan sekadar makan. Itu seperti pulang ke rumah orang kaya setelah seminggu tidur di gubuk. Teman saya menuliskannya dengan polos:

> “Kita jamaah haji sudah 40 hari makan nasi kotak, tau-tau tadi pagi sarapan prasmanan standar hotel bintang 5. Susah sekali menceritakan kondisinya.”

Saya bayangkan seseorang duduk di sana. Mungkin dia mengambil dua potong semangka, menuang teh ke cangkir porselen, lalu diam agak lama. Ia tahu, ini bukan karena dibayar, tapi karena diberi. Takdir kadang seperti itu—mampir, memberi, lalu pergi.

Namun seberapa pun lezat omelet pagi itu, tetap tak cukup untuk menambal rindu yang perlahan-lahan meletup. Dan seseorang menuliskan:

> “Bagaimanapun mewahnya pelayanan, sebenarnya hati kami sudah di tanah air.”

Kalimat itu mestinya dijadikan puisi. Atau diletakkan di stiker koper haji. Atau digantung di langit-langit bandara: Hati kami sudah di tanah air.

Karena memang begitulah cara rindu bekerja. Ia tidak bisa dipuaskan oleh selimut tebal dan bantal empuk. Tidak oleh AC yang dinginnya sopan. Tidak oleh hotel mewah dan hidangan gratis. Rindu hanya bisa dibayar oleh rumah. Oleh suara sandal istri di dapur, suara anak-anak mengaji di musholla dekat rumah, atau senyum tetangga yang tak banyak berubah sejak 20 tahun lalu.

Saya rasa cerita ini cocok dibaca oleh orang-orang yang tak sabaran—yang marah jika makan siang telat sepuluh menit, yang kesal jika sinyal WiFi putus sejenak, yang menyumpah setiap kali pesawat delay satu jam. Mereka mungkin bisa belajar sedikit ketenangan dari para haji yang tersenyum saat tahu harus tinggal dua malam lagi. Mereka menyebutnya: Bonus dari Allah.

Dan saya percaya, tak semua orang mampu menikmati penundaan. Butuh usia tertentu. Butuh hati yang sudah cukup lama direndam doa. Butuh latihan untuk percaya bahwa Tuhan sedang menyusun sesuatu yang lebih baik dari rencana kita.

Teman-teman saya, para petugas kloter yang tahun lalu sempat menjadi jamaah, membisikkan info lain. Sebenarnya penundaan itu soal teknis biasa. Tapi karena berbarengan dengan situasi geopolitik Timur Tengah yang diguncang Iran dan Israel, semuanya jadi serba waspada. Ada yang bilang situasi jadi “serba dah dig dug.” Itu bukan frasa resmi. Tapi sangat menggambarkan rasa.

Dan saya kembali memutar video itu. Saya tidak tahu siapa yang merekam. Tapi saya tahu siapa yang mengirimkannya. Seorang perempuan yang pernah sebentar singgah di hati dan sampai sekarang tak pernah benar-benar pergi. Barangkali ia hanya ingin bilang, "Aku baik-baik saja." Tapi video itu seperti berkata lebih dari itu: bahwa takdir, dalam banyak hal, adalah penundaan yang paling tenang di dunia.

Dan saya, yang tak ikut berhaji, justru merasa seperti sedang dipanggil pulang.


Banyuwangii, 24-06-2025

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar

 
Support : Copyright © 2020. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Modifiksi Template Warta Blambangan
Proudly powered by Syafaat Masuk Blog