Kita
Tidak Pernah Benar-benar Mengenalnya
Oleh:
Syafaat
Kita
tidak pernah benar-benar mengenal Chairil Anwar seperti mengenal tukang sayur
yang lewat setiap pagi sambil berteriak “Lombok, tomat, cabai rawit!” di gang
sempit kampung. Kita tahu Chairil lewat kata-kata yang dibakarnya sendiri,
lewat jejak tinta yang seperti api di kertas. Tapi kita tidak tahu apakah ia
punya kebiasaan menaruh sendok di sebelah kanan atau kiri piringnya. Kita tak
tahu aroma apa yang paling ia sukai dari tubuh hujan. Kita hanya tahu ia
mencintai hidup dengan cara yang liar, dan karena itu pula ia sering berperang
dengan dirinya sendiri.
Chairil,
seperti banyak penyair, hidup di wilayah antara: antara cahaya dan bayangan,
antara kejujuran dan tipu daya kata-kata. Ia tidak hidup sepenuhnya di dunia
nyata, tapi juga tidak sepenuhnya di dunia ide. Ia menggantungkan dirinya di
tengah-tengah, seperti daun yang tak sempat jatuh karena angin ragu untuk
berhembus.
Begitulah
kira-kira sosok yang tak pernah kita kenal, tapi terus kita bicarakan.
Begitulah juga Martinus Dwianto Setyawan. Ia lahir di Desa Sisir, kaki Batu
yang dingin, 12 Agustus 1949. Di sana, udara pagi membawa kabar dari ladang dan
suara sapi yang sedang menunduk mencari rumput. Tak ada yang menandakan bahwa
seorang penulis besar akan tumbuh dari tanah itu, selain kebiasaan seorang anak
kecil yang gemar bercerita kepada siapa pun yang mau mendengar.
Martinus
tumbuh tanpa janji akan ketenaran. Ia menulis bukan untuk mencatat namanya di
punggung buku sejarah, melainkan untuk menanam benih kecil di benak anak-anak.
Ia tidak membangun monumen dari kata-kata, tapi membuat jalan setapak dari
imajinasi. Lewat lebih dari seratus karya, ia seperti menyalakan lentera di
lorong masa kecil banyak orang: Sersan Grung-Grung, Kelompok 2 &
1, Kapten Pus, dan sekian banyak judul lain yang mungkin kini
terselip di rak perpustakaan sekolah dasar yang sunyi.
Ia menulis bukan untuk membuat kagum, melainkan agar dunia kecil anak-anak tetap hidup, tetap punya warna, tetap punya suara. Ia tidak menulis karena ingin dikenal, melainkan karena tak sanggup melihat dunia tanpa dongeng. Tak banyak orang yang tahu bagaimana suaranya. Barangkali lembut. Barangkali seperti suara guru yang sabar membacakan cerita di depan kelas. Tapi dari tulisannya, kita tahu ia menyembunyikan sesuatu: kesedihan yang jinak, cinta yang tidak ingin diumumkan. Ia menulis seperti orang yang tahu bahwa yang paling berharga dari hidup bukanlah sorak sorai, melainkan kesunyian yang dijaga.
Ia
wafat pada 1 Juni 2024. Pergi seperti musim yang tahu kapan harus diam. Tidak
menimbulkan ribut, tidak meninggalkan perpisahan yang megah. Tapi kata-katanya
tetap ada, hidup di tangan pembaca kecil yang kini sudah tumbuh besar, membawa
kenangan itu di dalam kepala mereka. Di rumahnya di Jalan Samadi, antara
tumpukan kertas dan aroma tinta, Dwianto membangun DS Grup—bukan lembaga megah,
melainkan rumah bagi yang ingin belajar mencintai cerita. Anak-anak datang
membawa mimpi, pelukis datang membawa warna, penyair datang membawa kata. Ia
tidak ingin menjadi pusat. Ia ingin menjadi pelukan.
Tahun
1990-an, ia memimpin tabloid anak Hoplaa. Isinya ringan, tapi berumur
panjang di hati pembacanya. Ada warna merah muda, hijau muda, biru muda—warna
yang kemudian memudar di ingatan, tapi meninggalkan rasa yang sulit dijelaskan:
rasa bahwa masa kecil pernah seindah itu. Ia menikahi Irawati tahun 1975. Hidup
mereka berjalan seperti lagu anak-anak: sederhana, lembut, dan tidak pernah
selesai dinyanyikan. Mereka menua bersama buku-buku. Tidak banyak bicara
tentang masa lalu, tapi setiap halaman yang dibuka adalah cara mereka
mengingat.
Kini,
buku-bukunya dicetak ulang. Anak-anak membaca, dan para orangtua tersenyum
sambil berkata, “Ini buku waktu kecilku dulu.” Sebuah kalimat sederhana, tapi
di dalamnya ada waktu yang kembali. Ada tangan-tangan kecil yang membuka
halaman dengan mata yang berbinar. Dwianto bukan sekadar sastrawan. Ia semacam
penjaga. Penjaga imajinasi anak-anak agar tak punah ditelan layar. Penjaga
kebaikan agar tetap punya tempat di dunia yang tergesa-gesa. Ia menulis bukan
untuk menjadi terkenal, tapi agar dunia tetap punya ruang bermain bagi hati
yang lembut.
Barangkali
itulah bentuk cinta yang paling suci: tidak menuntut, tidak berisik, hanya
tinggal di sana, seperti aroma tanah basah setelah hujan. Kita tidak pernah
benar-benar mengenalnya. Tapi bukankah begitu juga cara kita mengenal cinta?
Kita tak tahu dari mana datangnya, kita tak tahu kapan perginya, tapi kita tahu
saat ia ada, dunia menjadi lebih bisa ditanggung. Martinus menulis dengan cinta
yang tenang. Ia tidak menciptakan pahlawan besar, hanya anak-anak kecil yang
berani bermimpi. Ia tidak menulis kisah perang, tapi menulis cara tertawa di
tengah kekalahan. Ia tidak menulis tentang negeri yang megah, tapi tentang hati
yang jujur. Dan itu cukup.
Bayangkan
suatu pagi di Batu. Udara lembap, daun jambu berjatuhan. Di sebuah rumah dengan
jendela menghadap timur, seorang lelaki tua duduk sambil menatap halaman. Di
tangannya ada secangkir teh yang mulai dingin. Ia tersenyum kecil, mungkin
karena baru saja menemukan kalimat terakhir yang sudah lama ia cari. Mungkin ia
tahu, setiap cerita punya nyawa sendiri. Ia tahu, jika sebuah cerita ditulis
dengan cinta, maka ia tak akan mati—hanya berganti bentuk: menjadi suara dalam
kepala, menjadi kenangan di malam yang sepi, menjadi cahaya kecil di mata
anak-anak yang membaca dengan jujur.
Dunia
akan terus berubah, tapi cerita-cerita seperti karyanya akan tetap menjadi
jangkar yang menahan masa kecil kita agar tidak hanyut. Karena satu cerita yang
ditulis dengan hati, bisa menjadi doa. Bisa menjadi arah. Bisa menjadi rumah. Kita
tidak pernah benar-benar mengenalnya, tapi lewat cerita-ceritanya, ia mengenal
kita lebih dulu. Ia tahu di mana hati pembacanya tinggal, dan di sanalah ia
memutuskan untuk menetap. Tanpa pamit. Tanpa tanda. Tapi dengan cinta yang akan
terus bernafas, di setiap halaman yang dibuka, di setiap anak yang masih
percaya bahwa dunia, betapa pun beratnya, masih bisa diselamatkan oleh cerita.
Penulis : Syafaat (Ketua
Yayasan Lentera Sastra Banyuwangi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar