Pages

Home » » Gema Madrasah di Liga Puisi

Gema Madrasah di Liga Puisi

 Gema Madrasah di Liga Puisi

Oleh: Syafaat

Liga Puisi 4 yang digelar Jawa Pos Radar Banyuwangi memang telah berakhir, namun gema dan napasnya belum benar-benar pergi. Ia masih berputar di udara seperti gema adzan di dada yang belum selesai berdzikir. Setiap kali kenangan itu disentuh, terdengar kembali suara-suara anak madrasah yang membaca puisi dengan wajah serius, suara yang mungkin sedikit gemetar, namun jujur. Suara yang tidak hanya mengucapkan kata, tetapi menyalakan lentera kecil di dalam dirinya sendiri.

Dari empat kategori jenjang yang dilombakan, tiga juara pertama diraih oleh insan madrasah: SD/MI, SMP/MTs, dan kategori guru. Tiga kemenangan itu seperti tiga bait dalam satu puisi panjang tentang kesabaran, bait pertama ketulusan, bait kedua keuletan, bait ketiga doa yang tak bersuara. Orang bisa menyebutnya keberuntungan, tetapi siapa pun yang memahami denyut hidup di madrasah akan tahu: ini bukan kebetulan. Ini buah dari kerja panjang yang senyap, dari peluh yang jatuh di antara dhuha dan ashar, dari latihan-latihan kecil yang tak pernah dimuat di berita, tapi menyimpan cahaya di baliknya, seperti lampu minyak yang terus menyala di tengah malam panjang. 


Madrasah adalah dunia kecil yang melatih kepekaan dengan cara paling sederhana. Di sana anak-anak belajar membaca Al-Qur’an dengan tajwid yang benar, melagukan Tilawah dengan suara yang bening, lalu tanpa sadar belajar pula membaca kehidupan dengan rasa yang halus. Dua tahun sekali mereka mengadakan Pekan Olahraga dan Seni (PORSENI) hingga ke tingkat provinsi—dan membaca puisi selalu menjadi cabang lomba yang ditunggu, seperti zikir yang berubah rupa menjadi suara. Di madrasah, puisi bukan pelarian dari kenyataan, melainkan pelengkap iman. Anak-anak membaca dan menulis tentang ibu yang tak pernah berhenti berdoa, tentang guru yang berjalan di bawah gerimis membawa spidol, tentang langit pagi yang disapa dengan salam dan harapan.

Sering kali terlupa bahwa di balik seragam hijau tua itu, tersimpan anak-anak yang memendam mimpi menjadi penyair. Mereka mungkin tak memiliki banyak buku sastra, tetapi mereka punya guru yang mengajarkan makna kata ikhlas. Mungkin karena itu, setiap kali mereka membaca puisi, ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan, getar yang membuat penonton diam sejenak sebelum bertepuk tangan. Bukan karena kagum, tetapi karena terharu. Sebab yang berbicara di atas panggung bukan sekadar anak madrasah, melainkan hati yang sedang mencari cara untuk bersyukur.

Kini banyak madrasah menggandeng pelatih profesional, bukan karena kurang percaya diri, melainkan karena ingin belajar dari yang terbaik. Mereka tahu, membaca puisi bukan hanya tentang suara, tetapi tentang keberanian membuka hati. Di antara anak-anak itu, ada yang dulunya pemalu, tak berani bicara di depan kelas. Namun ketika diberi teks puisi dan diminta membaca, sesuatu di dalam dirinya menyala. Puisi memberi ruang untuk menjadi diri sendiri, memberi tempat bagi jiwa untuk berbicara tanpa takut dihakimi.

Kementerian Agama dalam beberapa tahun terakhir semakin giat menumbuhkan gerakan literasi dan sastra. Guru-guru madrasah dan ASN membentuk komunitas, menerbitkan antologi, menulis di media. Sebagian dari mereka bahkan rutin mengadakan pelatihan menulis di sela jam mengajar, di antara azan dan ujian. Literasi di madrasah bukan sekadar program, melainkan jalan menuju empati; bukan lomba untuk menang, tetapi perjalanan menuju pencerahan.

Entah dengan rahasia apa, madrasah selalu punya cara yang lembut namun dalam dalam menanak rasa. Kata-kata di sana tumbuh dari tanah yang disiram doa dan diterangi ayat. Saat para santri menulis, ada aroma kitab yang baru saja dibuka, wangi kertas, tinta, dan kesunyian yang penuh makna. Di antara diksi-diksi mereka tercium jejak sujud yang panjang, langkah kecil menuju pemahaman yang tak selalu perlu dijelaskan. Dan ketika mereka membaca, suara mereka datang dari ruang yang lebih jauh dari sekadar panggung, ada gema doa di setiap jeda, ada dzikir yang bersembunyi di antara tanda baca. Bahasa mereka mungkin belum semegah para penyair besar, tetapi kejujuran mereka berdenyut lebih hangat, lebih hidup—seperti embun yang tak tahu bahwa dirinya sedang memantulkan cahaya matahari. Sebab di madrasah, kata-kata tak pernah dikejar untuk dipuji, melainkan dijaga agar tetap suci. Di sana, kalimat lahir dari hati yang terbiasa tunduk pada makna, dan setiap makna adalah perjalanan pulang menuju Yang Maha Kata.

Liga Puisi bukan sekadar ajang, melainkan cermin kecil dari apa yang telah mereka tanam bertahun-tahun. Kemenangan bukan tujuan utama, mereka datang bukan hanya untuk bersaing, tetapi untuk berbagi ruh. Ada murid MI yang membaca puisi tentang pendidikan dan kemiskinan, guru madrasah yang menulis tentang sunyi ruang kelas dan karut-marut nasib anak bangsa, siswi MTs yang suaranya nyaris pecah menahan tangis saat membaca tentang perjuangan orang tua. Tak satu pun dari itu dibuat-buat, semuanya lahir dari hati yang mengenal kehilangan dan doa.

Layak diteladani, bagaimana mereka saling mendukung tanpa iri, tanpa ingin tampil paling indah. Di ruang lomba itu, terpantul semangat lama: bahwa puisi tidak dilahirkan dari kepandaian, melainkan dari kepedihan yang diterima dengan sabar. Dan barangkali di situlah madrasah menang, karena mereka telah terbiasa menulis dan membaca dengan kesabaran, seperti santri yang belajar menulis huruf arab satu demi satu hingga menjadi doa yang utuh.

Madrasah, dengan segala kesederhanaannya, kini menjelma taman kata. Di sana, iman dan imajinasi saling berpelukan seperti dua sahabat lama yang tak pernah benar-benar berpisah. Anak-anak belajar shalawat sambil belajar metafora, menulis bukan untuk terkenal, melainkan agar langit mendengar. Setiap bait menjadi doa yang disusun dalam bentuk baru; setiap kata adalah zikir yang disampaikan dengan nada lembut. Suatu hari nanti, tak ada lagi yang heran melihat madrasah terus melahirkan penyair. Sebab di sana, puisi tak pernah diajarkan sebagai pelajaran, tetapi dihidupkan sebagai kehidupan. Membaca puisi menjadi cara lain untuk bersyukur, menulis puisi menjadi bentuk zikir yang paling sunyi.

Dan ketika panggung Liga Puisi telah kosong, mikrofon dimatikan, para juri meninggalkan tepat, gema itu masih tinggal. Ia bergetar di dada para guru yang tersenyum bangga, berbisik di hati anak-anak yang malamnya masih mengulang bait-baitnya di depan cermin. Di dunia yang semakin bising ini, madrasah telah memberi satu anugerah paling berharga: kemampuan untuk mendengarkan suara hati sendiri, suara yang lirih namun abadi, yang kelak tumbuh menjadi puisi kehidupan itu sendiri.


Penulis adalah Ketua Lentera Sastra Banyuwangi

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar

 
Copyright © 2013. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Template Modify by Blogger Tutorial
Proudly powered by Blogger