Ketika Para Perempuan NU Dilantik di Pendopo
Oleh :
Syafaat
Di
layar kecil gengaman tangan yang memantulkan wajah dan cahaya, hadir sosok Dr.
Emy Hidayati, teman lama saya di pergerakan, suaranya tenang, namun setiap kata
mengandung getar yang dalam, gesah virtual pasca pelantikan Muslimat NU itu
bukan sekadar percakapan, melainkan semacam majelis ruhani yang menyulam
harapan dengan kesadaran. Dalam tutur beliau, tersirat pesan yang meneduhkan:
bahwa kepemimpinan bukan perkara jabatan, melainkan ladang pengabdian, bahwa
perempuan Muslimat harus menjadi cahaya yang menerangi, bukan hanya di ruang
publik, tetapi juga di ruang batin keluarga, di mana kasih sayang adalah tafsir
terindah dari ajaran agama.
Pendopo
itu, meski kini hanya menjadi latar di balik layar, seolah kembali hidup, seperti
ruang yang mendengar dzikir, menyaksikan tekad, dan menyimpan doa-doa yang
terbang dari hati yang berikrar untuk melanjutkan perjuangan para ibu terdahulu,
dengan kelembutan yang tegas, dengan kesabaran yang berani, dan dalam setiap
jeda gesah itu, terasa seperti ayat yang baru diturunkan: bahwa harapan
bukanlah ucapan, melainkan cahaya yang tumbuh di dada, menuntun langkah
Muslimat untuk terus menebar rahmat di bumi Banyuwangi yang diberkahi.
Di
bawah atap pendopo yang teduh, para perempuan berseragam hijau itu duduk
berbaris dengan wajah penuh cahaya, di sebagian tangan mereka, tasbih
menggantung pelan seperti menunggu lafaz doa yang akan lahir dari hati, di
sana, di ruang yang tidak hanya menampung tubuh tetapi juga niat, pelantikan
kepemimpinan Muslimat NU berlangsung dengan khidmat. Pendopo itu bukan sekadar
bangunan tua tempat acara digelar; ia seperti saksi dari kesungguhan hati
perempuan-perempuan yang datang bukan untuk berkuasa, tetapi untuk berkhidmat,
angin sore yang menyusup di sela-sela tiang kayu membawa harum bunga
melati, wangi yang mengingatkan bahwa
pengabdian selalu bermula dari kesucian niat.
Pelantikan
Muslimat NU bukan sekadar seremoni, melainkan pembacaan ulang atas makna rahmah
dalam kehidupan sosial, dalam wajah-wajah yang tertunduk penuh syukur itu,
terbaca tekad untuk menegakkan nilai-nilai kemaslahatan sebagaimana diajarkan
maqāṣid al-syarī‘ah: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Tapi ada
satu penjagaan lain yang tidak disebut dalam kitab-kitab fikih, yaitu menjaga
kasih sayang agar tidak hilang dari bumi manusia. Sebab tanpa kasih sayang,
kepemimpinan menjadi dingin, tanpa kelembutan, kekuasaan menjadi keras. Dan
tanpa doa, semua perjuangan kehilangan arah.
Ayat
dalam Surah An-Nisā’ seakan bergema di ruang pendopo itu:
"Tidak
ada kebaikan dalam kebanyakan pembicaraan mereka, kecuali yang mengajak kepada
sedekah, kebaikan, dan perdamaian di antara manusia."
Ayat itu seperti turun langsung ke dada para Muslimat yang baru saja dilantik, mengingatkan bahwa kepemimpinan bukan tentang banyaknya kegiatan, tetapi tentang makna di balik setiap langkah. Bahwa rapat, diskusi, dan program sosial hanya bernilai ketika berorientasi pada tiga hal: menolong yang lemah, menebar kebaikan publik, dan memelihara kedamaian sosial.
Dari
pendopo itu, harapan baru dipanjatkan, harapan agar Muslimat NU tetap menjadi
penyangga moral di tengah krisis kemanusiaan, agar kepemimpinan mereka menolak
keserakahan material dan menggantinya dengan spiritualitas sosial, paradigma
pembangunan yang menolak logika proyek dan menggantinya dengan logika cinta. Dalam
setiap gerak langkahnya, Muslimat NU telah membuktikan bahwa kerelawanan tidak
pernah mati. Ia hadir di dapur-dapur pesantren, di posko bencana, di jalanan
tempat anak-anak kecil belajar mengaji di bawah lampu temaram, mereka datang
bukan membawa spanduk, tapi membawa doa, tidak berteriak tentang program, tapi
bekerja dalam senyap yang penuh keberkahan.
Kepemimpinan
sejati, sebagaimana yang hidup dalam napas Muslimat NU, bukan tentang sorotan
kamera, melainkan tentang tangan-tangan yang rela kotor demi membersihkan luka
masyarakat. Bukan tentang suara yang lantang di panggung, melainkan tentang
bisikan lembut di telinga anak yatim: “Sabar, Nak, Allah tidak pernah
meninggalkanmu.” Dalam pandangan Islam, manusia bukan sumber daya, melainkan
amanah. Maka kerja sosial adalah ibadah, bukan proyek, kepemimpinan adalah
amanah, bukan posisi. Itulah sebabnya pendopo Muslimat bukan sekadar tempat
pelantikan, melainkan tempat zikir sosial berlangsung, di sana, doa dan
tanggung jawab berpelukan erat, di sana, spiritualitas tidak berhenti di
sajadah, tetapi menjelma menjadi tindakan nyata, menolong, mendidik, dan merawat
kehidupan. Keteladanan Muslimat NU tampak pada tiga keindahan:
husnul
mu‘āmalah, berinteraksi dengan akhlak mulia,
husnul
musyārakah, berpartisipasi dengan semangat kebersamaan,
dan husnul
mu‘āsyarah, hidup rukun dalam keberagaman.
Tiga
keindahan ini bukan hanya sekumpulan konsep moral, melainkan jalan sunyi yang
ditempuh dengan kesadaran batin. Dalam husnul mu‘āmalah, seorang
Muslimat belajar untuk menjadikan setiap perjumpaan sebagai ladang kebaikan. Ia
berbicara dengan kelembutan, memberi dengan ketulusan, dan memaafkan tanpa
menunggu permintaan. Akhlak mulia bukan sekadar sopan santun di depan publik,
melainkan cara menjaga cahaya Tuhan agar tetap menyala di dalam dada.
Dalam husnul
musyārakah, tampaklah kebersamaan yang tumbuh seperti taman: setiap bunga
punya warna dan aroma sendiri, namun semuanya saling melengkapi dalam
keindahan. Muslimat memahami bahwa berpartisipasi bukan berarti menonjolkan
diri, melainkan menguatkan yang lain. Mereka terlibat dalam kerja sosial, dalam
pendidikan anak-anak, dalam membantu masyarakat yang tertimpa musibah, bukan
karena ingin dikenal, melainkan karena di dalam hati mereka ada ayat yang
hidup: wa ta‘āwanū ‘alal birri wat-taqwā, “Tolong-menolonglah dalam kebaikan dan takwa.”
Dan
dalam husnul mu‘āsyarah, keindahan itu menemukan bentuk paling
lembutnya. Hidup rukun dalam keberagaman adalah seni yang hanya bisa dijalankan
oleh jiwa yang lapang. Di tengah masyarakat yang beragam keyakinan, suku, dan
bahasa, Muslimat hadir bukan sebagai tembok pembeda, tetapi jembatan
penghubung. Mereka tahu bahwa kedamaian tidak lahir dari keseragaman, melainkan
dari kasih yang mampu menampung perbedaan.
Tiga
keindahan ini, mu‘āmalah, musyārakah, dan mu‘āsyarah, adalah akar dari
peradaban yang berakar pada iman dan berbuah pada kemanusiaan. Bila tiga
keindahan ini tumbuh di hati para pemimpin, maka bangsa akan tumbuh dalam
damai. Karena pemimpin yang lahir dari rahim akhlak tidak mencari kekuasaan,
melainkan keberkahan. Mereka yang memimpin dengan husnul mu‘āmalah akan
menebarkan kasih, bukan ketakutan. Mereka yang berjuang dengan husnul
musyārakah akan menguatkan rakyat, bukan mengeksploitasi mereka. Dan mereka
yang hidup dengan husnul mu‘āsyarah akan menata perbedaan menjadi
harmoni, bukan konflik.
Dalam
keheningan malam, ketika dzikir Muslimat berputar di pesantren, atau musala
kecil di ujung desa, mungkin di situlah Tuhan sedang menatap mereka dengan
senyum lembut. Sebab di tengah hiruk-pikuk dunia yang penuh ambisi, masih ada
perempuan-perempuan yang memilih jalan kesederhanaan dan pengabdian, mereka
tidak selalu tampil di layar televisi, tetapi dari tangan dan doa mereka,
bangsa ini tetap bertahan dalam kesejukan. Keteladanan Muslimat adalah cahaya
yang tidak berteriak, namun menerangi. Ia tumbuh dari dalam rumah, dari ruang
pengajian, dari langkah-langkah kecil menuju majelis ilmu, dan setiap kali
mereka menebar salam, sesungguhnya mereka sedang mengajarkan kepada dunia bahwa
peradaban tidak dibangun oleh kekuatan, melainkan oleh kelembutan yang
bersumber dari iman.
Maka
ketika tiga keindahan itu menyatu, mu‘āmalah, musyārakah, dan mu‘āsyarah,
bangsa ini akan menemukan dirinya kembali: tenang, santun, dan bersinar dalam
damai. Sebab akar peradaban sejati tidak tumbuh di istana yang megah, tidak
pula di ruang sidang yang riuh oleh retorika, melainkan di hati yang telah
belajar mencintai tanpa batas. Dari hati yang lembut itu lahir
tindakan-tindakan kecil yang menumbuhkan keindahan: senyum yang tulus pada
tetangga, tangan yang menolong tanpa pamrih, dan doa yang lirih di tengah malam
untuk keselamatan sesama. Inilah peradaban yang tumbuh diam-diam, bukan dengan
pekik kemenangan, tetapi dengan bisikan kasih yang meneduhkan.
Ketika
mu‘āmalah menjadi napas setiap pergaulan, maka manusia tidak lagi
memandang dengan prasangka, melainkan dengan kasih. Ketika musyārakah
menjadi semangat dalam bekerja, maka bangsa ini tidak lagi berkompetisi untuk
mengalahkan, tetapi bergandeng tangan untuk membangun. Dan ketika mu‘āsyarah
menjadi sikap hidup, maka keberagaman tidak lagi menjadi alasan untuk berjarak,
melainkan ruang untuk saling mengenal sebagaimana firman Allah: “Kami
jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.” Dalam
kesatuan tiga keindahan itu, Indonesia tidak hanya akan damai di permukaan,
tetapi juga tenteram di dalam jiwanya. Sebab damai yang sejati bukanlah hasil
perjanjian politik, melainkan buah dari akhlak yang tumbuh di dada manusia yang
ikhlas.
Dan bangsa yang memiliki akhlak seperti itu tidak akan mudah goyah oleh zaman,
sebab ia berdiri di atas pondasi cinta, cinta kepada Tuhan, cinta kepada sesama, dan
cinta kepada tanah air.
Maka
biarlah istana tetap berdiri megah di pusat kota, namun biarkan juga
taman-taman kasih tumbuh di hati rakyat yang sederhana. Sebab dari merekalah
cahaya bangsa memancar, dari rumah yang bersahaja, dari tangan yang menanak
nasi, dari lidah yang berdoa pelan sebelum fajar. Di sanalah akar peradaban
sejati menancap: bukan pada kekuasaan, tetapi pada kelembutan; bukan pada
jabatan, tetapi pada kesetiaan hati. Dan selama hati manusia masih sanggup
mencintai dengan ikhlas, selama doa masih naik dari dapur dan langgar kecil di kampung,
bangsa ini tidak akan kehilangan arah. Sebab sejatinya, peradaban bukan
bangunan dari batu, melainkan bangunan dari cinta, dan cinta itu, sebagaimana
tiga keindahan itu, tumbuh tanpa pamrih, mengalir dari hati yang mengenal
Tuhan, dan meneduhkan siapa pun yang singgah di bawah rindangnya.
Perempuan
memang punya cara sendiri untuk memimpin: dengan kesabaran yang panjang, dengan
doa yang tidak bersuara, dengan air mata yang menjadi hujan bagi kehidupan,
dari kelembutan mereka, lahir kekuatan yang tidak tampak tapi bekerja, seperti
akar yang menegakkan pohon besar tanpa pernah menuntut dilihat. Maka pelantikan
di pendopo itu akan selalu punya cerita, setiap kursi di dalamnya menyimpan
nama-nama perempuan yang berkhidmat dalam diam, setiap pilarnya mungkin pernah
mendengar ayat-ayat dibaca dengan suara bergetar. Dan setiap langkah keluar
dari pendopo itu, sejatinya adalah langkah menuju pengabdian yang lebih luas,
di jalan rahmah, di jalan kasih sayang. Muslimat NU tidak hanya memimpin dengan
program, tapi dengan cinta, tidak hanya menggerakkan organisasi, tapi
menghidupkan nilai, mereka membangun peradaban bukan dengan kekuasaan, tapi
dengan doa.
Dari
pendopo yang dibangun para pendahulu itu, rahmah dipantulkan ke langit, lalu
turun kembali menjadi cahaya yang menerangi bumi. Selamat berkhidmat, para
perempuan rahmah, semoga setiap langkah menjadi ayat hidup, setiap keputusan
menjadi amal shalih, dan setiap senyum menjadi doa yang menyejukkan dunia.
Amin.
Ketua
Lentera Sastra Banyuwangi
.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar