Pages

Home » » Selendang Sang Gandrung

Selendang Sang Gandrung

 Selendang Sang Gandrung

Oleh: Syafaat

Malam di stadion Diponegoro Banyuwangi, (perlu saya tulis kata Banyuwangi, karena nama stadion tersebut tidak menggunakan nama pahlawan dari Banyuwangi), seperti tubuh raksasa yang bernafas pelan, lampu-lampu sorot menggantung di udara, memantulkan cahaya ke seribu lebih penari yang tengah berlatih. Di atas tanah yang berdebu, mereka bergerak serempak: mengangkat tangan, memutar tubuh, mengibaskan selendang merah yang berkibar seperti nyala api yang tak pernah padam.

Mereka menari bukan untuk memanggil tepuk tangan, mereka menari untuk memanggil sesuatu yang lebih tua dari mereka, sesuatu yang hidup dalam ingatan tanah Banyuwangi, yang bersemayam di setiap desir angin dari Ijen hingga pantai Boom.

Tema tahun ini: Selendang Sang Gandrung, sebuah nama yang terdengar manis di lidah, tapi sesungguhnya seperti sisipan mantra. Ada kisah lama yang beredar di bumi Blambangan, bahwa selendang pertama milik penari Gandrung bukanlah kain biasa. Ia bukan dijahit, melainkan “lahir” dari kabut dini hari di lereng gunung ijen. Menurut cerita para tetua, selendang itu bukan sekedar kain, tetapi juga ada mantra jelmaan embun yang menyerap doa para petani, lalu mengering di bawah sinar matahari pertama, sejak itu, siapa pun yang mengenakannya dalam tarian, akan membawa suara tanah, laut, dan langit ke dalam geraknya.v


Konon, sebelum ada istilah “Gandrung Sewu”, sudah ada penari yang menari di tepi pantai, dalam beberapa ritual, seperti petik laut. Ia tidak diketahui namanya, hanya dengan panggilan Sang Penari. Ia menari di antara suara ombak, mengibaskan selendang merah yang seakan berbicara dengan angin, setiap kibasan adalah doa, setiap ayunan tangan adalah pengingat bahwa manusia dicipta bukan hanya untuk bekerja, tetapi juga untuk mengucap syukur dengan cara yang indah.

Ketika orang-orang meniru geraknya, mereka menyebutnya “tarian Gandrung”, tarian yang lahir dari rasa cinta, dari pesona, dari keterpesonaan kepada kehidupan itu sendiri.

Kini, beberapa tahun kemudian, ribuan anak muda berdiri di bawah lampu stadion dengan selendang yang sama warnanya: merah darah, merah cinta, merah semangat, mereka datang dari berbagai daerah, dari Malang, Kediri, Bali, Situbondo, bahkan Papua dan Sumatera Selatan.

Tak ada yang bertanya siapa mereka, dari suku apa, dari agama mana. Yang penting adalah bagaimana mereka bisa menari dalam satu napas, satu irama, satu kesatuan, di udara malam yang hangat, selendang itu bergetar seperti gelombang laut, dari atas drone, formasi mereka tampak sempurna: lautan merah dan kipas putih yang menyala di tengah gelapnya tanah. Tapi jika dilihat lebih dekat, setiap penari memiliki caranya sendiri untuk menafsirkan gerak, ada yang lembut seperti kabut pagi, ada yang kuat seperti ombak pasang. Di sanalah rahasia Gandrung bersemayam: keindahan lahir bukan dari keseragaman, melainkan dari keragaman yang bergerak dalam satu harmoni.

Para tetua di Blambangan percaya, setiap kali ribuan penari mengibaskan selendang merah bersama-sama, arwah para leluhur akan turun menonton, bukan dalam bentuk hantu, tapi dalam bentuk angin lembut yang menyentuh kulit, membuat bulu tangan berdiri tanpa sebab. Itu bukan rasa dingin, itu getaran restu.

Sebab bagi orang Banyuwangi, tarian bukan hiburan. Ia adalah bahasa doa, setiap gerak tangan, setiap langkah kaki, setiap senyum di wajah penari, adalah bagian dari zikir panjang yang disampaikan kepada alam semesta.

Ketika selendang dikibaskan ke kanan, itu tanda penghormatan, ketika dikibaskan ke kiri, itu tanda penolakan terhadap bala.

Ketika diangkat ke atas, itu tanda kesetiaan pada langit dan tanah tempat mereka berpijak.

Maka jangan heran, jika di tengah latihan, selalu ada momen ketika seseorang tiba-tiba menitikkan air mata tanpa tahu sebabnya. Mungkin karena selendang itu masih menyimpan suara masa lalu, suara laki-laki dan perempuan kuat yang dulu menari di tengah hutan, membawa pesan perlawanan dalam kelembutan gerak.

Dalam pandangan para penari tua, selendang adalah bagian tubuh kedua. Ia hidup ketika disentuh, ia bernyanyi ketika digerakkan, bahkan ada kepercayaan lama, bahwa jika seorang penari meletakkan selendangnya di tanah dengan hati yang gelisah, maka tanah akan bergetar pelan, seolah tidak rela menerima benda yang membawa jiwa.

Selendang bukan milik pribadi. Ia adalah perpanjangan dari cinta kolektif, karena itu, warnanya tidak pernah benar-benar sama, di bawah cahaya, merahnya kadang tampak oranye, kadang darah tua, kadang seperti bunga flamboyan yang baru mekar.

Seperti kehidupan: satu warna yang terus berubah, tapi tak pernah kehilangan maknanya.

Mitos lain mengatakan, warna merah pada selendang Gandrung berasal dari darah para pejuang Blambangan yang tumpah di Padang Puputan, ketika mereka melawan pasukan kompeni.

Ketika perang usai dan tanah menjadi gelap, seseorang mngangkat kain putih yang menjadi warna merah darah. “Agar tanah ini tak lupa, dengan perjuangan leluhurnya” katanya.

Sejak itu, merah menjadi warna abadi dalam setiap selendang Gandrung, warna keberanian yang disembunyikan di balik kelembutan.

Itulah paradoks yang indah dari Banyuwangi: bahwa kelembutan tidak pernah berarti lemah. Justru dari kelembutanlah lahir kekuatan yang paling murni.

Seperti doa yang berbisik di malam hari, tak terdengar keras tapi mampu mengguncang langit.

Anak-anak kecil yang menari di barisan depan disebut “penjaga gerbang tari”. Mereka adalah simbol kemurnian, lambang masa depan, mengajari mereka menari bukan perkara mudah, tetapi para pelatih tahu: kesalahan anak-anak tidak pernah dianggap dosa, melainkan keindahan yang belum sempurna.

Kesalahan orang dewasa adalah kehancuran formasi, dan kesalahan anak-anak adalah bagian dari kejujuran hidup itu sendiri.

Para penari Gandrung belum dianggap penari sebelum mengikuti wisuda, ritual meras Gandrung merupakan keniscayaan sebelum benar-benar dianggap penari. Begitulah Banyuwangi memahami kesatuan: tidak dari kesempurnaan, tapi dari penerimaan terhadap ketidaksempurnaan, seperti selendang yang kadang terlepas dari bahu, tapi tetap indah ketika diayunkan kembali.

Di tepi pantai nanti, ketika Gandrung Sewu digelar, seribu lebih selendang akan melambai bersamaan, dari jauh, mereka tampak seperti sayap burung merah yang menari di atas ombak. Langit, laut, dan bumi akan menjadi satu panggung, dan di tengah itu semua, mungkin roh Sang Penari pertama akan menampakkan diri, bukan dalam wujud manusia, tapi dalam bentuk bayangan di antara cahaya senja, atau desir angin yang membelai rambut penari muda.bIa tidak datang untuk menakuti. Ia datang untuk mengingatkan: bahwa setiap gerak adalah doa, setiap tari adalah persembahan, dan setiap selendang adalah kitab yang menulis ulang sejarah dengan bahasa tubuh.

Dalam keheningan itu, mungkin terdengar tembang Gurit Mangir, tembang lama yang dinyanyikan dengan suara serak para sinden dewasa. Tembang itu bercerita tentang perempuan yang menenun cahaya fajar menjadi kain, lalu menyerahkannya kepada bumi agar manusia tidak lupa menari. Setiap nada dari tembang itu seperti benang takdir yang menautkan masa lalu dan masa kini.

Dan di sanalah, Selendang Sang Gandrung menjadi lebih dari sekadar tema pertunjukan: ia menjadi mitos yang hidup.

Jika ditanya apa makna selendang Gandrung, mungkin tak seorang pun bisa menjawab dengan kalimat tunggal, bagi sebagian orang, ia adalah simbol cinta, bagi yang lain, simbol perjuangan.

Bagi para penari muda, mungkin hanya kain merah yang wajib dibawa di setiap latihan, tetapi bagi tanah Banyuwangi, selendang itu adalah nadi yang masih berdenyut, nadi yang menghubungkan manusia dengan leluhurnya, masa kini dengan masa lalu, menghubungkan tubuh dengan jiwa.

Malam di stadion itu akhirnya berakhir, penari satu per satu keluar arena. Tapi di udara, masih tersisa gema gerak dan suara angin yang mengusap pelan, selendang merah yang tadi melambai kini terlipat rapi di dada para penari. Tapi entah mengapa, dalam kegelapan yang tiba-tiba sunyi, terasa seolah selendang itu masih hidup, bergetar lembut di antara dada mereka, seperti masih menari sendiri dalam diam. Mungkin karena selendang itu memang bukan kain. Ia adalah jiwa yang menyaru menjadi kain, agar manusia tak lupa menari di dunia yang semakin sibuk berjalan.

Dan mungkin, di ujung waktu nanti, ketika dunia berhenti berputar dan cahaya terakhir meredup, akan tampak satu sosok penari terakhir, berdiri di tepi laut Banyuwangi, mengibaskan selendang merahnya untuk terakhir kali, sebagai tanda bahwa manusia pernah menari dengan penuh cinta di bumi ini.

Sebab selendang sang Gandrung bukan sekadar kain. Ia adalah doa yang menari di antara dua dunia: dunia manusia yang fana, dan dunia roh yang abadi.

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar

 
Copyright © 2013. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Template Modify by Blogger Tutorial
Proudly powered by Blogger