Pages

Home » » Merangkul Keberagaman dari Pesantren hingga Gereja di Banyuwangi

Merangkul Keberagaman dari Pesantren hingga Gereja di Banyuwangi

 Merangkul Keberagaman dari Pesantren hingga Gereja di Banyuwangi

Oleh: Ratna Septianingsih


Saya tida


k pernah menyangka bahwa langkah kaki saya yang berawal dari pondok pesantren di Krapyak, Yogyakarta, akan berujung di Banyuwangi, di sebuah ruangan kerja yang menaungi penyelenggaraan kehidupan umat Katolik. Begitu menerima surat penempatan itu, saya sempat terpaku. Antara takjub dan ragu.

Dalam hati saya bertanya, “Ya Allah, mengapa Engkau tempatkan aku di sini?”

Namun pelan-pelan, saya belajar bahwa setiap penempatan adalah bagian dari takdir yang membawa pesan tersendiri. Allah tidak pernah salah menempatkan hamba-Nya. 

Saya lahir dan tumbuh dalam suasana yang kental dengan tradisi keislaman. Hidup saya terbiasa di lingkungan yang penuh dengan lantunan ayat suci, shalawat, dan diskusi keagamaan. Ketika saya kuliah di Universitas Islam Negeri, lingkungan saya pun tidak jauh berbeda, dunia yang penuh dengan semangat keilmuan Islam dan nilai-nilai dakwah.

Maka, ketika saya mengetahui bahwa saya ditempatkan di seksi Penyelenggara Katolik, rasanya seperti dipindahkan ke dunia baru. Saya sempat bingung, bahkan sedikit takut salah langkah. Bagaimana saya yang berasal dari latar belakang pesantren bisa berinteraksi, memahami, dan bekerja di lingkungan yang melayani umat Katolik?

Namun waktu menunjukkan bahwa kegelisahan saya tidak berdasar.

Seiring hari-hari berlalu, saya justru merasakan bahwa kasih Tuhan hadir di mana pun manusia mau membuka hati. Rekan-rekan kerja saya, baik yang Muslim maupun Katolik, menyambut saya dengan hangat. Tidak ada sekat, tidak ada kecurigaan. Mereka memperlakukan saya sebagai bagian dari keluarga besar, bukan “orang baru” yang berbeda keyakinan.

Saya teringat satu ayat Al-Qur’an yang begitu menenangkan hati:

> “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.”

(QS. Al-Hujurat: 13)

Ayat ini terasa hidup di Banyuwangi. Saya menyaksikan langsung bagaimana perbedaan bukan menjadi jarak, melainkan jembatan untuk saling mengenal dan memahami. Di sinilah saya belajar makna nyata dari tasamuh, toleransi, yang dulu hanya saya dengar dari ceramah para kiai di pesantren.

Ketika saya berkunjung ke gereja untuk menghadiri kegiatan umat Katolik, sambutan para Romo begitu hangat. Tidak ada rasa canggung. Saya tetap dengan jilbab dan identitas saya sebagai seorang muslimah, sementara mereka menyapa dengan senyum dan keramahan yang tulus. Dalam momen-momen seperti itulah saya merasakan bahwa nilai-nilai kasih dan perdamaian sejatinya bersumber dari Tuhan yang sama, meskipun manusia memanggil-Nya dengan nama yang berbeda.

Banyuwangi, bagi saya, adalah miniatur Indonesia yang sesungguhnya. Di sini, masyarakat hidup dalam keberagaman agama, etnis, dan budaya. Namun justru dalam keberagaman itulah tumbuh rasa persaudaraan yang kuat. Saya sering berpikir, barangkali ini yang dimaksud Rasulullah SAW dalam sabdanya:

> “Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya.”

(HR. Abu Daud)

Ketika kita mau memantulkan kebaikan kepada sesama, siapa pun mereka, maka yang kembali kepada kita pun adalah kebaikan.

Saya bersyukur ditempatkan di Banyuwangi. Dari cerita beberapa teman CPNS di daerah lain, ada yang merasa kurang diterima atau sulit beradaptasi. Sementara di sini, saya justru merasa dirangkul. Para senior, baik PNS maupun P3K tidak membeda-bedakan siapa datang dari mana atau apa agamanya. Mereka mencontohkan bagaimana nilai-nilai moderasi beragama dijalankan bukan hanya dengan ucapan, tapi lewat tindakan nyata.

Saya meyakini bahwa tugas saya di Kementerian Agama bukan sekadar administratif. Ia adalah amanah spiritual.

Menjadi abdi negara di bidang yang mengurus kehidupan beragama berarti menjadi jembatan antara nilai ilahi dan kehidupan sosial. Dan untuk menjalankan amanah itu, seseorang harus memiliki hati yang lapang, sebagaimana Allah mengajarkan kepada kita tentang rahmah (kasih sayang) dan hikmah (kebijaksanaan).


Kini saya mengerti bahwa perjalanan dari pesantren menuju dunia lintas iman bukanlah perpindahan tempat, melainkan perluasan jiwa.

Saya belajar bahwa menjadi muslim sejati bukan berarti hidup dalam batas-batas eksklusif, melainkan membawa nilai Islam yang penuh kedamaian ke mana pun kaki melangkah.


Moderasi beragama, bagi saya, bukan sekadar program pemerintah. Ia adalah cara Allah mendidik manusia agar saling memahami dan menghormati.

Ketika seorang muslimah bisa berkunjung ke gereja tanpa rasa takut, dan ketika seorang Romo bisa menyapa dengan tulus kepada seorang perempuan berhijab, di situlah rahmat Allah sedang bekerja, mengikat hati-hati manusia dalam kasih yang lebih luas daripada sekat agama.

Saya percaya, selama niat kita adalah ibadah, setiap langkah akan bernilai di sisi-Nya. Maka saya bersyukur, karena dari Krapyak hingga Banyuwangi, dari lingkungan pesantren hingga kantor penyelenggara Katolik, Saya belajar bahwa Tuhan memang Maha Luas, dan kasih-Nya hadir dalam setiap perjumpaan manusia yang mau membuka hati.

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar

 
Copyright © 2013. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Template Modify by Blogger Tutorial
Proudly powered by Blogger