Mobil
Mewah di Pesantren
Oleh:
Syafaat
Mungkin
pesantren adalah tempat paling manusiawi di dunia, di sana, manusia belajar
tentang Tuhan dengan cara yang sederhana, tapi maknanya sedalam sumur yang
tidak pernah kering. Permukaannya tampak keruh, tapi siapa pun yang menimba
dengan hati akan menemukan kejernihan di dasarnya. Di tempat itu, kehidupan berlangsung
apa adanya, tanpa topeng, tanpa gemuruh dunia yang sibuk membangun citra,
pesanten bukan hanya menginginkan santri yang pinter, tetapi santri yang ahli
dan beradab.
Entah
masih banyak atau tidak, santri yang menanam singkong di halaman pesantren atau
rumah kiai, atau memelihara ayam di kandang belakang, dunia sudah berubah.
Pesantren pun pelan-pelan berubah, dulu, kehidupan di pesantren berjalan dengan
kemandirian penuh yang indah. Santri tidak hanya menghafal kitab, tapi juga
menggembala, menanam, menimba air, menyapu halaman, berjualan kecil-kecilan,
dan belajar hidup dari hal-hal yang tampak sepele, meraka kadang tidak membawa
bekal dari rumah. Di situlah Tuhan bersembunyi, di balik perbuatan yang
sederhana tapi tulus, kadangkala santri juga dimintaikut kerja bakti atau biasa
disebut ro’an. Mungkin seperti anak sekolah kejurua yang sedang praktik kerja
yang kadangkala juga harus terjun ke dunia yang biasanya dikerjakan pekerja
dewasa.
Setiap
gerak adalah Pelajaran, menimba air menjadi latihan kesabaran. menyapu halaman
menjadi latihan keikhlasan. Menanam singkong menjadi latihan bersyukur. Mereka
tidak sedang belajar untuk menjadi ustaz, tapi sedang ditempa untuk menjadi
manusia mandiri yang siap mengabdi kepada Masyarakat dan tidak menjadi beban
negara.
Kisah
santri yang membawa singkong kepada kiainya masih sering diceritakan. Bukan
karena singkongnya, tetapi karena kesadaran yang tumbuh di baliknya. Santri itu
tahu dirinya kecil, tahu dirinya miskin, hanya mempunyai tanaman singkong di
kebunnya tapi hatinya besar. Ia ingin membalas budi, tapi tidak tahu caranya.
Maka yang dibawanya hanya singkong, hasil dari kerja tangannya sendiri. Santri
lain membawa ayam, dari hasil ternaknya, dengan niat yang sama: memberi yang
terbaik dari apa yang dimiliki.
Dua persembahan sederhana itu lahir dari cinta, bukan perhitungan. Mereka memberi bukan untuk diingat, tapi untuk bersyukur. Barangkali, jika kelak santri itu menjadi konglomerat, ia akan datang dengan Alphard. Namun di balik kemewahan itu, hatinya tetap membawa cinta yang sama, ketulusan yang tidak berubah bentuk, banyak alumni pesantren yang sukses memberikan yang dia miliki untuk pesatrennya, kadangkala juga kepad kiainya. Mereka menganggap sang kiai merupakan orang tuanya yang juga harus menikmati hasil kesuksesan santri.
Cinta,
betapa pun kecil wadahnya, selalu bisa dikenali oleh hati yang bening. Kiai
tidak menimbang dengan timbangan pasar. Ia menimbang dengan cahaya. Cahaya itu
menembus kulit, tulang, dan pikiran, lalu menyentuh ruang paling sunyi dalam
diri manusia: niat. Santri datang membawa cinta. Preman datang membawa harapan
akan balasan. Tuhan, melalui tangan kiai, mengembalikan semuanya sesuai kadar
ketulusan. Yang memberi dengan ikhlas mendapat berkah yang tak terhitung. Yang
memberi dengan perhitungan mendapat sekadar apa yang ia pikirkan.
Ada
kisah lain tentang santri penjual buah, ketika dagangannya tidak habis, ia
berikan sisa buah itu kepada tetangga. Kiai menasihatinya: lain kali, berikan
yang terbaik, bukan yang tersisa. Sejak itu, santri itu mulai memberi buah
segar yang baru dibeli kepada tetangga dan kiainya. Aneh tapi nyata,
dagangannya justru selalu habis. Logika sederhana tapi ajaib: ketika seseorang
memberi yang terbaik, doa orang lain ikut menjadi modal hidupnya. Orang yang
diberi buah yang mendekati busuk bisa berdoa, “Semoga besok saya juga
mendapatkan rizki seperti ini.” Yang artinya berharap dagangan pemberi ad yang
tidak laku, Tapi orang yang diberi buah segar juga akan berdoa, “Semoga besok
mendapat rezeki seperti ini.”, artinya dagangan pemberi segera laku dan dapat
membeli dagangan yang baru. Mungkin Tuhan memang menyukai logika yang tidak
masuk akal bagi manusia: menukar keikhlasan dengan keberkahan.
Namun
hidup modern membuat manusia sulit percaya pada keajaiban sederhana seperti itu,
banyak yang memberi bukan karena cinta, tapi karena takut rugi, banyak yang
berdoa bukan karena rindu, tapi karena takut kehilangan. Hidup pun berubah
menjadi semacam perdagangan panjang dengan Tuhan, di mana pahala dan dosa
dihitung seperti neraca laba-rugi.
Padahal,
cinta sejati kepada Tuhan justru tumbuh ketika manusia berhenti menghitung.
Imam Al-Ghazali pernah menulis dalam Ihya Ulumuddin:
“Jika engkau menyembah Allah karena takut neraka, engkau adalah budak.
Jika karena mengharap surga, engkau adalah pedagang.
Tetapi jika engkau menyembah-Nya karena cinta, engkau adalah orang merdeka.”
Merdeka
kata yang sederhana tapi berat. Sebab hanya orang yang benar-benar ikhlas yang
bisa merdeka dari dirinya sendiri. Kiai dalam kisah itu tidak sedang
mengajarkan teori, tapi mencontohkan keikhlasan. Ia memberi kambing kepada dua
santri, dan singkong kepada preman, tanpa pertimbangan yang rumit. Ia hanya
mengikuti bisikan nurani: bahwa cinta harus dijaga agar tidak berubah menjadi
transaksi. Itulah guru sejati yang tidak hanya mengajarkan kebenaran, tapi juga
meneladankan cara mencintai dengan benar.
Kiai
semacam itu tidak marah ketika muridnya salah, tatapan matanya saja sudah cukup
membuat dada bergetar. Tidak ada bentakan, hanya diam yang penuh makna, diam
yang membuat seseorang sadar betapa bodohnya telah menyakiti ilmu. Sebab ilmu
pun bisa tersakiti. Ia bukan benda mati. Ia adalah cahaya yang bisa padam jika
dibawa dengan tangan yang kotor oleh kesombongan.
Dulu,
para santri diajari cara memperlakukan kitab: tidak boleh diletakkan di lantai,
tidak boleh dilempar di meja, harus dipegang di dada. Dada adalah rumah hati,
dan hati adalah tempat ilmu menanamkan akar. Kini, di sekolah-sekolah, banyak
murid membawa buku seperti membawa bungkus gorengan. Mereka tidak salah, hanya
belum tahu bahwa ilmu bukan sekadar informasi, tapi sesuatu yang hidup dan
pantas dihormati.
Sebuah kitab, meski hanya lembar-lembar kertas berisi huruf dan tanda baca, tetap menjelma cahaya yang menuntun akal menuju pengertian. Ia dihormati bukan karena bentuknya, melainkan karena di dalamnya bersemayam ilmu, nafas yang menyalakan jiwa. Maka, betapa mulia mereka yang menguraikan makna-makna itu, para kiai dan ustaz yang menjadikan ilmu tampak sederhana agar mudah meresap ke hati para santri. Tak heran bila para santri menaruh hormat dengan cara yang beragam, ada yang mencium tangan, ada yang menundukkan kepala, ada pula yang menjaga diam di hadapan sang guru. Seperti di negeri Jepang yang menundukkan badan sebagai lambang takzim, demikian pula setiap tanah memiliki caranya sendiri dalam menanamkan adab. Namun hakikatnya satu: tunduknya jasad adalah cerminan sujudnya hati kepada ilmu dan sang pembawa cahaya.
Zaman
berganti. Santri kini membawa bisa belajar dengan laptop, bukan hanya cangkul.
Belajar bisa dilakukan dari layar, bukan lagi dari kebun. Hafal dalil, tapi
mungkin bisa jadi tak lagi mengenal aroma tanah basah di halaman pesantren. Tak
ada yang salah dengan itu. Setiap zaman punya keutamaannya sendiri. Namun ada
satu hal yang yang tak pernah hilang: adab dan rasa terima kasih kepada
pesantren dan kiai. Kesederhanaan bukan kemunduran. Ia adalah bentuk tertinggi
dari kecerdasan hati. Ia mengajarkan manusia untuk tidak serakah pada dunia,
tapi kaya dalam rasa syukur.
Kiai
pernah berkata, “Ayah memberimu hidup, tapi guru memberimu arah.” Kalimat itu
menggema di sepanjang hidup. Sebab hidup tanpa arah lebih menyakitkan daripada
hidup tanpa harta. Guru, dalam bentuk apa pun, adalah cahaya kecil yang
menuntun manusia agar tidak tersesat. Ada kiai yang diberi mobil oleh
santrinya. Tidak salah jika diterima, tidak salah pula jika ditolak. sebab
cinta tidak selalu harus berbentuk benda. Jika terlalu sering dibungkus hadiah,
cinta bisa kehilangan arah, berubah dari pengabdian menjadi kebanggaan. Masih
banyak kiai yang tetap hidup sederhana, walau bisa hidup mewah. Mereka tidur di
ranjang bambu, makan nasi jagung, tapi hatinya lapang seperti langit. Di
situlah letak kekayaan sejati: bukan ketika seseorang memiliki banyak hal, tapi
ketika ia tidak lagi membutuhkan banyak hal.
Kisah
singkong itu mungkin berakhir di pesantren, tapi maknanya berjalan jauh, menyusup
ke hati siapa pun yang mau merenung. Sebab Tuhan tidak menilai jumlah,
melainkan arah tangan saat memberi. Apakah tangan itu memberi karena cinta,
atau karena hitungan. Mungkin di mata Tuhan, sebiji singkong yang lahir dari
cinta jauh lebih harum daripada istana yang dibangun dari pamrih.
Dan
ketika malam turun perlahan, seperti tinta hitam yang menetes di atas kertas
sunyi, kisah itu hidup kembali. Suara kentongan subuh terdengar dari kejauhan,
seperti panggilan yang mengingatkan manusia pada hal-hal yang dulu sederhana
tapi kini terasa mewah: cinta tanpa pamrih, ilmu yang dijaga dengan hormat, dan
kesadaran bahwa yang kecil pun bisa berarti besar, jika dibawa dengan hati yang
bersih.
Penulis
adalah ASN / Ketua Lentera Sastra Banyuwangi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar